8

"Kenapa lagi? Ada masalah dengan pesta tadi?"

"Biasalah, karena itu Mami membiarkan papimu sendirian."

"Mami kuat banget jadi perempuan."

"Bukan kuat, sebelum menikah mami sudah tahu konsekuensi menjadi istri papimu. Jadi nggak ada alasan untuk lari dari kenyataan. Lagi pula mami tidak ingin berpisah dengan kalian. Kalau kami bercerai, kalian yang akan menjadi korban padahal kesalahan tidak terletak pada kalian. Untuk apa mengorbankan anak demi kesenangan orang lain? Biarkan saja mereka bicara apa, yang penting selama papi kamu tetap menjaga perasaan mami, jangan peduli dengan mereka."

"Terima kasih, aku tahu Mami sudah mengorbankan banyak hal agar bisa bertahan dengan Papi."

"Itu bukan pengorbanan, tetapi tentang mami yang mencintai papimu. Dia sudah berkorban banyak untuk menikahi Mami. Sebagai istri harus menghargai dengan cara tetap berada di sampingnya meski memang tidak mudah."

"Jadi romantis kedengarannya. Kalau sudah begini pasti sebentar lagi Mami ajak Papi jalan-jalan."

"Iya, jalan-jalan ke taman belakang." jawab sang ibu sambil tertawa. "Tahu sendiri papimu dunianya cuma kerja, tapi beruntung, sih, jadi nggak pusing kalau papimu terlambat pulang."

Keduanya tertawa keras.

"Makanya kalau boleh aku nggak mau punya suami pengusaha."

"Yakin kalau papimu akan setuju? Setahu mami tidak, dia lebih suka kalau kamu menikah dengan pebisnis. Kami pernah diskusi, katanya analisamu lebih tajam daripada Mario. Dan sayang kalau nanti tidak digunakan. Makanya papi sejak awal melarangmu untuk menikah muda."

"Iya, sih, lagian lingkungan pergaulanku hanya berada diseputaran pebisnis. Nggak punya teman dari kalangan lain. Nggak mungkin juga dapat di luar mereka."

"Kamu mau nginap di sini?"

"Iya, malas sendirian."

"Kalau begitu tidur sekarang, tahu sendiri papimu selalu bangun pagi."

Jemima tersenyum kemudian berbaring. Menatap Dandelion yang sedang membersihkan wajah. Maminya tetap terlihat cantik hingga sekarang. Berharap kelak menemukan seorang laki-laki seperti papi yang selalu menyayangi dan menjadikan istrinya seperti ratu. Melindungi setiap kali keluarga Tanujaya menyerang. Mami tetap menjadi pribadi yang rendah hati meski begitu diistimewakan oleh Papi. Gadis itu kemudian bangkit dari ranjang.

"Mau ke mana, Ce?"

"Ruang kerja Papi, belum cium."

Sang ibu hanya tersenyum sambil mengangguk. Memasuki ruang kerja Richard, terlihat sang ayah sedang menuang minuman.

"Apa Mim?"

Jemima mendekat kemudian mencium pipi sang ayah. "I love you, Pi."

"Ada apa, nih?"

"Enggak, senang aja bisa punya Papi yang ganteng."

"Ada saja kamu." balas sang ayah sambil mengelus kepala putrinya. "Mami mana?"

"Lagi bersihin wajah. Papi ngapain minum?"

"Cuma satu gelas, kepingin sejak tadi. Wine yang di pesta tidak cocok untuk Papi. Mau?"

"Boleh,"

Richard menuangkan segelas untuk Jemima. Sejak berusia tujuh belas tahun ia memang mengijinkan putra dan putrinya untuk meminum alkohol.

"Enak, Pi."

"Dikirim langsung dari Italy."

"Wow, pantas."

"Bagaimana perkembangan proyek pertama kamu?"

"Besok akan rapat dengan pihak yayasan."

"Bagus, selesaikan dengan baik. Papi tunggu hasilnya."

"Siap Pi. Aku tidur di kamar papi, ya."

"Iya, kamu mau duluan?"

Jemima hanya mengangguk kemudian mengecup pipi sang ayah. Setelah memeluk sebentar gadis itu kembali ke kamar dan masuk ke dalam selimut menyusul sang ibu.

***

Chandra membereskan peralatan yang dipakai untuk acara pertemuan pemerintah bersama tokoh masyarakat dan Kepala Sekolah se-kecamatan yang baru saja selesai. Pak Camat yang masih muda segera mendekat.

"Terima kasih, Dok. Sudah bersedia memberikan penyuluhan pada hari ini. Semoga hasil pembicaraan tadi memberi manfaat pada masyarakat. Saya benar-benar kehabisan akal karena meningkatnya jumlah pernikahan usia dini akhir-akhir ini."

"Ya, kadang memang sulit Pak. Apalagi kurangnya edukasi dari orang tua dan tokoh masyarakat. Bahkan banyak yang menganggap kalau anaknya menikah maka tanggung jawab mereka sudah selesai. Tidak peduli apa yang akan terjadi pada rumah tangga anaknya nanti. Belum lagi kehamilan di usia muda. Risikonya besar sekali untuk ibu dan bayi. Butuh kesiapan mental menjadi orang tua di jaman sekarang."

"Begitulah Dok kalau tinggal di daerah. Masalah kami tidak pernah jauh dari hal seperti ini."

"Pelan-pelan Pak. Nanti kita ajak bicara. Semoga para orang tua juga semakin paham dan mampu menasehati anak-anak mereka."

Chandra mengangguk dan kembali menjabat tangan Pak Camat. Kemudian membawa peralatan yang dibawanya tadi ke dalam mobil. Pak Camat mengikuti dari belakang.

"Wah, mobil dokter bagus."

"Mobil ibu saya, kalau saya nggak akan kebeli."

Wajah Pak Camat terlihat semakin semringah. Sesuatu yang sebenarnya sangat tidak disukai Chandra. Ia sudah paham tujuan laki-laki di depannya tersebut.

"Oh iya, apa dokter masih single?"

"Masih, ada apa, nih?"

Pak Camat tersipu. "Mau saya kenalkan dengan adik saya. Dia baru selesai kuliah di Bandung."

Chandra hanya tertawa kecil. "Maaf, sampai saat ini saya belum berencana untuk mencari pasangan. Sedang menikmati pekerjaan. jadi mungkin saya bukan orang yang tepat." balasnya tegas.

Chandra segera pamit dan pergi tanpa menunggu jawaban. Masih beruntung Pak Camat tidak tahu siapa dia sebenarnya. Kalau sampai tahu, bisa-bisa hampir setiap hari akan ada kiriman makanan yang datang ke klinik. Itu adalah hal biasa selama ini. Mungkin masyarakat berpikir bahwa status sebagai dokter, otomatis memiliki penghasilan besar. Sering juga berpatokan pada Dokter Ettore atau Akandra yang bisa hidup berkecukupan. Orang tidak tahu kalau pasangan mereka yang membuat kehidupan keduanya menjadi seperti itu.

Berusaha untuk tetap tenang, Chandra menjalankan kendaraan menuju Jakarta. Setelah ini ada janji dengan pihak NSA. Berharap nanti akan ada tim yang hadir. Tidak suka jika harus berhadapan hanya berdua dengan Jemima lagi. Sebelum ke kantor NSA, pria itu mampir ke kantor Gerald. Beberapa yang sudah mengenal dengan baik segera menyambut dengan ramah dan mengantar ke lantai 18. Ia memberikan senyum ramah pada seluruh sekretaris dan asisten pribadi sebelum akhirnya masuk ke ruang kerja Papinya.

"Tumben kamu datang?" sapa Gerald sambil bangkit dari kursi.

"Ada waktu setengah jam sebelum pertemuan. Aku mau ke NSA. Ada proyek dengan mereka."

"Proyek apa?"

"Pembangunan klinik. Dipegang oleh putri Pak Richard, Jemima."

"Oh, yang baru selesai kuliah itu?"

"Aku tidak terlalu mengenalnya."

"Kamu kelamaan di hutan sampai tidak mengenal orang yang sekarang sedang ramai dibicarakan."

"Dia kenapa?"

"Sepertinya Pak Richard sedang menyiapkannya untuk menjadi salah seorang pemimpin tertinggi NSA. Katanya dia memiliki intuisi bisnis yang tajam. Melebihi adik laki-lakinya."

"Kalau tentang itu aku tidak tahu."

Gerald segera berhenti, sadar kalau Chandra tidak akan tertarik dengan topik itu. "Kamu mau bicara sesuatu yang penting? Atau ada sesuatu yang harus kita bahas?"

"Apa saja, kecuali tentang bisnis dan wanita."

"Kenapa dengan kedua topik itu?"

"Yang pertama aku tidak tertarik pada bisnis. Dan yang kedua, aku lelah ditanya tentang perempuan. Dan yang terakhir, aku datang kemari karena kangen sama Papi. Ada waktu?"

"Lima belas menit lagi papi ada pertemuan. Mau minum kopi?"

Chandra berusaha untuk menahan rasa kecewa. "Nggak cukup waktunya untuk minum kopi. Kalau begitu aku pamit."

"Cepat sekali?"

Chandra hanya tersenyum. "Papi pasti harus siap-siap. Next, kalau ada waktu aku mampir dengan perjanjian."

"Hati-hati." balas Gerald sambil menepuk bahunya dan mengantar putranya sampai ke pintu.

Di dalam lift, pria itu mengembuskan nafas pelan. Sejak dulu papinya memang seperti itu. Seluruh hidupnya sudah tertata. Mulai dari jam bangun pagi, sampai tidur malam. Keluarga akong sangat disiplin mengenai yang satu ini. Sikap gila kerja sang ayah yang menjadi salah satu alasan maminya untuk berpisah. Patricia tidak suka diatur, apalagi tentang waktu. Bukan berarti maminya tidak bertanggung jawab. Namun, lebih mementingkan sisi kemanusiaan.

Chandra tahu kalau Gerald tidak pernah memikirkan perempuan selain Patricia. Kalaupun ada perempuan lain yang datang, hanya sebentar. Paling lama satu tahun. Setelah itu akan berpisah. Dan kebanyakan alasannya adalah karena Gerald tidak bisa menjanjikan pernikahan. Sementara Patricia memang seorang perempuan tangguh yang tidak membutuhkan siapa pun untuk bisa tegak berdiri, apalagi laki-laki. Maminya pernah berkata, tidak ingin menikah lagi karena merasa sudah nyaman dengan kehidupan yang sekarang. Punya bisnis, punya anak laki-laki, punya teman yang selalu ada saat dibutuhkan. Lalu apalagi yang dicari? Tidak perlu merepotkan diri untuk mengurus suami.

Dalam keluarga seperti itulah Chandra tumbuh. Ketika kedua orang tuanya fokus pada pilihan hidup mereka dan akhirnya ia pun mengikuti jejak mereka. Meski pada awalnya untuk mencari jati diri dan keluar dari rasa kesepian. Akhirnya menikmati, karena memberi kepuasan tersendiri saat bisa menolong nyawa orang tepat waktu. Melihat senyum pada keluarga pasien. Menatap mata dan wajah orang yang berkumpul di tempat sederhana yang menunggu kehadirannya. Chandra merasa hidupnya lebih berarti dan dibutuhkan.

Akhirnya ia tiba di gedung NSA. Menurut rencana, hari ini akan ada Dokter Akandra yang mendampingi. Chandra lebih dulu tiba di sana. Seperti biasa ia terlalu cepat hadir. Karena sejak dulu selalu menghargai waktu. Hampir lima belas menit menunggu barulah Dokter Akandra datang. Tim dari Jemima hadir sepuluh menit kemudian. Semua orang bergegas menyiapkan berkas dan fokus menatap layar besar yang ada di hadapan mereka.

Kali ini Chandra yang memimpin pertemuan. Menjelaskan secara rinci mengenai rencana pembangunan klinik. Jemima beberapa kali bertanya tentang rincian waktu dan juga biaya. Hingga akhirnya pertemuan pertama itu mencapai kesepakatan. Ada beberapa poin dalam proposal yang diajukan yayasan harus diperbaiki agar lebih sesuai dengan keinginan tim dari NSA. Semua mengembuskan nafas lega. Setelah menutup pertemuan, Jemima mendekatinya.

"Sorry, saya turut berdukacita atas meninggalnya ibu dari Ariel."

"Terima kasih."

"Kalau boleh tahu, kenapa?"

Chandra menatap perempuan di depannya, merasa sulit untuk menjelaskan hal ini. Pada pertemuan yang lalu mereka bahkan sempat ribut. Mulai sekarang ia merasa harus bisa lebih profesional dan tidak membuat masalah dengan putri sang pemilik NSA.

"Kami tidak melakukan pemeriksaan. Dia tinggal sendiri dan tidak menyampaikan keluhan apa pun pada tetangga. Suster Pur dan tetangga menemukannya dalam keadaan sudah meninggal. Yang sangat disayangkan sebenarnya karena dia tinggal sendiri. Selama ini ada Ariel yang menemani dan membantu mengurus ibunya ketika sakit."

Wajah Jemima segera berubah, "Ariel?"

Chandra menghela nafas sejenak. "Saya kira anda sudah tahu. Ada panti asuhan milik yayasan yang dipimpin oleh Ibu Glory Wiratama. Biasanya kami akan mengirimkan anak-anak seperti mereka ke sana."

"Apa saya boleh mengunjunginya?"

"Silahkan, saya akan berikan alamatnya kalau anda mau."

"Ya, terima kasih Dok. Saya benar-benar menyesal."

"Saya pamit kalau begitu."

"Oh, ya, kapan kita akan meninjau daerah tempat pembangunan klinik?"

"Secepatnya, setelah saya mendapat kepastian dari pihak pemerintah daerah. Akan saya kabari ke tim NSA."

"Baik, Dok. Terima kasih."

"Sama-sama."

Chandra pamit undur diri. Beruntung pada pertemuan kali ini tidak ada masalah apa pun. 

***

Happy reading

Maaf untuk typo

25124

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top