2

Akhirnya semua surut.

"Lalu ganti ruginya bagaimana?" pria itu masih bertahan dengan suara kerasnya.

"Saya akan bicara dengan ibu Ariel, anda ayahnya?" tantang Chandra.

Pelan pria itu menggeleng meski tidak mengalihkan tatapannya. Hanya wajahnya sedikit berubah. Ariel yang ketakutan akhirnya dibawa masuk ke dalam gubuk. Jemima tertunduk mengikuti langkah panjang Dokter Chandra dari belakang. Mencoba tidak menatap mata satu orang pun.

"Buk, mienya hilang." lapor Ariel.

"Ndak apa-apa. Sing penting kamu selamet." Jawab sang ibu diantara batuknya.

"Sudah berapa lama batuk-batuknya?" tanya Chandra.

"Empat bulan, Dok."

Chandra kemudian memeriksa beberapa bagian tubuh perempuan itu.

"Besok datang ke klinik. Ada teman saya yang spesialis paru kebetulan praktek. Supaya diberi rujukan untuk rontgen."

"Tapi saya nggak punya surat-surat di sini."

"Asli mana?"

"Mojokerto."

"Dekat Surabaya, ta?"

"Iya, Dok."

"Bawa KTP saja. Nanti diberi surat pengantar. Ada beberapa juga yang jadwal rontgen ke SH. Biar sekalian carter angkotnya."

"Ariel?"

Chandra menoleh pada Jemima. "Dia akan berobat juga, tapi dibiayai oleh Mbak ini. Saya yang akan berurusan dengan dia. Ibu kerja apa?"

"Saya bantu nyuci piring di warteg."

"Nggak apa-apa. Yang penting besok berobat. Saya tunggu. Kami pulang dulu. Permisi,"

Jemima kemudian membuka tas dan melihat dompetnya yang ternyata tidak berisi uang. Chandra yang menatap hanya menggeleng, tahu permasalahan gadis itu.

"Kamu mau kasih berapa?" bisiknya.

"Biasanya berapa?"

"Aku kasih sedikit, ada banyak orang di sini supaya kamu tidak dituntut apa pun dulu sama mereka. Setelah ini, kamu bisa beri lebih."

"Boleh."

Chandra mengeluarkan uang satu juta dari dalam dompet. "Ini untuk ibu pegang dulu. Besok kita ketemu di klinik. Akan saya tambah sampai Ariel sembuh."

"Uang segitu mana cukup?" teriak laki-laki yang marah tadi.

"Dengar tadi saya ngomong apa?" suara Chandra seketika meninggi.

"Dasar China!"

Kini Dokter bertubuh tinggi itu mendekati pria yang terlihat menantang sejak tadi. Wajah mereka sama-sama memperlihatkan aura siap bertarung.

"Saya China, tapi saya dan keluarga bayar pajak. Saya China, tapi saya lama di Kalimantan dan memberikan pengobatan secara murah pada masyarakat bahkan gratis jika ke pedalaman. Saya China, saya tidak dibayar saat berpraktek di klinik. Saya China yang mencintai tanah kelahiran saya. Lalu bapak mau bangga di depan saya? Apa yang sudah bapak lakukan untuk membantu orang banyak? Sejak tadi saya tidak melihat bapak memberikan segelas air pada Ariel atau sepiring nasi supaya dia makan. Bapak cuma duduk-duduk di situ sambil teriak-teriak membakar emosi orang. Bapak boleh tidak suka pada orang bermata sipit seperti saya, tapi jangan menghina etnis saya. Saya juga manusia biasa yang akan marah jika ada orang yang menyinggung leluhur saya."

Kemudian Chandra menatap sekeliling. "Saya akan pegang kata-kata saya. Sebagian dari kalian pasti sudah kenal saya. Yang lain, apa kalian bisa menjaga Ariel sampai besok? Kalau tidak, akan saya bawa menginap di klinik."

"Bisa Dok." jawab beberapa orang ibu

"Saya permisi. Ariel, dokter pergi dulu. Besok ketemu di klinik, ya." suara Chandra berubah lebih ramah.

"Iya Dok. Terima kasih Tante."

Dengan santai Chandra keluar diiringi Jemima. Di dekat pintu ia masih membalas tatapan tajam pria yang marah-marah tadi. Saat sudah di mobil Jemima bertanya.

"Dokter mau diantar ke mana?"

"Klinik saja. Kamu tidak minta dijemput?"

"Nggak usah."

"Besok kamu yang akan datang, atau pengacara keluarga?"

"Dokter bicara begitu seperti saya bukan orang yang bertanggung jawab."

"Biasanya orang seperti kamu memang begitu, kan? Selesai buat masalah langsung melimpahkan pada orang lain untuk menyelesaikan."

"Mulutnya bisa direm nggak, sih?"

"Jangan lupa, kamu berutang satu juta. Buat kamu mungkin itu sedikit, tapi itu adalah penghasilan saya selama seminggu lebih."

"Nggak usah merendah, katanya anda dokter spesialis."

"Saya tidak praktek di rumah sakit besar."

"Siapa suruh?"

"Kamu bukan orang yang tahu berterima kasih, ya?"

"Terima kasih banyak Dokter Chandra. Saya akan mengembalikan uang anda. Apa dokter bisa menunjukkan di mana ATM terdekat? Saya tersesat tadi."

"Di ujung jalan kamu belok kiri. Itu sisa uang saya buat ongkos naik ojek pulang ke rumah. Saya bukan orang kaya seperti kamu."

Ingin rasanya Jemima menendang laki-laki itu keluar, tapi tidak berani. Mulutnya lebih tajam daripada silet. Namun, mengingat jika tidak ada Chandra, entah sudah bagaimana nasibnya tadi, ia mengalah. Sayang saat sampai ditujuan tidak bisa tarik tunai. Mereka kembali ke klinik yang ternyata sudah tutup.

"Ya, sudah saya tunggu kamu besok di klinik untuk bayar utang dan urusan dengan Ariel. Oh, ya, nama kamu siapa?"

"Jemima."

"Ok, terima kasih atas tumpangannya."

"Apa kliniknya belum tutup?"

"Saya bisa ketuk pintu. Ada ibu-ibu yang melahirkan tadi."

***

Sudah hampir jam sebelas siang saat Chandra tiba di depan gerbang rumah besar milik keluarga besar ibunya. Driver ojek yang mengantar menatap dengan kagum.

"Kerja di sini, Mas?"

"Iya, Pak jadi sopir."

Sang driver hanya mengangguk sambil tersenyum lebar. Apalagi saat Chandra menyerahkan tip sambil berkata, "Ambil aja kembaliannya. Anggap bagi-bagi rejeki karena saya baru dapat kerja."

"Makasih banyak Mas."

Ini adalah salah satu keuntungan berkulit legam karena terbakar matahari. Mengenakan masker dan kacamata hitam. Tidak mudah mengenali identitasnya. Pintu segera terbuka, seorang sekuriti berseragam hitam menyapa dengan ramah.

"Koh Chandra sudah pulang, naik ojek?"

"Iya, antar saya ke dalam Pak Lukman." perintahnya.

"Siap, koh." jawab pria yang tengah bertugas di pos penjagaan dengan senyum lebar.

Dengan cepat keduanya naik motor menyusuri beberapa area. Seluruh keluarga Maminya tinggal di komplek ini. Dulu, Chandra tidak tinggal di sini saat kedua orang tuanya masih tinggal bersama. Namun, semenjak perceraian, Patricia memilih pindah kemari. Akhirnya mereka tiba di rumah paling sudut. Sebenarnya kecuali rumah utama milik kakek dan neneknya, semua berukuran sama. Hanya saja, hampir semua tidak berpenghuni kecuali asisten rumah tangga. Karena om dan tantenya memiliki rumah di luar dan hanya sesekali kemari. Cuma maminya yang tetap tinggal di sini.

Pintu besar berukir itu terbuka, seorang perempuan paruh baya yang masih mengenakan pakaian kantor berdiri dengan tegak di tengah. Rambut ombaknya yang diwarnai kecoklatan tertata sempurna. Mengenakan gaun batik berwarna dasar hitam dan bunga pink yang panjangnya melebihi lutut. Lukman segera meninggalkan mereka setelah mengangguk hormat. Lebih suka menjauh dari nyonya termuda. Lima menit bersama bisa saja ia sudah kena omel tentang banyak hal.

"Mami nggak ke kantor?"

"Tadi sudah, sengaja pulang nungguin kamu."

Chandra segera memeluk sang ibu dengan erat.

"Kangen anak, nih, ceritanya?"

"Kamu belum mandi?"

"Sudah, cuma di jalan kena matahari." jawabnya sambil menurunkan ransel. Seorang asisten rumah tangga segera mengambil dan membawa ke kamar.

"Nanti ke salon dulu rapikan rambut. Kemeja kamu sudah mami jahitkan. Acara Sangjit untuk Pierre nanti malam, 'kan?"

"Ya, Mami sudah makan siang?"

"Belum, kita langsung saja."

Keduanya segera menuju ruang makan. Pierre adalah adik sepupu dari pihak ayahnya. Kepulangan kali ini memang untuk menghadiri acara tersebut sekaligus bertemu dengan Dokter Ettore. Mereka akan membicarakan tentang tawaran untuk memimpin Sudargo Hospital. Menurut seniornya itu, pengalaman selama ini sudah cukup untuk memimpin sebuah rumah sakit yang bergerak di bidang sosial. Lagi pula mereka sudah saling mengenal sejak lama.

"Mami ikut acara nanti malam?"

"Mami bukan keluarga inti, ngapain datang?"

"Nggak diundang?"

"Diundang, sih. Cuma malas isinya keluarga papimu semua."

"Memangnya kenapa? Karena nggak bisa duduk di samping Papi lagi?" balas Chandra sambil tertawa kecil menggoda sang ibu.

"Nanti pacarnya marah."

"Aku belum setuju, Papi nggak akan menikah kalau belum tanya ke aku."

"Sudah jangan sebut-sebut dia terus, kami sudah berpisah."

"Ngaku pisah, tapi kalau ada yang sakit masih perhatian. Ulang tahun masih saling kirim bunga dan kado. Aneh lihat kalian berdua."

"Lho, mau kamu papi dan mami bagaimana? Ribut dan nggak ngomongan, gitu?"

"Bukan, kalau masih sayang kenapa nggak kembali bersama lagi?"

"Ada banyak perbedaan yang kamu tidak perlu tahu. Ini hanya antara kami berdua. Sudah, jangan dibahas lagi."

"Mami masih cantik. Kenapa nggak cari pengganti Papi?"

"Untuk apa? Apa fungsi suami buat mami? Cuma bakalan capek ngurusin anak orang yang udah mulai tua dan sakit-sakitan. Kalau cari yang muda, paling cuma menumpang hidup. Mending seperti sekarang, tidak ada yang mengganggu. Mami mau mengunjungi kamu saat weekend, bisa. Mau liburan bareng teman, bisa. Mami punya penghasilan, punya anak laki-laki juga. Jadi kalau menikah mau buat apa lagi? Nggak bisa punya anak juga."

"Ya, buat teman di hari tua. Aku mungkin nggak bisa menemani."

"Mami nggak minta ditemani. Kamu akan punya kehidupan sendiri. Mami tidak bertanya tentang kapan kamu menikah, karena tahu bahwa itu akan menjadi keputusan pribadi. Jangan dengarkan kata orang. Saat tua nanti mami bisa bayar perawat untuk menemani. Atau kalau perlu masuk panti jompo elit. Di sana akan banyak teman. Mami sudah bicara dengan beberapa teman. Jadi berhentilah mengkhawatirkan mami. By the way, kamu jadi terima tawaran Dokter Ettore?"

"Jadi, sudah capek juga pindah-pindah terus. Kepingin menetap dalam waktu lama. Menghabiskan lebih banyak waktu bareng Papi dan Mami."

"Syukurlah, mami paling capek kalau kamu sudah ke daerah konflik. Takut kenapa-kenapa."

"Takut anaknya mati? Umur ditangan Tuhan, Mi."

Patricia langsung melotot. "Kamu nggak sadar kalau kamu satu-satunya anak mami!? Sudah disekolahkan, dibesarkan, terus mau mati sia-sia, begitu? Sudah bersyukur kamu nggak mami paksa untuk jadi pengusaha. Bukan orang tua yang menguburkan anak, tapi anak yang menguburkan orang tua nanti."

Chandra kembali tertawa. Maminya memang tidak suka menyembunyikan sesuatu ketika bicara. Hal ini menurun padanya.

"Gemma nyari kamu sejak kemarin. Katanya minta diperiksa."

"Aku akan ke sana sebelum ke hotel. Lagian aneh, punya dokter pribadi ngapain nunggu aku."

"Mau mandi dulu sebelum ke salon?"

"Ya, dari sana langsung ke hotel. Mami mau ke kantor sekarang?"

"Ya, sekalian kalau begitu, kamu antar mami, ya."

"Kenapa nggak berangkat sendiri saja?"

"Mengurangi pencemaran udara dan kemacetan. Apa perlu kamu diingatkan sekali lagi untuk itu?"

"Enggak, aku mandi dulu. Nggak usah potong rambut ya, Mi."

"Kamu mau mempermalukan keluarga Papi? Apa nanti kata ama dan akong-mu. Mami pasti dibilang tidak bisa mengurus anak?"

"Bilang aja, anaknya sudah 35 tahun. Jadi nggak perlu diurus." balas Chandra sambil berlari ke lantai dua.

Sebenarnya mereka memiliki rumah lain yang jauh lebih besar. Bekas tempat tinggal sebelum perceraian. Hanya saja dengan alasan menjaga kedua orang tua, maminya tidak mau menempati. Kasihan memang karena gemma dan geppa sudah berusia di atas 80. 

***

Happy reading

Maaf untuk typo

13124

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top