12. Searah
"Arga bukannya kamu udah pulang?" tanya Nic.
"Udah, sih tapi aku balik lagi. Berkas-berkas untuk ekskavasi besok belum ku-proffread. Rencananya aku mau lanjutin di rumah," ucap Arga.
"Oh," jawab Nic dan Fanny bersamaan.
Berhubung beberapa saat yang lalu Nic dan Fanny membicarakan Amelia, Nic merasa tak enak saja jika obrolan mereka didengar Arga. Arga mungkin tidak akan menyampaikan pada Amelia. Namun, Nic merasa tidak enak jika obrolannya diketauhi Arga. Apalagi tadi Nic sempat membicarakan Amel dan mengatakan Amel sok kaya.
Mengingat semua itu Nic menunduk dan berdeham. "Ekhem."
"Maaf, Pak Arga. Saya jadi enggak enak. Apa Pak Arga dari tadi di sini? Mungkin ada yang perlu saya bantu untuk keperluan besok?" tanya Fanny ragu-ragu. Gadis itu paham dengan suasana seperti ini.
Arga menoleh ke arah Fanny yang berdiri di sebelah Nic. Sebelumnya pria itu menatap Nic cukup lama semenjak dia memasuki ruangan kerja. "Tadi seharusnya saya langsung ke ruangan, tapi mendengar suara kalian saya pustuskan mampir dulu. Berhubung ini sudah malam, gimana kalian pulang?" tanya Arga.
"Kebetulan mobilku masih di bengkel, Ga. Jadi Fanny anterin aku," jawab Nic.
"Wah, kasian Fanny kalau nganterin kamu. Kalian kan nggak searah. Gimana kalau kamu kuanterin aja? Kebetulan kita searah," tawar Arga.
Nic dan Fanny saling berpandangan sebelum akhirnya Nic menatap Arga. "Tapi, tapi rumahku jauh dari rumahmu, Ga. Apa nggak muter jadinya," tukas Nic.
Enggak apa-apa. Daripada Fanny gak searah malah lebih muter lagi," sanggah Arga.
"Oh, kalau itu enggak apa-apa, Pak. Saya udah biasa nganterin Kak Nicole. Kak Nicole juga udah sering nganterin saya," pungkas Fanny.
"Wah, pada belum pulang, ya?"
Suara seorang wanita mendadak menghentikan perdebatan kecil antara mereka. Secara spontan Arga, Nic, dan Fanny menoleh ke atah sumber suara yaitu di pintu masuk ruangan kerja Nic yang terbuka. Mata mereka melihat Amelia yang sudah berdiri sambil bersedekap dengan menyandarkan tubuhnya di daun pintu yang menyandar di dinding.
Nic dan Fanny sangat terkejut karena wujud orang yang mereka bicarakan ada di hadapannya. Jelas mereka langsung saling berpandangan karena tadi sempat mempergunjingkan wanita itu.
"Bu Amel belum pulang?" tanya Arga.
"Belum," jawab Amel singkat.
"Tadi kayaknya, kantor udah kosong, Kak," tukas Fanny.
"Iya, barusan aku baru baru pulang dari rumah Bu Winda. Tadinya Bu winda mau antar aku, tapi bayinya menangis. Pengasuhnya menelepon, akhirnya kuputuskan turun di kantor. Rencana mau naik taksi daring, tapi ada mobil Fanny," cerita Amel.
"Oh, Kakak mau sekalian kuantarin pulang?" tawar Fanny.
"Tadinya, tapi kalau ada Pak Arga. Aku sama Pak Arga aja deh. Boleh kan? Lagian kita searah?"
Nic memilih duduk di bangku belakang mobil sedan Arga. Sementara Amel dengan penuh kebahagiaan memilih duduk di depan di sebelah Arga. Sesekali saat Nic melihat kaca spion belakang matanya menangkap Amel yang juga sesekali memperhatikannya melalui kaca spion tengah itu. Nic paham jika Amel merasa Nic adalah saingannya dalam mengambil hati Arga.
Amel tidak tahu kalau Nic pernah makan malam dengan Arga. Jika wanita muda itu tahu dia pasti akan sedih dan bercerita dengan geng julidnya seolah Nic merebut Arga darinya. Di kantor apapun akan dilakukan oleh wanita ambisius itu termasuk mendapatkan hati Arga yang kaya raya itu.
Sesekali Amel mengajak ngobrol Arga dan dibalas Arga seadanya. Sudah rahasia umum jika Amel memang menyukai pria itu. Beberapa orang kantor menganggap Amel menyukai Arga setelah tahu kalau pria itu kaya raya. Dia kadang berusaha mengambil perhatian yang kadang sedikit diabaikan Arga.
"Pak Arga, kegiatannya malam minggu apa?" tanya Amel berusaha mencairkan suasana.
Dari bangku belakang, Nic yang tadi sempat melamun akhirnya mencoba mengikuti dialog hambar antara Amel dan Arga. Wanita itu menatap Arga dan Amel yang berada di bangku depan.
"Biasa, sih. Paling saya browsing, kadang ngumpul sama teman-teman, kadang main game," jawab Arga dengan fokus menyetir. "Memangnya kenapa, Bu Amel."
"Enggak nanya aja, sih. Soalnya saya belum pernah lihat Bapak jalan dengan wanita," tukas Amel.
Arga langsung mendeham. "Ekhem,"
"Iya kan, Kak Nicole?" tanya Amel sambil menghadap ke belakang. Wanita itu tiba-tiba meminta pendapat Nicole yang jelas pernah mencoba kencan dengan Arga.
"Eh, iya," jawab Nicole.
"Aku juga belom pernah lihat Kak Nicole jalan sama cowok. Padahal seharusnya diantara kita tuh, Kak Nicole sebagai pembuka para lajang untuk mengakhiri masa lajang," cecar Amelia.
"Kalau kamu mau duluan, sih enggak apa-apa Mel. Kalau buat menikah enggak perlu nunggu siapa yang dulu, enggak perlu nunggu siapa yang lebih tua,"jawab Nic diplomatis.
"Aku? duluan? Duh, Kak. Pacar aja aku enggak punya, loh," sambung Amel seraya menoleh ke Arga.
Nic paham dengan arah ucapan Amel. Wanita itu seperti memberi isyarat pada Arga untuk sekadar mempromosikan dirinya, kalau dirinya jomlo. Nic tahu kalau Amel sudah cukup lama sendiri. Bukan karena tidak laku, Amel tentu saja laku jika dia tidak memilih-milih atau membuat standar pria kaya yang harus bersamanya kelak.
"Kebetulan Mel, Pak Arga juga masih sendiri," canda Nic tiba-tiba.
"Hem!" timpal Arga dengan nada pura-pura marah.
Melihat respon Arga, Nic mengulum senyumnya. Kencan di Aura kafe tempo hari telah memperjelas bahwa Arga tentu saja menyukai wanita lulusan S3 itu. Mereka tentu sama-sama cantik, tetapi sepertinya Arga lebih menyukai pribadi Nic.
"Bukannya Bu Amel sudah punya pacar?" Arga mencoba berbicara setelah dirinya dipojokkan dengan candaan Nic tadi.
Arga merasa kurang akrab dengan Amel. Pria itu memanggil Amel dengan sapaan formal layaknya di kantor. Sementara dengan Nic dia merasa cukup akrab karena sering berinteraksi. Baik Nic ataupun Arga keduanya memutuskan memanggil nama langsung tanpa panggilan formal.
"Oh, aku memutuskan dia karena enggak ada kejelasan. Aku tuh orangnya enggak perlu pacaran lama-lama. Asal serius aku mau kalau langsung menikah. Yang penting mapan, sholeh, ramah, dan cinta keluarga," cerita Amel.
"Oh, gitu. Maksud Bu Amel nggak ada kejelasan ini? Apa karena dianya belum ngasih komitmen?" ucap Arga.
"Heem, Bener. Eh, iya. Rasanya kayak tegang gitu kalau manggil Bu Amel. Panggil Amel aja, gimana?" seru Amel. "Sama Kak Nicole panggil nama. Jadi panggil Amel aja, deh. Aku kan lebih muda dari Pak Arga, dan Kak Nicole."
Ucapan Amel seolah memberikan tekanan kepada Nic, kalau Nic memang cukup tua. Nic tidak menaggapi wanita itu hanya merespon dengan senyum seadanya. Dia juga mencoba mencairkan suasana. "Kalau gitu, Amel mulai sekarang manggilnya Mas Arga aja."
Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu menoleh ke belakang dengan degan wajah semeringah. "Bener, tuh. Manggil Mas Arga kayaknya kedengeran lebih enak. Gimana, Mas Arga?"
"Em, saya sih terserah aja."
Akhirnya mereka sampai di kediaman Amel. Arga menghentikan mobilnya dan mencoba menepikan mobilnya di depan rumah Amel yang cukup besar dengan pagar yang juga cukup tinggi.
"Kak Nicole, aku ikut ekscavasi besok, ya." Ucap Amel sebelum menutup pintu mobil Arga.
Nic mengerutkan kening. Dia merasa tidak yakin dengan keputusan Amel untuk ikut ekskavasi di lapangan. Apalagi bantaran sungai sudah pasti akan panas dan membosankan.
"Tapi apa kamu yakin? Di sana panas, loh," ucap Nic khawatir.
"Tenang aja, Kak. Aku udah beli sun screen mahal dari Korea. Jadi, panas terik enggak masalah. Kapan lagi aku mau lihat proses ekskavasi langsung," timpal Amel dengan penekanan nada agak keras saat menyebutkan kata mahal dan Korea.
"Oh, ya udah kalau gitu. Terserah kamu aja sih. Entar barengan aja sama petugas lain," uangkap Nic santai.
"Aku sama Mas Arga, deh. Mas Arga ke sana juga, kan? Bisa jemput aku?"
"Wah, aku berangkatnya pagi sebelum subuh. Soalnya aku barengan petugas dan beberapa tukang gali tanah," tolak Arga halus.
"Ya udah. Enggak apa-apa, aku bisa ke sana sendiri." Amel mencoba memasang wajah cerita meski barusan ditolak halus oleh Arga.
Setelah Amel menutup pintu, Nic menatap Arga dari spion tengah. "Beneran?"
"Beneran, kalau bukan aku yang bawa tukang, siapa lagi? Memangnya kamu yang akan bawa tukang?" tanya Arga lembut.
Nic menggeleng. "itu kan tugasnya divisimu. Pokoknya semua posisi udah kuatur sama Fanny," tegas Nic.
"Oke deh, Bos."
Nic membalas dengan senyuman. Wanita itu mengerti maksud Amel ikut ekskavasi. Karena sepertinya, berita Arga membeli tanah di bantaran sungai menyebar ke seantaro kantor. Tentu saja menjadi kebanggaan bagi Amel karena pria yang dia incar mempunyai hak penuh dalam kepemilikan tanah di bantaran sungai yang mana menjadi lokasi ekskavasi tersebut.
Mobil Arga melaju dengan tujuan mengantar Nic pulang ke rumahnya. Dari kaca spion Nic melihat sesekali Arga mencuri-curi pandang. Nic pura-pura tidak mengetahui. Namun, sebenarnya Arga bisa menjadi pertimbangan dari pada Sam yang masih sangat belia. Sam tentu saja masih harus melangkah menjajaki masa depan. Lagi-lagi Nic harus menelan kenyataan Sam seperti itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top