3: Makhluk itu Muncul

Motor Scoopy merah milik Faurish tak berbalik arah pulang menuju rumah yang ia kontrak bersama tiga temannya. Laki-laki itu tak mematikan mesin motornya. Ia menunggu Aksha membuka gerbang kos.

"Lo enggak balik?" tanya Aksha dengan wajah mengantuknya.

"Gue mau bantuin lo pindahin barang-barang dari kamar lantai 4," jawab Faurish.

"Udahlah, lo balik aja. Tinggal baju doang, kok. Gue bisa sendiri," tolak Aksha.

"Enggak apa-apa. Emangnya lo bisa angkat lemari sendirian?" cibir Faurish.

"Gue bisa minta tolong Davni sama Elyani nanti." Aksha tak ingin merepotkan Faurish lagi. Ia mengibas-ngibaskan tangan kanannya. "Sana, pulang lo."

"Kenapa harus minta tolong sama orang lain kalau gue masih ada buat lo?" Faurish belum ingin pulang, lagipula ia tidak ada kegiatan apa-apa sore nanti. Tak perlu terburu-buru. "Buruan buka kunci pagarnya."

Faurish meletakkan motor matic-nya di lahan parkir di lantai 1. Ia lalu menyusul gadis yang berjalan lunglai menaiki anak-anak tangga menuju lantai teratas dan kamar paling ujung.

Sampai di depan pintu kamar, mereka membuka sepatu.

"Sha, lo cuci muka dulu, deh." Faurish sudah melihat Aksha menguap lebih dari tiga kali semenjak keluar kelas.

Gadis dengan kunciran rambut yang sudah longgar itu mengangguk perlahan. Ia kemudian menyibak bath curtain plastik yang merupakan pintu kamar mandi di dalam setiap kamar. Keluar dari kamar mandi, Aksha mendapati Faurish menenggak sebotol minum soda yang tadi mereka beli di kampus.

"Lo keluar aja dulu, gue mau ngeluarin baju-baju gue—beserta dalamannya—dari lemari. Nanti kalau udah selesai, gue panggil lo. Kita angkat lemari ini sama-sama." Aksha menunjuk ke arah lemari pakaiannya.

"Oke." Faurish menurut. Ia menunggu di balkon sembari memperhatikan pemandangan dari lantai 4.

Selang sepuluh menit, Aksha selesai membuat dua buntilan besar dengan selimutnya yang berisi semua isi lemari pakaiannya. Sebelum membawa buntilan-buntilan itu turun, mereka akan mengangkat lemari dua pintu setinggi leher Aksha ini menuju kamar baru gadis itu di lantai 2.

Seusai berberes dan memastikan tak ada lagi satu pun barang milik Aksha yang tertinggal, Faurish membantu gadis ini menyapu lantai kamar yang ditinggalkannya. Sesudah laki-laki berpipi chubby ini mematikan lampu, Aksha mengunci pintu. Keduanya kemudian turun meninggalkan lantai 4.

"Kamar baru lo masih ada yang perlu diberesin?" tanya Faurish saat menuju lantai 2.

"Sebelum kuliah tadi, yang lain udah gue beresin. Lo pulang aja. Gue tinggal masukin baju ke lemari sama beresin tempat tidur." Aksha mengetuk pintu rumah Pak Ikhsan untuk mengembalikan kunci kamar 48.

Aksha ikut berjalan keluar membukakan gerbang untuk Faurish dan motornya. "Makasih ya, Fau. Gue udah ngerepotin lo banget belakangan ini."

Faurish mengulum senyum. "Itu gunanya temen, 'kan?" Ia mengusap pelan puncak kepala Aksha. "Gue balik dulu, ya."

Gadis ini mengangguk menanggapi, "Hati-hati."

Aksha menghempaskan tubuh lelahnya ke tilam yang sudah ia pasangi seprai. Baju-bajunya masih ia biarkan di dalam buntilan. Nanti malam saja dibereskan. Ia sudah terlalu penat bahkan untuk sekadar mengganti pakaian.

Lima menit memejamkan mata, Aksha sudah masuk ke alam mimpi.

👻👻👻

Aksha mengeratkan pelukan ke bantal gulingnya yang terasa lebih nyaman dari biasanya. Tidak tahu pukul berapa sekarang, mungkin matahari sudah terbenam, karena Aksha merasakan udara dingin menyapa kulitnya.

Dingin terasa menyelusup dari ceruk leher Aksha. Namun anehnya, dingin itu juga menjalar ke pipi kirinya. Kedua mata gadis bermanik caramel ini terbuka perlahan. Ia mengerjap beberapa kali hingga seluruh nyawanya terkumpul.

"AAA!!!"

Aksha benar-benar terperanjat menyadari apa yang dipeluknya. Bukan guling atau salah satu stuffed animal miliknya, melainkan seorang laki-laki seusianya. Laki-laki itu bukan Faurish. Temannya itu kan sudah pulang dari sebelum ia tertidur.

"LO SIAPA?!" teriak Aksha. Ia memeluk lututnya, ketakutan.

"Kamu bisa lihat aku?" tanya laki-laki asing itu.

"Jangan dekat-dekat!" tunjuk Aksha. "Lo siapa?!"

"Aku ... penghuni kamar ini."

👻👻👻

Matahari mulai tenggelam dan langit sudah menggelap. Aksha membuka matanya sesudah ia bermimpi bertemu dengan penghuni kamar ini. Syukurlah, kalau tadi itu cuma mimpi. Aksha menoleh ke kanan, seseorang di depan TV tersenyum kecil dengan bibir pucatnya.

"AAAAA!!!"

Jadi, yang tadi itu bukan mimpi?

Karena Aksha berteriak terlalu keras, dua perempuan penghuni kamar nomor 20 mendobrak pintu kamar Aksha. Kedua gadis itu merasa terganggu dengan teriakan Aksha di saat mereka sedang fokus mengerjakan tugas.

"Kenapa, Dik?" sapa salah satu gadis yang terlihat jauh lebih dewasa dari Aksha.

Aksha mengerutkan kening. Kedua gadis ini tak menyadari keberadaan sosok berwajah pucat yang sekarang duduk di sebelah Aksha yang ketakutan. Keduanya hanya menunjukkan ekspresi kesal dan terganggu dengan teriakan Aksha tadi.

"Kakak enggak ngelihat apa-apa?" tanya Aksha masih kebingungan.

"Apa?" sahut seorang lagi dengan wajah jutek. "Lo kenapa teriak-teriak?"

"Maaf, Kak. Tadi ada kecoa di dekat kasur gue," alibi Aksha. Padahal sebenarnya kalaupun benar ada kecoa, ia tidak takut demgan hewan kecil itu. "Maaf sudah mengganggu kegiatan Kakak, ya."

Kedua gadis itu berlalu tanpa membalas permintaan maaf Aksha. Tak ada acara perkenalan seperti di saat Aksha bertemu dengan Davni dan Elyani beberapa hari yang lalu.

Sepeninggalan tetangga sebelah kamar, Aksha kembali tersadar bahwa ia tak sendirian di ruangan ini. Laki-laki asing itu kembali menarik sudut-sudut bibirnya membentuk senyuman.

"Jangan dekat-dekat!" Aksha bergeser mundur hingga punggungnya bersentuhan dengan dinding. "Jangan ganggu gue." Air mata Aksha menetes mengalir jatuh di pipinya.

"Maaf, aku membuatmu takut," ujar sosok itu. "Namaku Lingga."

Lingga tak mendekati Aksha lagi. Ia seolah mengerti kalau gadis itu masih terkejut, ia tak ingin membuatnya pingsan lagi. "Kamu tidak perlu takut, aku tak ingin mengganggumu."

Laki-laki itu menceritakan asal-usulnya. Ia meninggal karena bunuh diri di saat ia seusia Aksha. Mendengar pengakuan itu, Aksha justru merasa iba. Sebesar apa masalah hidup Lingga dulu sampai ia memilih mangkat mendahului takdirnya?

"Dua puluh satu tahun yang lalu, aku tinggal di kamar ini. Waktu itu Pak Ikhsan masih punya satu istri," jelas Lingga.

Raut wajah Aksha sudah tak terlihat takut lagi. Ia memberanikan diri untuk bertanya, "Kak Kalya itu bukan istri pertamanya?"

Sosok itu menggeleng pelan. "Istri pertamanya tinggal di rumah lain semenjak Pak Ikhsan menikah dengan Kalya."

Pak Ikhsan brengsek ternyata, batin Aksha.

"Jangan salah sangka dulu. Pak Ikhsan itu kaya. Ia pasti ingin mempunyai keturunan untuk mewarisi hartanya. Bu Lani—istri pertama—mandul."

Penjelasan panjang Lingga membuat Aksha jadi tahu bahwa Pak Ikhsan memberi segalanya untuk istri pertamanya saat ia meminta izin untuk menikah lagi. Beruntungnya, kedua wanita itu tak menunjukkan tanda-tanda permusuhan. Pantas saja Kak Kalya jauh lebih muda dari Pak Ikhsan.

"Jadi, yang kemarin ganggu aku itu ... Om?" tanya Aksha.

"Jangan panggil aku Om," Lingga meringis.
"Kamu diganggu?" tanya Lingga lagi.

Gadis itu mengangguk. "Aku kemarin di kamar nomor 48, ada yang banting-banting pintu kamar mandi dekat dapur."

"Oh .... Itu memang penunggu lantai 4. Dia memang suka jahil ke penyewa baru." Lingga berusaha menenangkan Aksha karena air muka gadis itu kembali ketakutan. "Tenang saja. Ada aku di sini. Kamu aman."

"Makasih ... Kak?"

Lingga tersenyum. "Kakak lebih baik daripada Om."

👻👻👻

Kalau kamu ketemu arwah orang ganteng kayak Lingga, kamu bakal nangis kayak Aksha, enggak?

Mau bilang apa sama Lingga?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top