10: Uh, Where is He?

Telat dua jam😭 Maaf, tadi sore Vee ada urusan🤧

👻👻👻

Miss Mawar memutar kunci yang baru saja ia masukkan ke lubang pintu ruangannya ke arah kanan. Namun, tidak ada perubahan yang berarti. Ia lalu menarik knop dan mendorong pintu. Tak terkunci.

Kedua wanita ini memendarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak ada siapa-siapa di dalam. Itu artinya mahasiswi mereka yang pingsan tadi beserta temannya yang menjaganya sudah pulang.

"Sudahlah. Nanti saja waktu pulang kita bercerita panjang lebar soal kejadian hari ini," pinta Miss Mawar.

Mrs Nuri mengangguk pelan. "Thank you so much, Mawar. I'm so lucky that we are still together."

"Never mind."

👻👻👻

Faurish menyampirkan jaketnya di bahu Aksha. "Pakai."

Gadis di hadapannya menggeleng, tangannya mengembalikan jaket itu kepada pemiliknya. "Enggak."

Pemuda ini memutar mata seraya berkacak pinggang. "Sha, lo lagi demam. Jangan banyak tingkah dulu, oke?" Ia kembali melebarkan jaketnya menutupi bahu hingga punggung gadis keras kepala itu.

Belum sempat Aksha hendak mengembalikan jaket itu ke tangannya, Faurish mengancamnya. "Pakai sendiri atau gue bantu pakai?"

Aksha mengembuskan napas kesalnya. Jaket Faurish menenggelamkan tubuhnya. Seusai gadis ini mengenakan jaketnya, laki-laki itu memasangkan helm ke kepala Aksha.

"Gue bisa pasang sendiri." Aksha menepis tangan laki-laki berpostur tinggi itu. Ia tak ingin Faurish mendekatkan wajahnya, memangkas jarak di antara mereka. Ia juga tak ingin laki-laki itu mendapati pipinya bersemu akibat darahnya berdesir lancar menyebar dan mewarnai wajahnya. Apalagi jika Faurish bisa mendengar orkes dangdut di dalam dadanya.

Faurish menyangkutkan tas jinjing miliknya dan tas selempang milik Aksha ke gantungan di dekat injakan kaki pengemudi. Kemudian ia naik untuk mengendarai motor matic itu. Ia menyugar rambutnya sejenak dengan melihat pantulan dirinya dari spion kanan motornya.

Ketika Aksha sudah menaiki jok belakang motor Scoopy merah milik Faurish, ia menggeser pantatnya mundur seperti biasa. Namun kali ini, Faurish menarik kedua pergelangan tangan Aksha untuk melingkari pinggangnya. Otomatis, bagian tubuh depan gadis itu sepenuhnya jatuh ke punggungnya.

Spontan, Aksha memukul helm yang dikenakan laki-laki itu. "Lo apa-apaan, sih?" Tetapi sesudah itu ia mengibas-ngibaskan tangannya karena pegal.

"Gue takut lo meleng. Badan lo masih lemes banget kayaknya." Ia kembali menarik lengan Aksha melingkari pinggangnya. "Jangan dilepas."

Aksha menurunkan kaca helm yang ia kenakan agar Faurish tak bisa melihat merah mukanya saat ini. Sementara jantungnya berdegup secepat jantung orang yang sedang ikut lomba lari. Rasanya ia ingin menutup kedua telinga Faurish agar laki-laki yang tengah memboncengnya ini tak mendengar detak jantungnya di dalam sana.

Perjalanan mereka yang biasanya dihiasi curhatan, candaan, atau omong kosong, kini lebih lama diam. Biasanya, Aksha yang selalu membuka obrolan. Namun kali ini, ia seakan baru mengenal Faurish satu jam yang lalu. Canggung.

Untung saja jalanan tidak terlalu macet. Sekitar 15 menit dari kampus, mereka sudah sampai di gerbang kos Aksha.

Begitu turun dari motor, Aksha berusaha membuka kunci helmnya. Bahkan ketika Faurish sudah berhasil membuka helm yang ia pakai, gadis itu masih kesusahan menekan-nekan kunci helm.

"Sini." Faurish menarik bahu Aksha agar berdiri lebih dekat dengannya. Ia mengangkat kaca helm gadis itu dan mendapati wajah yang lebih pucat daripada sebelumnya.

Seiring mendekatnya wajah Faurish, Aksha memejamkan matanya kuat-kuat dan menahan napas selama beberapa detik. Tak lama, ia mendengar bunyi 'klik' dari helm yang sudah berhasil terbuka.

Faurish menarik gemas pipi Aksha pelan. "Kalau lo merasa kesulitan, enggak ada salahnya bilang minta tolong, kok." Ia terkekeh. "Ngapain lo tutup mata?"

Seketika Aksha membuka matanya lebar-lebar. Tak lupa, ia membebaskan kepala dan rambut panjangnya dari sungkupan benda bulat dan keras itu. Ketika Aksha hendak mengambil tasnya yang masih tergantung di dekat kaki Faurish, laki-laki itu menahannya.

Pemuda berpostur tinggi ini menyembunyikan tas mereka di belakang tubuhnya. "Udah, biar gue aja. Lo bukain pagar, tolong."

Aksha mendengus kesal. "Lo balik ke kampus aja. Udah jam berapa, nih? Bentar lagi Sir Usman masuk," tolak Aksha.

"Masalah absensi kita, tadi udah diurus sama Miss Mawar. Lo tenang aja."

Gadis yang matanya terlihat semakin sayu ini tahu sifat sahabatnya yang keras kepala. Aksha sudah malas berdebat, jadinya menuruti ucapan Faurish untuk membuka pagar. Badannya masih merasa lemas dan sebenarnya Aksha mulai merasa menggigil karena suhu luar tubuhnya semakin meninggi.

Penghuni kamar 21 ini membuka pintu kamarnya. Tatapan Aksha beredar ke seluruh sudut ruangan dan lokasi sekitar. Makhluk itu masih belum muncul.

Faurish menyerahkan tas Aksha. "Lo mau ganti baju dulu?" tanyanya yang cuma dijawab anggukan oleh gadis itu. Ia bersandar di balkon teras kamar Aksha.

Seusai mengganti pakaiannya dengan baju kaus berlengan pendek dan celana selutut, Aksha membuka pintu kamarnya lebar-lebar tanpa menguncinya kembali. Ia mempersilakan pemuda yang menunggunya sejak lima menit tadi masuk ke kamar.

"Lo sambil tiduran aja, enggak apa-apa, Sha." Faurish mengambil segelas air dari galon berkeran di kamar Aksha dan menyodorkannya ke arah gadis itu. "Temen lo cewek di kos ini ada, enggak?"

Aksha menghabiskan air di gelas itu dalam satu napas. "Ada. Davni sama Elyani," jawabnya.

Pemuda berpipi tembam itu menjauhkan gelas bekas air minum Aksha tadi ke sudut ruangan dekat lemari baju. "Coba lo telepon mereka buat nemenin lo, sebentar aja. Gue mau beli obat sama makan siang buat lo."

Gadis di hadapannya menggeleng lemah. "Enggak usah, Faurish. Ngerepotin orang."

Faurish menatapnya tajam. "Sha, ikutin aja apa yang gue bilang."

Lagi-lagi, Aksha mengalah dan menuruti perkataan Faurish. Ia menghubungi Davni melalui panggilan suara WhatsApp, tetapi gadis itu tak mengaktifkan data internetnya, sehingga panggilan Aksha tidak tersambung. Aksha beralih menghubungi Elyani.

Mendengar kabar Aksha yang sakit dan butuh seseorang untuk menemaninya, Elyani yang sedang tidak memiliki jam kuliah hari ini langsung turun dari kamarnya di lantai 4 menuju kamar bernomor 21 itu. Ia tersenyum kecil melihat seorang laki-laki tengah meletakkan punggung tangannya ke dahi gadis yang tengah berbaring di tilam.

"Lo demam, Sha?" tanya Elyani.

Aksha mengangguk. "Lo ada kuliah hari ini?"

Elyani menggeleng sekali. "Lo udah makan obat, belum, Sha?"

"Belum." Bukan Aksha yang menjawab, melainkan laki-laki yang sepertinya tak begitu asing di mata Elyani. "Makanya, gue minta tolong sama lo buat jagain Aksha bentar. Gue mau beli makan siang sama obat buat Aksha."

Gadis berpostur lebih mungil dari Aksha ini mengangguk seraya tersenyum kecil. Ia merogoh kantong celananya untuk meraih sesuatu. "Nih, kunci pagar."

"Lo dari kapan sakit, Sha? Tadi malam?" tanya Elyani, begitu Faurish sudah berlalu dari daun pintu.

Aksha menggeleng lemah. "Enggak. Tadi gue pingsan di kampus. Begitu bangun, badan gue lemes."

Elyani membulatkan matanya. "Kok bisa pingsan? Lo enggak sarapan tadi pagi?"

Gadis berpipi tirus ini kembali menggeleng. "Gue sarapan, kok. Tadi, gue ..." Aksha menelan ludahnya sejenak, "... kerasukan," lanjutnya.

Secara impulsif, bulu kuduk Elyani berdiri mendengarnya. Tak hanya Aksha, dirinya dan kakaknya juga pernah menjadi korban keisengan makhluk-makhluk tak kasat mata di kos ini.

"Sha, lo enggak bercanda, 'kan?" Elyani menoleh ke kiri dan kanan, khawatir kalau mereka mendengarkan percakapan antara Aksha dan dirinya.

Air muka Aksha berubah serius. "Lo pernah ngelihat hantu di sini, enggak?"

👻👻👻

Ini loh ... cowok yang suka ngebaperin Aksha😳


Btw, ada yang kangen sama Om Lingga, enggak? *Dilempar Lingga*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top