BAB I - 5

Usai aku mengucapkan itu, perhatian seluruh angkatan, termasuk aku, dipanggil oleh dengung speaker di ruangan.

"Selamat siang siswa!" sambut sang pembina yang mengumumkan kegiatan ini siang tadi di Ruang Persaudaraan.

"Selamat siang."

"Sekali lagi. SELAMAT SIANG SISWA!!!"

"SELAMAT SIANG!!!"

"Bagus, sudah lebih semangat. Pada siang ini, kami pihak sekolah akan memperkenalkan panitia yang akan menuntun dan mendidik kalian selama tiga bulan. Pendidikan itu akan mempersiapkan kalian semua untuk menjadi keluarga SMA Abdi Negeri.

"Mohon persiapkan catatan kalian dan persiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk abang dan kakak yang akan menjadi panitia kalian. Karena, tentunya, jika kalian tidak mengenali abang-kakak panitia, maka kalian tidak akan sayang dengan abang-kakak panitia.

"Untuk selanjutnya, kegiatan ini akan dibawa oleh abang-kakak kalian."

Ketika sang pembina meninggalkan panggung, kedua daun pintu Ruang Aksara terhempas terbuka. Dua orang senior, seorang perempuan dan seorang laki-laki bergegas dengan penuh semangat. Mereka melesat hingga panggung Ruang Aksara.

"Apakabar adik-adik!?" sambut mereka dengan penuh semangat.

Namun, sambutan itu membuat kulitku berdiri. Nada suara mereka terdengar tidak tulus olehku. Hanya performa, berlaga. Dan aku was-was terhadap mereka.

Sambutan mereka terus mengalir hingga mereka melanjutkan dengan mengucapkan, "Jadi adik-adik, kalian siap dengan perkenalan dengan abang-kakak panitia?"

"Siap!!" ucap ku serentak dengan angkatanku.

"Baiklah kalau begitu, mari kita sambut, 'Panitia Orientasi'!"

Mereka berdua memisahkan diri dan perlahan berjalan kepada sudut panggung. Dari dua koridor kecil yang terbentuk dari meja-meja kami, delapan orang senior melangkah mengisi celah itu secara halus. Seakan-akan mereka adalah air yang mengalir ke dalam gelas.

Seorang perwakilan dari Panitia Orientasi melangkah maju ke depan rekan-rekannya. Dia menghadap kami, "Selamat siang, adik-adik! Saya adalah Hari Jatera, Panor 04. Abang adalah perwakilan dari Panitia Orientasi ini.

"Kami sebagai panitia, akan mendidik kalian dengan giat agar kalian mengenali kami, mengenali para guru-guru kalian yang akan mendidik kalian selama tiga tahun ini, dan tentunya, mengenali SMA Abdi Negeri.

"Dengan itu, mari kita mulai dengan perkenalan diri kami."

Satu persatu mereka memperkenalkan diri. Perkenalan mereka pun memiliki format yang begitu formal.

"Izin memperkenalkan diri. Nama abang...,"

"Izin memperkenalkan diri, Nama kakak...,"

Dan perkenalan itu terus berlanjut.

Kami semua yang duduk pada meja baca saling bergegas untuk mencatat nama-nama mereka.

Aku, Komang, dan Raihan tidak terkecuali.

Seiring aku menulis, aku bisa merasakan nadi di dalam hidungku berdenyut keras. Badanku telah dibanjiri adrenalin ketika berlari menuju Ruang Aksara. Dan adrenalinku semakin mengencang karena semua berlomba untuk mencatat nama-nama para panitia.

Perkenalan yang berlalu begitu cepat dan nama-nama Abang-Kakak Panitia Orientasi yang relatif panjang membuat beberapa anak-anak angkatanku tertinggal dalam mencatat. Salah satunya Komang.

Dia meminta untuk meminjam catatanku.

Aku memberikan karena aku percaya ada orang lain yang telah mencatat nama-nama mereka lebih cepat daripada aku.

"Izin memperkenalkan diri. Nama abang ...,"

"Udah selesai Komang?" tanyaku pada Komang.

"Komang?"

Saat aku menghadapnya, aku memandang kepada hal yang mengerikan.

Pupil mata Komang telah mengguling kepada keningnya hingga putih matanya saja yang terlihat. Darah menetes dari hidungnya. Jarinya membeku di atas permukaan kertas buku catatanku. Dua otot yang menopang rahang bawahnya menarik kedua bibirnya, menunjukan giginya.

Aku dan Raihan berusaha untuk menyadarkan dia, namun upaya kami terasa sia-sia.

Darah terus menetes dari hidungnya seiring warna kulitnya yang memucat dalam hitungan detik.

Dari sudut mataku, aku bisa melihat anak-anak angkatanku menggeliat gelisah.

Ketika aku mulai memperhatikan, aku melihat semua merasakan rasa sakit amat sangat. Speaker di dalam Ruang Aksara mengeluarkan suara berat yang begitu menggetarkan.

Aku pun menyadari getaran suara itu menggetarkan semuanya. Meja, lantai, kaca, bahkan kepada pepohonan yang terlihat dari Ruang Aksara. Aku merasakan getaran itu pada tulang rusukku.

Namun, aku tidak merasakan apa yang hadirin ruangan ini rasakan. Mungkin karena adrenalinku masih menopangku saat ini.

Puncak dari insiden ini adalah ketika frekuensi itu semakin tinggi dan meledakkan sirkuit pada mikrofon yang dipegang oleh Panitia Orientasi.

Suara itu semakin keras hingga...,

BLWARRRR!!! PRASSSHHHH!!!

Suara dari speaker Ruang Aksara meledak dan menghempaskan daun pintu ruangan, beberapa meja, dan memecahkan semua kaca di ruangan ini.

Ruangan terdiam panik.

Komang baru saja kembali, "Ada apa? Apa yang baru saja terjadi Oni?" Lalu, dia tumbang.

Aku bergegas menopang dia.

"SEMUA SISWA, SEGERA KELUAR! RUANGAN INI DIEVAKUASI!"

"Komang benar. Apa yang baru saja terjadi?"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top