12: Until We Meet Again
Random question:
Kalian baca nama Vee itu gimana sih? Ve atau Vi?😆
👻👻👻
1 Juli 2021
"Lo ngapain masuk, sih? Tuh, kan, pusing."
Aksha malas menghitung sudah berapa kali Faurish merepetinya semenjak gadis ini meletakkan tasnya di bangku sebelah temannya itu. Buku-buku tangannya terasa dingin, sementara lehernya masih agak hangat. Memang seharusnya ia tak usah masuk dulu hari ini. Namun, mengingat minggu ini akan menjadi pertemuan terakhir mata kuliah Qualitative Research di semester 6 karena mulai tanggal 10 Juli nanti mereka akan melaksanakan kegiatan KKN selama sebulan dan kemungkinan besar sesudah itu mereka langsung menghadapi ujian akhir semester, Aksha memutuskan untuk datang hari ini.
Selain karena hari ini juga pengumuman pembagian kelompok KKN, Aksha memang ingin bertemu lagi dengan dosen mata kuliah Qualitative Research-nya yang juga menjabat sebagai ketua jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tak lain adalah Mrs Nuri. Sejujurnya, Aksha masih bertanya-tanya apa yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri kemarin. Hal terakhir yang membekas di kepalanya hanyalah Lingga meneteskan air mata darah sebelum ia merasakan hawa panas menjalar dari ujung-ujung jemarinya yang kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya.
Ngomong-ngomong soal Lingga ... arwah itu masih belum muncul sampai detik ini. Dan Aksha tidak pernah tahu sebelumnya kalau kehilangan arwah orang yang memang sudah lama meninggal pun bisa menyesakkan dadanya seperti menghadapi kematian orang yang ia cintai.
"Good afternoon, class," sapa dosen perempuan yang baru saja memasuki kelas Pendidikan Bahasa Inggris-2.
Pandangan kedua perempuan berbeda usia itu bertemu selama beberapa saat sebelum wanita yang berdiri di depan meja dosen memutuskan kontak mata mereka. Sebelum membahas mengenai program Kuliah Kerja Nyata yang akan dijalankan sembilan hari lagi, Mrs Nuri mengulas secara cepat semua materi dari sepuluh minggu pertemuan yang sudah berlangsung.
Berselang setengah jam kemudian, Mrs Nuri mengumumkan bahwa terhitung dari tanggal 10 Juli 2021, seluruh mahasiswa wajib melaksanakan kegiatan KKN di tempat yang sudah ditentukan oleh pihak kampus. Dan absen seluruh mahasiswa dihitung hadir selama sebulan melaksanakan program tersebut.
Aksha menghitung dalam hati, hari ini sudah pertemuan kesepuluh. Artinya, pertemuan setelah selesai KKN akan dihitung sebagai pertemuan kelima belas. Selama ini, Aksha tidak begitu menyukai mata kuliah Qualitative Research-nya, tetapi sekarang ia justru berharap dosen mata kuliah ini yang akan menjadi dosen pembimbing lapangan kelompoknya. Ia harus mengakrabkan diri dengan wanita itu agar ia bisa mendapatkan lebih banyak petunjuk tentang Lingga.
Empat SKS akhirnya selesai. Begitu Aksha dan Faurish keluar kelas, mereka mendapati lebih dari sepuluh mahasiswa berkerumun di depan papan pengumuman di lantai 3. Kemungkinan besar semua orang yang berdiri di sana adalah mahasiswa semester 6 yang sedang mencari nama mereka berada di kelompok berapa dan lokasi KKN-nya di mana.
Setelah sekitar delapan orang pergi meninggalkan kerumunan itu, Faurish menarik pergelangan tangan Aksha agar bisa mendekat dan mencari nama kelompok dan lokasi KKN mereka. Lumayan lama juga mereka menunggu mahasiswa yang berdiri di depan papan pengumuman untuk bubar, hingga hanya tertinggal dua orang mahasiswa selain mereka yang masih mencari namanya.
Faurish mencari nama mereka dari kelompok 1, sementara Aksha mencari dari kelompok 210, paling bawah. Tak lama, bahkan tak sampai lima menit kemudian, Faurish menepuk pelan bahu Aksha dan menemukan nama mereka berurutan pada nomor 21 dan 22 di kelompok 58.
"Sha, kita sekelompok!" Saking excited-nya, Faurish sampai memeluk bahu Aksha.
Aksha sampai mendorong dada Faurish agar laki-laki itu menjauh. "Biasa aja, kenapa, sih?" Gadis ini menyipitkan mata kecilnya. 'Bahu gue yang digoncang, jantung gue ikut kegeser,' batin Aksha.
Kening Aksha berkerut menyadari sesuatu. "Lo kok bisa ketemu nama kita secepat itu?" Mengherankan. Padahal mereka ada di kelompok 58, bukan di kelompok 10 teratas.
"Pulang, yuk," ajak Faurish. "Lo masih agak demam, 'kan?"
👻👻👻
25 Juni 2021
"Thank you, Faurish," ucap Mrs Nuri kepada mahasiswanya yang membantunya mengeluarkan skripsi-skripsi kakak tingkat mereka yang sudah memenuhi lemari kantor jurusan.
"You're welcome, Miss," sahut Faurish dengan satu anggukan sopan.
"Are you Aksha's close friend?" tanya wanita itu, membuat Faurish membatalkan niatnya untuk berpamitan pulang.
"Yes, I am, Miss."
"Well, if that's so, do you want to be in a group with her for Community Service Program (KKN) next month?" tanya Mrs Nuri.
Meskipun agak sedikit membingungkan mengapa dosennya tiba-tiba bertanya soal siapa teman dekat mahasiswanya, Faurish mengiyakan tawaran tersebut. Setidaknya, ia punya teman yang sudah ia kenal di grup KKN-nya nanti. Apalagi memang teman akrabnya sendiri.
"Izin bertanya, Miss. Memangnya bisa diatur, Miss?" tanya Faurish memastikan.
"Of course, I can ask the administrators to manage it. As long as you don't mind helping me to manage all English students' names from the five classes and separate them to all groups, I can help you with everything."
"Thank you very much, Miss," jawab Faurish.
👻👻👻
"Sha, ada tugas Sociolinguistics gue yang belum selesai," ujar Faurish.
Aksha membuka helm yang menyungkup kepalanya karena mereka sudah sampai di depan gerbang kosnya. "Ya udah, kerjain!"
Faurish mengerucutkan bibirnya. "Masa, sih, lo enggak ngerti maksud gue apa?"
Gadis yang energinya masih belum pulih seperti hari-hari biasanya ini menghela napasnya malas. "Pacar lo ada, kakak tingkat kita juga, kenapa enggak tanya dia aja? Apa-apa lo selalu bergantung sama gue."
"Kak Grace kan lagi sibuk skripsian, Sha. Enggak enak banget gue ganggu-ganggu dia." Bukannya langsung pulang, Faurish malah memasukkan motornya ke area parkir kos-kosan milik Pak Ikhsan.
Aksha mengikuti Faurish yang mengunci stang motornya di parkiran. "Jadi, menurut lo, selama ini gue enggak merasa terganggu, gitu?"
Faurish mencubit pipi kiri Aksha gemas. "Gue tahu lo enggak pernah merasa keberatan sama permintaan gue. Lo kan baik, Sha." Ia menunjukkan senyuman khasnya yang sialnya membuat Aksha jatuh cinta.
"Ya udah, buruan naik, deh. Gue capek." Aksha melangkah menuju tangga, meninggalkan Faurish.
Laki-laki berpipi tembam itu memperhatikan langkah Aksha yang tak begitu seimbang. "Bentar, Sha," teriaknya.
Meskipun menunjukkan wajah sebal, Aksha tetap menghentikan langkahnya. Ia memang tanpa sadar sering mengikuti perintah Faurish.
Faurish menopang tubuhnya dengan sebelah lutut yang mencium lantai. Tangannya menarik-narik tali sepatu Aksha yang longgar dan sempat terinjak-injak gadis itu sampai bagian ujungnya dibalut tanah. Dengan telaten Faurish mengikat pita tali sepatu perempuan yang kini merasa kalau menghilangkan perasaan kepada temannya sendiri itu adalah salah satu hal yang sangat mustahil bisa dilakukan dalam waktu dekat, mengingat temannya memiliki tingkat kepedulian—dan ketampanan—melebihi orang lain di sekelilingnya.
"Kalau mau naik tangga tuh sepatu lo diperhatikan dulu, Sha. Enggak lucu banget, sumpah, kalau misalnya lo guling-guling dari lantai 2 gara-gara keinjek tali sepatu sendiri." Faurish menggamit telapak tangan Aksha agar gadis itu melangkah bersamaan dengannya.
Dari dua kamar sebelum mendapatkan kamarnya sendiri, Aksha menyipitkan mata. "Di depan kamar gue ada sendal, ya?" tanyanya pada Faurish, memastikan ia tak salah lihat.
"Kayaknya iya, Sha," jawab Faurish. "Sendal bapak kos lo kali. Siapa tahu lagi pemeriksaan dadakan."
Aksha menggeleng. Pak Ikhsan tidak termasuk dalam spesies bapak-bapak julid seperti Lingga. Lagipula ... tunggu-sepertinya Aksha familiar dengan sepasang, ralat, dua pasang sepatu yang disusun rapi di depan pintu kamarnya yang ternyata terbuka.
"Ibu? Ayah?"
Tak ada yang menyahut ucapan Aksha. Mata ayahnya menatap tajam ke arah tangannya yang masih nyaman berada dalam genggaman Faurish. Menyadari tatapan tak suka laki-laki itu, Faurish melepaskan tautan tangan mereka.
"Halo, Om, Tante," sapa Faurish. Suasana di kamar 5x5 ini sangat canggung, membuat Faurish memikirkan cara untuk segera berpamitan pergi.
"Fau, besok aja di kampus gue bantu ngerjain tugas lo," bisik Aksha.
Atas permintaan Aksha-dan karena ia juga ingin terbebas dari tatapan membunuh ayah gadis itu-, Faurish menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan orang tua Aksha, berpamitan pulang. Namun, ayah temannya ini tetap bergeming, membuat Faurish semakin ingin menenggelamkan diri ke dalam perut bumi sekarang saking malunya.
Aksha menggantung tasnya di balik pintu. "Ayah sama Ibu kok enggak bilang-bilang mau datang ke sini?" tanya Aksha santai. Ia tak merasa ada kesalahan yang ia perbuat.
"Dia siapa? Pacar kamu?" tanya Pak Tirta to the point, tanpa basa-basi.
Maunya, sih, begitu, sahut Aksha dalam hati, tetapi ia hanya menggeleng seraya tersenyum. "Bukan, Yah. Dia temanku."
Pak Tirta masih belum mengubah ekspresi dinginnya. "Dia sering ke sini?"
"Enggak, Yah. Dia tadi minta ajarin tugas sama aku," jelas Aksha, tak ingin orang tuanya salah paham lagi. "Aku ganti baju dulu, ya." Aksha membuka lemarinya mengambil pakaian ganti.
Faurish menelan ludah. Astaga, Aksha ... bantuin gue.
Di balik kamar mandinya yang hanya ditutupi bath curtain, Aksha menahan tawa. Dari awal dia memang sedang tidak mood untuk belajar. Ia hanya ingin mengistirahatkan tubuhnya agar bisa bertemu dengan Lingga lagi, setidaknya dalam mimpi.
Selama lima menit di dalam sepetak ruangan kecil yang hanya ditutupi bath curtain tebal itu, Aksha tak mendengar percakapan yang berarti. Mungkin dikarenakan suara mesin air beserta alirannya dari keran yang mengisi bak.
"Loh, Faurish mana?" tanya Aksha begitu keluar dari kamar mandi.
Bu Vega menanggapi, "Udah disuruh balik sama Ayah."
Dalam hati, Aksha menghitung mundur dari lima hingga satu. Sebentar lagi ia pasti diinterogasi.
"Enggak baik dilihatin orang kalian cuma berduaan di dalam kamar," tegur Pak Tirta.
Aksha yang malas mendengar ceramah lebih panjang hanya mengangguk dan mengiyakan. Ia tak menjelaskan kalau Faurish ada di kamarnya, ia tak pernah mengunci pintu dan pintu kamarnya selalu dibuka lebar-lebar agar tak menimbulkan kecurigaan dari penghuni kamar di lantai 2. Begitu pula dengan Pak Ikhsan dan Kak Kalya, mereka tak mencampuri urusan pribadi setiap penyewa di kos ini. Kak Kalya sendiri pernah mengatakan pada Aksha kalau ia menganggap semua penyewa sudah dewasa dan mengerti konsekuensi atas perbuatan masing-masing jika memang ingin melakukan tindakan yang aneh-aneh.
Gadis yang saat ini mengenakan satu set baju tidur lengan pendek dengan celana panjang itu menyeduh teh dan menuangkannya ke dalam tiga gelas kaca lalu menyajikannya di hadapan orang tuanya.
"Sha," panggil Bu Vega. "Kamu kenapa enggak bilang kalau kamu sakit?"
Sejujurnya, Aksha tak menduga itu yang menjadi alasan orang tuanya datang ke kosnya. "Cuma demam biasa, kok, Bu. Lagian ini udah agak mendingan." Ia menunjukkan senyumannya.
Pak Tirta kembali menciptakan suasana sulit dengan pertanyaannya. "Jangan bohong. Kemarin kamu pingsan di kampus, 'kan?"
Faurish sialan. Aksha mengutuk dalam hati. Ia yakin pasti tadi anak itu mengadu ke ayahnya. Benar-benar teman yang tidak bisa diajak kerja sama.
"Sha, benar kamu kemarin kerasukan?" tanya Bu Vega.
Aksha menghela napas lelahnya. Ia merasa sekarang ia bisa meyakinkan orang tuanya kalau Lingga ada di sekitarnya. "Iya. Kerasukan hantu pamanku. Kak Lingga," terang Aksha. Jantungnya saat ini seperti dipenuhi petasan malam tahun baru, ada perasaan gugup tetapi rasanya lega karena akhirnya ia berani mengungkapkan kebenaran.
Ayahnya kelihatan naik pitam. "Jangan pernah sebut nama itu lagi di depan Ayah sama Ibu. Dia itu bukan siapa-siapa. Dia itu bukan bagian dari keluarga kita."
"Oh ... pantas dulu Kak Lingga memilih mati," sarkas Aksha. "Dia hidup pun enggak ada yang sayang sama dia."
Pak Tirta mengepalkan jari-jari tangannya. Ia masih berusaha meredam emosi yang dipantik oleh anak semata wayangnya. "Kamu enggak tahu apa-apa. Diam saja!"
Gadis itu menggigit bibir bawahnya kesal. "Makanya, kasih tahu aku cerita sebenarnya," geram Aksha. "Terlalu banyak rahasia keluarga kita yang aku enggak pernah tahu."
"Sha!" pekik ibunya. "Dengar omongan Ayah. Enggak pernah ada orang yang namanya Lingga di keluarga kita."
Setetes air mata meluncur di pipi Aksha. "Tapi ... kenapa aku bisa melihat dia?" Gadis itu mengangkat kepalanya memandang langit-langit kamarnya. "Sudah hampir satu bulan dia di kamar ini, Bu. Sebenarnya apa yang Ayah sama Ibu tutupi dari aku?"
Lelaki bertubuh tambun itu menimpali, "Sekali lagi kamu membahas dia, Ayah pindahin kamu ke rumah tantemu."
Aksha tak menjawab lagi. Ia tak ingin pindah ke rumah tantenya. Ia tak mau kehidupan perkuliahannya diusik pihak lain. Kalau hidup sendiri, tak akan ada yang merepetinya meskipun cuciannya sudah seminggu menumpuk atau tidak mencuci piring sesudah makan malam, apalagi ditanya-tanya alasan mengapa pulang telat. Ia pun tahu tabiat tantenya-adik ibunya-yang juga tinggal di kota ini. Cerewetnya melebihi ibunya sendiri.
Selesai mencuci piring, Aksha langsung menggelar tikar dan meletakkan tilamnya yang satu lagi di sebelah tilamnya. Orang tuanya akan menginap sehari di kamar ini dan katanya besok setelah Aksha berangkat kuliah, mereka akan pulang kampung.
Aksha berbaring dengan posisi membelakangi TV. Ia memilih untuk menghadap dinding agar orang tuanya tak tahu kalau ia sedang menangis, merindukan sosok yang tak pernah mereka anggap ada.
Lewat tengah malam, orang tua Aksha juga sudah ikut tertidur pulas. Ibunya memang tidak tahan begadang, sedangkan ayahnya bisa cepat tidur malam ini karena masih lelah dari perjalanan selama kurang lebih lima jam.
Hawa dingin menyentuh pipi Aksha. Gulingnya terasa semakin nyaman dipeluk karena juga turut menyalurkan kesejukan. Anehnya, sekarang Aksha merasakan ada tangan yang mengusap-usap puncak kepalanya pelan.
Kenyamanan ini rasanya tak asing untuk Aksha. Perlahan ia membuka mata dan yang ia dapati pertama kali adalah kegelapan. Ia mendongak dan ikut tersenyum tatkala melihat sosok itu tersenyum ke arahnya seperti saat pertama kali mereka berjumpa di kamar ini.
"Kak Lingga!" pekik Aksha kegirangan.
Namun, saat Aksha bangun dari tidurnya, sosok itu menghilang. Ia belum kembali. Dan mungkin tak akan pernah kembali lagi.
👻👻👻
Ini dia ... anak perawan yang baru diomelin orang tuanya🤭
Menurut kalian, Aksha salah enggak, sih, kalau dia marah sama orang tuanya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top