33. Ternoda



Nic bersusah payah menahan tawa setelah mendengar cerita Arga menginap di rumah Amel. Nampaknya, ada kejadian aneh yang membuat pria tampan itu marah besar. Namun, pria yang jarang marah itu wajahnya terlihat lucu saat marah dan mengumpat.

"Kamu malah ketawa, Nic," gerutu Arga.

"Habisnya mukamu lucu kalau marah. Gak biasa marah ketika marah malah jadi lucu," komentar Nic dengan tawa pelan.

"Masa, sih?" ucap Arga sembari meraba pipinya yang memerah saat meluapkan emosi marahnya.

"Iya," jawab Nic masih tersenyum.

"Apa, aku harus marah terus biar kamu ketawa?"

Nic masih tertawa. "Enggak usah," ucapnya sambil melambaikan tangannya. "Lanjut ceritanya."

Arga kembali bercerita kalau dirinya terkepung hujan di rumah Amel sampai jam sebelas malam. Bahkan hujan berhenti saat pagi. Karena Arga hanya bawa motor terpaksa dia menginap di rumah Amel.

"Apa kalian cuma berdua aja di rumah Amel?"

"Enggak, kok. Ada orang tuanya sama adeknya," tukas Arga.

"Terus, di mana ngeselinnya?" tanya Nic setelah tawanya sedikit reda.

"Aku belom selesai cerita," dengkus Arga.

"Ya, udah. Lanjut."

"Jadi aku kan nginep nih, di kamar tamu. Aku pakai pakaian adeknya yang cowok itu. Sampai malam aku ngobrol sama orang tuanya. Karena aku ngantuk aku mutusin untuk tidur. Aku lupa ngunci pintu kamar," papar Arga.

"Terus, kenapa? Apa ada barang-barangmu yang hilang?"

Arga menggeleng. "Bukan."

"Lantas?"

"Waktu aku bangun mau salat subuh. Aku kaget banget."

"Lho, kenapa, Ga?" tanya Nic penasaran.

"Aku kaget karena waktu bangun tiba-tiba Amel di sebelahku. Dia meluk aku."

Nic makin terpingkal-pingkal setelah mendengar cerita Arga. Mendadak Amel sudah ada di sebelahnya. "Kapan dia masuk?"

Arga menggeleng. "Nggak tahu."

"Dia tidur di sebelahmu?"

"Kayaknya enggak, dia bangun sebelum subuh. Kayaknya dia udah ngerayangi aku. Waktu aku bangun mukanya dekat banget tangannya udah ada di dadaku."

Nic tertawa kembali. Arga wajahnya tampak kecewa sekali. Lalu Arga melanjutkan cerita kalau dia ingin berteriak tetapi justru takut kalau dia yang dituduh macam-macam sama Amel. Akhirnya pria itu diam saja.

"Mel, ngapain kamu di sini?"

"Pengen di sebelahmu aja," jawab Amel saat itu.

"Tolong keluar dari kamar ini, Mel," umpat Arga. "Atau aku berteriak?"

"Loh, ini kan rumahku. Kalau kamu teriak aku bakalan teriak juga dan bilang kalau kita udah macem-macem tadi," jawab Amel santai.

Akhirnya Arga diam dan mengembuskan napas pelan. "Ya udah, minggir. Aku mau sholat dulu."

"Semoga dia enggak aneh-aneh," ucap Nic bersimpati.

"Aku enggak tahu apa yang dia lakuin. Sebab aku tidur pulas banget," ucap Arga tertunduk. "Aku ngerasa udah ternoda."

Ucapan ternoda Arga telah kembali membuat Nic tertawa pelan. "Yang tepat ngomong ternoda itu cewek, Ga."

Arga mengaduk jusnya. "Sama aja Nic. Laki-laki bisa ternoda juga. Dia entah ngapain, aku enggak tahu. Aku beneran kesal banget."

"Apa dia gak takut kalau kamu cerita ke orang," komentar Nic.

"Yang ada dia malah seneng. Lalu, mutar balik cerita kalau aku yang gerayangi dia. Kamu kayak enggak tahu siapa dia aja. Bentar lagi akan ada gosip yang menggemparkan di kantor," papar Arga.

"Itu cara dia buat pamer ke teman-temannya. Seolah kamu tuh juga suka sama dia," lanjut Nic.

"Aku malu banget, mulai besok ruanganku akan kukunci setiap saat. Biar dia gak seenaknya masuk lagi," ungkapnya.

"Jadi, selama ini dia suka seenaknya masuk?"

Arga menanggapi dengan wajah datar sembari menelan saliva. Cerita Arga justru membuat Nic tersenyum kecut. Hari ini Arga telah membuatnya tertawa. Setelah sebelumnya dia mengenal Arga yang serius dan romantis, kini kemarahan Arga membuatnya tertawa. Pria tampan itu memang jarang marah.

"Nic."

"Ga."

Nic dan Arga berbarengan saling memanggil. Mendadak Arga merasa canggung. "Kamu dulu, deh."

"Kamu aja," sambung Nic.

"Kamu."

"Kamu."

"Ladies first," ucap Arga serius.

Suara Arga terdengar agak tegas. Kemarahannya pada Amel membuatnya menjadi tegas. Dia seperti tampak emosional. Pria itu menyeruput jus alpokat menunggu respon dari Nic.

"Kamu kok enggak cerita kalau kamu ...."

Arga mendongak menjeda seruput jus alpokatnya. "Kenapa, Nic."

"Enggak jadi," ucap Nic tidak enak. Wanita muda itu memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Jangan gitu, dong. Kamu bikin penasaran aja. Aku serius, nih. Cuma, kamu aja yang enggak mau diseriusin," tukas Arga.

"Ha, diseriusin?"

"Iya, aku mau ngajakin kamu serius," ucap Arga.

"Maksudnya?" Nic terbelalak. Dia paham gurauan Arga ngajak serius. Artinya Arga mengajaknya menikah. Oh, tidak.

"Enggak, lupain aja. Kamu lanjut aja tadi kamu mau bilang apa," ucap Arga buru-buru.

"Kamu kok enggak cerita kalau kamu itu keturunan Pancapura. Padahal kamu tahu kalau aku butuh banget info tentang kerajaan Pancapura. Malahan aku tahu dari Sam."

Arga melotot. "Bentar, aduh. Bukannya aku enggak cerita, tapi."

"Aku pernah dengar dari orang. Tapi Sam justru denger dari kamu langsung," sesal Nic.

Arga meraih tangan Nic dan meremasnya pelan. Pria itu takut kalau Nic kecewa. "Nic, bukan gitu. Aku tuh cuma tahu kalau aku keturunan kerajaan Pancapura. Tapi gimana sejarah Pancapura aku enggak pernah nanya ke Papa atau Kakek. Aku cuma tahu gitu aja, aku keturunan ke berapa bahkan aku enggak kepo."

Pertimbangkan Om Arga.

Ucapan Sam di surat bergetar di hati Nic. Ucapan lelaki yang dia cintai yang meminta mempertimbangkan pria lain. Nic dan Sam sadar kalau mereka sulit untuk bersama. Mengingat akan mempertimbangkan Arga. Nic tidak menarik tangannya, dia membiarkan tangan Arga menyentuhnya bahkan meremas pelan.

"Aku sedikit kecewa, aku maunya kamu dari dulu bilang. Waktu aku sibuk-sibuk ngurus benda peninggalan Pancapura. Lagian, pantes orang situ rela jual tanahnya buat kamu. Secara tanah itu punya nenek moyang kamu," papar Nic kecewa.

Arga kembali meremas pelan tangan Nic. "Nic, please. Maafin aku. Aku tahu aku salah, Nic. Tapi beneran aku enggak terlalu mempedulikan status atau garis keturunanku."

Nic masih membiarkan tangan Arga meremas pelan tangannya. Wanita itu hanya tertunduk dan mengembuskan napas pelan.

Arga menatap Nic lembut. "Kamu lihat, aku tetap jadi PNS meski kamu tahu kalau usaha papaku banyak, dan kebun papaku luas banget. Aku enggak pernah banggain kekayaan orang tuaku. Itu Artinya, aku enggak terlalu ingin tahu banyak."

Nic tak menatap Arga. Wanita itu diam saja dan mengangguk. Sebenarnya sudah diterawang Mas Ari, dan terawangan Mas Ari seratus persen benar adanya. Kali ini pria ini benar-benar mengakuinya. Arga juga harus membuktikannya dengan menarik pedang yang tertancap selama ratusan tahun di daerah Koto Tuo. Keberadaan dan hasil kerja Mas Ari tetap menjadi rahasia. Arga tak boleh tahu.

"Nic, sorry."

Ucapan lembut Arga membuyarkan lamunannya. Nic mendongak dan mencoba mengangguk dan tersenyum manis. Baru kali ini wanita itu tersenyum dengan senyuman dan sedikit berbeda dari biasanya.

Senyuman Nic direspon Arga dengan wajah semeringah. Lalu, wanita itu pelan-pelan menarik tangannya dari tangan Arga yang masih menyentuhnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top