21. Seruni
Nic melanjutkan mengawasi penggalian. Sesekali wanita ini mencatat dan membuat sketsa penemuannya. Salah satu penemuannya adalah prasasti yang nantinya akan dia serahkan pada profesor Purwacaraka untuk diteliti lebih lanjut.
Belum Banyak jurnal tentang kerajaan Pancapura. Menurut salah satu jurnal, Kerajaan Pancapura adalah kerajaan kecil bagian dari Daniswara yang wilayahnya menbentang di Nusantara kala itu. Sementara kerajaan Pancapura berada di dalam Daniswara tepatnya di tanah Swarnabumi atau saat ini bernama pulau Sumatera.
Nic mencatat segala hal penemuannya. Dia akan menggabungkan dengan jurnal dari peneliti beberapa universitas besar. Salah satu jurnal yang terkenal berjudul Tamu dari Yawadwipa. Yang berarti tamu dari pulau Jawa.
Nic melanjutkan temuannya dan mencatatnya di kertas. Tamu dari Yawadwipa adalah sebuah kunjungan dari kerajaan besar Daniswara. Menurut jurnal, mereka mengirimkan beberapa utusan dan beberapa orang dari kasta sudra untuk dipekerjakan.
Saat itu, Pancapura menyambutnya di pendopo kerajaan yang berlokasi di dekat sungai. Pancapura bahkan mendapat hadiah dari kerajaan Daniswara berupa Arca yang berbentuk raja Pancapura.
Nic merekap catatan dan mengumpulkan semua penemuan yang berupa cawan tembaga, yang besar kemungkinan digunakan untuk minum. Dia mencoba mengaitkan antara cawan itu dengan sebuah perayaan.
"Bisa bicara sebentar, Nic?" Suara Arga menghentikan konsentrasinya.
Wanita itu menoleh ke Arga dan menutup catatan serta menyelipkan pena ke saku rompinya.
"Ada apa, Ga?" ucap Nic. "Ngomong aja di sini, enggak apa-apa."
Arga mengembuskan napas pelan. Tampaknya pria itu ingin berbicara tetapi dia agak ragu. "Em ...."
Nic sedikit menunduk sambil menatap mata Arga yang menatap tanah. "Iya?"
"Kamu ada hubungan apa sama Dek Sam?" tanya Arga ragu. Setelah bertanya wajah Arga terlihat lega. Pertanyaan ini sepertinya sejak tadi dia simpan. Sejak dia duduk bersama Sam.
"Kamu nanya, Ga?"
"Iya, aku serius nanya."
Nic memeluk papan penjepit kertas yang sejak tadi dia pakai untuk mencatat dan membuat sketsa. Wanita itu mengembuskan napasnya. Menurutnya pertanyaan Arga sangat tidak penting. Namun, mungkin karena interaksinya dengan Sam dan tatapan lembut matanya, sepertinya Arga menilainya agak berbeda. Selama berinteraksi dengan Sam, ternyata Arga memperhatikannya.
"Pertanyaanmu kayaknya kurang penting, Ga," jawab Nic singkat.
"Buatku penting, baik kamu ataupun dia sepertinya tidak memberikan penjelasan. Kalian kenal di mana?"
"Ya ampun, Ga. Memangnya kenapa sama anak itu? He just a boy."
"But your smile, your eyes?"
Nic makin mengembuskan napasnya. Dia tidak akan memberitahukan kalau remaja itu adalah pria yang membuatnya jatuh cinta. Berkali-kali jatuh cinta, tetapi dengan Sam lah dia merasa cinta itu memang ada.
"Enggak lucu kalau kamu iri sama anak-anak," jawab Nic.
"Lebih enggak lucu lagi kalau jatuh cinta sama anak-anak," sambung Arga.
Nic tersenyum getir. Apapun yang terjadi, dia tidak akan mengaku pada siapa pun atas perasaanya terhadap Sam yang memang unik. Dia memilih konsisten dengan jawabannya pada Amel. Agar antara dia dan Sam tidak menjadi gosip di kantor.
"Sam keponakan temanku yang pernah pelatihan bareng. Aku udah cukup lama kenal dan ngobrol. Sekarang gimana?"
Sekarang giliran Arga tersenyum dan mengelus dagunya. Pria itu lantas menatap Nic. "Aku iri sama Dek Sam."
Nic menatap Arga dan menahan tawa. "Udah lah, Ga. Dia anak-anak, kamu tahu kalau dunia anak-anak menyenangkan."
Nic membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan Arga. Namun, tangan Nic ditahan Arga. Nic langsung menoleh.
"Dia anak-anak yang seksi dan ganteng," tukas Arga.
"Dia anak kampung, Ga. Mungkin selain sekolah dia membantu keluarga. Kamu tahu kalau seperti itu membuat anak-anak jadi cepat dewasa. Berbeda dengan kita yang selama sekolah dipaksa belajar? Kita enggak akan tahu besarnya memikul tanggung jawab keluarga?" Jawab Nic diplomatis.
Arga mengembuskan napas. "Kamu benar, Nic. Tadi dia juga cerita seperti itu."
Nic menepuk pelan lengan Arga dan tersenyum simpul. "Aku lanjut kerja, ya."
"Apa maksud kamu menggandeng tangan anak itu?" Arga memang benar-benar cemburu dengan Sam. Keromantisan antara dirinya dengan Sam sepertinya tampak jelas di mata Arga.
Nic menelan saliva, benar tadi dia menggandeng tangan Sam, tetapi itu reflek. Dia hanya manarik Sam untuk menjauh dari Amel yang sepertinya memang mengintimidasi Sam.
"Aku cuma menarik tangan anak di bawah umur untuk menjauh dari Amel dan dari kamu yang kurasa mau ngepoin dia," ucap Nic.
Arga berkata . "Aku cuma ngerasa, kalau aku seperti mengenalnya."
Nic mengembuskan napas pelan, sebab yang dialami Arga sama seperti yang dialami dirinya. Apa benar mereka saling terhubung di masa lalu.
"Nic," panggil Arga.
"Iya," jawab Nic.
"Maafin, aku tadi. Aku cuma ...."
"Tante, Om," tiba-tiba Sam datang dengan napas terenggah-enggah.
Nic dan Arga serempak menoleh pada Sam yang membungkuk memegangi lututnya.
"Sam, kamu dari mana?" tanya Nic khawatir.
"Sam, tadi, tadi. Nyari bunga ini buat Tante," ucap Sam seraya menberikan seikat bunga kecil yang masih sebangsa dengan rumput.
"Ini bunga seruni," ucap Nic memandangi bunga yang diberikan Sam.
"Iya, cuma ini yang bisa Sam kasih. Tapi bunganya cantik seperti Tante," tImpal Sam.
Nic tersenyum. "Makasih, ya." Setelah mengucapkan terima kasih, wanita itu menoleh pada Arga yang diam dan tidak berkomentar.
***
Dari kejauhan, Ari melihat interaksi tiga orang tersebut. Pria itu menarik kedua sudut bibirnya. Dia telah menerawang Nic sebelumnya, bahkan Arga. Pria itu mencoba menuliskan hasil terawangannya tentang Nicole. Jauh saat ratusan tahun sebelumnya, gadis kasta sudra itu tampaknya jatuh cinta dengan sang senopati.
Nawang, begitu yang diingat Ari. Gadis muda itu berjongkok dan memetik bunga seruni yang tumbuh subur di pinggir sungai. Senyumnya merekah indah saat bunga kecil berwarna kuning itu dia petik.
Sesosok pria berbadan tegap yang memanggilnya nyisanak beberapa hari yang lalu telah menyita perhatiannya dan berhari-hari mengisi pikirannya.
Seutas senyum selalu tersungging di bibir manisnya.
"Hei, Nyisanak!" suara yang terdengar bagi kebanyakan orang adalah teguran, bagi indera pendengarannya justru terdengar sangat indah dan merdu.
Dia sangat menyesal saat pria tegap itu menegurnya dia justru kabur karena ketakutannya. Tak bisa berkata apa-apa, tetapi saat dirinya menoleh dia tahu betul pria itu sangatlah tampan. Bahkan wajahnya tak bisa dia lupakan.
"Siapakah gerangan engkau, wahai pangeran. Apakah engkau pangeran tanah Swarnabumi? Apakah engkau penguasa Pancapura?" ucapnya dalam hati.
Diperjalanan menuju pandepokan tempat dia menginap dan bekerja, gadis itu bertemu dengan Anandya, temannya sesama penari.
"Ssst, Anandya," panggil Nawang.
Anandya yang saat itu menjemur kainnya menoleh dan segera menghampiri Nawang.
"Kau dari mana?"
"Oh, aku hanya melihat-lihat sungai."
"Kau jangan terlalu jauh, sebab di bagian hulu sungai itu kita tak diperkenankan ke sana. Itu tanah kerajaan dan mereka sering bermeditasi di sana," terang Anandya.
Nawang mengangguk dan tersenyum. "Baiklah. Oh, iya. Anindya, apakah aku boleh bertanya kepada engkau?"
"Apakah itu?"
"Barang kali engkau mengenalinya. Apa pria tegap, berkulit hitam manis, berwajah tampan itu adalah salah satu pangeran Pancapura?"
Anandya mengerutkan keningnya dan menggaruk rambutnya. Gadis itu sepertinya berpikir dan mencoba mengenali pria yang dimaksud Nawang.
"Tempo hari aq melihatnya, ada hiasan emas di keningnya, lalu dia berpakaian hitam, lehernya berkalung emas," cerita Nawang.
"Jika pria tampan itu berkulit sedikit gelap, maka pria itu adalah Gandrung Ganindra. Sang Senopati kerajaan," papar Anindya.
"Bukankah itu nama yang indah seindah pemiliknya?"
Anindya melotot dan mendekatkan tubuhnya pada Nawang. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan tidak ada yang mendengar percakapan Nawang dan dirinya.
"Kau jatuh cinta padanya?"
Nawang mengangguk.
"Ssst, jangan sampai orang lain tahu. Engkau simpan cukup dalam hati saja. Sebab Nyi Damar Asih juga sangat menganguminya sejak dulu," ucap Anindya pelan.
Nyi Damar Asih adalah majikan mereka. Wanita itu pemilik pandepokan seni yang memberikan mereka pekerjaan sebagai penari.
"Bukankan pria itu terlalu muda bagi Nyai?"
"Ssst, tidak ada batasan usia bagi Nyai, mengerti," bisik Anandya yang setelahnya diangguki Nawang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top