BAB I - 3
"Oh ya, Otniel," ucapku sambil mengulurkan tangan untuk menyampaikan salam kenal.
"Hm?" tatap dia kepada aku yang menariknya dari zona seriusnya. "Oh, Raihan."
"Kau dari mana?" lanjutku menanyakan asalnya.
"Bandung. Kalo...?" ucap Raihan membalas pertanyaanku sambil menunjuk kepadaku.
"Kalo apa?" balasku bingung kepada kalimat dia yang terpotong.
Dia mengulangi gesturnya dengan menunjuk kepadaku sambil berkata, "... dari mana?"
"Aku? Aku dari..., Sangatta."
Ketika Raihan mendengar asal kotaku, pandangan dia bersinar. Aku bisa melihat rasa penasarannya bercahaya dari matanya. "Itu di mana?" tanya dia masih dengan nada halus, namun semangat penasarannya terdengar jelas.
DING! DING!! DIIINGG!!!
Sebelum aku bisa menjawab pertanyaan dia, bel makan telah dideringkan oleh guru. "PERHATIAN SISWA! MAKAN SIANG SUDAH SELESAI! MOHON SEGERA KEMBALI KE WISMA MASING-MASING!"
Dari masing-masing meja yang berada di dalam Ruang Persaudaraan, terdengar teriakan "Terima kasih!" yang tersusun dari serpihan-serpihan suara seluruh siswa angkatanku.
Kami semua berdiri meninggalkan meja.
Ketika aku berdiri bersama mereka, aku menghadap kepada Raihan dan melanjutkan balasanku kepadanya, "Nanti kita ngobrol lagi. Kau tinggal di wisma mana?"
"Wisma Macan III," balasnya sambil berjalan bersamaku.
"Bah, kalau gitu gampanglah."
Dan setelah perbincangan itu, kita tiba di sini, di kamarku.
Aku duduk mendengarkan Komang dan Raihan saling bertukar cerita tentang masa-masa SMP mereka.
Air muka Komang menunjukan kebahagiaannya saat bernostalgia, menceritakan kegiatannya bersama teman-temannya di rumah. Dia bertualang di padang-padang Bali untuk bersenang-senang, mengeksplorasi pantai-pantai, berselancar, hingga memancing.
Terkadang, mereka menyempatkan untuk berbincang dengan turis untuk berkenalan dengan mereka. Dia pun bercerita tentang pengalamannya ditawarkan beberapa dolar untuk menjadi pemandu tur pribadi.
Mendengar cerita itu, aku ikut bernostalgia akan rumahku. "Pengalaman dia tidak beda jauh juga dari aku. Sama-sama anak desa, sama-sama sering berinteraksi dengan orang luar. Hanya, orang luar negeri yang berbincang denganku adalah pekerja pabrik minyak lokal di daerahku," pikirku di dalam benak berangan-angan ke masa lalu.
Setelah aku bernostalgia secara sembunyi-sembunyi, aku menyadari Raihan hanya menanyakan pengalaman Komang daripada bercerita pengalamannya sendiri. Tentunya aku ingin tahu cerita dia, "Kalau kau bagaimana? Raihan?"
"Ya begitulah. Engga begitu banyak yang dilakukan di Bandung. Paling keliling bawa motor, ketemu orang-orang lokal, atau nyari tempat jajan baru. Itu-itu aja lah."
"Ga ada hobi apa gitu? Atau kegiatan yang menarik?"
"Hm..., paling pernah bikin motor untuk lomba."
"Eh?"
Aku terkejut ketika mendengar jawabannya. Terutama, karena suaranya begitu datar dan normal seakan membangun motor adalah hal yang normal untuk dibangun oleh anak SMP.
Beragam pertanyaan mulai diolah dalam otakku terhadap pernyataan Raihan. Namun, aku tidak ingin berasumsi sehingga aku melanjutkan, "Maksud bikin motor untuk lomba itu...?"
"Sekolah, sedang ikut lomba sains. Jadi, pada nyusun ide untuk bikin motor.
"Biar makin...," kalimatnya ia potong dengan mengayunkan jempol untuk menyandikan 'mantap'. "Motornya ditenagai alkohol."
"Oh aku tahu ini," sahut Komang. "Kamu pernah masuk berita kan? Lomba sains ASEAN?"
Ketika aku mendengar sahutan Komang, semua gir dalam otakku memompa satu cuplikan ingatan. Sebuah artikel koran tanggal 11 Mei 2009 menceritakan sebuah sekolah dari Bandung yang mewakili Indonesia. Salah satu paragrafnya menceritakan seorang siswa yang menjadi bintang yaitu...,
"Raihan Yusuf Althofi."
Aku mengucap namanya tanpa sengaja.
Orang Bandung yang duduk di hadapanku mendengarku. "Ya?" balasnya.
"Bukan maksud manggil," balasku sambil terkikik tidak nyaman. "Tapi, kau Raihan yang itu?"
Dia mengangguk mengiyakan. Air mukanya begitu polos, seakan dia bingung akan reaksiku. Seakan dia memberitahuku, "Tidak perlu seperti itu. Itu cuma lomba."
Aku ingin membalas, "Cuma?! Juara Satu ASEAN. Cuma?! Matamu anjeng!" Tetapi aku memendamnya. Masih belum layak aku menanggapi seperti itu karena kami pun baru berkenalan.
"Keren juga," balasku padanya.
Raihan hanya mengangguk.
"Kalau...," tanya Raihan kepadaku sambil menunjuk kepada diriku. "Sempat bilang dari..., dari... Dari mana tadi bilangnya?"
"... Sangatta."
"Itu di mana?" sahut Komang dengan suara yang begitu bersahabat, serasa dia saudaraku sendiri.
"Di Kalimantan Timur," balasku kepada mereka. "Kalau ada peta atau Atlas bisa aku tunjukin ke kalean. Karena, aku yakin tempatku belum dipetakan."
"Bisa?" sahut Raihan bertanya sambil tertawa tidak percaya akan pernyataanku. Tetapi, aku juga bisa melihat dia penasaran akan rumahku karena rumahku adalah 'sesuatu yang Raihan tidak tahu.'
"Ya bisa aja. Kalau korupsi pejabat bisa ga diperhatikan, apalagi peta negara sendiri kan?" balasku sambil tertawa.
Raihan pun melanjutkan "... Kerjanya apa?"
"Siapa? Aku masih sekolah bos."
"Bukan," dia pun lanjut menunjuk kepadaku.
Komang pun menebak, "Orang tua?"
Raihan hanya mengangguk.
"Oh, petani. Mereka jualan sawit ke pabrik minyak. Pendapatan kami engga banyak, tapi cukuplah untuk makan dan sekolah. Aku bisa merantau pula," balasku kepada Raihan sambil terkikik bangga.
Selama aku mengatakan itu, ada hal lain yang menggerogotiku selama perbincangan ini. Cara Raihan berbicara, ada yang aneh. "Itu kebiasaan kah? Cara kau bicara?"
"Maksudnya?" tanya dia kebingungan.
Aku melihat mukanya yang benar-benar bingung dan polos. Dia benar-benar tidak menyadari cara bicaranya.
"Dari kita ngobrol tadi, kau ga ada nyebut subjek kalimat. Ga ada bilang 'aku' atau 'kamu.' 'Orang tua' pun kau ga ada bilang."
"Oh ya benar juga ya," sahut Komang.
Dia hanya membalas dengan mengangkat bahu sambil tersenyum. "Dah kebiasaan, hehehe."
"TIDUR SISWA!" ledak suara seorang guru yang muncul di depan celah kamarku.
Aku, Raihan, dan Komang terkejut di tempat kami duduk masing-masing.
Komang melepaskan teriakan terkerasnya, "AAAaaahh!!!".
Aku dan Raihan terkejang sementara di tempat kami duduk. Kursi kami pun bergetar berirama dengan kami.
Dia hanya menatap kami dengan muka yang datar nan tegas. Dia pun abai akan Komang yang terkejut histeris. "Uddhah malam siswa. Bbesok kalian ada kegiatan. Ayo, segghera tiddhur!" lanjut sang guru.
"Baik pak!" tanggap kami bertiga.
Dan akhirnya malam hari ini di Magelang, ditutup.
***
Mataku masih tertutup. Tubuhku masih tertidur lelap.
Namun, sekarang aku merasakan adanya kejanggalan. Suara angin yang menemani tidurku berubah. Ada sesuatu yang mengacaukan aliran mereka.
Ada seorang di depanku.
Tanganku mengayun sekeras mungkin kepada benda asing yang mengganggu angin tidurku.
"ANJING!!!" teriak benda asing itu.
Aku membuka satu mataku, karena salah satunya masih menyesuaikan dengan cahaya pagi Magelang. Mataku memandang kepada lengan yang terjepit antara bingkai kasur dengan telapak tanganku.
Tangan itu mengepal menggenggam bedak. Beberapa serbuk menetes dari celah jari tangannya.
Di depanku, pemilik lengan itu berdiri terbongkok karena tubuhnya lebih tinggi daripada celah kasurku. Wajahnya mengkerut seiring dia merintih kesakitan.
"Kasar banget sih lu anjing!" sampai dia kepadaku dengan kesal.
Aku tidak mengerti mengapa dia kesal akan tindakanku. Aku pun tidak mengerti apa haknya untuk kesal padaku.
Bedak yang dia genggam, upaya dia untuk tidak bersuara, situasi ini menjelaskan dia ingin mengerjaiku.
Aku hanya membalas, "Gini bos. Kau muncul di depanku pas aku lagi tidur. Kau juga megang bedak di tangan kiri kau. Aku ada hak untuk was-was."
"Ya tapi lu ga perlu kasar juga," balas dia kepadaku.
Dari suara, dari raut wajah, aku bisa merangkum orang ini adalah orang yang tidak pernah ingin disalahkan.
Aku berusaha menyampaikan dengan halus kepada dia, "Begini, aku melindungi diri dari ancaman. Kau mau ngerjai aku, padahal aku belum kenal dengan kau.
"Ku tanya, kau tahu namaku?" ucapku mempertahankan nada perbincanganku yang bersahabat.
"Ga penting jing," balas dia kesal. "Salah lu juga yang tidurnya ga jelas, sambil duduk bersila di atas kasur. Jelaslah lu layak gua ganggu."
Kalimat yang dia lontarkan dari mulutnya menimbulkan kegalauan di dalam hatiku. Aku adalah orang yang bersahabat dan aku menyampaikan bahasa tubuh serta perkataan yang bersahabat. Dengan itu, aku juga berharap sifatku akan membuahi persahabatan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top