BAB I - 1
Aku dan pamanku tiba di depan gerbang SMA Abdi Negeri di pagi hari menggunakan truk bak terbuka Mbahku. Jarum jam kantong Mbahku yang digantung pada spion tengah menunjukan pukul 10.45 WIB.
"Waaaahhh...," tanggapku di dalam kepala saat menatap kepada gerbang sekolah ini dari balik kaca mobil pamanku.
Inilah SMA Abdi Negeri, sekolah yang menjadi impian mereka yang ingin menjadi pemimpin Indonesia. Sekolah ini begitu besar sehingga dia memiliki jalannya sendiri bagi pengunjung yang ingin masuk. Jalan itu dipagar oleh pohon-pohon pinus yang ditata sejajar. Di ujung jalan, plaza raksasa yang bernama Plaza Gotong Royong menyambut para pengunjung sekolah.
Di hadapan kami, begitu banyak mobil-mobil mewah berbaris di atas aspal. Kebanyakan plat mereka berakhir dengan alfabet 'RF,' plat pejabat.
Aku menanggapi pemandangan di hadapanku dengan bergumam di dalam kepala, "Masih lebih keren truk ini dibanding mobil mereka. Barang langka."
Setelah aku bergumam, aku duduk diam pada kursi mobil. Aku mempersiapkan batinku untuk menghadapi minggu-minggu di sekolah ini.
Sesekali aku mencari ketenangan dengan menatap kepada wajah pamanku yang memegang setir truk ini dengan santai. Air muka dia begitu tenang ketika dia menarik asap dari rokok kreteknya dan menyeruput kopi dari dalam botol air.
Ketenangan wajahnya membuat aku tabah mengalir bersama mobil-mobil di dalam kemacetan jalan SMA Abdi Negeri.
Kami bergerak bersama kawanan mobil mewah sejauh empat meter setiap lima menit. Selama waktu berlalu, aku melirik kepada denah sekolah ini yang begitu luas berisikan beragam bangunan.
Aku bisa melihat gedung sekolah yang diletakkan di atas bukit kecil. Gedung itu terbuat dari beton dan bertingkat dua. Masing-masing lantai memiliki teras dan balkon yang mengelilingi bagai cincin.
Beberapa meter di seberangnya, ada sebuah gedung berlantai yang cukup luas. Kacanya begitu gelap sehingga aku tidak bisa menebak apa isi atau guna gedung tersebut.
Sesudah aku melirik isi denah kampus ini, aku kembali duduk menatap kosong ke kawanan mobil mewah. Aku berpikir di dalam kepalaku, "Sayang sekali orang tuaku tidak bisa ikut."
Walaupun aku berpikir seperti itu, aku tahu mereka menetap di Sangatta agar mereka bisa mendukung masa depanku.
Dari dulu hingga sekarang, mereka mendukung aku, menghidupi aku dengan adikku dengan bercocok tanam sawit. Penghasilan mereka dari bercocok tidak begitu banyak sehingga mereka konservatif dengannya. Mereka hanya menggunakannya untuk makan kami, tanggung jawab rumah, dan rekreasi.
Rekreasi pun hanya dilakukan selama dua tahun sekali. Kami menggunakan Minggu Lebaran untuk mengunjungi Mbah Kakung dan Mbah Puteri di Jawa Tengah. Minggu-minggu Natal kami gunakan untuk mengunjungi Opung Doli dan Opung Boru yang di Sumatera Utara. Terus berulang seperti itu selama sembilan tahun.
Dan karena semua itu, semua sikap konservatif mereka, aku bisa merantau ke tempat ini. Ke Magelang.
Ke SMA Abdi Negeri.
Aku tahu mereka berharap banyak dariku karena telah merantau ke sekolah favorit Indonesia. Tetapi, nyatanya aku tidak tahu aku bisa memenuhi harapan itu atau tidak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top