11. Ekskavasi
Halo teman teman terima kasih masih setia sama Kamar Sutera. Sejauh ini aku semangat banget karena apresiasi dari pembaca. Makin hari makin nambah viewersnya. Selamat membaca
Ekskavasi : proses mencari barang-barang bersejarah di suatu wilayah tertentu yang diduga ada benda bersejarah. Ekskavasi prosesnya bisa berupa menggali.
Fanny memutus pembicaraan dengan lawan bicaranya melalui ponsel. Gadis itu menelepon seseorang yang nantinya akan membantu dirinya dan Nic selama ekskavasi. Proses ekskavasi kali ini memang sedikit berbeda karena ada beberapa hal yang berada di luar rencana yang telah dipersiapkan dalam program ekskavasi mereka. Tanpa sepengetahuan orang banyak, mereka akan membawa seorang pakar metafisika.
"Kita boleh percaya boleh enggak, Kak," ungkap Fanny.
"Aku setuju aja sih, sama rencana kamu. Gadis jenius sepertimu memang pola pikirnya selalu rapi banget. Aku bahkan enggak mikir ke sana," cetus Nic.
Fanny menghela napas. "Tadinya aku enggak percaya hal begituan, tapi ada beberapa batu-batu misterius tersusun di sekitar sungai. Dilihat sekilas seperti batu kali biasa, tapi aku mikirnya itu sebuah reruntuhan bangunan."
Nic mengangguk mantap. Wanita itu tak pernah berpikiran ke sana. Selama ini, dia hanya memahami hal seperti itu hanya dalam sebuah film misteri atau film fantasi. Namun kali ini, dia tentu perlu jalan pintas seperti itu agar pengungkapan sejarah bukan hanya melalui temuan-temuan artefak atau reruntuhan bangunan dan prasasti.
"Di awal pemikiranku, berdasarkan prasasti kidung percintaan itu. Gandrung dan Nawang adalah sepasang penguasa. Tetapi itu belum tahu pasti, sebab kita membutuhkan beberapa bukti lainnya," ucap Nic sambil menyeruput kapucino yang sudah mulai dingin.
"Saat ini kita benar-benar mengungkap sejarah kerajaan ini untuk pertama kalinya. Dugaan kalau wilayah kerajaan ini adalah seluruh kabupaten dan beberapa daerah luar Kabupaten," sambung Fanny seraya mengetik di MacBook miliknya.
Nic mengangguk serius sambil sesekali menggigit pelan stylus-pen miliknya. Wanita itu lebih senang menggunakan Pad dibandingkan notebook . Untuk awal hipotesis penelitiannya, dia hanya mencoret-coret sedikit lalu beberapa temuan dari jurnal beberapa profesor universitas dia rangkum menjadi satu.
Nic kembali tertarik dengan pria yang dimaksud Fanny. "Kamu kenal di mana, Fan? Aku baru tahu kalau kamu punya teman yang dekat dengan hal-hal mistis."
Fanny menghentikan aktivitas mengetiknya, gadis itu menatap Nic serius. "Setelah Kakak cerita kemarin, aku sempat nanya-nanya tetangga. Dapatlah aku nomor Mas Ari ini. Aku sendiri belum pernah ketemu Mas Ari. Jadi kata tetanggaku, dia itu punya ilmu yang bisa melihat masa lalu."
"Berbeda dengan peramal yang melihat masa depan, tapi Mas Ari justru melihat masa lalu. Menarik, Fan. Harapanku dia benar-benar membantu kita."
Fanny mengangguk. "Menurut cerita tetangga, Mas ini punya ajian "putawakatu". Ajian melihat masa lalu, sayangnya aku cuma tau sampai di situ, Kak," papar Fanny.
"Kapan kita bisa ketemu dia, Fan," tanya Nic penasaran.
"Lusa, Kak. Agenda kita besok menyiapkan format perencanaan ekskavasi, menyiapkan alat-alat penggalian, dan memastikan beberapa orang yang akan mengadakan penggalian."
"Oke, besok aku yang akan mengetik format perencanaan. Jangan lupa, ingatkan Arga. Katanya dia mau ikut," papar Nic sambil memasukkan pad kedalam tasnya.
"Loh, Arga ikut."
"Duh, aku belum cerita ya, kalau cowok itu ingin banget ke TKP," ungkap Nic. "Malahan dia beli tanah di bantaran sungai tempat kita mengadakan penggalian. Gila banget cowok itu."
Fanny tertawa renyah. "Segitunya Pak Arga. Kayaknya demi perhatian seorang Bu Nicole," goda Fanny.
Pipi Nic memerah, barisan gigi putihnya tampak jelas. "Hus, nggak juga. Dia itu kan orangnya memang suka lihatkan kelebihannya."
"Masa, sih? Kayaknya dia begitu cuma buat Bu Nicole."
Nic hanya menanggapi gurauan Fanny dengn berdecis dan mengembuskan napas.
"Sekarang dia sudah enggak manggil Bu. Berarti ada kemajuan, ya," tukas Fanny.
Nic tersenyum seraya menyibakkan rambut hitamnya. "Enggak juga, Fan."
"Kak, tapi kalian cocok, sih."
Nic menggeleng pelan. Bagaimanpun juga wanita seusianya memang menurut kebanyakan orang bukan lagi dekat dengan seorang pria tetapi menjalin hubungan serius dengan seorang Pria. Apa lagi Arga, jelas pria itu dianggap tepat bagi wanita kebanyakan. "Ini bukan karena kepepet umur, Fan. Aku butuh waktu lama buat ngeyakinkan diri aku untuk serius sama dia."
"Kayaknya dia berharap banget."
"Enggak apa-apa."
"Terus, gimana dengan anak SMA itu? Beneran dia mirip cowok dalam mimpi Kakak," tanya Fanny penasaran.
"Oh, Sam," jawab Nic pelan. Nic tersenyum getir. Ada sedikit kekecewaan mengingat jarak usia Sam dan dirinya terlalu jauh.
"Namanya Sam."
"Iya, Fan. Tapi, masalahnya dia terlalu muda buatku, Fan. Wajahnya memang mirip laki-laki dalam mimpiku. Dia juga bilang soal mimpinya juga. Tapi, sepertinya dia gak mimpiin aku."
"Mmm.... Dia memang terlalu muda, Kak. Tapi, zaman sekarang pria lebih muda udah jadi hal biasa."
Nic mengembuskan napas pelan. "Entah lah, Fan. Mungkin sampai di situ aja upayaku buat ngenal dia. Aku malu, Fan," cerita Nic.
Fanny meremas pelan pergelangan tangan Nic. Gadis itu mengembuskan napas pelan dan menatap lembut seniornya. "Biasa aja, Kak. Berteman dengan yang jauh lebih muda apa salahnya. Kakak kan enggak mesti harus menjalin hubungan sama dia. Enggak ada salahnya kalau Kakak tetap berhubungan baik."
Nic menatap Fanny. "Aku malu, Fan. Aku malu kalau suatu saat aku justru jatuh cinta sama Sam. Baru sekali bertemu aku langsung menyukai anak itu. Gimana kalau sering bertemu. Apalagi kalau dia atau orang lain tahu soal mimpi bodohku itu."
"Enggak ada yang tahu soal mimpi itu, Kak. Kecuali aku. Rahasia aman di aku."
"Makasih, ya. Mungkin aku enggak akan secepat itu memaksakan diri buat lupain bocah itu. Aku lebih pantas jadi tantenya. Dia bahkan manggil aku Tante."
"Ya ampun, Sam," komentar Fanny dengan senyum yang dia sembunyikan di balik telapak tangannya.
"Fan, please aku malu. Jangan sampai orang kantor tau. Apalagi nenek-nenek yang bernama Amel itu tau. Makin lancar dia gibahin aku. Mentang-mentang dia lebih muda dariku, lantas seenaknya nyindir aku yang belum menikah," gerutu Nic menyebut teman kerja yang sedikit lebih muda darinya. Namun, ucapan blak-blakan Amel justru membuatnya terlihat tua daripada usianya.
"Yah .... Amel jangan didengerin, Kak. Dia itu iri sama Kakak. Dia enggak punya prestasi apa-apa selain komentari orang," komentar Fanny."
"Terus-terusan nyindir soal penikahan dan pamer kekayaan keluarga?" dengkus Nic kesal.
"Kak, adakalanya kita perlu cuek dengan penilaian manusia," komentar Fanny dengan wajah serius.
Nic mengembuskan napas pelan. "Betul, Fan. Tapi kalau menilainya sampai dikupas tuntas dan dibahas rame-rame antara mereka kadang berita A bisa berubah menjadi Z, Fan."
"Apalagi kalau ditambah bumbu-bumbu fitnah dan hasut. Entahlah, harapanku sih kakak nyantai aja," pungkas Fanny.
Mereka mengembuskan napas bersamaan sambil membereskan peralatan kantor di atas meja kerja masing-masing mereka. Hari ini Fanny akan mengantar Nic pulang karena mobil wanita itu masuk bengkel untuk beberapa hari. Cerita mereka rupanya mengundang seseorang untuk memasuki ruangan mereka.
"Loh, kalian belum pulang?" Sapa seorang pria yang suaranya terdengar familiar, siapa lagi kalau bukan Arga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top