11: Lingga dan Masa Lalu

Hai, apa kabar?
Ada yang kangen Vee, enggak?😳

(Readers: ENGGAK! Kami cuma kangen Lingga, Faurish sama Aksha!)

Maaf, ya. Dari tiga bulan lalu Vee janji bakalan rajin update setelah KKN sama UAS. Tapi, kenyataannya baru sekarang bisa update.

Masih inget sama karakter-karakter di cerita ini, enggak? Kalau lupa, boleh tuh diklik dulu video di mulmed sebelum lanjut baca😆 (S3 marketing)

Udah nonton? Gimana? Ada yang mleyot kayak Vee pas ngedit bagian Lingga, enggak?😭

👻👻👻

Mrs Nuri memilih untuk mendudukkan tubuh lelahnya di salah satu kursi di ruang tamu apartemennya dibandingkan menyimpan tas kerjanya ke dalam kamar lalu mengambil handuk untuk membersihkan diri di kamar mandi seperti kegiatan rutin yang ia selalu lakukan setiap pulang bekerja. Tadi, Miss Mawar menawarkan diri untuk menemaninya yang tinggal sendiri di tempat ini sejak 17 tahun lalu. Namun, wanita ini menolak tawaran teman dekatnya itu.

Perempuan ini memejamkan matanya seraya memijit pelipisnya beberapa kali. Isi kepalanya dipenuhi kejadian-kejadian aneh yang ia alami hari ini. Sejujurnya, meskipun 21 tahun sudah laki-laki itu pergi meninggalkan semua orang yang mencintainya, ia tak pernah bisa melupakan sosok dengan senyuman yang menawan itu. Mrs. Nuri bahkan sampai detik ini masih mengingat hari ketika ia bertemu dengan Lingga pertama kali.

👻👻👻

21 Oktober 1994

"Maw, sekarang giliran kamu kan yang traktir?" Nuri bersemangat menggandeng lengan Mawar menuju gerbang kampus.

"Beres," sahut Mawar sembari memainkan rambutnya.

Di luar gerbang, ada penjual es serut yang lumayan sering mereka kunjungi. Selain memang rasanya cocok di lidah anak kuliah, harganya juga terbilang murah untuk ukuran satu porsi.

Sesampainya di dekat gerobak es serut, Nuri dan Mawar masih harus mengantre. Ada sekitar lima orang pelanggan yang menunggu pesanannya dibuatkan. Sambil menunggu antrean, Mawar merogoh tas untuk meraih dompet merahnya. Raut wajahnya berubah panik ketika tak berhasil menemukan benda yang sedang ia cari.

"Kenapa, Maw?" tanya Nuri ikut panik.

"Dompetku enggak ada."

Mawar menepi mencari tempat teduh lainnya di bawah pepohonan tak begitu jauh dari gerobak es serut. Ia mengeluarkan isi tasnya satu per satu dan menyerahkan alat-alat tulisnya ke pangkuan Nuri. Setelah tasnya benar-benar kosong, tanpa menutup ritsleting, Mawar membalikkan posisi tas sandangnya lalu mengguncangkan benda itu beberapa kali. Hasilnya ... sebutir debu pun tak ada terjatuh.

"Tadi pagi, kamu bawa dompet, 'kan?" tanya Nuri sembari memasukkan kembali isi tas Mawar.

"Bawa lah. Aku kan perlu bayar angkot juga," jawab Mawar.

"Terakhir kali kamu sadar pegangnya di mana?"

Mawar berusaha mengingat-ingat ke mana saja ia melangkah sebelum mereka berjalan ke gerbang. Tadi begitu keluar kelas, mereka ke perpustakaan sebentar, cuma untuk mengembalikan buku yang dua hari lalu Nuri pinjam. Sesudah dari perpustakaan, mereka ke kantin FIS. Selesai makan, mereka langsung pergi ke koperasi yang menyediakan jasa fotokopi, Nuri perlu beberapa kopian makalahnya untuk presentasi besok. Setelah itu, mereka duduk di halte sebentar sampai Nuri minta ditraktir es serut.

Seingat Nuri, Mawar tak pernah membuka tasnya selama keluar kelas, selain ketika mereka berada di kantin FIS. Kedua gadis itu akhirnya memutuskan untuk bergegas kembali ke tempat itu sebelum dompet Mawar benar-benar hilang.

"Duh, tempat kita tadi udah ada orangnya," tunjuk Nuri.

"Gimana, ya?" Mawar menggaruk pipinya.

Tepukan dua kali di pundak Mawar membuat gadis itu berbalik. Benda yang sedang mereka cari berada di dalam genggaman seorang pemuda, yang ia perkirakan seusia atau sedikit lebih muda dari mereka.

"Ini punya Kakak, 'kan?" tanya laki-laki itu.

"Iya," sahut Mawar. Jantungnya kembali berdetak normal setelah tadi kalang kabut. Namun, ia kembali terkejut karena begitu ia hendak mengambil alih dompet merahnya, pemuda itu malah menyembunyikan benda tersebut di belakang tubuhnya.

"Sebut nama lengkap Kakak dulu," pintanya.

"Apa-apaan, sih? Jelas-jelas itu dompet punyaku." Mawar jadi sebal melihat pemuda berkaus hitam polos di depannya.

"Mawarnika Putri," jawab Nuri tanpa diminta.

Pandangan laki-laki itu beralih ke gadis yang satu lagi. Ia lalu mengulurkan dompet merah itu kepada Mawar.

"Aku takut salah orang, Kak. Maaf, aku tadi membuka dompet Kakak untuk mencari tanda pengenal." Laki-laki beralis tebal dengan smiling eyes itu melangkah menjauh seusai mengucapkan permisi.

"Thanks, ya!" ucap Mawar dengan suara yang agak keras.

Pemuda itu berbalik sekilas hanya untuk menunjukkan senyuman dan mengangguk dengan sopan. Sesudah itu, Nuri melihatnya mengumpulkan piring dan mengelap meja-meja yang kotor akibat ketumpahan kuah atau saus.

"Dia pekerja di sini?" tanya Nuri entah pada siapa.

Mawar hanya mengangkat bahunya sekali, tak begitu peduli dengan status laki-laki yang tadi menemukan dompetnya. "Masih mau beli es serut, enggak?"

Nuri menggeleng pelan. "Enggak perlu. Soalnya, aku udah ngelihat yang manis."

Sebahagiamu aja, Nur!

👻👻👻

Nuri melangkahkan kakinya ke sebuah bangunan kecil bernuansa ceria. Di dalamnya ada dua lusin meja yang masing-masing diisi empat buah kursi. Semuanya warna-warni. Tempat itu terlihat mencolok dibandingkan bangunan-bangunan di sekitarnya yang didominasi warna-warna yang monokrom atau bernuansa vintage.

Tubuh rampingnya bergerak gesit menuju dapur. Nuri sengaja datang hari ini ke kafe milik sepupunya, Tirta, yang merupakan anak semata wayang pamannya yang tertua. Atas permintaan sepupu yang sudah ia anggap seperti saudara kandungnya ini, Nuri berkunjung untuk membantu Tirta menyeleksi calon pegawai barunya.

"Banyak yang mendaftar ya, Kak?" bisik Nuri kepada Tirta.

"Iya. Padahal lowongan kerja yang tersedia cuma untuk dua orang. Yang mendaftar tujuh orang."

"Kenapa enggak diterima aja semuanya, Kak?" tanya Nuri lagi.

"Belum sanggup aku menggaji karyawan sebanyak itu," balas Tirta dengan suara pelan.

Nuri menatap wajah orang-orang yang berdiri berjajar di hadapannya dan Tirta. Dalam hati, ia menghitung jumlah mereka. Ada enam orang.

"Kak, yang satu lagi mana?" tanya Nuri.

"Maaf, saya terlambat," ucap seorang pemuda dengan napas tersengal. "Saya baru pulang sekolah, Pak."

"Enggak apa-apa, Dik," sahut Tirta.

Laki-laki yang baru datang itu langsung mengambil posisi berdiri paling kanan. Nuri sempat melihat wajahnya sekilas lalu tersenyum kecil sebelum memalingkan wajah ke arah lain. Namun, pemuda dengan poni yang cukup panjang untuk ukuran anak sekolahan ini tak memperhatikan Nuri sedikit pun.

"Nama saya Tirta Wijaya. Panggil saja Kak Tirta. Jangan panggil Bapak, karena umur saya belum 30 tahun. Saya yakin kalian rata-rata seumuran adik saya."

Seusai perkenalan, Tirta menjelaskan kalau ia hanya akan menerima dua karyawan saja kali ini. Nikko Café membutuhkan seorang office boy atau office girl yang tugasnya merangkap sebagai waiter atau waitress dan seorang juru masak sekaligus barista. Dua karyawan baru yang lulus seleksi akan mendapatkan shift malam dari pukul 19:00 WIB sampai pukul 00:00 WIB setiap hari Selasa hingga Jumat malam. Sementara, di hari Sabtu, shift malam akan dimulai lebih awal, dari pukul 18:00 WIB sampai pukul 01:00 WIB. Semuanya menyanggupi dan mereka akan mulai magang besok malam.

👻👻👻

Lingga menyeduh secangkir cappuccino di saat Paul, rekan sesama magangnya di Nikko Café, menyelesaikan cucian piring terakhirnya. Tadi, Lingga sudah menawarkan Paul secangkir kopi, tetapi laki-laki yang baru saja wisuda bulan lalu itu menolak. Padahal, Tirta tidak melarang para karyawan untuk mengonsumsi apa pun yang tersedia selama mereka masih berada di kafenya.

"Ling, gue cabut duluan, ya. Sorry, lo jadinya enggak bisa nebeng malam ini. Orang tua gue mendadak banget datang ke kos gue," jelas Paul.

"Santai, Kak. Gue bisa pulang sendiri, kok," jawab Lingga menenangkan rekannya itu, walaupun sebenarnya ia jadi bingung harus menumpang dengan siapa.

Nuri masih berkutat dengan sebuah artikel sepanjang dua lembar di tangannya. Ini adalah artikel kelima yang ia baca sebagai bahan referensinya untuk menulis artikelnya sendiri. Dosen mata kuliah Basic Writing-nya memberikan tugas menulis artikel minimal sepanjang satu halaman penuh sebagai ujian tengah semester. Tidak terlalu sulit sebenarnya, mengingat mereka masih semester 1. Namun, karena Nuri menginginkan nilai terbaik, ia memilih tema tulisan yang agak sulit, yaitu tentang pelecehan seksual. Bagian tersulit dari menulis artikel, setidaknya menurut Nuri, adalah mencari bukti-bukti. Ia sampai harus membongkar-bongkar surat kabar lama hingga keluaran lima tahun lalu.

"Belum pulang, Kak?" tanya Lingga yang kini memilih duduk di depan gadis itu.

Perempuan berambut sepanjang belikat itu mengangkat wajahnya, mengalihkan perhatiannya sejenak dari kertas terakhir yang ia baca. "Kamu sendiri juga belum pulang. Yang lain udah pada balik, lho. Kamu enggak dicariin ibu kamu?"

Lingga menggeleng pelan. Ia meneguk cappuccino-nya sedikit sebelum akhirnya kembali bersuara. "Ibu pulangnya jam 1 malam. Biasanya sampai di rumah sekitar jam 2. Jadi, dia enggak tahu aku masih di luar."

Gadis bermata sipit ini berdecak sekali. "Jangan bikin ibumu khawatir." Tangannya menyusun kertas-kertas di atas mejanya menjadi satu tumpukan. "Ngomong-ngomong, ibumu kerja apa sampai pulang ke rumah selarut itu?"

Pemuda di hadapannya terdiam seolah enggan menjawab pertanyaan Nuri.

"Kalau kamu enggak mau jawab, enggak apa-apa." Nuri bangkit seusai memasukkan kertas-kertas artikel ke dalam tas. "Yuk, aku antar pulang."

Laki-laki yang masih mengenakan apron cokelat itu ikut bangkit. "Naik apa, Kak?"

"Naik mobil. Buruan, beresin tuh," tunjuk Nuri ke arah gelas di hadapan Lingga yang sudah kosong.

Setelah Lingga selesai mencuci piring, menggantung apron cokelatnya ke salah satu paku di dapur, dan mematikan seluruh lampu, ia menyusul Nuri yang sudah berdiri di dekat pintu. Perempuan itu kemudian mengunci pintu Nikko Café.

Nuri membuka pintu kanan mobilnya yang paling depan lalu masuk. Ia menurunkan kaca mobilnya memerintahkan Lingga duduk di sebelahnya. "Ayo, tunggu apa lagi? Keburu ibumu pulang entar."

Lingga mengunci seatbelt dan menoleh ke arah Nuri yang pandangannya sudah fokus ke jalan raya. "Kakak udah lama bisa nyetir sendiri?" tanyanya mengikis kesunyian.

"Aku belajar dari sebelum masuk kuliah. Soalnya susah juga kalau terus-terusan bergantung sama orang lain. Semuanya pada sibuk," jelas Nuri.

Pemuda itu mengangguk kecil. "Ayah Kakak ngasih izin aja Kakak pulang malam begini?" tanya Lingga lagi.

Perempuan yang sebenarnya sudah mulai mengantuk ini menyetel musik untuk mengusir rasa kantuknya. "Sama kayak kamu juga. Dia enggak tahu kalau aku pulang semalam ini. Sepengetahuan dia, aku sama Kak Tirta terus." Lagipula, papa dan mama Nuri sedang berada di luar kota mengurus masalah warisan dari nenek Nuri, ibu dari mamanya.

"Kak Tirta ke mana, Kak? Tumben seharian ini enggak ada di kafe," ujar Lingga.

"Orang tua pacarnya udah ngajak dia ketemu dari bulan lalu. Tapi sibuk terus. Ya ... mumpung aku enggak ada jadwal masuk hari ini, jadinya aku bisa seharian di kafe tadi." Nuri jadi teringat sesuatu. "Oh iya, rumah kamu di mana?"

👻👻👻

Hari kelima masa magang Lingga dan enam calon karyawan lainnya.

Mawar mendorong pintu kaca Nikko Café dan memilih duduk berhadapan dengan Nuri. Mereka keluar kelas pukul 09.35 WIB sebenarnya, tetapi menghabiskan waktu dua jam lebih untuk mencari buku-buku yang menjadi referensi tugas mata kuliah Basic Structure mereka. Dosennya meminta mereka untuk membuat sepuluh contoh kalimat tentang Superlative Degree dan tidak boleh ada yang sama. Maka dari itu, untuk menghindari ketidaksengajaan, Mawar sebagai ketua kelas Pendidikan Bahasa Inggris-3 mengarahkan teman-teman sekelasnya supaya memilih dua buku yang berbeda dari teman-teman lainnya.

"Kamu mau makan apa?" tanya Nuri. "Aku mau makan nasi goreng aja."

"Siang-siang kok makan nasi goreng?" Mawar mengerutkan kening.

Nuri memutar bola mata. "Ya udah, kamu mau makan apa?"

"Pancake stroberi," jawab Mawar cepat.

"Kamu malah lebih aneh." Nuri benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tidak memukul kepala sahabatnya ini. "Tunggu ya, biar aku bilangin ke Kak Tirta aja langsung."

Mawar mengacungkan jempol. Nuri berlalu menuju dapur, menemui Tirta yang sedang mengawasi pekerjaan beberapa karyawan magang yang mendapat jadwal pagi hingga siang. Selesai dengan permintaannya, Nuri kembali ke meja yang ia tempati bersama Mawar.

Setelah setengah jam berkutat dengan buku masing-masing dan ditemani dua kaleng soda, pesanan Mawar dan Nuri sudah tersedia di atas meja.

"Makasih," ujar Nuri tanpa melihat siapa yang menjadi waiter atau waitress.

"Kamu yang waktu itu di kantin, 'kan?"

Ucapan Mawar membuat Nuri mengangkat wajah. Ternyata Lingga yang mengantarkan makanan mereka.

"Iya, Kak," balas Lingga. "Aku balik ke belakang dulu ya, Kak. Permisi."

Setelah laki-laki berapron cokelat itu hilang ditelan pintu dapur, Mawar mencolek-colek lengan Nuri. "Kok kamu enggak bilang kalau anak itu kerja di sini?"

"Dia cuma magang di sini, belum tentu diterima sama Kak Tirta juga," jawab Nuri dengan nada gusar. "Emang penting banget, ya, aku harus ngasih tahu kamu soal dia?"

Mawar mengernyitkan dahi. "Kamu marah?" Ia malah terkekeh. "Naksir, ya?"

Nuri tak menjawab. Namun, dari cara ia menyendok nasi goreng dan bagaimana ia mengunyah makanan itu dengan tidak santai, Mawar tahu persis kalau Nuri tidak suka jika ia mengenal siapa pun yang sedang sahabatnya ini sukai.

Pernah kejadian sekali, waktu mereka masih berseragam putih abu-abu, Nuri dekat dengan salah satu kakak kelas mereka. Saat itu, Nuri benar-benar jatuh hati dengan laki-laki tersebut dan setelah beberapa lama berkencan dalam tahap pendekatan, ia memutuskan untuk mengenalkan sang kakak kelas dengan Mawar.

Entah siapa yang harus disalahkan, tak lama sejak hari itu, pemuda yang seharusnya menjadi pacar pertama Nuri justru menyatakan cinta kepada Mawar. Tentu saja, Mawar menolaknya. Bukan karena ia merasa mengkhianati Nuri jika menerima laki-laki itu, tetapi memang ia tidak menyukai si kakak kelas.

Tidak, bukan cuma dengan pemuda itu saja, Mawar memang tidak pernah mengalami bagaimana rasanya jatuh cinta yang selalu membuat Nuri dan gadis lain seusianya menjadi agak ... bodoh dalam jangka waktu tertentu. Ia merasa biasa saja jika berdekatan dengan laki-laki. Tidak ada jantung yang berdetak dengan ritme tak beraturan, tidak ada pipi memerah karena tersipu malu, dan tak ada pula rasa iri melihat teman-teman sebayanya yang sudah berpacaran.

Awalnya, Mawar mengira ada yang salah dengan dirinya. Sempat ia mengira kalau ia mungkin menyukai perempuan. Namun, sesering apa pun ia berpelukan dengan Nuri, sebanyak apa pun kisah yang mereka bagi, ia tidak merasakan apa-apa. Maksudnya ... ia menyayangi Nuri, itu sudah pasti. Tapi, apa yang ia rasakan dengan sahabatnya sama saja dengan apa yang ia rasakan kepada kakaknya. Tidak ada perasaan yang lebih jauh dari itu.

Kejadian dengan kakak kelas itu cukup membuat Nuri trauma mengenalkan siapa pun laki-laki yang ia sukai dengan Mawar. Dan untungnya, Mawar memaklumi itu walaupun sebenarnya kadang-kadang membikin agak gondok juga. Justru kalau ia tidak tahu yang mana gebetan Nuri, ia bisa saja tidak sengaja berinteraksi dengan orang itu, dan dampaknya ia akan didiamkan oleh gadis itu selama berhari-hari.

"Aku pulang aja, ya, kalau begini? Lagian, ini tugasnya kan tugas pribadi." Tangan Mawar sudah tergerak mengumpulkan alat tulisnya.

Nuri menahan lengan gadis bermata bulat itu. "Maaf ya, Maw. Iya, aku memang suka sama Lingga."

Ekspresi Mawar spontan berubah semringah. "Nuri, mulai dari sekarang, kalau kamu suka sama cowok, kamu cerita aja sama aku, biar aku tahu buat jaga jarak sama dia." Mawar kembali duduk di bangkunya. "Tenang aja, aku enggak akan pernah jadi saingan kamu. Aku kan enggak suka sama laki-laki."

👻👻👻

ALHAMDULILLAH, AKHIRNYA BISA UPDATE😭 Ini udah panjang, kan, ya? Cukup enggak buat mengobati kangen selama tiga bulan?

Vee mau bilang selamat datang buat pembaca baru🤗 Semoga betah di lapak ini. Terima kasih, berkat kehadiran kalian juga, Vee jadi sering ngecek notifikasi kalau ada yang tiba-tiba nge-vote, ngasih komentar random, atau masukin cerita ini ke reading list mereka. Kalian jangan sungkan kalau mau komentar, ya komentar aja🤣 Vee senang sama reaksi heboh kalian.

By the way, kalau kalian menemukan cerita ini selain di Wattpad, tolong jangan diteruskan membacanya. Please, baca di Wattpad aja. Gratis, kok. Soalnya, Vee baru tahu kalau ada mirror web-nya Wattpad. Dan cerita ini muncul di sana😭 Tolong, jangan coba-coba diklik kalau ketemu yang itu, soalnya bisa aja berisi malware attack yang bakalan ngasih virus ke gadget kalian. Link Wattpad KAMAR 21 bisa klik di sini ya:
https://www.wattpad.com/story/272227569?utm_source=android&utm_medium=link&utm_content=story_info&wp_page=story_details_button&wp_uname=venamerah&wp_originator=OfRkdD8S9RyH6GBO1GG%2F9r8%2FpCy4F2lFXmqHn0Quyp4cL1EizIOYz%2FQwg5S099jo05YIPUUJbPe4mcxTkSYnzxZ4jL2oykur9Up1PNg9K56GqL5jrwD3hAxIsqM1Rvmm

Mau bilang apa sama Lingga?😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top