6
Chandra akhirnya pulang setelah selesai mengantar Ariel ke Panti Asuhan Arum Dalu. Mobilnya berhenti saat melihat Gemma duduk di teras. Ia segera turun.
"Gemma ngapain di sini?"
"Sepi, Geppa sedang pergi ke rumah Patrick."
"Mau ikut aku ke rumah?"
"Kamu menginap di sini saja."
Sang dokter tersenyum, "Aku mandi dulu, ya."
"Iya, badan kamu bau."
"Baru dari pemakaman. Gemma sudah makan?"
"Nanti bareng kamu saja."
Chandra langsung kembali memasuki mobil dan pulang ke rumah. Didapatinya Patricia yang sepertinya baru pulang dari kantor.
"Mami dari mana?"
"Ada pertemuan bisnis, kamu?"
"Pemakaman. Sudah makan?"
"Mami tidak pernah makan malam."
"Aku akan makan malam bersama Gemma. Tadi ketemu, dia lagi duduk di teras sendirian."
"Mami mandi dulu, nanti ikut kamu ke sana."
"Aku akan nginap di sana, mau ikut?"
Sang ibu hanya mengangguk. Keduanya memasuki kamar masing-masing. Chandra memahami kesibukan ibunya. Sudah bagus jam delapan malam Patricia berada di rumah. Kadang pulang tengah malam karena ada yang harus dikerjakan: menghadiri undangan atau pertemuan. Sejak kecil ia sudah terbiasa sendiri dan tidak bertanya terlalu jauh. Akhirnya pria itu membiarkan tubuhnya tersiram air dari pancuran. Ia paling tidak suka dengan keadaan seperti ini. Mengantar seorang anak kecil ke panti asuhan karena tidak punya keluarga.
Banyak yang tidak tahu alasan terbesar kenapa ia lebih suka dunia volunteer. Yang terutama adalah bisa membantu banyak orang seperti Ariel. Memastikan kalau mereka baik-baik saja dan berada di tangan dan tempat yang tepat. Tidak membiarkan anak kecil hidup di jalanan tanpa pendidikan dan perlindungan.
Sejak kecil terbiasa melihat kedua orang tuanya sibuk. Bahkan mereka jarang bertemu kecuali saat weekend. Kadang ia berharap agar mereka bisa menghabiskan waktu bertiga saja. Sayang, hal itu sangat jarang terjadi. Semakin sulit ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Hingga akhirnya Chandra merasa bisa menerima dan tidak protes lagi. Lebih suka mencari kesibukan sendiri dan tidak mengganggu orang tuanya. Mencari kesibukan agar tidak kesepian. Karena itu ia sangat memahami Gemma, Geppa dan orang lain yang harus melewati hari tanpa teman. Dan akan dengan senang hati menemani jika dibutuhkan.
Selesai mandi Chandra mengetuk pintu kamar Maminya. Ternyata Patricia masih melakukan perawatan wajah. Bahkan belum mandi.
"Mi, aku duluan, ya. Kasihan Gemma nanti nunggu terlalu lama."
"Ya, sudah. Nanti mami jalan kaki saja."
"Atau telepon aku. Nanti kujemput."
"Boleh."
***
"Kamu kenapa belum menikah?" tanya sang nenek begitu mereka selesai makan. Pertanyaan tentang pernikahan adalah sesuatu yang sangat tidak disukainya selama ini.
"Untuk apa?"
"Supaya tidak sendiri, dan kamu nggak kesepian nanti. Kalau ada pasangan, kan, ada teman bicara. Bertukar pikiran saat punya masalah."
"Mungkin aku adalah orang yang menikmati hidup sendirian. Tidak usah khawatir ada banyak orang yang menemani."
"Tapi bukan pasangan. Usiamu sudah berapa? Apa masih trauma dengan perpisahan Papi dan mamimu?"
"Enggaklah, aku hanya belum ketemu yang tepat."
"Gemma mendengar kabar buruk tentangmu kemarin. Kenapa sampai seperti itu?"
Chandra menatap neneknya. Kemudian tersenyum sedih sambil meraih jemari tua yang penuh kerutan. Kalau Gemma tahu artinya Mami juga tahu.
"Aku yang salah."
"Kenapa?"
"Aku menitipkan perasaan pada orang yang salah."
"Sudah lama berhubungan dengannya?"
"Bukan tentang lama. Dia putri dari orang yang kukenal dengan baik. Biasa menginap di rumahnya kalau kemalaman pulang ke kota. Aku memang suka dia."
"Kamu tidak pernah bicara."
"Aku hanya belum mau cerita kalau belum pasti. Niatku kalau dia mau akan kuberitahu. Nggak tahunya dia tiba-tiba hamil dan menuduhku ayah dari anaknya. Nggak usah Gemma, aku dan teman-teman juga kaget."
"Beneran bukan kamu, kan?"
"Bukan, lagian kalau beneran, aku pasti tanggung jawab. Nggak mungkin aku ninggalin orang yang kusukai begitu saja, apalagi ada anakku di rahimnya. Masalahnya aku nggak merasa ikut membuat."
Elizabeth mengembuskan nafas kasar sambil memukul pundak cucunya. "Lagian bagus kamu nggak jadi sama dia. Kalau mau cari pasangan itu, sebaiknya yang setara. Setidaknya kalian tidak terlalu sulit untuk beradaptasi."
"Mami sudah tahu?"
"Sudah, tapi dia memilih untuk tidak ikut campur kecuali kamu minta bantuan. Syukurnya kemarin kamu selesaikan sendiri."
"Ya, kebetulan aku punya saksi dan secara medis bisa diketahui bahwa janin itu bukan bayiku. Akhirnya dia tidak bisa apa-apa. beruntungnya lagi, ada laki-laki yang mengaku sebagai ayah dari anak itu."
Pintu kamar diketuk. Patricia muncul dengan piyamanya.
"Mami nggak telepon. Kan, bisa kujemput."
"Nggak usah, mami masih bisa bawa mobil sendiri. Tidur di sini?"
"Iya, nemenin Gemma. Mami sini." Chandra menepuk tempat kosong disebelahnya. "Udah lama nggak tidur bareng."
"Kamu itu tato tambah terus." Protes sang ibu saat melihat putranya cuma mengenakan kaos dalam.
"Aku suka, nanti kutambah dengan gambar Papi dan Mami. Biar kalian bersama sampai aku mati."
"Sembarang kamu!"
Chandra hanya tertawa. Kemudian pindah ke belakang neneknya. Berusaha memejamkan mata, sudah terlalu letih seharian tadi. Masih terdengar kedua perempuan yang sangat dekat dengannya itu berbincang. Namun, kantuk sudah memanggil begitu kuat.
***
Jemima membenahi letak gaun malamnya yang tampak mewah. Meski selama ini tidak terlalu dekat dengan Izabel, ia didaulat menjadi salah seorang bridesmaid. Dandelion segera mendekati putrinya lantas memasangkan perhiasan.
"Kamu turun duluan? Mami mau bantu papi dan adikmu dulu."
"Bareng aja, lagian tugasku nggak penting banget. Cuma untuk memenuhi jumlah kuota."
"Nggak boleh ngomong gitu."
"Mami selalu saja membela mereka."
"Bukan membela, tapi menghormati keluarga papimu. Kamu adalah bagian dari mereka. Mami kembali kamar dulu. Kamu gabung saja dengan keluarga lain."
Jemima hanya mengangguk sambil duduk di sofa. Ibunya selalu seperti itu. Mengalah meski kadang perbuatan mereka sangat menyakitkan. Semua demi Papi. Hal tersebut selalu membuatnya kesal. Pesta malam ini akan sangat meriah dan mewah. Pernikahan dua keluarga ternama. Sejak dulu ia tidak suka pesta. Terutama karena sering menyaksikan kalau maminya tidak pernah mendapat tempat istimewa. Berbeda ketika Aunty Jaqueline yang hadir. Bagi keluarga Tanujaya, ada saja yang salah dalam diri Mami. Beruntung jika ada acara seperti ini, papinya selalu mendampingi dan muncul sebagai penengah.
Sebelum pesta, beberapa kali ia mengunjungi rumah besar. Aunty Rania selalu bercerita tentang bisnis keluarga Wijaya. Tentang Izabel yang beruntung karena menikah dengan salah seorang pewaris utama. Izabel yang nanti akan tinggal di kediaman keluarga Wijaya. Izabel yang gaun pernikahannya saja menghabiskan uang milyaran. Dalam hati ia berteriak 'norak!'. Apa berarti keluarga Tanujaya tidak mampu membeli gaun semahal itu? Bukankah mereka semua juga punya uang yang tidak akan habis dalam waktu singkat?
Jemima menyadari satu hal, kalimat itu diucapkan hanya agar maminya, Dandelion merasa tersindir. Bahwa keluarga Mami tidak akan pernah sanggup menyamai mereka. Padahal kenyataannya Papi selalu membelikan yang terbaik untuk istri dan putrinya. Buktinya, perhiasan yang dikenakannya sekarang. Harganya tidak kalah jauh dari yang dikenakan Izabel nanti. Kecuali dalam hal tiara. Siapa bilang Richard Tanujaya tidak mampu membeli? Kadang keluarga besar saja yang terlalu sombong dan menganggap rendah orang lain. Karena itu dia malas jika harus bergabung. Lebih baik menunggu di sini.
***
Patricia sedang membenahi bagian samping kemeja putranya saat Gerald sang mantan suami masuk ke kamar tempat Chandra menginap.
"Kenapa Chandra?" tanya sang ayah.
"Nggak bisa pakai kemeja rapi. Kelamaan di hutan." jawab perempuan itu sambil fokus melipat kemeja sebelum Chandra mengancingkan celana panjang.
"Mami, nih, kemeja masih ditutupi jas dan vest. Nggak rapi juga nggak kelihatan."
"Bagaimana kalau nanti mau melepas jas dan vest-mu. Kelihatan, kan, kemejamu berantakan di dalam."
"Mami terlalu jauh mikirnya. Yang jadi pengantin itu Pierre, bukan aku."
"Tetap tidak ada salahnya tampil rapi."
"Turuti saja mamimu kalau mau hidupmu selamat malam ini." ucap Gerald akhirnya.
Perempuan itu hanya menggeleng dan merapikan bagian belakang. Lalu membantu memakaikan vest dan jas. Hingga akhirnya sang anak sudah terlihat sempurna.
"Papi sama siapa?" tanya Chandra.
"Sendiri."
"Tante Bulan nggak diajak?"
"Kami bukan pasangan."
"Lupa, ada pasangan Papi di sini."
"Tidak semua hubungan itu mudah, Chandra." balas Patricia.
"Kalau sudah tahu begitu, kenapa nggak cari solusi, sih?"
Kembali sang ibu mengembuskan nafas kasar. Kemudian memasang manset putranya.
"Kamu tidak tahu apa-apa." lanjut Patricia.
"Mamimu selalu begitu. Menganggap kita tidak tahu."
"Jangan menambah masalah Gee." bantah sang mantan istri.
"Papi ikut prosesi?" tanya Chandra.
"Ikut, bareng kamu?"
"Nggak mungkin bareng Mami, kalian bukan keluarga." balas sang anak sambil beranjak meninggalkan ruangan.
"Chandra!"
Yang dipanggil hanya melengos pura-pura tidak mendengar. Meninggalkan kedua orang tuanya di dalam kamar. ia segera menuju lift. Keluarga besar papinya berkumpul di penthouse. Namun ia tidak berniat ke sana. Merasa masih memiliki waktu dua puluh menit lagi, Chandra turun ke lantai tiga. Memesan segelas kopi sambil duduk sendirian. Sebenarnya paling malas ikut prosesi. Semua orang seolah menatapnya aneh. Diantara keluarga hanya orang tuanya yang bercerai. Tidak ada yang bisa menghalangi niat maminya.
Kopi datang, Chandra menyeruput setelah menghirup sedikit aromanya. Ia adalah pencinta kopi sejati. Tidak bisa hidup tanpa minuman itu, apalagi di pagi hari. Kadang saat malam juga masih membutuhkan kopi, beruntung tidak pernah punya gangguan tidur. Baginya kafein lebih baik daripada alkohol. Bisa membuatnya melupakan masalah hidup sejenak. Ada banyak hal yang kerap mengganggu pikiran. Namun, Chandra tidak terbiasa berbagi dengan siapa pun. Lebih suka menikmati sensasi sakit sendirian. Malas kalau ditanya dan disuruh bercerita. Karena itu dalam bergaul ia terkesan pasif.
Beruntung bertemu dengan Dokter Ettore dan Akandra yang paham bagaimana membuatnya bisa keluar dari kebiasaan yang sudah bertahun. Kini meski kadang masih terkesan sombong dan arogan, tetapi sudah bisa bekerja sama dengan banyak orang. Selebihnya, tidak ada yang berubah, ia tetap lebih menikmati kesendirian. Chandra melirik jam tangannya, kemudian segera beranjak. Lima menit lagi mereka semua harus berada di depan ballroom. Benar saja, saat turun, seluruh keluarga sudah berkumpul. Bergegas ia menuju kursi roda sang nenek. Sudah dua tahun ama tidak bisa berjalan.
Selesai mencium kedua pipi Akong dan Ama, Ia mengambil alih kursi roda ama.
"Kamu dari mana?"
"Minum kopi. Ama sudah makan?"
"Belum, nanti saja. Tapi sudah minum obat."
"Nanti aku suapi Ama."
Sang nenek tersenyum mengelus punggung tangannya. Hingga kemudian pintu sedikit terbuka. Ternyata kedua kakek dan neneknya tidak ikut prosesi. Dengan sigap Chandra mendorong kursi roda masuk ke dalam. Dengan demikian ia terhindar dari tugas yang paling berat, yakni menjadi pusat perhatian banyak orang.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
21124
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top