10

Kapal baru saja berangkat saat Arumi mendekati Chandra yang berdiri di buritan. Wajah atasannya itu masih mengeras. Setelah kerepotan yang terjadi saat tiba di kapal. Ternyata Jemima membawa juru masak dan juru rias sendiri. Kedua perempuan itu tidak mendapat kamar. Merasa kasihan Chandra terpaksa menyerahkan kamar yang seharusnya mereka tempati untuk orang-orang Jemima. Benar-benar keterlaluan. 'Seharusnya dia bisa memberitahu berapa orang yang akan dibawa. Bukan seperti ini, menyusahkan!' Rutuk pria itu dalam hati.

"Dokter kenapa?" tanya Arumi lembut.

"Mencari udara segar, kenapa kamu tidak tidur? Besok bantu Radith di acara pengobatan, kan? Butuh energi besar, lho"

"Iya, belum bisa tidur." jawabnya sambil menatap ke arah Dokter Radith yang sudah terlelap di atas tikar berbantalkan ransel.

"Jangan lihatin Radith begitu, nanti kamu jatuh cinta sama dia." balas Chandra sambil melirik tersenyum.

Wajah Arumi memerah. Gadis cantik berambut panjang itu menatap ke arah lain. Chandra suka lesung pipi dan matanya yang indah.

"Tadi ke mana, Dok?"

"Kenapa? Ada sesuatu yang penting?"

"Nggak ada, cuma saya yang ikut makan malam bersama mereka."

"Saya dan Dokter Radith makan di luar. Kami biasa seperti itu."

"Makan apa?"

"Ayam penyet dan ikan goreng."

"Di mana?"

"Warung kaki lima."

"Tahu begitu saya menyusul?"

"Maksudnya?"

"Nggak betah di hotel."

"Kenapa? Mima buat masalah lagi?" bisiknya.

Arumi hanya menggeleng. Chandra mengenal gadis di sampingnya dengan baik. Arumi bukanlah orang yang suka mempermasalahkan sesuatu. Apalagi mengadukan hal-hal yang membuatnya merasa tidak nyaman. Seperti malam ini, tidak protes meski akhirnya mereka harus tidur di luar.

"Dokter sudah memberitahu saya sebelumnya, jadi tidak kaget lagi."

"Biarkan saja, mereka punya segalanya. Bekerja saja dengan baik."

"Saya mau mengucapkan terima kasih dok. Sudah membantu untuk penempatan di Malang. Jadi bisa dekat dengan eyang."

"Sama-sama. Daripada kamu nanti khawatir terus karena eyangmu tinggal sendirian."

"Saya cuma punya dia."

"Berbaktilah, selagi masih bisa. Kamu masih lapar? Saya punya nasi dan ikan goreng."

"Dokter tahu dari mana?"

"Saya kenal kamu. Ayo, duduk."

Chandra memimpin langkah Arumi. Gadis itu duduk bersila sementara sang atasan mengeluarkan termos makanan kecil dari dalam ranselnya. Kemudian meletakkan di hadapan Arumi beserta ikan dan sambal.

"Makanlah, kamu harus kenyang sebelum beraktifitas besok. Saya akan langsung kembali, kamu bersama Radith yang akan di sana. harus jaga stamina."

"Terima kasih Dok."

Chandra menunggui Arumi makan. Yang keduanya tidak tahu, Jemima menatap gusar dari balik jendela. Kesal karena pria itu terlihat sangat memperhatikan rekan kerjanya. Sementara sejak tadi selalu menghindar darinya.

***

Acara siang itu diakhiri dengan foto bersama. Chandra segera berjalan mendekati anak-anak yang sejak tadi berkumpul dan menatap dari kejauhan. Kali ini benar-benar kesal dengan tingkah laku para bodyguard Jemima. Mereka memaksa banyak orang untuk menjauh dari perempuan itu. Mengabaikan tatapan polos yang menatap penuh kagum yang ingin melihat dari dekat. Dalam hati Chandra berkata, Radith benar. Seharusnya putri mahkota tidak perlu hadir dalam acara seperti ini. Sebuah kesalahan besar ketika Pak Richard memaksa agar kehadiran putrinya bisa terlihat oleh orang banyak. Belum lagi fotografer dari pihak mereka yang seolah mengabaikan seluruh aturan.

Pria itu kemudian duduk di sebuah batang kelapa dan memanggil anak-anak kecil untuk mendekat.

"Sini, Dokter punya permen."

Puluhan anak segera mendekat. Chandra tertawa kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong yang dibawa sejak tadi.

"Siapa yang di sini sering sikat gigi?"

Semua tersenyum malu. "Hari ini Dokter akan kasih kalian permen. Tapi selain itu ada juga sikat gigi dan pasta gigi. Nanti malam sebelum tidur, jangan lupa sikat gigi, ya. Ingat, dua kali sehari. Pagi dan malam, ya."

Sebuah koor segera menyambut, "Iyaaa..."

"Sekarang kalian berbaris dulu."

Segera anak-anak di depannya membentuk barisan. Dengan sabar Chandra membagikan satu persatu. Tidak butuh waktu lama, semua habis dan tasnya kosong kembali. Semua tertawa lebar. Hingga akhirnya pria itu kembali ke rombongan yang sudah menunggu. Jemima sedang dijamu dengan minum air kelapa muda dan beberapa panganan khas daerah seperti : suami, gohu dan sambal. Chandra menatap sejenak pada perempuan yang sepertinya tidak bisa menikmati apa pun. Ia segera memilih menjauh dan berpura-pura berbincang dengan penduduk setempat. Tidak ingin Jemima memiliki kesempatan untuk menyerang nantinya.

Akhirnya mereka kembali ke kapal. Sebelum beranjak Chandra menemui Radith dan Arumi untuk pamit dan memberi pengarahan terakhir. Kemudian melangkah sendirian ke kapal karena memang sudah terlambat. Dengan ramah ia tersenyum pada kru yang menutup pintu. Berdiri sejenak sambil melambaikan tangan pada para penduduk yang mengantar sampai tepi dermaga. Sebenarnya sudah sangat letih karena semalam kurang tidur. Sayang, hati kecilnya melarang untuk pergi tanpa melambaikan tangan seperti kebiasaan sejak dulu. Belum lagi harus merasakan lemas karena saat sarapan ia dan tim dari yayasan hanya makan mi instan karena terlambat ke meja makan untuk antri mandi. Sementara tim dari Jemima baru selesai makan dengan menu lengkap dan semua habis.

Meski sangat kesal, Chandra berusaha untuk tidak mempermasalahkan apa pun dan menyibukkan diri dengan kegiatan sepanjang hari tadi. Baginya tidak masalah jika kelaparan, tapi anak buahnya jangan sampai merasakan itu. Ia juga tidak suka berhadapan dengan orang yang suka membeda-bedakan status. Baginya semua manusia setara. Chandra tidak akan sanggup memakan daging jika anak buahnya hanya makan tempe dan tahu. Karena itu, sampai sekarang enggan berdekatan dengan Jemima. Di bagian dalam kapal ia bisa mendengar gadis itu tengah menggerutu tentang kegiatan tadi. Sementara seorang pelayan memijat kakinya, seorang lagi merawat wajahnya. Pria itu segera menjauh. Telepon satelit miliknya berdering, dari Akandra. Segera Chandra menyingkir ke arah anjungan. Duduk di atas sebuah kursi kayu.

"Ya, Dok?"

"Bagaimana kegiatan hari ini?"

"Baik seperti biasa. Kami sedang dalam perjalanan kembali ke Ternate."

"Radith dan Arumi masih tinggal di sana?"

"Ya, sampai dua hari ke depan. Nanti mereka pulang menumpang speed boat dari kecamatan."

"Tidak ada masalah, kan?"

"Tidak sama sekali."

"Jemima?"

"Saya tidak tahu kalau ada perempuan semenyebalkan dia. Beruntungnya dia lahir dari keluarga Tanujaya."

"Saya sudah mendengar hal itu dari beberapa orang. Kalau tidak suka, cukup menjauh saja. Sejauh yang kamu bisa Dok."

"Seharusnya Dokter Ettore yang bersamanya. Mungkin stok kesabarannya jauh lebih banyak daripada saya."

"Tidak juga, setelah ini akan saya ambil alih jika itu menyangkut pertemuan dengan pihak mereka. Kamu fokus di SH saja."

"Baik, terima kasih banyak Dok."

Chandra menyimpulkan kalau pihak Jemima pasti sudah menyampaikan keluhan pada atasannya itu. Namun, ia memilih untuk tidak peduli, karena memang berharap ini terakhir kali bertemu perempuan itu. Lebih baik berhadapan dengan puluhan pasien daripada seorang Jemima. Mengingat sampai sekarang belum makan siang, ia segera menuju ke dapur.

"Sudah habis semua, Dok." Seorang kru kapal mengingatkan. Wajahnya terlihat merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, saya masak mie instan saja. Boleh pinjam dapurnya?"

"Silahkan Dok."

Chandra kembali ke arah buritan tempatnya meletakkan ransel tadi malam. Sejak dulu ia memang punya kebiasaan membawa bahan makanan ke mana pun pergi. Tidak pernah terpikir untuk merepotkan orang-orang yang didatangi. Terlebih jika harus ke pedalaman yang kadang membuatnya susah makan. Pria itu meraih sebungkus mie instan dan sekaleng kecil kornet. Ia hanya mengambil pan tanpa mengambil bumbu apa pun dari dapur. Tidak ingin mengganggu jatah kru kapal apalagi tim Jemima.

Selesai masak, dan mencuci peralatan, pria itu membawa mangkok ke samping kapal yang terlindung dari matahari. Menikmati angin laut sambil makan adalah kegiatan favoritnya. Hingga kemudian kehadiran Jemima mengganggu selera makannya. Meski begitu tetap berusaha menyuap dan mengacuhkan kehadiran perempuan itu.

"Kenapa makan mie instan Dok? Setahu saya itu tidak sehat."

Menahan kesal sejak semalam, pria itu akhirnya menjawab. "Anda tidak biasa makan mi instan? Setahu saya mie ini buatan pabrik orang tua anda."

"Papi saya punya pabrik mi bukan berarti anaknya setiap hari disuruh makan mi. Bedakan meja makan dengan industri Dok."

"Kamu benar, Papi saya pemilik perusahaan konstruksi besar. Dan sampai sekarang tidak pernah mengijinkan anaknya makan pasir dan semen."

Jemima menggeram, mengepalkan kedua tangan. Kali ini Chandra tidak ingin menyerah.

"Sepertinya anda selalu mencari masalah dengan saya."

"Anda tidak lihat saya sedang makan? Dan saya tidak sedang mencari anda."

"Anda benar-benar keterlaluan Dok."

"Keterlaluan dari mana? Tim saya tidak pernah menyusahkan anda. Apa pun yang anda dan tim anda lakukan saya tidak pernah protes. Termasuk makanan yang seharusnya tersedia. Tolong jelaskan dibagian mana saya keterlaluan!" Suara Chandra terdengar hampir berteriak.

Wajah Jemima merah, terlihat jika ia sedang marah. Sang dokter melanjutkan,

"Satu hal yang harus anda tahu, berhentilah mengedepankan ego sebagai orang yang merasa selalu harus menang dan benar. Yang kamu bawa kemari itu manusia. Kami punya perasaan dan mata untuk melihat perbedaan perlakuan kalian."

Chandra diam sejenak menunggu reaksi gadis itu. Sayang, hanya bibir pink gadis itu yang bergetar. Pria itu bangkit, meletakkan piring di atas kursi lalu mendekati Jemima. Kemudian berkata dengan suara lembut.

"Mima, kalau saya juga menggunakan kekuasaan kedua orang tua saya. Kita bisa tiba di sini dengan berbeda pesawat dan kapal. Yang kamu lakukan sekarang juga sanggup saya lakukan. Tapi saya menghormati kalian sebagai pencetus ide sekaligus penyandang dana. Yayasan sangat berterima kasih untuk itu. Kehadiran klinik sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di pulau. Tidak hanya untuk orang sakit, tetapi sekaligus memberikan edukasi tentang banyak hal yang berkaitan dengan kesehatan."

"Saya tahu hubungan kita cukup buruk dimasa lalu sehingga kamu merasa tidak nyaman berada di dekat saya. Oleh karena itu saya juga tidak memaksa. Terima kasih karena sudah mengijinkan tim kami ikut dalam perjalanan ini. Tapi satu hal, ijinkan saya mengingatkanmu. Belajarlah cara menghormati orang lain yang bukan berasal dari levelmu. Bayangkan, kalian makan dengan full menu, sementara ada orang lain tidak mendapat nasi sama sekali. Jangan berpikir bahwa kegiatan ini hanya untuk menaikkan statusmu di mata orang lain. Inti dari kegiatan ini adalah bagaimana agar kamu lebih peka dan peduli terhadap orang yang berada di sekitarmu. Selamat siang."

Chandra segera meninggalkan Jemima dan meraih piringnya yang berisi mie yang sudah dingin. Pria itu menjauh dan kembali menekuni makan siang yang sudah menjelang sore. Tidak peduli pada Jemima yang menangis saat memasuki kamar. Juga tatapan penuh tanya dari kru kapal dan orang-orang yang dekat dengan gadis itu. Bagi Chandra, bukan masalah jika ia harus makan mie instan berhari-hari. Ia sudah biasa melakukan itu. Hanya tidak bisa menerima ketika di depannya ada ketidakadilan yang melibatkan seluruh orang-orangnya.

Setibanya di pelabuhan Ternate, ia menyampaikan salam perpisahan pada semua orang. Tidak melihat Jemima keluar, diartikannya perempuan itu enggan bertemu dengannya. Bergegas Chandra meraih ranselnya dan meninggalkan kapal. Merasa tidak perlu meminta belas kasihan untuk ikut pulang dengan pesawat yang sama. Baru kali ini bertemu dengan perempuan sombong yang tidak peduli pada orang lain. Langkah panjangnya kemudian menuju hotel berbeda.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

30124

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top