CEMBURU BUTA

Entah apakah hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah kebodohan atau sejenisnya, tapi itulah yang Ersan Handono rasakan sekarang. Usai mengantar Senja Riani ke Jalan Merdeka Barat--Jakarta Pusat setengah jam lalu untuk mengikuti Seminar di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kini ia kembali lagi ke sana.

"Bisa-bisanya gue lupa minta nomornya Senja. Astagfirullahaladzim ... Terus capek-capek anterin dia sampai sini buat apaan coba? Begonya kebangetan deh lo, San. Ampun!" gerutu Ersan memukul setir mobil.

Ya, begitulah yang terjadi. Rasa bahagia akibat kembali bertemu dengan Senja, ternyata sukses membuat Ersan melupakan satu hal penting yaitu, nomor ponsel.

Sebenarnya Ersan sudah berencana akan bertandang ke rumah Senja di Jakarta Selatan, nanti malam. Namun, ia berpikir ada baiknya nomor ponsel sang mantan kekasih harus lebih dulu dirinya miliki.

Ersan ingin membangun komunikasi sebelum berkunjung, khawatir jika ternyata saat sampai, Senja tak ada di rumah.

Sibuk meraba dan mencari sesuatu di saku celana cargo, gerutuan Ersan kembali lagi terdengar, "Kan, bego lagi, kan? Rokok yang tadi gue beli mana? Ini duit kembaliannya ada, tapi kok rokoknya nggak ada, sih?"

Kali ini adalah bentuk kelalaian kedua di hari yang sama dan tawa keras Ersan Handono menyusul setelahnya. Sadar jika semua hal tersebut dapat terjadi akibat satu nama, tak lain adalah dia, Senja Riani.

Melirik ke arah dashboard, tempat jam analog berada, Ersan pun memutuskan untuk kembali memutar anak kunci di hadapannya. Ia menghidupkan mobil dan beranjak dari sana, menuju warung tempatnya membeli sebungkus rokok tadi.

Kendati jarak dari tempat seminar hingga ke warung tidak terlalu jauh, tetapi jalanan ibu kota membuat kesabaran Ersan benar-benar diuji.

"Duh, salah jalan nih! Coba potong jalan lewat Gang Duren itu aja. Jadi kena macet deh ah! Semoga aja Senja belom pulang dari seminar," kesal Ersan menggaruk keras kepalanya yang tidak gatal.

Apa boleh buat, ini adalah jam makan siang, dan bukan di hari libur. Jika minggu lalu Ersan tak mengajukan cuti, maka mungkin ia pun sedang sibuk-sibuknya bekerja.

Tiga puluh empat menit berlalu tanpa terasa, barulah mobil Ersan dapat kembali masuk ke pelataran parkir Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ia mulai membuka bungkusan rokok dan menurunkan kaca jendela, masih dalam mode menunggu sang mantan kekasih selesai mengikuti seminar yang entah apa, dirinya pun lupa bertanya tadi.

Sembari sibuk melihat akun media sosial Senja yang sudah setahun lebih tidak menampakkan pembaruan apa pun, Ersan memaksa isi kepalanya untuk berpikir sekeras mungkin.

Ersan merangkai satu demi satu kalimat manis dan coba menghafalnya, "Ja, aku mohon ... sekali ini aja tolong maafin gue, ya? Gue janji nggak akan nyelingkuhin ... Ck! Enggak gitu, San! Lo jangan pake kata selingkuh, karena itu sama aja lo ingetin Senja soal perbuatan buruk lo dan dia bakalan nolak lo lagi ntar! Yang lain aja, yang lain yuk bisa!"

Jari Ersan bahkan bergerak cepat membawa layar ponselnya keluar dari sosial media milik Senja menuju ke laman Google Chrome dan mulai mengetik beberapa kata di sana.

"Yaelah! Di sini kata Mbah Google, kalo mau minta maaf ke cewek lebih bagus lagi kalo pake bunga, tapi ... Ck! Ya, tapi ini udah jam berapa, Njir? Ntar kalo gue jalan nyari bunga, bisa-bisa pas sampe sini, Senja udah keburu pulang duluan dong. Ya, kan?" gumam Ersan pada dirinya sendiri usai membaca sejumlah tulisan di layar ponsel, "Tadi aja macetnya bukan main sampe setengah jam lebih. Emang nyari bunga-bungaan deket sini ada? Perasaan jauh banget ya, kan? Muter lagi deh tuh lewat Bunderan HI. Macet lagi dah gue!" Memikirkan segala dengan seksama.

Ersan Handono yang sehari-hari bekerja sebagai salah satu staf di Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Provinsi DKI Jakarta, sebelumnya bahkan tak pernah memberikan setangkai bunga pun pada Senja Riani, kendati dahulu mereka pernah menjalin kasih nyaris tiga tahun lamanya.

"Udahlah, ntar habis dari sini, mampir ke tempat makan Sushi aja baru gue minta maafnya. Senja paling doyan itu, apalagi Sushi yang di PI itu, kan? Kali ini dia mau makan sebanyak apa pun, terserah dah pokoknya. Intinya apa, San? Intinya semoga bisa balikan lagi dan nggak boleh gila-gila lagi jadi orang. Ya, kan?" Dulu Ersan dan Senja lebih banyak menghabiskan waktu pacaran mereka dengan berburu makanan-makanan enak, hingga keterangan dari Google tentang setangkai bunga, tergantikan begitu saja.

Kini Ersan bahkan kembali berkutat pada layar ponselnya, melihat-lihat apakah Restoran Sushi terbaik di Plaza Indonesia yang ia maksud, hari ini memberikan diskon-diskon menarik.

Terlalu asyik melihat-lihat hingga menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit dan lima batang rokok, tiba-tiba saja indera pendengaran Ersan menangkap keriuhan yang kian membahana.

"Nah, akhirnya orang-orang yang ikut seminar itu udah pada pulang deh. Gue kudu turun dari mobil nih kayaknya. Ntar Senja nggak tahu lagi gue nungguin dia dari tadi. Ya, kan?" gumam Ersan untuk kesekian kali, pada dirinya sendiri.

Seminar tentang Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak yang Senja ikuti, rupanya telah berakhir beberapa menit lalu, "Pulang bareng aku aja nggak usah naik Grab, Sen. Ntar aku traktir makan mie baru di restonya artis siapa tuh? Em, Nikita! Iya-iya, Nikita Mirzani."

"Ish, fomo banget deh lo, Pink. Tumben-tumbenan pengen makan di resto artis. Kesambet apaan emang?" Ini adalah hari pertama, sesuai penjadwalan satu minggu ke depan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Senja yang merantau ke Ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur sesuai Surat Keputusan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tidak sendirian saja menghadiri seminar itu, "Hahaha! Nggak kesambet, Sen. Kan, suka nonton youtube Mbak Farida Nurhan tuh. Dia kemarin riview mienya si Nikita Mirzani, terus di kolom komentarnya pada bilang mirip Mie Gacoan. Kan, lo tau sendiri kita di Kupang gimana? Tiap jam makan siang udah pasti ngacir ke Mie Gacoan."

"Oh, itu. Habisnya mau gimana lagi, orang tiap mau makan yang lain, lo sama Sesil selalu milih Mie Gacoan. Gue yang cuma numpang ke kalian bisa apa selain ngikut. Ya, kan? Pas juga sampe sana selalu Sesil yang effort bayarin. Siapa coba yang nggak kepengen gratisan. Hahaha." Ada Pinky Novilda Silalahi turut hadir di sana, rekan sejawat Senja Riani, sekaligus sahabat wara-wirinya sehari-hari.

Saat ini Pink berusaha menawarkan tumpangan gratis pada Senja, "Ye, modus terus. Ya, udah ayo sini bareng gue aja deh. Ade gue yang janji mau jemput tadi. Namanya Biru, ntar gue kenalin lo ke dia."

"Buset! Nama kalian unik-unik, ya? Elo Pink, adek lo Biru." Pink bahkan ingin mengajak Senja hangout bersama adik kandungnya juga.

Senja dan Pink berceloteh riang sembari terus melangkah menuju pintu utama gedung serba guna yang dipergunakan sebagai tempat seminar, "Apaan, orang lo juga namanya lucu, Senja. Ya, kan? Kalo digabung kayak cocok aja gitu dengernya. Biru dan Senja. Senja dan Biru. Hahaha! Ya, kan, ya? Hahaha!"

"Ah, elo ada-ada aja. Gue belom kepikiran ke sana kali, Pink. Masih pengen kejar target jadi wanita karir yang sukses, kaya raya, dan banyak duit kali. Ngapain cepet-cepet nikah. Dih, capek!" Membahas banyak hal mulai dari restoran baru seorang artis ibu kota, hingga romansa percintaan.

Pink bermaksud ingin membangun silaturahmi dengan memperkenalkan adiknya pada Senja, "Ampun ... Gue cuman mau kenalin lo sama adek gue aja kali, Sen. Belom ada kepikiran juga dia bakalan ngelangkahin gue buat nikah duluan sama lo. Dasar lo ah. Ketauan nih kayaknya kebelet nikah, ya?"

"Dih, apaan! Lo nggak tau aja gimana nyeseknya ngurusin laki, apalagi laki yang modelannya kayak mantan gue, Pink. Astagfirullahaladzim ... Sama satu perempuan tuh dia nggak cukup gitu. Gatel tingkah Dewa dia mah, nggak takut penyakit kelamin kayaknya." Namun, Senja masih saja terkesan menutup diri, masih belum bisa melupakan rasa sakitnya di masa lalu.

Untung saja Pink adalah jenis manusia ramah lingkungan yang mudah melontarkan banyak candaan, "Hah? Penyakit kelamin? Nggak cukup sama satu perempuan? Emang pas pacaran kalian udah sampai saling memuaskan apa gimana, sih, Sen? Otak gue agak blank nih tiba-tiba."

Pink sudah berulang kali mendengarkan omelan pedas Senja tentang Ersan yang pernah menduakannya. "Yeee ... Elo mah mulai deh mesumnya kalo gue udah ngomong soal kelamin. Bahasa gitu tadi tuh cuman kiasan doang, Pink. Ya, kali gue harus pecahin perawan pas masih pacaran. Nggak estetik banget sama SK yang tahun lalu gue terima. Ya, kan?"

"Hahaha, emang! Tapi, adekku polisi lho, Sen. Udah Briptu malah. Yakin lo nggak mau jadi calon Ibu Bhayangkari? Hahahaha!" Jadi kali ini, Pink merasa sudah saatnya Senja membuka lembaran baru.

"Serius adek lo polisi, Pink?! Keren juga tuh kayaknya jadi Ibu Bhayangkari. Gue PNS, dia Polisi." Pink mempromosikan adik kandungnya yang merupakan salah satu Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan benar saja. Dua kelopak mata Senja terbuka lebar, saat menanggapi informasi tersebut.

Semakin terkekeh lebar melihat reaksi alamiah yang Senja tampilkan, Pink menjadi kian bersemangat di sana, "Hahaha! Nah, itu pas, kan? Udah ayo cepetan gue kenalin lo ke Biru, yuk. Mumpung dia lagi jomblo nih. Hahaha!"

"Ya, udah ayo. Eh, tapi ... adek lo ganteng, kan, Pink? Mukanya nggak jauh beda kayak lo gini dong pastinya, ya, kan?"

Saat Senja melontarkan banyak pertanyaan, Pink pun menjawabnya dengan penuh semangat. "Hahaha! Gemes deh, ah. Udah pasti ganteng dong, Sen! Malah kata orang-orang, dia tuh lebih gue, sih. Dia lebih tinggi dari kita berdua, kulitnya lebih putih, bulu matanya lentik alami, terus badannya, Sen ... Ugh! Badannya keker banget ada otot-ototnya banyak gegara dia hobi ngegym! Lo bayangin dah tuh gimana jadinya kalo gue yang sekece badai ini, terus dia lebih dari itu. Ya, kan?"

"Njir! Yaudah, sih. Ayo cepetan lo telepon adek lo deh sekarang, Pink. Tanyain dia sekarang udah nongol di tempat parkir atau--"

"Ekhem! Ja, ayo pulang." Tak menyadari jika sejak tadi obrolan keduanya didengarkan oleh Ersan.

Tentu saja jantung Senja seakan hendak melompat keluar dari tempatnya, "Egh? Er-Ersan? Kok kamu--"

"Tadi aku mampir ke rumah pas kelar nganterin kamu di sini. Sampai sana aku sama Mama ngobrol, terus nggak lama aku disuruh Mama jemput kamu. Udah selesai seminarnya, kan?" Senja benar-benar terlihat kikuk di sana, sementara Ersan yang wajahnya saat itu terlihat sangat memerah, berusaha mati-matian menahan kekesalannya.

"Iya, tapi ... aku sama Pink rencananya mau--"

"Mau apa, hm? Mau makan mie? Udah sama aku aja, yuk? Biarin Pink pulang sama adeknya, terus kita makan Sushi kesukaan kamu aja di PI. Tuh, Mama udah nungguin di mobil. Ayo cepetan." Ersan bahkan tak membiarkan Senja menyelesaikan ucapannya dan menciptakan satu kebohongan yang terdengar sangat janggal di telinga gadis itu.

Rasa cemas dan takut melebur menjadi satu dalam diri Senja, "Ish, lepasin dulu tangan aku, San! Pink, tolongin dong! Ini orang--"

"Mbak Pink, Senja ini calon istri saya. Kami duluan nggak papah, kan, Mbak?" Namun, Ersan tetap saja tak mau memedulikan itu semua. Ia menarik pergelangan tangan kiri sang mantan kekasih, bergegas membawanya menuju ke tempat parkir.

Bukan Senja Riani namanya jika ia hanya diam saat mendapatkan perlakukan buruk, terlebih orang itu adalah Ersan Handono, "Sialan! Lo gila, hah?! Lo bilang ke Pink apa tadi? Calon suami gue? Ogah! Lepasin nggak, San! Lepasin tangan gu--Hemph!"

Meski sadar jika perbuatan memaksakan kehendak adalah sebuah kesalahan, nyatanya Ersan tak bisa berhenti sampai di situ. Ia mendorong tubuh mantan kekasihnya, hingga membentur pintu mobil yang masih tertutup.

Tanpa basa-basi, Ersan pun melumat habis bibir Senja. Rasa kesal dan kerinduan melebur menjadi satu dalam diri laki-laki itu. Tak bisa lagi dibendung, setelah lebih dari setahun keduanya berpisah.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

BERSAMBUNG ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top