4. Ditangkap Polisi

Alif meninju wajah Sam sekali, tetapi Sam justru meninju wajah Alif berkali-kali sampai pertahanan Alif mulai melemah. Mereka sebenarnya bukan lawan yang sebanding mengingat wajah Alif yang makin memar di tangan Sam seorang diri.

Melihat temannya tak berdaya, Tegar turun ke arena perkelahian dan hendak meninju Sam. Namun, Sam lebih cepat bertindak dengan menendang paha Tegar. Tegar jatuh tersungkur maka datanglah anak lainnya mencoba menyerang Sam dengan kedok loyalitas.

Melihat semua itu, Rehan ikut turun membantu Sam yang akan dikeroyok. Rehan ikut meninju beberapa dari mereka. Namun, semua terlambat karena sirine polisi terdengar jelas. Perkelahian mereka justru mengundang jajaran kepolisian melerai mereka.

Teman-teman Alif berhamburan kabur, tetapi mereka terlambat karena personil Kepolisian Sektor Sungai Jernih lebih gerak cepat menangkap mereka. Mereka dinaikkan ke mobil pick up polisi yang di atasnya disediakan tempat duduk yang disusun saling bertolak belakang.

Sam, Rehan, Alif, Tegar, dan teman-teman setia  Alif lainnya dibawa ke kantor polisi karena perkelahian mereka. Sam tertunduk, remaja itu padahal sudah berjanji kepada emaknya untuk tidak berbuat keributan lagi. Karena memang sebelumnya, Sam selalu saja berbuat nakal. Entah itu membolos, cabut, berkelahi, tidak mengerjakan tugas, pesta semalam suntuk, atau nonton balap liar. Sedangkan menyakiti hati cewek, berkali-kali juga sudah Sam lakukan sejak SMP. Dia dengan enteng mendekati, memberi harapan, lalu pergi tanpa kepastian.

Tiga puluh enam jam kemudian, Sam tertunduk di balik jeruji besi bersama Rehan. Remaja itu terpaksa bengong di balik jeruji besi. Mereka memakai baju tahanan hingga 3 X 24 jam ke depan.

Pihak sekolah dan keluarga sudah mendatangi mereka. Ada yang merasa sedih, dan ada yang puas anaknya mendapat pelajaran seperti ini. Pelajaran di sekolah tidak pernah masuk di kepala mereka, mungkin saja pelajaran dari bapak polisi akan masuk di kepala mereka.

"Gara-gara kau, Lif. Anjing kau!" pekik Sam dari jerujinya yang mengarah ke jeruji sebelah. Jeruji mereka bersebelahan. Sam tidak disatukan dengan Alif, karena dikhawatirkan akan berkelahi lagi.

"Pantek ang Sam, Sam. Alun puas den ninju palo ang!" (3) balas Alif.

"Wak ang yang pantek, Anjing. Pengecut kayak kau sok nantangin berkelahi. Udah bawa lima pasukan, masih aja muka kau bonyok!" umpat Sam.

"Diam!"

Brang!!!!

Tiba-tiba seorang polisi memukul jeruji dengan pentungan di tangannya. Bunyi tersebut menghentikan debat antara Sam dan Alif. Sam mendekat ke jeruji besi dan mengenggam besi. Remaja itu merasa menyesal telah meladeni Alif.

Gara-gara Alif sekarang statusnya menjadi narapidana. Gara-gara meladeni Alif pula, di kelas nantinya dia akan punya nama baru -- Bang Napi yang singkatan dari narapidana. Untuk tiga hari ke depannya, Sam terpaksa harus tidur beralas tikar. Dia menyesal telah meladeni tantangan Alif.

Sam mendudukkan tubuhnya di tikar anyam sambil mengusap wajah gantengnya yang membiru di bagian pipi kiri. Remaja itu melihat temannya -- Rehan sudah tertidur. Hari ini pihak sekolah dan keluarga sudah mengunjunginya. Malam ini tak ada yang mengunjunginya lagi.

Terakhir Sam mengingat ucapan Ari, tetangga Sam saat berkunjung tadi. Meski Ari orang dewasa, tetapi Sam kerap bermain domino dan banyak belajar hidup dengan Ari.

"Sing sabar, Le. Masuk penjara kui tandane kowe duwe pelajaran hidup. Kowe pernah ngrasakne ademe penjara," tutur Ari. (4)

"Enggeh, Mas," jawab Sam dengan wajah tertunduk. (5)

"Seng penteng, isuk ojo kowe baleni maneh!" tukas Ari. (6)

"Enggeh, Mas."

Sam hanya mengatakan iya sambil mengangguk. Tetangganya itu dulunya tak jauh berbeda dengan dirinya. Ari dulu juga anak nakal, terlihat dari wajah garang dan tato di lengannya.

"Semangat, telong dino kuwi ora suwi, toh!" (7) tukas Ari sebelum meninggalkan Sam.

Mengingat ucapan Ari, Sam tersenyum simpul. Dia merebahkan tubuhnya di sebelah Rehan yang sudah mendengkur. Temannya itu sepertinya tidak banyak yang dipikirkannya. Sementara Sam, banyak yang dia pikirkan. Mulai dari tidak punya prestasi sekolah, uang jajan yang minim, uang sekolah yang belum dibayar, dan beberapa utangnya pada Rehan.

Sam mencoba beristirahat sambil menatap lampu kekuningan di dalam ruangan tahanan. Dirinya ingat beberapa mimpi-mimpi yang seperti berulang. Terakhir yang dia ingat adalah mimpi menjadi anak-anak di sebuah kerajaan. Malam ini entah mimpi apa lagi. Harapan Sam, malam ini dia memimpikan dirinya menjadi raja dengan bergelimang emas dan tahta. Sam tersenyum sebelum akhirnya dia tertidur lelap.

***

Seorang pemuda membuka matanya. Kepalanya sedikit pusing setelah semalam suntuk pesta dan meminum  tuak bersama prajurit lainnya. Pemuda itu membuka jendela kayu dan menatap ke luar ruangan tidurnya.

Udara terasa sejuk, sinar matahari menyinari pagi dengan lembut. Telinganya menangkap suara para wanita yang sibuk dengan lesung kayu yang nadanya bertalu-talu bergantian. Ayam jantan seperti berkokok dengan sengaja membangunkannya.

Pemuda itu menelan salivanya. Dia menatap kamar kayu yang tersusun rapi. Di dinding, pelita kecil masih setia meneranginya meski dirinya sudah bangun. Pemuda itu langsung tertidur setelah pesta semalaman hingga dia lupa melepas aksessori emas di lengannya dan aksesori melingkari kepalanya yang juga terbuat dari emas.

Segera dia melepas atribut yang menegaskan bahwa dia adalah pengabdi kerajaan. Dia sengaja menggerai rambut lurus pendeknya dan bersiap untuk mandi dan kembali ke istana untuk bekerja.

Namun saat baru saja dia melepas atribut, terdengar suara panggilan lembut dari luar jendela. "Kakanda."

Dada pemuda itu bergetar hebat mendengar suara pelan memanggil dirinya. Suara yang sangat dia kenal dan hampir setiap hari suara itu seolah membelai manja dirinya.

"Kakanda, Kakanda di dalam?" suara itu masih menggema lembut di telinganya.

"Siapa?" gumam pemuda itu.

Tak dijawab, yang dia dengar hanya cekikikan centil. Suara cekikikan itu justru memecut naluri lelakinya untuk segera mencari sumber suara.

Pemuda itu mendekati jendela. Netranya melihat tubuh molek berkulit eksotis dengan rambut tergerai panjang. Lengan gadis yang dia lihat terlihat kencang. Pinggulnya cukup besar hingga menampilkan aura sensual yang ingin dia dekap dari belakang.

"Kakanda, bersegeralah ke istana. Agar para pengabdi tidak lama menunggu Kakanda," ucap gadis itu memunggungi.

Penasaran, akhirnya pemuda itu mencoba keluar kamarnya melalui jendela dengan melompat. Dia mendarat tepat di belakang sang gadis yang membuatnya berdebar.

Pemuda itu rasanya tak sabar memeluk dari belakang. Dua langkah berikutnya benar saja, pemuda itu mencoba memeluk gadis itu. Sementara gadis itu mencoba membalas dengan meremas pelan lengan pemuda itu.

"Kakanda Gandrung. Dari mana saja engkau tuanku," ucap gadis yang wajahnya tak terlihat jelas.

"Gandrung?" ucap pemuda itu.

"Gandrung."

"Gandrung."

"Gandrung."

Panggilan itu menggema di telinga sang pemuda. Perlahan semua memudar. Mata pemuda itu kini terbuka dan di depannya adalah lampu bercahaya kuning. Tiba-tiba saja mulutnya bergetar. "Gandrung."

Pemuda tadi adalah Sam. Remaja enam belas tahun yang baru saja terbangun dari tidurnya. Kali ini Sam mengingat jelas perihal mimpinya itu.

"Gandrung," ucapnya sekali lagi.

"Ada apa, Sam?" tanya Rehan yang juga baru terjaga dari tidurnya.

"Enggak apa-apa, Han. Itu ada apa sih?" tanya Sam dengan kening berkerut karena baru saja terbangun dari tidur dan mimpinya. Telinga Sam mendengar obrolan antara polisi penjaga penjara dengan seorang wanita.

Sam merasa tak dikunjungi, dia kembali merebahkan tubuhnya dan memiringkan tubuhnya ke kiri membelakangi pintu jeruji.

"Apa yang ini, Kak?" ucap polisi yang didengar Sam.

"Bukan," jawab sang wanita.

"Yang itu?"

"Bukan juga."

"Oh, mungkin yang tidur itu yang kakak maksud. Sebab pelaku perkelahian hanya delapan orang. Tinggal satu tersisa, yaitu yang tidur itu, apa mungkin itu yang Kakak cari?" ucap polisi.

"Wajahnya tidak kelihatan, Pak," jawab si wanita.

"Biar saya bangunkan. Samuel Rizal, bangun!" panggil polisi dengan tegas.

Sam bangun dengan wajah malas. Sudut bibirnya dia tarik, rambutnya dia garuk. Lalu, dari balik jeruji  matanya mencoba melihat dengan jelas wajah  polisi dan wanita berseragam pemda di sebelah polisi.

Sam mencoba bangun dan berjalan ke arah pintu jeruji mendekat ke arah polisi dan wanita berseragam pemda itu. Mulanya Sam mengira kalau wanita itu adalah gurunya, tetapi ternyata bukan. Sam sama sekali belum pernah melihat wanita itu. Namun, entah mengapa dia merasa pernah kenal atau pernah melihatnya entah di mana.

"Yang ini?" tanya polisi pada wanita di sebelahnya.

"Iya, itu dia," jawab wanita itu yang sontak membuat Sam terbelalak dengan wajah menganga.

"Opo maneh iki? Salahku yo opo, to?" rutuk Sam. (8)


Terjemahan :

3. Pan*** kamu, Sam. Belum puas aku meninju kepala kamu (minang)

Pan*** (ucapan kasar biasanya dipakai untuk mengumpat dan memaki dalam bahasa minang)

4. Yang sabar, masuk penjara itu tandanya kamu punya pelajaran hidup. Kamu pernah merasakan dinginnya penjara (jawa)

5. Iya, Mas (jawa)

6. Yang penting besok jangan kamu ulangi lagi (jawa)

7. Semangat, tiga hari itu enggak lama (jawa)

8. Apa lagi ini? Salahku apa, sih? (Jawa)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top