5: Rahasia Hati
"Sha, gue balik dulu ya." Faurish membereskan alat-alat tulis miliknya yang berserakan di lantai kamar Aksha.
"Buru-buru banget." Aksha menopang dagu dengan sebelah tangannya. "Lo udah ngerti materi yang gue jelasin tadi?"
"Belum semua, sih. Tapi, kalau gue baca rangkuman yang lo bikin, pasti ngerti, kok." Faurish menyandang ranselnya. "Entar keburu malam."
Aksha mengambil kunci gerbang yang memang dipegang oleh masing-masing penyewa kamar kos Pak Ikhsan. "Ya udah. Lo baca-baca lagi catatannya."
"Kalau gue bingung, nanti gue telepon lo." Faurish memasang helm lalu melempar senyuman pada Aksha. "Bye, Sha."
"Hati-hati." Aksha melambaikan tangannya sampai motor Faurish sudah tak kelihatan lagi. Gadis bermata sayu itu mengunci pagar dan kembali ke kamarnya.
Sedari tadi, Lingga selalu mengikuti ke mana pun sepasang anak muda itu melangkah. Jujur saja, sekalipun Aksha sudah mulai terbiasa dengan kehadiran arwah penasaran itu selama seminggu ini, tetapi tadi ia sedikit merasa terganggu karena Lingga seakan mengawasi semua gerak-geriknya. Ia tidak leluasa seperti biasanya ketika ada Faurish di kosnya.
"Pacarmu?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari mulut Lingga, yang sepanjang hari ini diam seribu bahasa sejak Aksha pulang tak sendirian.
"Cuma teman." Aksha membuka pintu kamarnya. Ia mengambil remote TV dan mencari-cari saluran yang menayangkan acara musik. Sialnya, tidak ketemu. Cuma ada FTV dari saluran ikan terbang yang menampilkan gonjang-ganjing kehidupan rumah tangga yang ending-nya sudah bisa ditebak atau talkshow di saluran segitiga pelangi yang lebih cocok disebut acara gosip yang membuka aib para selebriti tanah air, saluran lain pun rata-rata isinya sama saja. Aksha kembali mematikan TV.
"Tapi, kayaknya dia suka sama kamu." Lingga kembali bersuara.
"Dia udah punya pacar."
Lingga bertanya lagi, "Kalau dia belum punya pacar, kamu bakalan suka sama dia?"
Aksha mulai mendengus sebal. "Enggak."
Memang pantas jika Lingga disebut arwah penasaran oleh Aksha. Bukan karena dia tidak tahu penyebab mengapa ia memilih mengakhiri hidupnya dengan mangkat mendahului takdir, tetapi karena sifat ingin tahunya terhadap seluk-beluk kehidupan Aksha. "Bohong."
Kening Aksha berkerut, tetapi mulutnya sudah malas menyahut tuduhan-tuduhan Lingga lagi. Jadi, dibiarkannya saja arwah itu berbicara sesuka hatinya.
"Waktu dia pamit pulang, muka kamu kelihatan enggak rela." Lingga menyunggingkan senyum miringnya. "Jarang laki-laki sama perempuan bisa akrab sebagai teman tanpa perasaan lebih, Sha. Meskipun ada, tapi kayaknya kamu dan Faurish tidak termasuk pengecualian itu."
"Terserah, deh." Aksha mengambil handuk yang digantung di belakang pintu. Kemudian, gadis ini menarik gagang pintu kamarnya. "Silakan keluar."
Seperti biasa, Lingga langsung menurut tanpa protes.
👻👻👻
Aksha memasang sepatu kets putihnya. Ia menoleh ke arah Lingga yang menunggunya selesai bersiap untuk berangkat ke kampus. "Kakak tinggal aja, ya? Mau nunggu di luar atau di kamar?" tanya Aksha.
"Dari minggu lalu kamu udah janji bawa aku ke kampus. Sampai hari ini, aku masih disuruh tinggal." Lingga menunjukkan wajah sebalnya dan entah mengapa justru terlihat lucu. "Aku mau ikut."
"Aku ujian, Kak." Karena Lingga belum menentukan pilihannya untuk menunggu di kamar atau di luar, jadinya Aksha belum mengunci pintu kamarnya.
Lingga masih memajukan bibirnya. "Kamu naik ojek?"
Gadis berseragam hitam putih itu menggeleng. "Naik angkot, Kak. Mumpung waktu masuk masih lama."
"Ya udah. Kalau begitu, aku kan bisa ikut kamu." Ekspresi Lingga langsung berubah semringah. "Ayo."
Aksha mengalah. Ia mengunci kamar sebelum menyusul Lingga turun.
"Sha," sapa seseorang dari area parkir dengan sedikit berteriak.
Merasa dipanggil, Aksha menoleh. "Oh, hai, Dav."
"Lo mau ke kampus?" tanya Davni. Sama seperti Aksha, ia terlihat rapi dengan kemeja putih yang dilapisi sweater maroon oversize dan rok span hitam selutut. Ia hanya sendirian, tak bersama Elyani. "Barengan, yuk."
Gadis yang memakai tas selempang merah muda ini menggeleng. "Gue naik angkot," tolak Aksha halus.
"Kalau gitu, gue bonceng sampai simpang deh, ya. Jauh banget kalau lo jalan kaki," ajak Davni lagi.
"Bareng dia aja ke simpang," bisik Lingga. "Aku bisa ikutin, kok."
Aksha mengangguk. "Makasih ya, Dav. Lo keluarin aja motor lo dari sini. Gue bukain pagar dulu."
Sesampainya di simpang jalan, Aksha bersandar di tembok yang tidak terlalu tinggi menunggu angkot lewat sekaligus menunggu Lingga. Tak lama, makhluk itu sampai dengan cengiran yang masih belum hilang di bibirnya. Ia rindu dengan kehidupan kampus.
Seperti pagi-pagi biasanya, angkot selalu dipenuhi mahasiswa, anak-anak sekolah, maupun ibu-ibu yang pergi ke pasar. Beruntung, Aksha penumpang pertama yang masuk sehingga ia bisa memilih untuk duduk di pojok belakang. Karena semua bangku diduduki, Lingga duduk menekuk lutut di lantai angkot menghadap Aksha.
Sekitar sepuluh menit menempuh perjalanan, angkot yang mereka tumpangi sampai di gerbang Universitas Impian Negeri.
"Kak, jangan ajak aku ngobrol dulu, ya," pinta Aksha begitu ia duduk di bangku kelasnya. Ia mengambil catatan Quantitative Research dari dalam tas, hendak membaca-baca lagi sebelum dosennya masuk.
Lingga berjalan ke arah jendela, memperhatikan keramaian kampus, suasana yang ia rindukan selama bertahun-tahun. Fokusnya teralihkan di saat pintu kelas Aksha dibuka oleh seorang wanita yang ia kenal, tetapi kelihatan jauh lebih tua dibandingkan terakhir kali ia berbicara dengan perempuan dewasa itu.
"Dia dosen kamu, Sha?" tanya Lingga saat ia kembali berdiri di sebelah kursi Aksha.
Aksha hanya mengangguk karena ia tidak ingin terlihat seperti orang gila berbicara sendiri.
Kakak kenal?
Tulis Aksha di halaman terakhir buku catatannya.
"Dia dulu kakak tingkatku," jelas Lingga.
"Everyone, keep your books and gadget in your bag," perintah Miss Mawar ketika ia yakin semua mahasiswa di kelas ini sudah hadir. Hanya tinggal sekitar lima kursi yang belum berpenghuni. "All of you, put your bag here," tunjuknya ke sebelah meja dosen.
Semua mahasiswa di kelas itu bergantian mengantar tas mereka ke depan kelas. Begitu ia kembali ke tempat duduknya, Aksha baru sadar kalau sohibnya belum hadir. Bisa-bisanya anak itu terlambat di hari ujian.
Dengan peluh bertebaran di dahinya, Faurish membuka pintu. "Gue udah telat, ya?" bisiknya pada Aksha.
"Hampir," tukas Aksha. "Buruan, taruh tas lo ke depan."
👻👻👻
Seratus menit berlalu terasa lebih cepat di saat-saat menegangkan seperti sekarang. Aksha memperkirakan nilainya akan aman untuk UTS ini, tetapi ia masih tetap saja kesal karena merasa tak yakin dengan jawabannya di nomor terakhir. Semua kertas jawaban sudah terkumpul di meja dosen.
"Komting," panggil Miss Mawar.
"Saya, Miss," sahut Faurish sembari mengangkat tangan kanan.
"Sesudah mata kuliah saya, kalian masih kosong, 'kan?" tanya Miss Mawar.
"Iya, Miss. Jam 12.35 WIB nanti baru masuk Sociolinguistics, Miss," jawab Faurish.
"Kalau begitu, bawakan kertas-kertas ini ke meja saya, ya." Miss Mawar bangkit dan keluar dari kelas Pendidikan Bahasa Inggris-2 sesudah mengucapkan selamat tinggal.
Aksha membawa sebagian kertas jawaban di atas meja dosen, berniat untuk membantu Faurish. Sekalian, ia ingin segera pulang karena ia tidak akan masuk kelas Sociolinguistics seperti teman sekelasnya.
"Gue bisa sendiri, Sha," ucap Faurish seraya menarik pelan kertas-kertas dalam dekapan Aksha.
"Enggak apa-apa. Gue sekalian mau turun, kok," jawab Aksha. Ia berjalan duluan keluar kelas diekori oleh Lingga.
Faurish menyusul Aksha setelah mengambil tasnya dari kursi belakang. "Langsung pulang, Sha?" tanya laki-laki ini yang hanya dijawab dengan anggukan oleh gadis di depannya.
"Makasih, ya, udah bantu gue," ucap Faurish begitu keduanya keluar dari ruangan Sekretaris Jurusan.
Seseorang menepuk bahu laki-laki beralis tebal dan rapi itu. "Fau," panggilnya.
Aksha, Faurish, bahkan Lingga ikut berbalik melihat pemilik suara lembut yang memanggil.
"Kak Grace," sahut Faurish dengan mata berbinar. "Tumben ke kampus, Kak."
"Mau bimbingan skripsi," jawab gadis dengan tinggi semampai itu. "Kamu lagi ujian, ya?"
Lingga menarik lengan Aksha, membuat gadis itu mundur dua langkah. "Itu pacarnya?" tanya si arwah kepo.
"Iya, Kak," jawab Aksha dengan suara berbisik.
"Sha, gue mau ke kantin sama Kak Grace. Lo mau gabung?" tawar Faurish.
Aksha menggeleng. "Gue langsung balik, kok." Gadis itu tersenyum sopan menatap kepergian Faurish dan kekasihnya.
"Permisi."
Suara itu membuat Aksha sedikit terperanjat lalu bergeser, merapat ke dinding lobi. "Sorry, Miss."
Wanita itu hanya melenggang tak menghiraukan Aksha. Ia kelihatan sibuk dengan pekerjaannya. Tanpa menoleh sedikit pun, wanita itu masuk ke ruang Ketua Jurusan.
"Yuk, Kak. Kita pulang," ajak Aksha.
Lingga masih bergeming. Matanya mengekor ke mana wanita tadi pergi.
"Namanya Nuri Lestari, 'kan?" Pertanyaan Lingga membuat dahi Aksha berkerut. Pasalnya, ia sendiri lupa nama lengkap ketua jurusannya.
"Kakak kenal?" tanya Aksha balik.
"Dia ..." Lingga mengulum senyum. "Dia mantanku."
👻👻👻
Sadar, enggak, kalau bab ini lebih panjang dari biasanya?
Faurish sama Grace cocok, 'kan?😆
Sampai jumpa di bab berikutnya!👋🏻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top