5. Tatapan Mata yang Indah
Setelah bertemu dengan anak sekolah yang dia maksud, Nicole kini akan berbicara langsung dengan anak berusia remaja itu. Dada Nic bergetar hebat, keringat dingin keluar di pelipisnya dan tangannya mulai dingin.
Bertemu dengan seorang anak remaja entah mengapa kali ini justru terasa agak berbeda. Dia seperti hendak bertemu dengan seorang pria tampan yang membuatnya bertekuk lutut dan berdebar tidak karuan.
Nic berulang kali mengingatkan dirinya agar tidak gerogi atau salah tingkah. Sebab yang dia temui tetap saja seorang anak. Remaja yang akan dia temui bukanlah pria dewasa yang siap mengajaknya menikah, atau pria dewasa yang embusan napasnya terasa hangat di lehernya.
Beberapa menit kemudian dengan dibimbing seorang polisi, Nic melihatnya secara langsung. Tepat di depannya, remaja itu memegangi tangannya dengan kepala yang tertunduk. Dia mengenakan pakaian tahanan berwarna biru. Sedang menunduk seperti itu si remaja masih saja tetap terlihat tampan layaknya pria berusia dua puluhan.
Nic melihat matanya yang terfokus ke bawah dengan hidung mancung sempurna. Bibir yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Bulu kumis tipis dan alis yang tebal justru mempertegas aura ketampanannya. Namun kali ini, terlihat pipi kananya berwarna hijau keunguan, mungkin itu adalah bekas kepalan tinju lawan berkelahinya.
Mata Nic berpindah ke bahu remaja itu yang juga tampak tegap sempurna. Otot tangannya juga terbentuk sangat maskulin terlapisi kulit cokelat eksotis.
Nic masih memindai semua ciri anak remaja di depan matanya itu. Rambut lurus dipotong pendek dengan belah samping. Rambutnya juga tidak diberi styling gel hingga telihat lemas. Nic menatap dari ujung rambut ke ujung kaki. Nic memperkirakan tinggi si remaja adalah seratus tujuh puluh lima sentimeter. Kata polisi usianya masih enam belas tahun, berkemungkinan tingginya masih bisa bertambah lagi. Entah setampan apa kelak saat dia dewasa.
Remaja di hadapan Nic sepertinya tau ditatap Nic dengan intens seperti itu. Dia tampak risi dan meremas-remas kedua tangannya dengan kepala yang masih tertunduk. Entah apa yang dipikirkan remaja itu, atau mungkin dia tidak terbiasa bertemu dengan orang yang tidak dia kenal.
"Silakan duduk," perintah Nic dengan ramah.
"Terima kasih," ucap remaja itu. dia langsung mendudukkan tubuhnya di kursi panjang kunjungan tahanan.
Remaja itu memberanikan diri menatap Nic dan memperlihatkan dengan jelas mata bulat indahnya. Matanya tampak dalam dan tentu saja remaja wanita seusianya akan langsung berdebar jika ditatap mata bulatnya seperti itu.
"Duh, gantengnya."
Dua orang yang memiliki perbedaan usia yang cukup jauh itu akhirnya saling tatap. Keduanya tentu heran dengan orang yang baru ditemui karena sejatinya mereka tidak saling kenal.
Tidak saling kenal dan tidak pernah bertemu keringat dingin seperti menyerang Nic. Tiba-tiba ruangan kunjungan tahanan seolah terasa panas dan sesak. Padahal, di depan ruang tahanan itu adalah taman terbuka kantor Polsek. Udara keluar masuk dengan bebas di taman yang menjadi lokasi kunjungan tahanan. Ruang kunjungan penjara di sini tidak seperti penjara biasanya. Ruang kunjungan didesain dengan tempat duduk dan meja seperti meja kafe di taman terbuka di dalam kantor polsek. Meski di desain seperti kafe, pengawasan tahanan tetap dijaga ketat.
Suasana menjadi hening, hanya terdengar bunyi riak air kolam ikan yang berasal dari mesin pemompa sirkulasi kolam taman terbuka. Tampak remaja itu mencoba memberanikan diri menatap Nic yang berada di hadapannya. Seulas senyum basa-basi tersungging manis dari bibirnya. Deretan giginya mempertegas aura rupawan yang dimiliki remaja yang kata petugas kepolisian berdarah Jawa itu.
"Tenang, Nic. Hanya seorang bocah. Tolong jangan grogi."
Nic membalas senyuman remaja itu dengan senyuman sekedarnya karena debar dalam dada yang tidak karuan. Lalu wanita muda itu menatap remaja itu penuh tanda tanya. Benar saja, remaja ini benar-benar mirip pria yang menjadi pasangannya bercinta dalam mimpi. Bibir itu pernah dia kulum, pipi dan pelipisnya seperti pernah dia kecup,. Rambut hitam itu pernah dia belai meski semuanya hanya dalam mimpi vulgarnya. Namun, dada bidang seperti dalam mimpinya itu tak bisa dia lihat dengan jelas mengingat remaja itu mengenakan pakaian tahanan berwarna biru yang bahannya cukup tebal.
"Menatapnya seperti ini seharusnya sama seperti anak-anak remaja lainnya. Meski dia memiliki tubuh layaknya dua empat tahun, tetapi tetap saja dia masih enam belas tahun."
"Kamu siapa?" tanya Nic tiba-tiba. Nic tiba-tiba menutup mulutnya. Dia salah bertanya, seharusnya pertanyaannya adalah namamu siapa.
"Lha iya, kenal enggak tapi malah bantuin keluar dari penjara," jawab remaja itu dengan wajah heran.
Suara remaja itu terdengar sangat berat dan seksi. Remaja itu ternyata memiliki suara bass. Logat Jawa yang dia sampaikan justru terdengar sangat menggemaskan. Suara bass miliknya itu sangat mendukung penampilan tampannya dan menggetarkan hati seorang Nicole.
"Siapa yang bilang kalau saya mau bantuin kamu keluar?" tanya Nic menyeringai.
"Itu, pak polisi yang bilang," jawabnya.
Nic menghela napas panjang. Belum apa-apa malah polisi bercerita. Kalau begini bukankah rasanya tidak seru kalau remaja ini tau maksud dan tujuannya. Parahnya, Nic tidak tahu alasan mengeluarkan remaja ini jika dia bertanya.
"Memangnya kamu pengen keluar?" tanya Nic kembali.
"Lha iyo, toh. Siapa yang mau di sini lama-lama. Belom lagi banyak nyamok!" sambungnya dengan logat Jawa.
"Emangnya kamu ini siapa?" Nic salah bertanya lagi. Wanita itu mengusap wajahnya lagi. Dia teringat mimpinya dan bercampur rasa gerogi hingga pertanyaan siapa remaja ini terus terlontar dari bibirnya.
"Lha aneh, to. Wong nggak kenal kok malah nyariin," gumam remaja itu.
"Kan bantu orang lain gak perlu kenal orangnya. Dek," tandas Nic dengan rasa sedikit gemas.
"Kenapa kok yang dibantu malah aku, bukan Alif itu. Dia kan jagoan," ucap remaja ini. Meski wajahnya seperti agak takut tetapi ucapannya seolah dia merasa akrab dengan Nic.
"Ya nggak tau, tiba-tiba pengen bantu kamu aja."
"Lha, tante-tante aneh. Dateng-dateng bantuin tapi gak tau motifnya bantu apa? Malah nggak tau yang dibantu siapa," komentar remaja itu dengan suara pelan.
Nic meraba pipinya sambil berpikir."Sialan aku dipanggil tante. Apa mukaku kelihatan tua di matanya? Kalau dia kuminta manggil Kak, nanti dia malah berpikiran kalau aku menyukainya. Terserah aja deh anak ini mau manggil apa."
Nic mencoba bersikap tenang dan biasa saja. "Jadi, mau dikeluarin gak nih?" ancam Nic tiba-tiba. Wanita itu masih gerogi.
Remaja itu mendongak dan menatap Nic dengan mata membulat seolah ingin menarik ucapannya. "Eit eit eit, ya mau lah."
"Kirain gak mau, kalau gak mau biar ku keluarkan temenmu itu. Yang ngintip-ngintip itu. Ucap Nic seraya menatap lawan berkelahi remaja itu yang berdiri di balik ruang jeruji besi di ruang sebelah ruangan remaja itu dikurung.
"Ya mau lah, masa dibebasin gak mau. Meski aslinya besok baru bebas. Lumayan lah, 24 jam lebih dulu daripada Alif," ucapnya dengan nada bangga.
"Baiklah, kalau begitu nama kamu siapa?" tanya Nic akhirnya. Pertanyaan ini seharusnya sejak tadi disampaikan Nic agar tidak terjadi perdebatan kecil antara dirinya dengan remaja ini.
"Sam." (Dia menyebutkan Sem.)
"Sam? Samiun? Samsyudin? Samsul."
"Sembarangan Tante ini, mentang-mentang muka Sam kampungan. Namaku Samuel Rizal tahu. Panggilannya Sem, pakai E."
"Dih, nama artis. Mama kamu korban sinetron ya?" ucap Nic mencoba mencairkan suasana.
"Emang nama artis? Sam baru tahu."
Nic mengangguk. "Di waktu kamu lahir itu, Samuel Rizal lagi naik daun."
"Oh, iya ya? Emang sih emak suka nonton sinetron, apa lagi yang FTV Derita Tangis Istri di Indochanel. Emak Sam nggak pernah absen nontonnya."
Nic tertawa pelan, humor Sam membuat rasa geroginya sedikit berkurang. Lalu Nic mencoba bertanya hal lain yang berkaitan dengan Sam. Akhirnya mereka mengobrol cukup lama perihal perkelahian Sam dan temannya yang bernama Alif. Sam menceritakan kronologisnya hingga dia berada di penjara. Namun, Sam sepertinya kurang nyaman ditanya-tanya oleh Nic secara mendetail perihal perkelahiannya dengan Alif
"Tante ini kenapa sih, nanya terus kayak wartawan. Itu juga pakai baju pemda. Tante dari dinas sosial, ya? Mau bawa Sam keluar dari sini supaya ngasih pembinaan?" tanya Sam heran.
"Maksud kamu?"
Sam menggaruk rambutnya yg tidak gatal. "Ya siapa tau Tante mau nyamain aku kayak ciwi-ciwi di panti pijat itu. Kan di bawa ke dinas sosial buat dikasih penyuluhan."
Nic tertawa. "Enggak lah, saya dari balai konservasi cagar budaya."
"Lha? Yg buat melindungi hewan-hewan langka itu ya? Kenapa larinya ke Sam? Sam kan bukan hewan langka," tukasnya.
Nic mengembuskan napas pelan sambil menahan senyum. Ucapan Sam terdengar lucu, dia memang belum dewasa. "Itu cagar alam, Sam. Kamu kurang membaca kayaknya, Sam."
Sam menarik kedua sudut bibirnya, lalu remaja itu kembali menggaruk kepalanya. "Oh, beda ya?"
"Beda, Sam. Ini cagar budaya."
"Em, kenapa tertarik ketemu Sam. Apa jangan-jangan Sam punya aura kayak manusia purba, ya?"
"Enggak juga, Sam. Pekerjaan saya, nggak ada hubungannya sama keadaan kamu," jawab Nic gemas dan menggeleng.
"Kirain, soalnya Sam sering mimpi berada di kehidupan kuno gitu. Sam nggak tau mau cerita ke siapa? Sam kira Tante bisa bantu."
"Oh iya?" tanya Nic seraya membesarkan matanya. Dadanya makin berdebar hebat. Mimpi? Apa remaja ini punya mimpi yang sama dengannya? Apalagi saat dia mengatakan mimpi berada di kehidupan kuno. Tidak, tidak mungkin sama. Nic bermimpi bercinta belum tentu di kehidupan kuno.
"Hem," jawab Sam diiringi anggukan.
Sepertinya dia tidak sia-sia mengejar Sam sampai ke kantor polisi begini. Apalagi jika berkaitan dengan mimpinya. Dia mengenal Sam tentunya berawal dari mimpi juga. "Memangnya ceritanya gimana?" tanya Nic penasaran.
"Sam lupa."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top