BAB I - 2
Aku mendengar dari teman-teman ayahku yang bercerita, banyak anak-anak yang masuk ke sekolah ini dengan impian untuk menjadi pemimpin Indonesia.
Aku tidak memiliki mimpi yang sama.
Aku tidak tahu apa yang ingin aku lakukan di sini.
Aku mendaftarkan diriku ke sekolah ini karena satu alasan, "Aku ingin merantau dari kotaku Sangatta." Dan ini pengalaman pertamaku keluar dari kota itu untuk merantau.
Mungkin aku akan menemukannya nanti. Aku lihat dulu apa yang sekolah ini tawarkan selama aku belajar di sini.
Angan-anganku berhenti ketika aku mulai melihat sebuah lapangan yang dipenuhi oleh kawanan mobil mewah. Di seberang lapangan itu, terdapat banyak bangunan yang memanjang. Desain bangunan itu jelas adalah tempat aku tinggal selama belajar di sekolah ini, barak untuk siswa SMA Abdi Negeri.
Sepertinya, aku dan pamanku sudah tiba di parkiran yang berada di timur kompleks. Lebih tepatnya, tempat yang saat ini digunakan sebagai parkiran, untuk saat ini menurutku. Karena lapangan itu berumput dan memiliki dua buah gawang bola yang telah diletakkan dekat parit, menghadap barak siswa.
Saat kami mendekat, aku bisa melihat anak-anak yang berpisah dengan orang tua mereka masing-masing.
Beberapa orang tua ada yang menyempatkan untuk memasuki barak-barak siswa. Mungkin mereka merasa penasaran dengan tempat tinggal yang akan aku dan siswa lainnya akan tempati.
Tiba-tiba pamanku menyahut kepada aku yang sedang asik melihat-lihat, "Ransel kamu sudah siap?"
"Sudah paman," balasku kepada pertanyaannya yang dikeluarkan dengan suara medok. "Kita pisah di sini kah?"
"Iyalah. Paman juga harus balik toh, untuk mengurus Mbah."
"Oke, hati-hati di jalan Paman," ucapku sambil mengulurkan tangan untuk menyambut salam tangannya.
Aku membuka pintu truk bak terbuka dan menuruninya. Ketika aku menutup pintu truk itu, pamanku sudah melesat pada jalanan komplek yang telah kosong.
Aku hanya bisa melambai dari kejauhan seiring dia pergi.
Usai aku melambai dan mengucap salam sampai jumpa, aku menatap kepada barak-barak siswa.
Aku berusaha untuk meresap udara dan atmosfer SMA Abdi Negeri, mencari sesuatu. Aku pun tidak tahu apakah sesuatu yang ku cari itu. Inspirasi. Motivasi. Aku tidak tahu.
Dari renunganku, aku hanya bisa berpikir, "Aku sendiri sekarang."
DIN!
"Oh, maaf," ucapku dengan tulus kepada Supir Innova Plat Merah.
Aku berendam terlalu dalam di dalam benak, aku tidak menyadari aku sedang berdiri di tengah jalan kompleks. Aku menghadang beberapa mobil yang ingin keluar dari lapangan itu tanpa sengaja.
Aku bergegas berjalan ke jalan setapak yang ada di depan barak untuk memberikan jalan bagi mobil-mobil itu. Seiring aku berjalan, aku melambaikan tangan sambil memberikan senyum penuh rasa maaf.
Aku harap mereka tidak dendam terhadap keteledoranku.
Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
Aku masuk ke sekolah ini dengan meraba-raba karena aku tidak memiliki akses terhadap internet dan sumber informasi lainnya. Aku mengetahui sekolah ini dengan bermodal mulut untuk bertanya dan sepeda untuk mengunjungi orang yang aku tanyakan.
Dan sepertinya, aku harus melakukan yang sama sekarang. Tanpa sepedanya.
Aku menoleh dan memindai barak yang berada di hadapanku dan lingkungan di sekitarnya. Aku melihat sebuah papan seng bertuliskan "Macan III" dipaku pada dinding, di sebelah kanan pintu barak. Di dalamnya, aku melihat siluet beberapa orang anak berlalu lalang pada koridor yang terbentuk dari lemari dan kasur tingkat. Selain siluet, aku tidak bisa melihat hal lain karena payahnya cahaya yang menerangi barak.
Di sebelah barak itu, terdapat jalan setapak kecil yang dipenuhi oleh jemuran-jemuran kecil yang terbuat dari alumunium. Jemuran itu menghadap ke taman rumput di kanan barak.
"Si...,
"Sisw...,
"SISWA?!" sahut seseorang di belakangku sambil menggenggam bahu kiriku.
"Ya?!" balasku kepadanya dengan nada terkejut seiring aku menoleh ke belakang, mencari sumber suara itu.
Suara itu datang dari seorang tua yang berdiri di belakangku. Wajahnya petak dengan sudut-sudut yang sedikit membulat. Wajah itu juga dihias oleh kumis yang begitu megah, menyeberangi pipinya dari kiri hingga ke kanan. Badan dia bulat namun padat, dibungkus oleh seragam berwarna kuning teh hijau.
"Anda sedang apa siswa?" tanya dia kepadaku.
"Saya sedang mencari tempat yang akan saya tinggali selama di sini pak. Kira-kira saya bisa nyari di mana ya?"
"Untuk itu, anda bisa baca di ujung lorong sana siswa," ucapnya sambil menunjuk kepada koridor berlantai batu yang terlihat di belakang barak.
"Apakah ada lagi?" tanya sang bapak kepadaku.
"Ya pak, selanjutnya saya harus apa ya pak?" balasku bertanya kepada sang bapak.
Dia membalas wajahku yang penuh penasaran dengan tatapan orang tua. Dengan suara bagai ayah yang sabar dia berkata, "Baiklah siswa. Sekarang, semua calon siswa harus mendaftarkan diri, melakukan pengukuran baju, dan mengambil perlengkapan wisma.
"Untuk pendaftaran dan pengukuran baju dilakukan di Gedung Alpha, gedung yang tadi anda lewati saat memasuki kompleks kampus. Kalau anda masih bingung, anda cukup mencari Plaza Gotong Royong. Gedungnya ada di kiri.
"Apakah anda paham siswa?"
"Paham Pak. Terima kasih."
"Ya sudah, berangkat sana sebelum sore tiba."
"OK Pak."
***
"Proses adminnya melelahkan juga, lebih melelahkan dibanding membantu ayah di kebun," ucapku jenuh di dalam benak sambil terduduk di kursi belajar kamarku.
Aku menyempatkan untuk menoleh ke atas meja belajar, kepada kartu identitas yang diberikan oleh panitia. Kartu itu menggunakan namaku, 'Otniel Sitohang' sebagai judul. Di bawah namaku, tertera tempat tinggalku di 'Wisma Macan III' dan kamar yang aku duduki, 'Kamar 8B.'
Dari periferi mataku, aku bisa melihat langit malam merayap menyelimuti langit Magelang secara perlahan.
Kemudian aku kembali memandang ke ruangan kamarku, ke kamar yang dibentuk oleh sekat-sekat berupa meja belajar, kasur tingkat dan lemari baju. Di dalam kamarku, ada dua orang siswa lain duduk bersamaku. Seorang Bali dengan postur tinggi kering, dia duduk di atas kasurku dan orang Bandung yang bertubuh relatif kecil, dia duduk di atas kursi belajar pendamping kamarku. Mereka berada di kamarku karena ingin melanjutkan perkenalan singkat yang kita lakukan sebelumnya.
Aku bertemu orang Bali itu saat sedang mencari tempat tinggalku di sekolah ini. Aku bisa mengatakan kalau pertemuan kita cukup..., 'unik.'
Dia dan aku bertemu sepulang dari kegiatan pendaftaran administrasi. Aku dan dia memasuki Wisma Macan III dari pintu yang menghadap koridor siswa. Aku berusaha menyapa dia dari belakang. Namun, sebelum aku bisa mengucapkan "Halo!" kepadanya, dia berteriak bagai petir yang membelah langit.
"AAAAAAAHHHHHH!!!"
Suara teriakannya begitu tinggi bagai perempuan yang membeku di hadapan teror.
Aku mendekat untuk menanyakan, "Apakah kamu baik-baik saja?" Tetapi, aku menahan kata salamku ketika aku menatap wajahnya.
Dia menatap kepada langit-langit gudang tas dengan mata yang terbelalak penuh teror. Kulitnya putih pucat karena rasa takutnya memompa darah untuk meninggalkan kepalanya.
Kemudian, Pucatnya lanjut menjalar kepada kakinya, menggoyahkan langkahnya. Dan di saat itu aku bergegas untuk menopang dia.
"Kau ga apa?"
Ketika aku menanyakan itu, seketika kulit dia menjadi cerah. Dia menatapku lugu seakan tidak terjadi apa-apa. "Hah? Oh gapapa," balas dia kepada pertanyaanku.
"Beneran?" balasku ragu padanya.
"Beneran, gapapa kok. Aku hanya kadang-kadang ada serangan panik aja, tapi ga parah-parah banget kok."
"Okelah, kalau begitu. Ngomong-ngomong, aku Otniel. Bisa dipanggil 'Oni'."
"Oh ya," balasnya dengan suara yang lembut, suara yang sudah kembali dari teror yang membelenggunya. "Aku Komang," lanjut dia sambil menjulurkan tangannya kepadaku.
Aku membalas tangan dia dengan menyalamnya sekuat dan sehangat mungkin.
"Kau dari mana memangnya?" tanyaku padanya.
"Maksudnya? Kita kan dari gedung sekolah tadi."
"Maksudku, asalmu, kota asal atau provinsi, dari mana?"
"Oh ya..., aku dari Bali. Kamu?"
"Hm..., aku dari..., kau tahu Sangatta di mana?"
Sebelum kita berdua bisa menyelesaikan perbincangan, salah seorang guru berteriak dari ujung koridor. Suaranya semakin menggelegar karena dia berteriak dari belakang toa (1), "PERHATIAN KEPADA SELURUH SISWA KELAS X! SEGERA KE 'RUANG PERSAUDARAAN' UNTUK MELAKSANAKAN KEGIATAN MAKAN SIANG!
"SEKALI LAGI! PERHATIAN KEPADA SELURUH SISWA KELAS X! SEGERA KE 'RUANG PERSAUDARAAN' UNTUK MELAKSANAKAN KEGIATAN MAKAN SIANG! TERIMA KASIH!"
Dan pada saat makan siang itu juga, aku bertemu dengan orang Bandung yang duduk di depanku. Aku bertemu dengannya pada meja yang sama. Dia duduk di seberangku pada saat itu, menatap dan mempelajari sebuah kertas yang dia genggam pada tangan kiri.
Tangan kanannya menari-nari bertukar posisi dari kertas coretan yang dia letakkan di atas permukaan meja, ke wajah meja, lalu kembali lagi kepada kertas itu, sambil menggenggam pena. Sesekali, pena itu dia ketokkan dengan ritme yang aneh kepada permukaan meja. Ritme itu memiliki harmoni, hanya saja bukan ritme yang biasa terdengar ketika mendengar musik.
Ritme itu mengundang rasa penasaranku sehingga aku membuka dengan, "Itu. Yang kau lakukan itu apa?"
Dia terkejut ketika mendengar sahutanku padanya. "Hah? Oh? Ya, ini morse." balasnya padaku dengan nada halus datar, namun bangga akan kegiatannya.
"Iseng belajar aja kah?"
"Ya," balasnya berbareng perhatiannya kembali kepada kertas..., 'morse?' yang dia pegang.
CATATAN
Toa, sebuah speaker berbentuk corong yang umum digunakan untuk memperkeras suara peringatan, pengumuman, atau pengarahan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top