KITA SELAMANYA

Tiga hari yang penuh dengan kelegaan, bahkan tawa lepas itu acap kali hadir di wajah Senja Riani, akibat tingkah konyol seorang Ersan Handono. Dunia seakan benar-benar kembali seperti dulu lagi, saat mereka sering menghabiskan banyak waktu berdua, bahkan mungkin lebih dari itu. Sebab janji untuk hidup bersama selalu keduanya ucapkan, bahkan orang tua mereka berdua pun telah memberi restu.

Hanya saja, segala sesuatunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun bisa dikatakan Erlangga adalah seorang pengusaha percetakan yang cukup sukses dan sudah berapi-api menyatakan kesanggupannya dalam membiayai semua biaya saat Ersan hendak menikah, tetap saja tak serta merta berhasil mempercepat semua rencana.

Ersan dan Senja adalah seorang Aparatur Sipil Negara, tentu saja keduanya memiliki aturan khusus. Untuk mengajukan izin perkawinan mereka perlu surat pengantar dari unit kerja ditujukan kepada Kepala BKD, permohonan izin kawin, fotokopi SK Pangkat Terakhir ASN, fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi KTP yang masih berlaku, dan juga pas foto.

Senja yang mengabdi pada Provinsi Nusa Tenggara Timur, tentu saja harus mengurus segala sesuatunya di Kota Kupang terlebih dahulu. Begitu pula dengan Ersan, tetapi kisah ini bukan semata-mata hanya perkara belaka.

"Gimana hasil CT Scan tadi, Yang? Apa kata dokter? Bisa sembuh, kan? Lama nggak kira-kira, Yang?" tanya Senja mengeluarkan semua rasa penasarannya, saat brankar Ersan sudah kembali ke ruang rawat inap.

Kesehatan jasmani dan rohani, sesungguhnya itulah bagian penting yang harus lebih dulu dipikirkan oleh sepasang anak cucu Adam tersebut. Meski terdengar begitu menjanjikan, nyatanya seluruh harta kekayaan Erlangga tak mampu membuat Ersan secepat kilat sembuh dari penyakitnya. Butuh proses, tetapi Senja sudah bertekad untuk selalu menunggu, seperti dulu.

Tak langsung menjawab, seulas senyum keharuan kini terpatri di wajah Ersan, sebagai hadiah dari raut kecemasan yang Senja tunjukkan. Sebenarnya ia merasa kurang nyaman, karena saat ini tubuhnya memang benar-benar belum pulih.

"Ssttt ... Sabar ya, Sayang. Biar perawatnya mindahin aku ke ranjang dulu. Lagi nyeri banget ini soalnya. Sampe pengen teriak aja deh, seriusan sakit," balas Ersan yang sudah tidak bisa menyembunyikan kondisi terbaru kesehatannya.

Ini hari minggu dan itu pertanda bahwa besok pagi Senja sudah harus bertolak ke Kupang, mengerjakan kembali semua tugas-tugasnya seperti biasa. Hubungan jarak jauh akan segera menyapa untuk yang pertama kalinya, sebab sebelumnya mereka selalu menghabiskan waktu di Jakarta.

Melihat bagaimana cara kedua perawat wanita memindahkan Ersan dari brankar ke ranjang rumah sakit, "Auw! Aduh duh ...."

"Sus, pelan-pelan aja. Sini saya bantuin deh." Secara refleks Senja ikut bergerak membantu, terlebih saat itu terdengar ringisan Ersan juga di sana.

Alhasil, ketiga wanita tersebut sibuk bahu-membahu bekerja sama. Tak sampai tiga menit, akhirnya Ersan berhasil dipindahkan. Dua perawat itu pun kembali ke Unit Gawat Darurat sembari mendorong brankar yang sudah kosong.

"Aku nggak tau kapan bisa sembuh, Sayang. Hasil CT Scan tadi juga belum ada tanda-tanda membaik. Aku cacat sekarang, Yang. Aku nggak bisa jalan." Selepas itu, barulah Ersan mulai bercerita.

Keluh kesah yang keluar dari bibir Ersan, benar-benar terdengar sangat menyedihkan di telinga Senja, bahkan air matanya sudah menggenang.

"Jangan gitu ngomongnya, Yang. Kan, kamu baru celaka kemaren. Jadi ya wajar aja sekarang kondisinya belom pulih," sahut Senja meraih telapak tangan Ersan, "Kamu sama temen-temen Damkar lainnya udah nolongin banyak korban juga, kan? Tugas kalian itu mulia banget lho, Sayang. Bayangin gimana kalo di dunia ini nggak ada Petugas Pemadam Kebakaran coba? Kayak apa jadinya orang-orang yang terjebak di lautan api. Iya, kan?" lanjutnya membujuk.

Perlahan, hati Ersan mulai merasa sedikit lega, "Kalo terjebak di lautan cintamu gimana, Yang?"

"Yeee ... itu mah lain kali, Sayang. Saking terjebaknya, sampai susah move on. Nyari terus ke rumah, sampe bosan tiap kali telepon Mama, yang diomongin kamu lagi kamu lagi. Hahaha!" balas Senja melontarkan candaan atas pertanyaan konyol Ersan.

Tak ayal, Ersan pun ikut meledakan tawanya,  "Hahaha! Ya Alloh, Yang. Kamu kenapa jadi ngegemesin gini, sih? Pengen aku gigit rasanya."

"Jangan digigit dong, Yang. Disayang aja, dicintai, diperjuangkan, tapi jangan disakiti lagi. Bisa nggak, Sayang?" Obrolan intens pun terjadi, bahkan Senja sudah mendaratkan bokongnya di atas sebuah kursi.

Mereka mulai membahas tentang banyak hal, "Bisa banget, Yang. Aku janji bakalan selalu memperjuangkan hubungan kita. Sama-sama istikharah ya, Sayang? Biar Alloh ridho, biar aku cepet sembuh, terus habis itu kita kawin deh."

"Nikah, Yang. Bukan kawin. Dasar Ayang mesum. Udah kebelet kawin ya? Hahaha."

"Banget, Yang. Kamu dua lima, aku dua lapan. Udah pas buat nikah tuh. Temen-temen aku aja umur segini udah punya anak, Yang. Masa mau tunggu sampai tiga puluh? Dua tahun lagi dong. Lama banget itu mah."

"Yaudah. Kita sembuhin dulu kaki Ayang yang patah sama luka-luka bakarnya ya? Urusan duit juga mulai hari ini jangan asal dikeluarin sembarangan lagi. Walaupun papimu janji bakal tanggung biaya nikah, bukan berarti nggak nabung. Aku malu aja kalo pas udah nikah, harus terus minta duit ke orang tua, Yang. Nggak enak."

"Ya Alloh, makin gemes aku jadinya. Iya, Sayang. Mulai hari ATM gajiku yang di BRI, kamu pegang aja. Nanti aku hapus Brimo di hape, biar kamu beneran yakin kalo aku nggak main-main sama hubungan kita." Bahkan Ersan juga telah mengambil satu keputusan, agar Senja benar-benar percaya padanya.

"Ih, nggak usah, Sayang. Ntar kamu pake apa kalo ATM Gajimu aku yang pegang?"

"Pake yang BCA lama itu, Yang. Duit trading. Hehehe."

"Ya ampun, Yang! Kamu masih main gituan? Itu judol kali, Yang!" Memang tak mudah, kembali membangun tembok yang sempat runtuh, jika tidak dibarengi dengan kokohnya pondasi.

"Lha, itu bukan judi online, Sayang. Kan, almarhum papamu yang ajarin dulu. Lupa? Aku main saham yang ini juga bukan ikutan ke perusahaan yang jualan minuman beralkohol, bukan juga yang riba-riba gitu. Beneran kok." Terlebih lagi ini esok pagi Senja akan bertolak ke Kupang, sementara Ersan tetap berada di rumah sakit, menyembuhkan semua luka-lukanya.

"Em, kirain. Ya udah kalo gitu. Em, tapi PIN ATM-nya jangan kasih tau ke aku ya? Buku Bank-nya juga kalo bisa kasih ke aku, Yang."

"Hehe ... Iya, Sayang. Nih, lihat. Udah aku uninstal Brimo. Sekarang mau chat Mami, biar ntar datang dibawa sekalian buku Bank-nya. Tadi Mami janji habis masak bakalan ke sini soalnya."

"Anak pintar. Cepet sembuh ya, Sayang. Jangan patah semangat, jangan suka ngomong kayak tadi, biar mentalnya juga sehat."

Ersan sangat sadar, Sang Pencipta akan selalu memberikan ujian bagi setiap hamba-Nya, "Iya, Sayang. I love you, Cantikku."

"I love you too, Gantengku." Namun, demi kesungguhan cinta yang hadir dari lubuk hati, Ersan berharap mereka dapat saling melengkapi. Menghadapi setiap ujian dengan penuh kesabaran, hingga pada akhirnya segala harapan berubah menjadi nyata.

Bukan lagi kau dan aku, melainkan kita yang selamanya akan berbahagia, hingga ke ujung waktu.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

.... BERSAMBUNG ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top