3

Cerita ini sebenarnya sudah selesai di Karya Karsa dan tersedia di playbook ya. Jadi buat yang penasaran, silahkan merapat ke sana.

***

Chandra menghentikan mobil di depan kediaman Kakek dan neneknya. Rumah besar di depannya selalu sepi.

"Mami ikut turun?"

"Nggak usah, nanti gemma-mu ngajak cerita dan nggak bisa berhenti."

Sang putra tunggal tertawa. Langkah lebarnya segera menuju teras. Pintu rumah besar itu terbuka. Sosok yang menunggunya segera merentangkan tangan.

"Gemma!" teriaknya sambil memeluk sang nenek erat. Tangan halus renta segera mengacak rambutnya.

"Kenapa rambut kamu panjang begini?"

"Ini mau potong ke salon. Gemma sakit apa? Mami bilang nungguin aku."

"Kaki gemma sering sakit kalau jalan. Lutut juga."

"Ayo kuperiksa sekarang."

Perempuan tua yang tersenyum lebar itu segera duduk di sofa. Chandra meletakkan kaki sang nenek di pangkuannya.

"Sebelah mana yang sakit?"

"Lutut, kalau melangkah sering susah ditekuk."

Chandra segera menekuk kaki sang nenek beberapa kali dengan pelan.

"Obatnya masih diminum?"

"Masih. Patricia bilang kamu akan pindah kemari. Kerja di rumah sakit milik Wiratama. Jadi nanti kalau gemma sakit, bisa dirawat di sana? Dokternya kamu saja, gemma percaya sama kamu."

"Kalau Gemma nggak boleh, itu rumah sakit khusus orang tidak mampu. Nanti dirawat di rumah sakit biasa saja."

"Gemma nggak mau kalau bukan kamu dokternya."

"Tenang saja, nanti aku akan besuk sehari dua kali. Tapi, sebelum itu terjadi aku akan berusaha agar Gemma tidak usah jadi pasien di sana."

"Kenapa kaki gemma tidak bisa sembuh?"

"Usia Gemma sudah 83 tahun. Ibarat mobil, nggak ada lagi yang jual spare part-nya. Yang bisa dilakukan cuma merawat. Kalau nanti aku sudah benar-benar pindah, aku akan menemani jalan kaki setiap pagi. Memastikan Gemma minum vitamin. Jangan suka dibuang di wastafel." balas sang cucu sambil tersenyum lebar. Paham apa yang sebenarnya dibutuhkan sang nenek.

"Kamu janji?"

"Pasti. Ini hanya antara kita berdua." bisik Chandra sambil mengedipkan mata.

Elizabeth menatap cucu kesayangannya dengan senyum puas. Kemudian mengeluarkan selembar cek dari dompet. Yang langsung dimasukkan ke dalam kantong kemeja sang cucu.

"Ini biaya konsul hari ini."

"Terlalu banyak, ini bisa untuk biaya konsul tiap hari selama tiga bulan."

"Anggap gemma bayar dimuka. Jangan kasih tahu mamimu. Nanti dia marah."

"Gemma, aku sudah punya gaji sekarang."

"Nggak boleh begitu. Kamu di Kalimantan dibayar murah. Kadang nggak digaji. Dulu saja gemma yang mengirim obat untuk pasienmu dari sini. Pakai untuk keperluanmu. Kalau minta sama Patricia bisa-bisa kamu diomeli duluan."

Sang nenek segera menutup tangan cucunya sambil tersenyum lebar. Chandra mencium pipi tua itu dengan penuh rasa sayang. Sejak dulu selalu seperti ini, terutama ketika ia memutuskan untuk bekerja sebagai volunteer.

"Terima kasih, ini akan jadi rahasia kita berdua. Gemma mau sarapan apa besok pagi?"

"Roti bakar buatanmu."

"Siap, akan kubuatkan. Aku pergi dulu."

Elizabeth tersenyum bahagia. Patricia yang tahu apa yang terjadi di dalam segera mendehem begitu pintu mobil ditutup dan putranya duduk di belakang stir.

"Ehem," terdengar suara menggoda. "Dapat berapa kamu dari gemma? Enak amat cuma pegang-pegang dibayar pakai cek."

Chandra tertawa lebar sambil mengendarai mobil. "Anak jangan sirik sama cucu. Posisi Mami sudah kugantikan."

"Gemma selalu menanyakan kapan kamu pulang. Dan dia paling senang saat tahu kamu akan bekerja di sini. Sudah mengumpulkan alasan juga agar dirawat."

"Gemma butuh teman bicara, Kalian semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing."

"Ya, resiko menjadi orang tua ketika anak sudah mapan semua."

"Tenang saja, aku akan menemani Mami nanti."

"Lalu papimu?"

"Kalau perlu kalian berdua kunikahkan kembali. Kalau nggak mau harus rela kukumpulkan dalam satu rumah."

"Nggak akan, mami yang langsung keluar kalau begitu."

"Gengsi nggak usah dijaga Mi, apalagi kalau masih sayang. Lagian kalian cukup akur, kok, sebagai mantan pasangan."

"Kamu mau kami ribut di pengadilan? Bercerai bukan berarti menjadi musuh."

Chandra menggeleng. "Apa Mami nggak mau memaafkan Papi? Coba kalau dari dulu, pasti sudah nambah anak."

"Papimu, mami suruh menikah nggak mau."

"Kalau Mami ajak balikan pasti dia mau."

"Hush, pacarnya mau dikemanakan?"

"Buang aja."

"Kamu selalu sembarangan kalau ngomong. Nggak takut durhaka."

Chandra cuma tertawa. "Mami ku-drop saja?"

"Iya, nanti pulang pakai mobil kantor."

Sang anak segera mengangguk. Kehidupan keluarga mereka memang sangat rumit.

***

Jemima dan seluruh keluarga besarnya sudah memasuki ruang untuk acara Sangjit Izabel, sepupunya. Putri dari Aunty Rania. Ruangan didekor sangat mewah dengan warna biru muda. Perempuan cantik itu segera duduk di sebuah kursi yang bertuliskan namanya. Di sebelah, adiknya, Mario duduk dengan santai. Sementara ayah dan ibu mereka berada di bagian depan.

"Izabel beruntung banget dapat keluarga Wijaya."

"Kabarnya mereka akan langsung memimpin proyek konstruksi di Philipina, ya." bisik Jemima.

"Bukan cuma itu, Koh, Pierre baru saja beli klub sepak bola di Milan katanya."

"Wow, beruntung Izabel. Pantas Aunty Rania kesannya ngejar mantunya banget selama ini."

"Lebih sibuk maminya daripada anaknya."

Keduanya terkikik. Mima merasa nyaman bila berada di dekat adiknya. Sejak kecil mereka selalu bersekolah di tempat yang sama, bahkan sampai kuliah. Banyak teman-temannya berkata jarang sekali ada kakak beradik yang bisa cocok sampai seusia mereka. Mario sangat tampan, banyak perempuan yang mengejarnya. Juga sangat protektif terhadap sang kakak. Keduanya belum lama kembali ke Jakarta karena sudah selesai kuliah.

Kini seluruh hadirin menatap keluarga calon pengantin pria yang mulai masuk satu persatu. Mata Jemima segera terpaku pada sosok yang benar-benar mirip dengan seorang yang baru ditemuinya tadi malam. Pria bertubuh tinggi dengan kulit gelap dan bermata sipit.

'Tidak mungkin, kalau benar pria itu adalah kerabat Pierre. Masak, sih, uang satu juta saja berhitung. Apalagi pria tadi malam tubuhnya lumayan kumal. Yang ini terlihat memakai seragam mahal khas keluarga kelas atas.'

Kalimat tersebut hanya disimpan dalam hati. Sambil terus mengawasi sampai Chandra duduk. Ternyata, sepertinya pria itu adalah keluarga dekat. Terlihat dari kursi yang didudukinya.

"Mata, Ce!"

Sang kakak mendengkus kesal. "Itu siapa?" bisiknya sambil tetap menatap Chandra.

"Kalau nggak salah, namanya Koh Chandra. Anak satu-satunya Gerald Wijaya."

"Bukan pengusaha?"

"Bukan, dokter, volunteer. Ibunya Patricia Ongko. Presdir Cita Jaya Persada."

"Yang pegang Mal Indonesia?"

"Ya, pernah dengar?"

"Pernah, tapi nggak pernah ketemu. Katanya serem banget."

"Iya, perfeksionis tingkat dewa. Ibu temanku pernah kenal sama PA-nya. Kerjanya gila."

"Kayaknya kamu tahu semua tentang mereka."

"Kita harus tahu lawan sebelum bertanding, kan? Patricia dan Patrick Ongko sedang naik sekarang. Apalagi sejak masuk ke industri media."

"Lalu kenapa Koh Chandra tidak masuk ke bisnis mereka?"

"Itu yang aku tidak tahu. Mungkin karena dia tidak dibesarkan dalam keluarga Wijaya. Aku pernah ketemu dengan Patricia, tatonya bagus banget di punggung. Cuma perempuan pemberani yang mau pakai tato."

Mario memang lebih mengenal para pebisnis di Indonesia. Karena banyak bergaul dengan keturunan mereka. Adiknya juga suka pesta dan berkumpul. Sebaliknya, Jemima lebih suka di rumah mengerjakan tugas kuliah. Hanya sesekali keluar rumah.

Acara demi acara selesai. Hingga tiba saatnya dilakukan foto bersama. Terdengar suara MC,

"Selanjut kami mohon kesediaan Bapak Gerald Wijaya beserta Dokter Chandra Wijaya untuk berfoto bersama calon mempelai."

Kedua pria yang dipanggil segera maju ke depan. Tersenyum ramah pada beberapa orang. Fotografer membantu mengarahkan. Kembali terdengar panggilan MC, kali ini giliran keluarga mereka.

"Kami mohon untuk bersiap-siap, Bapak dan Ibu Richard Tanujaya berserta kedua putra dan putrinya."

Jemima dan Mario segera bangkit. Papinya menggenggam jemari putrinya dengan erat. Sementara sebelah tangannya meraih pinggang sang istri, Dandelion. Mereka hanya menunggu sebentar sebelum akhirnya Gerald dan putranya menyalami Richard saat turun. Jemima segera menyambut uluran tangan keduanya dengan sopan. Namun, rasa kesal segera menghampiri saat Chandra menyalami tanpa menyapa. Apa laki-laki itu tidak ingat kalau mereka bahkan satu mobil semalam? Atau pura-pura tidak kenal? Berusaha menyimpan perasaan dengan anggun gadis itu segera tersenyum menatap kamera.

***

Chandra tiba di kediaman Dokter Ettore pagi hari untuk sarapan bersama. Ternyata di sana sudah datang juga Dokter Akandra. Keduanya segera memeluk erat. Diantara mereka ia adalah yang termuda.

"Gimana Pontianak?" tanya Ettore.

"Aman Dok."

"Bandel kamu!" Sambung Akandra.

Chandra hanya tertawa meringis. Yakin bahwa gosip tentangnya sudah terdengar oleh kedua seniornya tersebut.

"Sudah selesai masalah kemarin?"

"Sudah Dok." Lanjut Ettore.

"Ini menjadi pelajaran buat kamu. Jangan sampai terjadi lagi."

"Saya janji, kejadian kemarin memang diluar perkiraan. Lalu ada berita apa?"

Ettore meletakkan kopinya di meja kemudian berkata, "Saya ingin menugaskan kamu ke Maluku. Ada beberapa proyek yang akan dibiayai oleh Nusantara Sukses Abadi. Selama ini mereka menguasai pasar bahan makanan di Indonesia Timur. Dan proyek ini sebagai sumbangsih mereka. NSA akan membangun klinik kesehatan di beberapa pulau. Untuk membantu puskesmas yang sudah dibangun oleh pemerintah. Dan mereka bekerja sama dengan yayasan kita untuk mewujudkan itu. Kamu cukup lama di sana, jadi saya kira bisa memimpin proyek ini."

"Bagaimana dengan tawaran di SH?" tanya Chandra bingung.

"Saya akan pegang SH sampai kamu selesai. Proyek pembangunan akan berjalan antara 3-6 bulan. Setelah peresmian kamu hanya tinggal mengawasi sambil pegang SH."

Chandra terdiam sejenak. Akandra menggodanya, "Jangan bilang kamu sudah menerima tawaran Pak Gerald Wijaya untuk jadi CEO."

"Bukan itu Dok. Saya hanya sedikit kaget. Apakah saya akan terus berada di sana?"

"Tidak, kita hanya menyiapkan SDM. Saya sudah bekerja sama dengan beberapa universitas untuk merekrut lulusan baru dibidang kesehatan. Kamu bimbing mereka, sambil melakukan pendekatan pada masyarakat setempat. Kamu juga yang akan menghadiri rapat dengan pemerintah. Tidak sampai setahun, begitu semua aman SH menjadi tugas kamu selanjutnya."

"Kenapa tidak orang lain?"

"Saya selalu bisa mengandalkan kamu jika itu berhubungan dengan negosiasi. Kamu tegas dan paham bagaimana cara menaklukan masyarakat di daerah. Satu lagi, bukan tanpa alasan NSA memilih yayasan kita. Karena mereka percaya kita sanggup. Dan kamu adalah orang yang sudah lama bergabung dengan yayasan. Tenang saja, tentang gemma, akan saya urus nanti."

Chandra tertawa lebar. Cerita tentang neneknya yang manja memang sudah terdengar ke mana-mana.

"Saya tahu, salah satu alasan kamu untuk kembali ke Jakarta adalah gemma."

"Ya, dia sangat ingin berada di dekat saya."

Akandra menepuk bahunya. "Bagaimana Dok? Siap dengan tugas baru?"

"Siap Dok." jawab Chandra sambil tersenyum lebar. Baginya bertugas di mana pun tidak ada masalah. Ketiganya kini tersenyum lepas.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

15124

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top