7: Untung Ada Kamu
⚠️ Triggered Warning ⚠️
This chapter contains a sexual harassment scene
👻👻👻
Sudah lewat tengah hari, Aksha masih berada di kampus. Harusnya ia sudah pulang lebih dari satu jam yang lalu. Tapi ia memilih tempat yang teduh, tidak terlalu banyak orang berlalu lalang, dan yang paling penting adalah probabilitas untuk bertemu Faurish di sini mendekati nol persen. Satu-satunya tempat yang memenuhi semua kriteria tersebut adalah taman bermain di halaman asrama putri dan dekat aula utama Universitas Impian Negeri.
Asrama putri Universitas Impian Negeri terletak di bagian belakang kampus. Siapapun boleh masuk menjadi penghuni asrama, asal memenuhi syarat sebagai mahasiswi aktif di universitas ini, bersedia memenuhi semua aturan, dan pastinya biayanya bisa dua kali lebih besar dibandingkan uang kos. Tentunya, Aksha tak berminat menjadi salah satu mahasiswi yang menghabiskan umur sepanjang masa kuliahnya di salah satu kamar asrama. Selain karena biayanya lebih tinggi dari apa yang bisa diusahakan orang tuanya, Aksha juga tidak nyaman tidur berempat dalam satu kamar. Ia lebih menyukai ketenangan.
Aksha memilih duduk di salah satu ayunan yang ada di taman bermain di halaman asrama putri. Sementara di sebelahnya ada Lingga yang masih memasang ekspresi seperti orang sedang patah hati. Perkataan Bu Oni masih terngiang-ngiang di telinganya. Perempuan itu seolah tak mengingatnya sama sekali. Lebih tepatnya, Bu Oni tak ingin mengenang bahwa hidupnya dan Lingga pernah berotasi dalam orbit yang sama.
Ayunan di sebelah Aksha berderit pelan, bergerak maju mundur dengan perlahan walaupun tak ada angin yang berembus. Gadis itu masih berusaha untuk menghapus kegundahan yang tampak di wajah Lingga. Untung saja lokasi ini selalu sunyi. Jika ada yang melintas, pasti mereka akan keheranan mengapa ayunan di sebelah Aksha bisa bergerak walau tak ada seorang pun yang mendorongnya.
Gadis itu bangkit dari ayunan. Ia beranjak menghadapi Lingga dan memegangi untaian rantai besi yang menjadi tali penyangga ayunan tempat arwah itu merenung. Lingga mengangkat wajahnya tetapi tak lama ia menunduk kembali.
"Kalau Kakak masih begini, aku pulang aja, deh," ancam Aksha. Ia melepaskan genggamannya pada rantai ayunan tersebut. "Terserah Kakak mau ikut atau enggak."
Perempuan itu sudah berbalik di saat Lingga bangkit untuk mendekap tubuh kecilnya. "Maaf, Sha. Jangan tinggalin aku."
Semakin erat Lingga memeluknya, semakin keras jantung Aksha memukul-mukul dadanya. Ini bukan perasaan yang sama setiap kali Faurish berada dalam jarak dekat dengannya. Perasaan aneh apa ini?
Karena tak tahan dengan sesak akibat debaran di dadanya, Aksha melepaskan kedua tangan Lingga yang melingkari tubuhnya. Ia terdiam sejenak untuk menetralkan detak jantungnya dengan memegangi dada.
"Ayo, pulang, Kak," ajak Aksha.
Lingga hendak meraih jemari Aksha untuk digenggam. Namun, gadis itu menepisnya.
Matahari mulai bergerak mendekati ufuk barat. Cukup lama juga ia membujuk Lingga. Beruntung, masih ada angkot yang melintas di depan kampus Aksha.
Dalam jarak kurang dari 5 meter, seorang pemuda mengekor langkah Aksha sejak ia keluar dari ruang rapat HMJ. Tadinya ia hendak memanggil nama gadis itu. Namun, niat itu ia urungkan ketika melihat temannya itu berbicara sendirian.
👻👻👻
Langit sudah berubah gelap. Setelah seharian hangout menemani Lingga yang tengah gundah gulana, rasanya Aksha ingin segera sampai kamar. Tadi mereka pulang naik angkot dan berhenti di simpang Jalan Kenangan. Sekitar lima menit lagi, mereka akan sampai di depan gerbang kosnya.
Aksha menguap lebar-lebar sembari memejamkan mata begitu ia sampai gerbang kos. Dengan langkah lunglai, ia berjalan melewati area parkir menuju tangga untuk naik ke lantai 2.
Di bawah cahaya lampu remang-remang, Aksha mendapati seseorang menduduki kursi bambu panjang di sudut belakang parkiran. Ia menyipitkan matanya untuk memperjelas pandangan. Tampak sesosok makhluk dengan rambut panjang tergerai kusut hingga ke tanah.
"Sha," bisik Lingga. "Lari!"
"Kenapa harus lari, Kak?" tanya Aksha polos.
Pelan-pelan, Lingga menunjuk ke sudut area parkir. "Itu penunggu parkiran."
Kantuknya seketika hilang. Dengan langkah seribu, ia menapaki setiap undakan anak tangga menuju lantai 2 ke kamarnya. Ia pun terburu-buru membuka pintu kamar.
"Sha, kaki kamu luka," tunjuk Lingga ke arah lutut Aksha.
Aksha menunduk dan baru menyadari lututnya sedikit lecet akibat terpeleset di tangga tadi. "Enggak apa-apa, Kak. Aku cuci dulu, ya."
Tak seperti biasanya, Aksha yang selalu meminta Lingga untuk keluar jika ia hendak mandi atau berganti pakaian, kali ini hanya mengambil pakaian ganti beserta handuknya ke kamar mandi di dalam kamar. Ia membiarkan Lingga tetap ada di ruangan ini.
Ketika mengguyur kepalanya dengan segayung air, Aksha teringat kejadian tadi siang. Ia memegangi dadanya, batinnya masih bertanya-tanya tentang perasaan aneh yang ia rasakan ketika makhluk itu merengkuh tubuhnya di taman asrama.
Selesai mandi dan berganti pakaian dengan kaus dan celana pendek setengah paha, Aksha menyibak bath curtain. Ia melihat Lingga duduk di atas tilamnya di sudut kanan dinding.
Masih dengan rambut basah, Aksha menekan salah satu tombol kipas angin duduknya. Ia mengeringkan rambutnya di depan kipas angin. Tak lupa, ia juga mengambil obat merah untuk diteteskan pada luka di lututnya.
"Kak, kenapa cuma aku yang bisa melihat Kakak?" tanya Aksha setelah meniup-niup lecet di lututnya. "Padahal, aku bukan anak indigo."
"Benar juga," desis Lingga. "Selama 21 tahun aku meninggal dan diam di kamar ini, enggak ada yang bisa melihat aku sebelum kamu."
Sepasang alis milik Aksha hampir bertautan. "Tahu dari mana?" tanya Aksha.
"Aku selalu manggil-manggil Pak Ikhsan setiap memeriksa kamar ini, tapi dia enggak pernah dengar," jelas Lingga.
Keduanya kembali merenung, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Jam yang menggantung di atas televisi menunjukkan pukul delapan. Rasa lapar mulai melanda perut Aksha.
"Kak, temani aku ke dapur, ya," pinta Aksha.
Lampu dapur umum menyala, pertanda ada orang di sana, entah sedang memasak, mencuci piring, atau masuk toilet umum. Aksha merasa lega, setidaknya ia tidak akan memasak sendirian. Walaupun Lingga ada, ya ... makhluk itu bukan manusia lagi, 'kan?
Aksha tersenyum ramah ke arah dua orang laki-laki yang ia temui di dapur umum. Keduanya tampak lebih tua satu atau dua tahun dari Aksha. Salah satu di antara mereka sedang memasak memakai kompor di sebelah kiri. Sementara seorang lagi hanya berdiri menonton.
Supaya tak terganggu ketika memasak, Aksha menggulung rambutnya membentuk bun, kemudian mengikatnya dengan salah satu karet yang ia temukan di dekat wastafel. Sesudah itu, ia membuka bungkus sosis untuk dipotong kecil-kecil.
"Baru pindah?" tanya laki-laki yang tak memasak.
"Iya, Kak," sahut Aksha tanpa menoleh karena ia tak ingin mengiris jarinya sendiri.
"Kuliah?" Kali ini, yang sedang memasak yang bertanya.
"Iya, Kak," singkat Aksha lagi.
"Semester berapa?" tanya yang tak memasak lagi.
"Enam, Kak." Aksha mulai memasukkan potongan-potongan sosis satu persatu ke dalam minyak panas.
Laki-laki di sebelahnya sudah selesai memasak dan meninggalkan dapur umum. Aksha menduga laki-laki yang satunya lagi juga sudah pergi.
"Namanya siapa?" Laki-laki itu bersuara, berarti ia masih di dapur, belum menyusul temannya.
"Aksha."
Lingga memperhatikan gelagat aneh pria itu. Terlebih, saat ini ia melangkah mendekati Aksha yang masih fokus dengan masakannya.
"Udah punya pacar?"
Aksha bisa merasakan embusan napas laki-laki itu mengenai area telinga kanan hingga tengkuknya. Tangannya mengurung pergerakan Aksha dari belakang.
Tentu saja, Aksha merasa risi. "Kak, bisa tolong geser?"
Bukannya menjauh, laki-laki asing itu justru semakin berani memegang bahu Aksha, meraba-raba tali pakaian dalam gadis itu dari luar kaus longgarnya.
PRANG!
Suara itu membuat keduanya terperanjat. Salah satu kuali berukuran kecil yang tadinya bergantung di paku, sekarang terjatuh hampir mengenai kepala laki-laki itu. Aksha bisa melihat Lingga berdiri di dekat pintu dapur dengan ekspresi menyeramkan.
Segera Aksha mematikan kompor. Kaki kanannya ia gunakan untuk menendang perut laki-laki asing itu agar pergi.
Tendangan Aksha memang tak berhasil membuat tubuh laki-laki itu tersungkur. Namun, ia kembali dibuat terkejut dengan pintu-pintu toilet umum yang terhempas sendiri secara bergantian. Seolah-olah ada yang sengaja melakukan itu.
Pandangan laki-laki itu berpendar. Ekspresinya berubah ketakutan. Ia hanya melihat Aksha di sana, tidak ada makhluk lain.
"HANTUUU!!!" Ia berlari tunggang langgang meninggalkan Aksha yang masih mematung.
Lingga meninjau keadaan sejenak. Laki-laki tadi sudah tak kelihatan di lorong, kemungkinan sudah masuk ke kamarnya.
"Buruan, angkat masakan kamu. Udah hampir gosong, tuh."
Cepat-cepat Aksha meniriskan minyak dari sosis gorengnya. Sebagian sudah berubah warna menjadi kehitaman.
👻👻👻
"Sha, kurang-kurangin makan makanan instan. Enggak baik sering-sering," nasihat Lingga. Ia memandangi gadis di hadapannya yang sedang makan nasi dengan lauk sosis goreng setengah gosong.
"Iya, Kak. Tadinya aku mau delivery ayam geprek, tapi uang aku tinggal lima puluh ribu lagi di dompet."
Aksha meletakkan piring bekas makan malamnya di lantai dekat bak kamar mandi. Cuci piring besok saja, sekalian sarapan, pikirnya.
"Ngomong-ngomong, yang tadi itu ... makasih banyak ya, Kak. Seandainya Kakak enggak ada, aku enggak bisa bayangin apa yang bakalan terjadi." Aksha masih merinding membayangkan peristiwa pelecehan yang hampir ia alami.
"Kalau suatu saat aku pergi, kamu harus bisa jaga diri sendiri, Sha."
Gadis itu mengangguk kecil. Ada sedikit perasaan mengganggu menusuk dadanya saat mendengar ucapan Lingga. Ia tak mengerti dengan perasaannya sendiri, entah mengapa ia tak rela arwah laki-laki seusianya itu menghilang dari hidupnya.
"Kak, kira-kira ... kenapa, ya, aku bisa melihat Kakak?"
"Mungkin, kamu punya pertalian denganku," tebak Lingga.
"Pertalian semacam apa?" heran Aksha.
"Nama orang tua kamu siapa?" tanya Lingga tanpa menjawab pertanyaan Aksha.
"Nama ayahku Tirta," singkat Aksha.
Bola mata Lingga bergerak ke kanan atas. "Tirta Wijaya?" terkanya.
Aksha semakin tidak mengerti, padahal ia tak pernah menceritakan perihal keluarganya dengan Lingga. "Kok tahu?"
Dengan senyum semringah, Lingga mengguncang-guncang pelan bahu Aksha. "Sha, aku pamanmu."
Kerutan di kening Aksha semakin banyak. "Maksudnya? Aku enggak ngerti."
"Ayahmu itu abang kandungku."
Otaknya berpikir keras. Aksha mengingat-ingat apakah orang tuanya pernah bercerita kalau Aksha memiliki paman yang sudah meninggal. Sepanjang ingatannya, orang tuanya tidak pernah bercerita apa pun soal Lingga. Menyebut namanya saja tak pernah.
"Kalau begitu, mulai sekarang aku panggil Om aja, ya?"
👻👻👻
Hayo ... siapa yang kemarin sempat nge-ship Lingga-Aksha?🤣
Mudah-mudahan Faurish enggak marah lagi, deh, walaupun dia munculnya dikit banget di bab ini. Semoga di bab berikutnya, Faurish muncul lagi😋
Kamu suka makan makanan instan kayak Aksha juga, enggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top