BAB II - 1
Aku duduk di sebelah kasur Komang. Dia terbaring di atas kasur klinik dengan selang infus ditancapkan ke lengan kirinya. Badannya masih pucat, namun lebih baik daripada saat insiden itu terjadi.
"Kejadian macam apa itu?" tanyaku di dalam kepala. "Semua kaca di dalam Aula Aksara meledak karena speaker ruangan bertingkah.
"Dan, ketika speaker itu bertingkah, Komang membeku memegang buku catatanku dan darah mengalir dari hidungnya.
"Apakah mungkin hanya kebetulan aja?"
Kejadian itu tidak masuk akal.
Aku menatap kepada Komang lalu aku bergumam, "Istirahat kawan. Kau orang pertama yang berkawan denganku dan dapat aku percaya. Jadi, percayalah aku akan mencari tahu soal ini."
Kemudian, aku menatap kepada buku catatanku yang aku letakkan di atas meja samping kasur.
Sebelum aku dapat membuka halaman buku itu untuk mempelajarinya, Raihan muncul di depan pintu ruang rawat inap.
"Dipanggil, yang laki harus cukur."
"Hah? Ok."
Aku beranjak dari kursiku dan melangkah bersama Raihan ke lokasi tempat cukur siswa laki-laki.
"Pamit dulu Komang," sampaiku dengan tegas kepada Komang yang terbaring lemas.
Raihan meneruskan dengan melambai dan mengucapkan "Ya. Juga."
Walaupun Komang terbaring lemas, dia cukup sadar untuk membalas salam pamit kami dengan mengangkat tangan kanannya dari permukaan kain kasur.
Kami berdua bergegas berjalan keluar.
Saat kami berjalan, seorang abang menegur kami. "WOI! MANA SALAMNYA!"
Kami berdua terkejut dan memandang kepada abang senior yang menegur kami.
Dia ternyata seorang panitia. Ban pada lengannya bertuliskan 'Panor 07'. Aku tidak bisa membaca papan nama pada bajunya karena lengan kanannya menopang perban pada leher kirinya.
Aku dan Raihan mengoreksi tindakan kami dan mengangkat hormat kepadanya. Kami berdua menyahutkan "Selamat sore bang!" scara serentak.
Air mukanya saat menatap koreksi kami tidak enak untuk dilihat. Dia memandang kami seakan makhluk rendah yang layak di injak.
"Karena kalian sampah yang tidak tahu hormat, turun sekarang. Push-up 20 kali!"
"Siap bang!" balas kami.
Aku mengikuti karena aku tidak menginginkan masalah saat pertama kali berinteraksi dengan panitia.
Namun, ketika kami telah memasuki push-up ke-delapan. Air mulai menjalar kepada permukaan, tempat tanganku dan tangan Raihan bertemu dengan lantai klinik.
Aku mencuri pandang ke atas dan mendapati Panitia Orientasi ini dengan sengaja meneteskan air minumnya ke permukaan lantai. Wajahnya terlihat begitu bangga.
"Apa mau lu dek!? Nyolot!?" tantang dia.
"Siap tidak bang!" balasku.
"Terus? Kenapa berhenti? Lanjut sampai 20!
"Sudah berapa? 15? Abang hitung!"
Di dalam kepalaku, "Aku tidak akan memainkan permainan ini."
"16, 17, 18, 18, 18,"
Saat 18 ketiga dihitung, aku berdiri dan meninggalkan klinik dan mengangkat Raihan untuk meninggalkan panitia ini.
"Siap, sudah 20 bang! Izin untuk berangkat cukur!" sampaiku kepadanya.
"KAMU NYO...!!!"
"SISWA! KALIAN BERENCANA UNTUK MENINGGALKAN KEGIATAN CUKUR!" teriak seorang pembina lapangan dari depan pintu klinik.
"Siap, tidak pak! Kami sedang berencana berangkat, kami baru selesai menjenguk teman kami yang dirawat inap di dalam.
"Kami baru selesai berbincang dengan abang panitia."
"Baiklah, segera berangkat siswa!"
"Siap pak!" ucapku serentak dengan Raihan.
Aku dan Raihan berjalan menyeberangi jalan raya yang berada di hadapan Ruang Persaudaraan.
"Beruntung kali Pembina Lapangan lagi memindai anak-anak yang tidak ikut cukur."
"Ya ya," balas Raihan sedikit terkikik. "Jadi aman dari sanksi abang senior."
"Sumpah, malas kali aku ketemu orang macam itu. Nyari-nyari kesalahan dengan bikin kesalahan untuk orang lain pula. Tapi, yaudahlah. Tiga bulan itu singkat aja kan."
"Nanti dilihatlah."
Selama kami berbincang, aku tidak menyadari kami sudah tiba di depan pos cukur SMA Abdi Negeri.
Mataku terbelalak memandang barisan laki-laki angkatanku yang memanjang sejauh 400m. Semuanya mengantri untuk mendapatkan layanan cukur rambut.
Dari kejauhan, aku memandang dua siluet tukang cukur melayani anak-anak ini.
Aku hanya memandang kepada Raihan untuk mencari tahu tanggapan dia terhadap kegiatan ini. Dan, dia hanya membalas dengan mengangkat kedua bahunya.
Aku akhirnya memulai basa-basi dengan Raihan untuk menghabiskan waktu. Lebih tepatnya aku bermonolog tentang imajinasiku kepada Raihan karena tanggapan dia yang cenderung singkat.
Dia terkadang membalas dengan kalimat berparagraf jika bahan bahasanku berhubungan dengan ilmu yang dia punya dan telah dia dalami.
Aku juga menggunakan kesempatan ini untuk berbincang dengan beberapa orang baru di barisan ini.
Saat aku mulai kehabisan bahan bahasan, aku sudah berada di atas kursi cukur.
Kedua tukang cukur ini sudah terbiasa mencukur rambut para anak laki-laki SMA Abdi Negeri. Format cukuran kami sudah jelas. Tiga di atas, dua di belakang, dan nol untuk kiri, belakang hingga kanan.
Namun, cara mereka mencukur kami seperti mereka sedang menuai wol dari domba. Aku beranjak
dari kursi cukur dan merasakan hawa panas di seluruh kepalaku.
Aku mengabaikannya seiring berjalan ke wismaku.
***
Aku langsung bergegas mempersiapkan diri untuk membilas helai-helai rambut yang ada di dalam bajuku.
Handuk, sabun batang, sampo saset, dan sikat gigi. Siap.
Setibaku di kamar mandi, aku melihat pemandangan yang begitu mengganggu akal sehat.
Anak-anak anggota wismaku sudah nyaman berjalan dengan belalai jantan mereka mengayun dihadapan satu sama lain.
"Aku perlu pemutih untuk membilas mataku," ucapku dalam pikiran.
Aku berjalan sesegera mungkin kepada sekat toilet di sisi timur kamar mandi wisma.
Aku mempersiapkan perangkat mandi ku di dalam. Handuk aku gantung di atas sekat bersama baju. Sampo dan sabun berada di permukaan rak beton di belakang toilet jongkok.
Sekitar 15 menit berlalu seiring aku mandi, lalu aku meninggalkan sekatku.
Aku mengenakan pakaian dan kembali lagi ke dalam Wisma Macan III.
Namun sebelum aku dapat meninggalkan peralatan mandiku, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kamar Raihan.
Aku mendapati dia sedang membuat semacam sketsa saintifik. Aku tahu beberapa gambar itu, walaupun aku tidak begitu mengerti deskripsi-deskripsinya.
Aku tidak menghiraukan rasa penasaranku dan langsung melemparkan pertanyaan penting yang telah menghantuiku dari kejadian siang tadi kepada Raihan. "Bos, menurutmu, apa yang terjadi kemarin?"
Dia meninggalkan kegiatannya dan merunduk saat dia mendengar pertanyaanku. Raut mukanya datar, namun terlihat jelas dia sedang memikirkan penyebab dari kejadian kemarin.
Kemudian, Raihan mengangkat kepalanya. "Itu meledak karena infrasonik. Getar, lalu jendela pecah."
"Bisakah lebih deskriptif dan bersahabat dengan rakyat jelata sepertiku?"
"Speakernya mengeluarkan suara berat. Tidak terdengar orang. Suara berat menggetarkan benda padat dengan keras. Kaca dan elektronik terdekat pecah, meledak."
Ini kalimat paling deskriptif yang maksimal dari Raihan yang akan aku dapat. Tetapi, setidaknya aku paham maksud dia.
"Kalau gitu, sumber suaranya dari mana? Kita semua melihat meja operator dari dekat. Kira-kira ada sambungan lainkah?"
Raihan hanya mengangkat bahu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top