2. Senopati Gandrung Ganindra
6 Jam sebelumnya
Dua anak kecil berusia kira-kira enam tahun sedang bermain perang-perangan. Senjata mereka terbuat dari kayu yang dibentuk seperti pedang dan gada (1). Bocah yang memegang pedang bernama Dresta Yumna, putra tunggal raja Drupada penguasa Pancapura. Raja pancala baru memiliki putra kala berusia lima puluh tahun. Sebelumnya, raja hanya memiliki seorang anak perempuan yang bernama Srikandi.
Dresta Yumna memiliki adik yang bernama Drupadi. Raja Drupada sangat menyayangi Dresta Yumna hingga dia mengizinkan Dresta Yumna bermain dengan siapa saja. Dresta Yumna bersahabat dengan salah satu putera pengabdi kerajaan yang bernama Gandrung Ganindra. Meski ayah Gandrung bukan raja atau pangeran, tetapi Gandrung berada di kasta ksatria.
"Andung, nanti jika kau sudah besar kau jadi senopati, ya," ucap Dresta Yumna seraya memukulkan pedang kayunya pada gada milik Gandrung.
"Apa itu senopati, Pangeran?" tanya Gandrung menahan pukulan pedang Dresta Yumna di gada miliknya.
"Yang lindungi raja," tandas Dresta Yumna.
"Baiklah, Yang Mulia," jawab Gandrung.
"Kau sakti dan hebat seperti Bima dari Hastinapura," puji Dresta Yumna.
"Amba suka, Pangeran Bima. Kelak jika amba sudah besar, amba akan jadi muridnya," sambung Gandrung dengan ucapan terbata-bata.
"Yang Mulia, Ibu Ratu meminta Yang Mulia untuk segera makan," ucap dayang istana yang mengasuh Dresta Yumna.
Dresta Yumna menoleh dan menghentikan permainannya."Aku masih ingin di sini, Dayang," tolak Dresta Yumna menggelengkan kepala.
Dayang muda itu menghela napas pelan. Memang butuh kesabaran mengurusi anak-anak. Terlebih anak seorang raja. Berkali-kali dayang itu ditolak mentah-mentah setiap mengajak makan atau memintanya mandi. Kembali wanita paruh baya itu tersenyum penuh kesabaran.
"Setelah menemui Ibu Ratu, Yang Mulia boleh bercengkrama dengan Tuan Muda Gandrung," bujuk Dayang tersebut.
Gandrung menunduk dan menyimak percakapan antara sang putra mahkota dan dayang istana tersebut. Anak kecil itu telah lama bersahabat dengan sang putra mahkota. Sejak kecil Dresta Yumna sering melihat Gandrung, hingga dia merasa cocok bermain dengan Gandrung dibanding bermain dengan pangeran lainnya.
"Yang Mulia, Yang Mulia boleh menemui baginda Ratu. Aku janji, aku menunggu di sini," bujuk Gandrung sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya, menandakan anak kecil itu menghormati sang putra mahkota meski mereka seumuran.
"Kau janji ya, Andung. Kalau tidak, ayahku bisa marah dan menghukummu," sambung Dresta Yumna.
"Baik, Yang Mulia," timpal Gandrung menunduk dan masih mengatupkan kedua tangannya.
"Kau tunggu di sini," pungkas Dresta Yumna.
"Gandrung, kemari lah, Nak."
Gandrung menoleh pada suara panggilan wanita yang memanggilnya.
"ibu," gumam Gandrung pelan.
***
"Sam, Sam! Tangio! Sekulah, Sam. Sekulah!" suara emak Sam membangunkan Sam yang tengah bermimpi menjadi anak kecil.
"Ibu," jawab Sam pelan.
"Ibu?" Emak Sam mengerutkan kening. Wanita berusia lima puluh tahun lebih itu merasa heran karena puteranya tiba-tiba memanggilnya ibu.
Sam mengucek matanya. Kepalanya terasa berat karena remaja pria itu baru pulang pukul dua dini hari dari sebuah pesta pernikahan kampung. "Gurunya rapat, Mak. Sam mau lanjut tidur dulu. Kepalaku nyut-nyutan, Mak."
Emak merasa emosi, akhirnya Emak menarik kaki Sam."Lha kamu, anak sekolah kok kelayapan. Emak gak mau tau. Kamu harus sekolah. Kemaren ada panggilan orang tua, masa mau dipanggil lagi. Malu-maluin keluarga kowe ini," cecar Emak.
Sam bergeming, masih memejamkan mata. Rupanya, remaja itu tertidur lagi. Bibirnya mengerucut mempertegas rambut halus yang belakangan ini tumbuh subur di antara hidung dan bibirnya.
"Sam!!!!" pekik Emak sebelum pergi meninggalkan dirinya di kamar.
Sam terkejut. "Iyo, iyo, iyo, iyo."
Sam langsung mendudukkan tubuhnya dan meregangkan otot pinggang dan lehernya. Langsung Sam berlari ke kamar mandi untuk buang air kecil dan cuci muka.
Beberapa menit kemudian, Sam kembali ke kamarnya mengganti kaos hitam dan celana denimnya dengan seragam sekolah. Seperti yang sudah-sudah, Sam berangkat ke sekolah tanpa mandi dan menggosok gigi. Aroma rokok dan kopi pesta semalam masih setia di mulutnya. Sam tidak peduli itu, bahkan Sam tidak peduli kalau aroma itu bercampur dengan aroma mulutnya saat bangun tidur.
Dengan tergesa-gesa, Sam mengambil tas pinggang miliknya yang tergantung di pintu kamarnya. Tas pinggang itu dia pasang miring seperti tas selempang. Kancing baju di bagian krah sengaja dia buka untuk memamerkan lehernya dan kalung tali hitamnya. Seperti hari-hari biasanya, kemeja sekolahnya tidak dia masukkan ke pinggang celana abu-abunya.
Di sekolah, Sam tidak benar-benar belajar. Tas pinggang yang dia jadikan tas sekolah itu, hanya berisikan satu buku tulis dan satu pena. Pena satu-satunya itu pun bahkan sering hilang karena dipinjam-pinjam. Pada akhirnya, Sam tidak pernah mencatat pelajaran. Dia hanya pura-pura menyimak, lalu saat keluar kelas semua pelajaran yang dia terima hilang seketika.
"Mak, Sam berangkat dulu," Pamit Sam.
Emak yang sudah biasa melihat pemandangan seperti itu, tak pernah bosan berkomentar yang sama setiap hari. "Kowe ke sekolah, nggak mandi?"
"Males aku, Mak. Aku udah ganteng juga dari sononya," jawab Sam sambil merapikan rambut lurusnya di depan kaca lemari kayu klasik di dekat ruang makan.
"Wes, Emboh!" jawab Emak malas.
Sam langsung mencium tangan emaknya dan langsung berangkat dengan motor Mega-Pro miliknya.
***
Sampai di sekolah, ternyata sekolah masih sepi. Sam menggaruk kepalanya dan memajukan bibirnya. Teman sekelasnya belum banyak yang datang.
"Gara-gara Emak, nih. Belom apa-apa udah dipaksa ke sekolah," gumam Sam.
Sam melihat jam di dinding kelasnya. Dia berencana untuk menyambung tidur dengan merebahkan badan dan kepalanya di meja sekolah sambil menunggu Rehan datang.
"Bel masuk setengah jam lagi, sambung tidur lagi, lah. Siapa tahu aku mimpi jadi orang kaya." Beberapa detik kemudian, Sam tertidur di meja kelasnya. Dia memang selalu cepat jika berniat untuk tidur, apalagi di kelas masih sepi karena belum semua siswa memasuki kelas
Brakkk!!!
Sam mendadak terkejut dan terbangun dari tidur sejenaknya. Beberapa siswa berlarian keluar karena ketakutan dan ada beberapa yang justru mengkhawatirkan Sam yang terkejut. Rehan, mendekat ke meja Sam. Rehan khawatir pada sahabatnya itu.
"Ngapain kau tiba-tiba ngamuk, Lif!" protes Rehan.
Keributan pagi-pagi di sekolah itu, membuat Banyak siswa mengerumuni Sam yang bangun tidur dan Alif yang sudah berdiri di depan Sam setelah menendang meja yang disandari Sam.
"Kau, ya. Kau yang ngasih tahu Buk Mega kalau aku cabut!" umpat Alif dan menunjuk wajah tak bersalah Sam.
Sam mengusap wajahnya. Matanya masih mengantuk. "Kalau iya, kenapa? Kau kan memang cabut. Habis Buk Mega ngabsen, ditinggal bentar, kau kabur, Lif!"
"Kau berani sama aku, ya?"
"Lantas kemaren kalau kubilang gak cabut, aku kudu bilang apa? Kau sakit?"tandas Sam. "Kau mau sakit beneran?"
"Jangan kurang ajar kau, ya! Kau orang miskin nggosah belagu!" cecar Alif.
"Tutup mulutmu, Lif!" Rehan ikut panas. Dia menunjuk wajah Alif.
Sam menurunkan pelan tangan Rehan, sahabat barunya. "Nakal boleh, Bos. Kurang ajar jangan!" umpatnya pada Alif.
"Anjing, kau, Sam! Kau juga yang lindungi Diki yang ngasih alamat rumahku!" timpal Alif. "Gara-gara kau, Dik. Kepala sekolah jadi tau rumahku!"
Diki terlihat ketakutan, siswa itu bersembunyi di punggung Sam. "Kenapa? Masalah buat Kau! Hah? Kau ninju anak SMA 2 tanpa sebab. Kau ninju anak yang badannya lebih kecil dari kau! Ganti celana kau sama rok!" sambung Sam.
Alif terlihat emosi, siswa itu mengepalkan tinjunya hampir meninju Sam. Namun, teman-temannya menarik tubuh Alif hingga Alif mundur.
"Lif, Lif, jangan, Lif. Ini lingkungan sekolah. Kalau kau bertinju, kau dikeluarin! Masalah kau udah banyak," tahan Tegar.
"Awas kau, Sam. Kutunggu kau di lapangan. Kita berkelahi!" tantang Alif.
Sam menatap Alif santai. "Boleh, satu lawan satu. Anak buah kau cuma boleh nonton. Rehan juga cuma nonton. Kalau kau melanggar kesepakatan. Aku gak segan-segan bales dendam!"
"Oke!"
Saat istirahat siang, Sam berjalan santai bersama Rehan. Remaja itu berjalan melewati jalan utama menuju lapangan. Dia sangat percaya diri hanya membawa Rehan. Sementara Diki, tidak dia ajak. Dia takut jika rombongan Alif justru akan menganiaya Diki.
Sam dan rehan menyeberangi zebracross tanpa melihat kiri kanan. Dia tak sadar, di dalam sebuah mobil ada sepasang mata yang menatapnya dengan dada berdebar-debar. "Itu dia!"
Keterangan :
1. Gada : senjata khas zaman kerajaan kuna. Bentuknya seperti tongkat kasti tapi ujungnya menggembung bulat, ada juga yg ujungnya seperti palu. Senjata ini bukan senjata tajam lebih ke senjata tumpul untuk memukul lawan. Tokoh pewayangan yang memakai senjata ini adalah Bima dan Duryudhana.
Hello gaes, terima kasih masih setia. Pasti kagat lah ya. Knp ada anak SMA di part ini. Eits tenang ya, meski ini cerita dewasa, Sam tidak terlibat adegan nganu. Tenang aja, ya. Hihihi ... Dia hanya pembuka dan penyambung mimpi-mimpi Nicole.
Sementara itu dulu, teman-teman.Masih butuh masukan di bagian zaman dahulu kala, silakan di kolom komentar ya teman-teman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top