BAB II - 2
Aku hanya menghela nafas terhadap balasan Raihan. Aku sedikit kesal, namun kita berdua juga tidak memiliki jawabannya.
"Jadi, kita cari tahu bareng kah?"
Ketika dia mendengar itu, aku bisa melihat air muka Raihan bergejolak. Dari gelombang keraguan berubah menjadi ketertarikan akan 'temuan' baru.
"Bisa!" balas dia dengan sedikit terkikik. "Lumayan bisa laga detektif."
"Siplah," balasku. "Pamit dulu, biar aku simpan alat mandi dulu."
"Ya."
Dengan itu, aku melangkah meninggalkan kamar Raihan dan meneruskan kepada kamarku.
Aku meletakkan peralatan mandiku di bawah kasur dan menggantungkan handukku dari jendela.
Usai itu, aku menatap kepada buku catatanku yang terbaring di atas meja. "Apakah hubungan buku ini dengan speaker yang meledak. Di sisi lain, kejadian Komang mimisan karena memegang satu halaman saja sudah aneh.
"Apa yang membuatmu spesial?"
Aku membuka halaman sampul buku itu. Pupilku membedah setiap elemen buku catatan ini.
Akhirnya, aku menemukannya. Sebuah bekas tulisan tersembunyi di balik noda air yang telah menguning.
Dengan gegas aku mencari pensil di dalam lemari belajarku. Namun, aku menutupnya karena aku ingat aku tidak membawa alat tulis semacam itu. Aku hanya bermodal satu pena.
Kemudian aku bergegas ke kamar Raihan.
"Rai! Kau ada pensil kah?!"
"Ada ...,"
Sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya, aku telah menyambar pensilnya duluan.
Aku menghantamkan buku catatanku di atas permukaan meja Raihan. Kemudian, pensil yang dia pinjamkan padaku ku urapkan kepada bekas tulisan itu.
Secara perlahan tulisan itu mulai jelas.
"Paulianto Genesis Ahnisi/Barak 17/X-IPA A."
Aku menatap Raihan. "Kira-kira ini ada hubungannya kah?"
Dia hanya membalas dengan mengangkat bahu. "Kalau memang. Kita bisa apa? Mungkin ada senior yang tahu?"
"Mungkin."
***
Aku memiliki kebiasaan buruk berkacamata kuda. Jika sesuatu berada di dalam pikiranku, aku tidak bisa melepaskannya hingga aku menemukan solusi atau titik akhir dari sesuatu tersebut.
Dan pikiran itu terbawa hingga ke Ruang Persaudaraan. Walaupun kami telah melalui Apel Makan dan meneruskan kegiatan perkenalan secara singkat. Walaupun kami telah memenuhi prosedur kegiatan makan dengan menghormat dan memohon izin duduk. Pikiran itu tidak bisa aku lepaskan.
Dan karena itu juga aku terkena teguran.
"DEK! Kamu sesombong itu kah? Kamu merasa sudah tahu SMA Abdi Negeri?" teriak Panitia Lapangan yang menduduki kepala meja. Di lengannya tertulis 'Panitia Lapangan 09.'
Aku tertarik keluar dari dalam kepalaku dan membalas dengan terkejut. "Siap tidak bang!"
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak bertanya. Kalian semua tahu kan aturannya? Minimal lima pertanyaan!
"Kalau kalian tidak bertanya, bagaimana kita bisa bersaudara!"
"Siap maaf bang!" balas kami serentak.
Lalu dia menatapku, "Jadi, apa pertanyaanmu?"
Dengan mudah aku mengatakan, "Abang mengenal nama Paulianto?"
Aku menatap kepada wajahnya yang merah padam berubah menjadi pucat setelah aku melemparkan nama itu. Dia membuang muka dariku dan meneruskan makannya seiring aku.
"Kamu nanti temui abang di depan Ruang Persaudaraan," ucapnya dari balik nafasnya.
"Siap bang!"
Aku dengan seluruh angkatanku yang sedang melalui kegiatan orientasi melanjutkan kegiatan makan kami hingga selesai. Prosedur demi prosedur kami penuhi.
Aku kemudian berjalan keluar dan segera menemui Panitia Lapangan 09. "Selamat malam bang!" sahutku sambil menghormat. "Saya ...,"
Dia menyambutku dengan rasa amarah yang mendalam. Sebelum aku dapat meneruskan kalimatku, dia menghantam otot pahaku dengan lututnya. "Turun push-up 30!"
Aku tidak membalas dan langsung memenuhi perintah dia.
"Ini untuk tiga kesalahanmu di meja makan. Pertama, tidak memperkenalkan diri pada abang! Kedua, tidak mendahulukan kepala meja. Ketiga ...,"
Kalimatnya terhenti seiring dia merunduk untuk membisikan sesuatu pada telingaku.
"Untuk pertanyaan bodohmu. Lebih baik lu jangan banyak tanya kalau lu mau masih sekolah di sini."
Aku mencuri pandang kepada wajahnya. Dia memasang wajah amarah yang tidak natural di mataku. Sebuah amarah untuk menyembunyikan rasa takut.
Beruntungnya, luapan emosi dia membutakannya kepadaku yang mencuri pandang kepada dia.
Aku melanjutkan push-up itu sebelum aku meninggalkan Ruang Persaudaraan.
Saat aku sudah mencapai angka tiga puluh, aku bergegas berdiri dan mengucapkan, "Terima kasih bang!"
Dia tidak menghiraukan pesanku.
Aku pun melesat menyeberangi jalan raya, GOR, hingga lapangan lari sekolah untuk melanjutkan kepada kegiatan belajar malam.
Berdasarkan pengarahan dari Pembina Lapangan sebelum kami keluar dari Ruang Persaudaraan, kami, para laki-laki diwajibkan untuk menjalani kegiatan belajar malam di ruang kelas.
Setibaku di ruang kelas, aku memandang kepada koridor Gedung Charlie yang begitu sunyi.
Sepertinya para laki-laki angkatanku masih belum memandang kegiatan belajar malam dengan serius. Namun, aku memaklumi karena kegiatan belajar mengajar angkatan kami belum dimulai sampai minggu depan.
"Aku harus mencari Raihan," ucapku di dalam benak sebelum melangkah untuk memindai masing-masing kelas.
Aku menemukan mayoritas ruang kelas angkatanku masih kosong. Hanya ada satu ruang kelas yang berisikan beberapa orang.
Aku memasukkan badanku untuk menyampaikan salam kepada dua orang di dalam kelas itu. "Lagi pada apa bos?"
"Oi! Lagi maen. Kita lagi bikin perang kapal-kapalan gitu. Karena ga ada dadu, kami bermodal gope."
"Okelah. Ngomong-ngomong, kalian lihat kawanku kah? Raihan? Kecil-kecil gitu?"
"Waduh, kurang tahu gua."
"Sama."
"Baiklah. Makasi ya."
"Sams."
Aku kemudian meninggalkan mereka berdua dan meneruskan untuk mencari Raihan.
Saat aku melangkah keluar, aku mendapati keberadaan seseorang dari celah ruangan kelas di seberang.
Aku membuka pintu kelas itu dan mendapati Raihan sedang mengayunkan tangannya di udara, memutar-mutar alat mekanik.
"Yo Rai!" sahutku dari pintu kelas.
"Eh!" balasnya sambil melambai kepadaku.
Sumpah, terkadang kebiasaan dia untuk tidak menyebutkan subjek pada kalimat membuatku kesal.
"Kau lagi apa sih?" tanyaku penasaran padanya.
"Engga, lagi ngebayangin aja," ucap dia sambil menunjuk kepada catatannya. "Lagi bikin skema mesin."
"Ok...," ucapku memaklumi. "Ngomong-ngomong, aku sudah dapat beberapa info tentang siapa yang mungkin tahu tentang kejadian tadi siang. Tapi...,"
Raihan hanya menatap datar dengan kedua alisnya naik penasaran terhadap aku yang sedang bermonolog.
"Aku masih m'rasa janggal. Karena –" aku menghentikan monologku sendiri, kemudian aku mengambil buku catatanku dan menyajikannya di meja di sebelah Raihan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top