5

Jemima memejamkan mata sejenak sambil meremas bantal kursi yang ada di atas pangkuan—berusaha untuk mengumpulkan energi. Sepertinya laki-laki di depannya tidak akan mudah menyerah dan terus menyerang. Jika perdebatan ini terjadi di ruang kuliah, maka ia akan dengan senang hati meladeni. Mereka bisa beradu argumentasi selama yang dokter itu mau. Namun, tidak untuk sekarang. Baru kali ini ada orang yang mempermalukannya secara langsung. Meski pria di depannya memilih kalimat yang paling sopan.

"Tidak semua masalah harus kita selesaikan sendiri Dok. Apa gunanya membayar jasa orang lain yang bekerja pada kita? Saya tidak merasa harus bersusah-susah untuk bertemu dengan anak itu setiap hari. Saya punya banyak pekerjaan. Jadi anda salah kalau menuduh saya tidak bertanggung jawab. Saya sudah mendelegasikan pada pengacara. Kalau belum bertemu dengan mereka, bukan salah saya. Pak Yasser juga nggak mungkin menunggu keluarga anak itu sepanjang hari karena punya pekerjaan lain. Anda harus ingat satu hal. Bisa saja saat kejadian saya meninggalkan anak itu di tengah jalan. Tapi tidak, kan? Saya mau bersusah-susah membawanya ke klinik anda. Saya juga meninggalkan uang. Kurang apa lagi? Jangan terus menyudutkan saya, menganggap bahwa saya adalah orang yang paling bersalah sedunia!"

"Kalau anda memilih meninggalkan korban begitu saja malam itu, saya justru akan mempertanyakan di mana nurani anda! Ibu Jemima, buat anda mungkin uang satu juta malam itu tidak ada artinya. Bisa habis untuk sekali makan siang. Tetapi buat orang seperti Ariel dan ibunya, itu bisa menjadi biaya hidup selama dua minggu, bahkan kadang lebih. Ini sudah hari ke-tiga. Apakah anda dan pengacara anda sudah bertemu dengan Ariel atau ibunya? Apakah anda sudah tahu separah apa kakinya?"

"Anda mau mengingatkan tentang pinjaman saya? Berikan nomor rekening anda akan saya minta asisten untuk men-transfer. Jangan pernah menjatuhkan lawan dengan cara seperti ini Dok. Saya tahu siapa anda, kedudukan orang tua anda. Lalu apa gunanya juga uang satu juta untuk anda? Mau berpura-pura menjadi orang miskin di depan saya? Nggak sadar justru anda sudah menipu orang banyak dengan pura-pura miskin? Berhentilah mengungkit masalah itu. Lebih baik kita bicara tentang proyek ini. Pembangunan klinik jauh lebih penting dan bisa menjangkau banyak lapisan masyarakat. Anda tidak usah terlalu pusing memikirkan Ariel, orang-orang saya akan mengurus dengan baik."

Chandra tersenyum sinis. "Apa yang anda tahu tentang hidup saya? Orang yang hanya pernah bertemu dalam hitungan jam tidak layak berkata seperti itu. Saya hanya mau mengingatkan satu hal, anda hampir menghilangkan nyawa orang. Dan sekarang anak yang anda tabrak sedang terbaring di rumah sakit sendirian karena tulang kakinya retak. Ibunya tidak bisa menemani karena positif TB. Saya hanya bertanya tentang tanggung jawab, jawaban anda sudah panjang lebar. Ini bukan tentang latar belakang seseorang, melainkan attitude anda. Seharusnya latar belakang pendidikan dan keluarga bisa membuat anda lebih menggunakan hati nurani! Bagaimana anda mengurus banyak orang kalau satu masalah di depan anda saja tidak bisa? Di hadapan saya anda nol!"

Dokter itu kemudian bangkit berdiri kemudian meletakkan proposal di hadapan Jemima. "Ini proposal dari yayasan. Silakan anda baca. Beritahu kapan kita bisa bertemu untuk membicarakan proyek ini. Satu lagi saya tunggu lawyer anda untuk membayar biaya pengobatan Ariel, di Sudargo Hospital. Sampaikan saja atas nama Ariel Setiawan!"

Chandra melangkah pergi meninggalkan ruangan. Kalau bukan mengingat nama keluarga yang ada di belakang nama Jemima. Ia pasti sudah memaksa gadis itu untuk mengunjungi Ariel di rumah sakit. Dalam lift, pria bertinggi 180 sentimeter itu mengeraskan rahang. Merasa beruntung karena Maminya selalu mengajarkan untuk menggunakan hati. Ia tidak suka pada orang-orang seperti Jemima. Dan bahagia karena bisa memilih jalan sendiri. Tidak bisa membayangkan kalau tumbuh dikeluarga Jemima. Sampai di area parkir pria itu segera menaiki sepedanya. Di bawah tatapan heran orang-orang yang ada di sekitarnya. Apartemen miliknya tidak jauh dari gedung ini. Untuk apa menambah polusi dan bermacet-macetan?

***

Jemima menatap sang ayah yang masih duduk di belakang meja kerjanya. Perempuan cantik itu segera duduk dengan wajah cemberut. Kejadian barusan benar-benar membuatnya kesal.

"Kenapa lagi?"

"Aku nggak suka sama Dokter Chandra. Papi yakin menjadikan dia pemimpin dalam proyek sebesar ini? Tampangnya aja nggak ada dokter-dokternya. Kaki dan tangannya tatoan semua. Rambutnya panjang kayak penyanyi rock ketinggalan jaman. Siapa yang akan percaya kalau dia dokter beneran? Aku aja enggak, apalagi masyarakat di sana nanti?"

Richard bangkit menghampiri putrinya.

"Jangan menilai seseorang dari tampilannya. Kamu harus tahu track record-nya. Dia yang paling pantas untuk proyek ini. Pengalamannya bertugas di berbagai daerah pedalaman Indonesia sangat kita butuhkan. Ingat dia adalah salah satu tangan kanan Dokter Ettore. Selain itu dia terkenal jujur dan dekat dengan masyarakat."

"Tetap saja aku nggak suka sama dia."

"Papi bukan menjodohkanmu dengan dia. Jadi lupakan rasa tidak suka kamu." bantah Richard sambil tertawa.

"Papi apaan, sih? Maksudku bukan itu. Aku nggak akan bisa bekerja sama dengan dia. Pi, please. Orangnya nggak profesional sama sekali. Dia malah nggak menjelaskan apa-apa. Cuma ngasih proposal doang, dan nyuruh aku baca. Kalau cuma sebatas itu apa yang harus dibicarakan?"

"Sudah kamu baca proposalnya?"

"Belum."

"Dia benar, 'kan? Memang begitu prosedurnya. Bagaimana kamu bisa meneliti anggaran yang diajukan kalau kamu belum melihat angka yang mereka tawarkan? Fokuskan pikiranmu untuk proyek ini. Tidak perlu bersinggungan dengan kehidupan pribadinya. Begitu selesai, nama kamu akan mulai dikenal orang. Ini adalah proyek pertamamu. Jadi, lakukan yang terbaik. Kalian tidak akan sering bertemu."

"Kenapa bukan Mario saja yang memimpin proyek ini."

"Tidak, dia harus fokus pada Besta."

"Papi nggak adil."

"Di mana letak ketidakadilan papi? Selama ini kamu kurang bergaul. Tidak dikenal banyak orang. Tidak mudah bergabung dalam sebuah kelompok. Berapa teman baikmu? Berapa kali dalam seminggu kamu keluar dengan mereka? Hampir tidak pernah, kan? Kamu harus mulai mengenal karakter banyak orang agar bisa memimpin. Selama ini kamu dikenal karena menjadi anak papi. Cobalah berkarya dan membuat namamu dikenal orang. Kamu beruntung karena tinggal meneruskan saja. Tidak perlu merangkak dari bawah. Jangan mendebat papi, lakukan saja tugasmu."

Dengan kesal Jemima keluar dari ruang kerja papinya. Dalam hati gadis itu menggerutu. Menganggap bahwa Papinya adalah orang paling tidak adil sedunia. Paham tidak akan bisa lepas dari proyek ini.

***

Chandra baru saja duduk ketika Suster Pur bergegas masuk ke ruangannya.

"Dok, Pengacara Ibu Jemima datang lagi."

"Untuk apa kemari?"

"Katanya tidak bertemu dengan Ibu Ira."

"Suruh masuk."

Dua orang perempuan cantik yang terlihat penuh percaya diri berjalan memasuki ruangan. Ternyata bukan Pak Yasser, melainkan pengacara yang bekerja padanya. Salah satunya segera mengulurkan tangan dan memberi senyum ramah.

"Selamat sore Dok, saya Dena dan ini rekan saya Winda dari Kantor Pengacara Yasser Abdullah."

"Sore, saya Dokter Chandra Wijaya. Silakan duduk."

"Saya langsung saja, kami sudah beberapa kali kemari. Mau membicarakan kasus Ariel. Atas permintaan Ibu Jemima, beliau ingin memindahkan Ariel ke rumah sakit Siloam."

"Anda bisa menghubungi pihak SH kalau begitu."

"Kami sudah menghubungi, tetapi pihak SH memerintahkan agar kami meminta persetujuan keluarga pasien terlebih dahulu."

"Kalau begitu datang saja ke rumahnya."

"Sampai saat ini kami belum bertemu dengan Ibu Ira. Menurut tetangganya beliau tidak terlihat sejak tadi pagi. Dan dia tidak bekerja. Kami sudah mendatangi tempat beliau bekerja."

"Suster Pur!" panggil Chandra.

"Ya, Dok." Tergopoh-gopoh perempuan itu masuk.

"Coba antar kedua ibu ini ke rumah Ariel. Kalau tidak ketemu Ibu Ira tanya sama Pak Dullah, rumahnya yang paling ujung. Dia yang biasanya mengurus para penduduk di sekitar situ"

"Baik, Dok."

"Terima kasih banyak Dok."

"Nanti kalau tidak ketemu kabari saya."

Setelah keduanya pamit kembali pria itu langsung memeriksa pasien yang sudah menunggu. Dua puluh menit kemudian Suster Pur menghubungi Chandra,

"Dok, Ibu Ira sudah meninggal di rumahnya. Tidak ada yang tahu." lapor perawat itu dengan suara bergetar.

"Tunggu saya di sana!" perintahnya. Segera ia meminta Dokter Arumi untuk mengambil alih pasiennya.

Bergegas pria itu meraih kunci mobil menuju area TPA. Ada penyesalan dalam batinnya, kenapa lalai mengawasi pasien yang satu ini? Saat tiba di kediaman Ira sudah banyak yang berkumpul. Beberapa orang ibu menggelar tikar seadanya dan bersiap membacakan doa. Chandra hanya menatap tubuh kaku yang kini sudah ditutupi kain batik lusuh. Beberapa orang segera menghampiri,

"Dok bagaimana dengan Ariel? Apakah nanti akan diberitahu?"

"Saya akan langsung ke rumah sakit untuk memberitahu. Pak Dullah, bagaimana dengan pemakaman?"

"Kita tunggu Ariel datang. Selebihnya sudah kami siapkan, Dok. Hanya tinggal mengurus ambulan saja untuk mengantar ke pemakaman."

"Saya akan minta seseorang untuk mengirim ambulan nanti. Saya segera ke SH kalau begitu."

"Apa bisa dia pulang sebentar?"

"Bisa, nanti saya yang akan mengurus semua."

Beberapa orang segera mundur dan membiarkan Chandra keluar dari kerumunan. Dena dan Winda mengikuti dari belakang.

"Kalian mau ikut ke SH?"

"Ya, Dok."

"Mau bawa kendaraan sendiri?" tanya Chandra sambil melirik mobil SUV yang mereka gunakan. Kedua perempuan itu mengangguk.

Mereka segera meninggalkan lokasi dengan kendaraan masing-masing. Setibanya di rumah sakit ketiganya segera menemui dokter dan berbicara sebelum akhirnya memasuki ruangan tempat Ariel dirawat. Chandra menatap Ariel didampingi pihak pengacara Jemima. Hadir juga beberapa dokter dan perawat yang tadi sudah berbicara dengannya. Anak kecil itu terlihat bingung karena begitu banyak orang yang mengunjungi.

"Kenapa, Dok?"

Pria bermata sipit itu menatap wajah Ariel lalu meraih tangannya, menggenggam dengan erat. Tidak mudah untuk berbicara tentang sebuah kehilangan dengan anak kecil.

"Dokter tidak tahu bagaimana cara untuk memberitahu kamu. Tapi, dokter harus ngomong. Ariel tidak suka dibohongi, kan?"

Anak kecil itu mengangguk sambil menatap lawan bicaranya penuh tanya. Kembali pria itu mengembuskan nafas sepelan mungkin. Tidak mungkin menyembunyikan hal sebesar ini.

"Ariel tahu, kalau manusia itu milik Tuhan?"

"Tahu."

"Kalau Tuhan bisa mengambil miliknya kembali kapan pun Dia mau?"

"Tahu,"

Chandra tertunduk, ini sangat berat baginya meski sudah melakukan berulang kali.

"Pagi tadi, Tuhan sudah memanggil Ibumu."

Air mata Ariel segera jatuh. Dan kalimat pertamanya sukses membuat Chandra sesak.

"Nanti aku tinggal sama siapa, Dok?"

"Dokter akan mencarikan tempat tinggal untuk kamu. Di sana kamu tidak akan sendirian. Bahkan bisa sekolah."

"Kalau nanti bapak nyari?"

"Nanti Pak Dullah yang akan kasih tahu di mana kamu berada. Sekarang kita pulang dulu. Kita lihat ibu kamu. Dokter tahu kamu pasti kuat."

"Apa boleh?" tanya Ariel sambil menatap Dokter Arif.

"Boleh, sampai ketemu lagi, ya." bisik Dokter Arif sambil memeluknya.

Beberapa orang perawat segera membereskan pakaiannya karena setelah ini Ariel akan dirawat di rumah sakit berbeda. Dena sudah mengurus semua biaya administrasi.

"Dokter Ettore bilang dia bisa tinggal di yayasan Arum dalu." bisik Dokter Agus.

"Nanti akan saya bicarakan."

"Kapan resmi bertugas di sini Dok?"

"Ada proyek yang masih harus saya selesaikan. Supaya bisa fokus nanti."

"Baik, saya tunggu kedatangan anda."

Chandra bergegas memasuki mobil. Sebelum kendaraan berjalan, ia menepuk pundak Ariel untuk memberi semangat.

"Kamu pasti bisa. Dokter akan terus bersama kamu."

***

Happy reading

Maaf untuk typo

19124

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top