BAB II - 3

"Yang aku dapat," ucapku sambil menuliskan 'Dik:', 'Dit:', dan 'Jaw:' pada halaman bukuku. "Orang bernama 'Paulianto' dan 'Barak 17' terlibat. Lalu, ada hubungannya dengan salah satu atau mungkin beberapa anggota panitia orientasi kita sekarang."

"Untuk 'Barak 17' mungkin nama asrama kita dulu?"

"Mungkin," ucapku menatap kepada halaman yang telah aku corat-coret.

"Kira-kira orang 'Paulianto' ini kah yang otak-atik speaker Aula Aksara biar meledak?"

"Bisa aja sih. Suara infrasonik banyak di internet. Kalau pintar coding, bisa."

"Coding?"

"Iya, coding."

"Maksudku arti coding apa?"

"Atur software, alat komputer."

"Oh. Mungkin ya. Kita pun belum boleh kenalan dengan senior lain kecuali panitia kan."

Raihan hanya menganggukan kepalanya mengiyakan kata-kataku.

"Kira-kira kita mau cari tahu barengan ato pisah aja?"

"Bareng dulu aja, ga banyak pembina atau guru yang harus ditanya."

"Okelah, barengan artinya kita."

Kita berdua duduk merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bisa kita tanyakan dan mendaftarkan siapa saja yang bisa kita tanyakan.

Sesi diskusiku dengan Raihan berlangsung sepanjang kegiatan belajar malam. Diskusi kami menyelimuti persepsi sehingga aku dan Raihan tidak menyadari bel belajar malam telah berbunyi.

Kami terus melanjutkan perbincangan hingga perhatian kami dipancing oleh suara pintu kelas yang menggelegar.

BLARR!!

"Bel sudah berbunyi dek! Waktunya untuk apel!" teriak seorang panitia yang muncul dari pintu itu.

"Itu panitia yang aku temui di Klinik Siswa siang tadi," ucapku dalam kepala sambil memandang dia.

Dia berjalan tegap ke arah kami, berusaha mengintimidasi. Sebuah perban besar diplaster pada leher hingga ke rahang bawahnya. Sebuah ban elastik memeluk lengan kananya. Pada ban itu tertulis 'Panitia Orientasi 08.' Sebuah papan nama kain terjahit pada sisi kanan seragamnya, bertuliskan 'Gaharu Armamitra.'

Aku sedikit terkejut karena dia masih bisa membentak kami dengan luka seperti itu di kulit rahang kanannya.

"Kalian mau kabur dari apel malam kah!?" gertaknya.

"Siap, tidak bang!" balas kami berdua.

"Kami sedang bersiap untuk berangkat apel bang!" lanjutku.

"Bohong kalian!"

"Siap tidak bang!" balasku.

Seketika, aku mendapati dia melirik kepada halaman buku catatanku yang masih tergeletak di atas meja kelas. Aku melihat nadi yang berada di pelipisnya membengkak perlahan bagai sungai yang akan meluap.

Matanya yang memerah dihadapkan padaku, menusuk tajam.

Dia kemudian mengangkat telunjuknya kepada Raihan. "Dek, kamu ke barisan duluan."

Kemudian, dia menatap kepadaku. "Abang ada urusan dengan temanmu."

Raihan melirik kepadaku dengan wajah sedikit ragu.

Aku tidak menatapnya, namun aku mengangguk untuk menyampaikan aku tidak apa-apa. Dia tidak apa-apa untuk berangkat ke lapangan apel terlebih dahulu.

Raihan mengambil langkah cepat meninggalkan aku berdua dengan panitia orientasi yang sedang memberikanku tatapan setajam belati.

Pintu kelas tertutup perlahan di belakang sang panitia orientasi.

Panitia Orientasi itu mengambil langkah ke arahku. Dia memperbaiki sikap seakan dia tenang. "Jadi, lu nulis apa di buku itu dek?"

"Siap, hanya nama-nama bang," ucapku menjaga bahasa tubuhku.

"Hm..., nama-nama ya?"

Seketika dia mengambil kuda-kuda dan melemparkan langkahnya. Dia melesat dan mengambil kedua kerahku. "Lu jangan nyolot anjing!" tegur dia dengan suara halus.

"Menurut lu, lu pinter gitu? Menurut lu, lu nulis nama-nama itu ngapain hm!?"

"SISWA! SEGERA BERANGKAT APEL!"

Seorang pembina muncul dari balik pintu kelas dan berdiri tegap, memancarkan pose penuh otoritas.

Panitia Orientasi itu bergegas memposisikan aku seakan-akan dia sedang memberikan diriku teguran tegas. Namun, dia masih menahanku, menatap dengan amarah.

Aku tidak tahu apa tujuannya atau apa yang dia harapkan dariku, namun aku tahu aku tidak akan memberikan dia kepuasan dalam bentuk apapun. Terutama, kepuasan untuk mengendalikanku.

"SISWA!"

Dengan bentakan itu, panitia orientasi itu berbalik badan dengan kesal. Di balik nafasnya aku bisa melihat dia melepeh ke udara, "Tchi."

Saat dia berjalan keluar, aku memasukan seluruh peralatanku ke dalam tas.

Aku mencuri pandang kepada panitia orientasi yang melangkah keluar kelas. Dia menatap menantang kepada pembina itu. Tatapan panitia itu menunjukan suatu dengki personal terhadap pembina itu.

"Dapat satu orang lagi untuk ditanya," ucapku di dalam kepala.

Aku segera menyelesaikan berberes tas dan bergegas keluar kelas.

Sang pembina menegurku tegas juga, namun tidak dengan nada amarah seperti yang dia lontarkan sebelumnya saat panitia orientasi itu masih bersamaku di dalam kelas. "Segera siswa!"

"Siap pak!"

Aku melangkah cepat ke lapangan apel di hadapan Gedung Charlie. Para laki-laki angkatanku dibariskan oleh panitia menghadap ke barat kompleks SMA Abdi Negeri.

Aku melangkah mendekat kepada peleton wismaku. Para panitia membentakku bertubi-tubi dari kejauhan agar aku segera masuk ke barisan. Aku memakluminya karena aku membuat kegiatan apel ini terhambat bagi semua yang ingin beristirahat.

Apel dimulai seiring aku masuk ke dalam barisan wismaku.

Salah satu laki-laki angkatanku dipilih sebagai pemimpin apel. Dia mengambil langkah pertama dan berjalan ke tengah lapangan di hadapan kompi kami.

"Perhatian! Apel malam mulai!"

Pembina wisma berperan sebagai Pembina Apel memasuki lapangan.

Dia berdiri di hadapan kami di sebelah Pemimpin Apel.

"Kepada, Pembina Apel, HORMAAT GRAK!

"TeGAAAK, GRAK!"

"Baik siswa. ISTIRAHAT DI TEMPAT GRAK!"

Dan kami semua berdiri dalam posisi istirahat secara serentak.

"Siswa, pengarahan malam ini hanya sebuah pengingat untuk kedisiplinan di dalam wisma masing-masing," ucap Pembina Apel dengan suara berat dan serak penuh otoritas. "Kalian sudah diberikan buku 'Panduan Kehidupan Wisma' atau PKW. Mohon dibaca dan dipatuhi selama kalian menjadi siswa SMA Abdi Negeri.

"Panduan itu digunakan untuk membangun kedisiplinan kalian. Saat pagi hari tiba, pastikan selimut kalian dilipat, bantal kalian sejajar dengan garis tengah kasur kalian, dan sprei kasur kalian kencang. Kekencangan sprei kasur bisa kalian uji dengan menjatuhkan koin di atas kasur kalian. Jika koin itu memantul, maka sprei kalian sudah sesuai dengan kriteria di dalam panduan...,"

Pembina Apel itu memberikan terus memberikan kami pengarahan tentang kedisiplinan hidup di dalam wisma berlangsung selama 45 menit.

Aku bisa mendengar pengarahan itu perlahan akan usai dari nada Pembina Apel yang mulai tenang. Walaupun beliau menyampaikannya dengan nada yang tetap tegas.

Seiring apel perlahan usai, sebuah langkah sunyi mendekat kepadaku yang berada di sisi kanan terluar barisan.

Dia menghembuskan nafas di sebelah telingaku. Dari deruan semu tenggorokannya, aku tahu itu adalah Gaharu.

"Denger ya curut bangsat," ancamnya dengan berbisik kepadaku. "Mendung lu lepas aja yang lu lakukan kalau lu masih mau sekolah di sini.

"Lu hoki tadi anjing!" tutupnya dengan kesal.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top