8. Rindu Sebuah Rasa Tak Terdefinisikan

Pada akhirnya aku nurut apa kata Mas Hanif untuk nggak kerja langsung begitu aku sampai di Cirebon siang jelang sore hari ini.

Aku juga langsung mengabarkan Pak Fikri, orang pertama yang kuingat begitu memutuskan untuk langsung ke hotel ketimbang meluncur ke gudang seperti biasa.

Pak Fikri, saya sudah sampai di Crb, tapi saya mohon izin untuk tidak langsung ke gudang. Saya sedang tidak enak badan, pak. InsyaAllah besok seharian penuh akan saya bereskan urusan gudang. Terima kasih atas pengertiannya. ✅✅

Sebuah pesan whatsapp yang centangnya telah berubah warna menjadi biru namun tidak segera mendapat balasan. Ya sudah, mau Pak Fikri marah atau kesal itu hak beliau, yang penting aku sudah mengabarinya toh? Beneran, aku lagi nggak pengin berkonfrotasi dengan segala hal keriwehan Baginda Fikri. Cukup sudah kram perut yang sampai saat ini masih kurasa.

"Rind, hotelmu yang di jalan Siliwangi ini kan ya?" tanya Mas Hanif sambil mengarahkan driver grab yang baru saja kami tumpangi.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Ya deket juga sih dari stasiun," balasnya.

"Iya, emang sengaja cari yang deket kok, Mas," jawabku dari bangku belakang sementara dia di bangku depan dengan driver.

Jadi sepanjang setelah dia menemukanku tergelepar tak berdaya karena disminore di kereta tadi, Mas Hanif beberapa kali bolak-balik dari bangkunya untuk mengecek kondisiku.

Aku cuma meringis nahan sakit ya meskipun nggak separah tadi, tapi rasa sakitnya masih lumayan. Aku yang mulanya judes dengan orang ini, karena masih merasa pertemuan-pertemuan kami adalah suatu guyonan konyol, pada akhirnya aku luluh. Heran aja, dia adalah orang asing yang nggak sengaja masuk di kehidupanku, kemudian menemukan aku yang lagi nggak berdaya macam tadi, dan dengan telatennya dia memperhatikanku sedemikian intens.

Mulai dari menanyakan apa obat yang diberikannya sudah reaksi atau belum, kemudian dia juga memesankan makanan. Bahkan awalnya dia mau menyuapiku tapi kutolak dengan alasan aku bisa makan sendiri. Bukannya aku gimana-gimana, aku tahu dia bukan orang yang punya niat jahat misalnya modus atau curi-curi kesempatan, tapi ya untuk apa sih disuapi segala. Pertama, tanganku masih sehat-sehat aja karena yang sakit adalah perutku. Kedua, aku nggak mau bikin drama lanjutan kemudian berujung baper, say. Tau sendiri kaum kami ini sensitif dengan hal-hal begitu. Ugh!

Mas Hanif akhirnya membiarkan aku makan sendiri meski dengan dia yang mengawasi duduk di sebelahku yang kebetulan kosong.

Sampai kemudian dia juga yang membelikan air mineral ke kereta makan karena air dalam tumblr-ku telah habis. Rasanya aku pengin bilang nggak usah repot-repot karena aku sudah lebih baik. Tapi ternyata ragaku justru kontra dengan menunjukkan bahwa aku memang sedang tidak baik-baik aja. Aku masih lemas, sampai entahlah mungkin aku langsung ketiduran setelahnya. Karena tau-tau ketika aku kembali tersadar, Mas Hanif sedang menggoyang-goyangkan tubuhku dan mengabari bahwa kami telah sampai.

Mas Hanif kekeh untuk mengantarkanku ke hotel meski tadi sudah sempat kujelaskan bahwa hotelku di sekitar sini saja. Tapi katanya sekalian dia pesan grab untuk pulang ke rumah. Jadinya ya begini deh, aku manut dan bisa percaya begitu aja dengan orang yang baru kukenal beberapa kali pertemuan ini.

Bismillah aja, InsyaAllah dia baik. Toh apa salahnya dengan menambah jaringan teman seperti ini.

"Nah, ini ya, Rind, hotelnya?" tanyanya begitu mobil memasuki plataran hotel bintang tiga itu.

"Iya, Udah sampai. Makasih ya, Mas," ucapku sambil bersiap turun dari mobil.

"Eh, tunggu, Rind. Saya anterin masuk. Pak, tunggu ya, saya nggak lama kok." Mas Hanif ikutan keluar sambil meminta sang driver menunggunya.

"Mas, nggak usah repot-repot. Makasih udah dirawat pas di kereta tadi. Dan Makasih juga udah dianterin. Mas Hanif pasti ada kegiatan juga kan habis ini. Jadi sampai di sini aja, ya?" kataku, nggak ingin merepotkan dia lebih dari ini.

"Yakin?" Dia mengernyit sejenak sambil memperhatikan gerak-gerikku.

Mungkin dia khawatir kalau aku masih separah pas di kereta tadi. Meski aku nggak memungkiri hal itu, tapi ya masa begini aja kudu minta dia buat nganter aku ke kamar? Oh, nggak-nggak.

"Yakin lah. Aku udah nggak papa kali."

"Oke deh. Kalau gitu saya balik pergi, ya."

"Iya, makasih, Mas."

Dia kemudian kembali ke mobilnya. Aku pun hendak segera masuk lobi hotel untuk check-in.

Namun, tiba-tiba dia berlari lagi ke arahku lagi.

"Rind, maaf. Kalau boleh, ntar malem saya jemput. Mau, ya? Kita cari makan. Saya tau kamu nggak gitu suka makanan di kereta tadi. Dan saya nggak yakin kamu bakal cari makan sendirian meski bisa aja kamu gofood," katanya.

"Hah?"

Dia ngajak aku keluar?

Lalu, perlu banget aku buat mengiakan?

"Boleh, ya?" tanyanya, melihatku masih bergeming.

Aku masih nggak habis pikir. Antara bingung mengiakan atau menolak. Tapi entah kenapa kepalaku otomatis ngangguk sebagai jawabannya.

Duh, Rind!

Merasa sudah mendapat jawaban, dia kemudian senyum sekilas lalu balik lagi ke mobilnya. "Assalamualaikum," salamnya sambil dadaa ke arahku bersamaan dengan mobilnya yang melaju keluar parkiran hotel.

Waalaikumsalam.

Oke, kenapa aku jadi gugup?

Ya ampun. Rind! Baperan banget sih ketimbang digituin doang.

Astaga!

Ya udahlah lebih baik memang aku harus segera check-in biar segera istirahat juga. Sumpah, perut ini rasanya masih kayak diaduk-aduk. Kodrat jadi cewek tiap kali mbak bulan datang yang harus selalu dilalui. Sabar, bentar lagi juga mendingan.

Beruntunglah urusan check-in nggak terlalu ribet karena sebelumnya aku emang udah pesan kamar secara online. Jadi tadi cuma tinggal ngisi form dan menunjukkan KTP untuk difotokopi. Begitu dapat key card, aku segera menuju kamarku yang ternyata berada di lantai tiga.

Kasur, kali ini rindu terbesarku adalah kamu. Tunggu aku!

Setelah menempelkan key card ke engsel pintu, aroma pengap khas kamar hotel langsung terhirup. Aku memasukkan key card dalam ke dalam saklar untuk menghidupkan lampu dan pendingin ruangan. Aaah, merebahkan tubuh seperti ini begitu melegakan.

Tau nggak sih rasanya disminore itu nggak cuma perut aja yang sakit. Sekitar pinggang dan punggung ikutan pegal kayak habis digebukin. Punggung capekku bertemu dengan kasur pegas yang memantul. Rasanya seperti capek itu rontok seketika. Lega!

Sepertinya emang nggak ada pilihan lain selain melanjutkan tidur yang sempat tertunda di kereta tadi.

Namun sayang, keinginanku harus urung sejenak begitu suara dering nyaring terdengar dari ponselku.

Sebuah panggilan dari ... ah! Iya!

Bundaku sayang 💕

Satu nama tertera di layar yang baru kusadar bahwa seharian ini bahkan keberangkatanku ke Cirebon kali ini belum mengabari bunda sama sekali. Bagus, Nak!

"Iya, Bunda. Assalamualaikum," sapaku masih dengan posisi berbaring di atas bed dengan pakaian yang belum juga kuganti.

"Waalaikumsalam, kamu di mana, Kak? Masih di kantor atau udah pulang ke kosan?" tanyanya langsung pada intinya.

Aku melihat jam digital di layar ponsel. Sudah hampir pukul empat, pantesan bunda telepon. Karena bunda sudah hapal jam-jam segini biasanya aku sudah free dan bersiap untuk bubaran kantor.

"Heheh, Rindu mau bikin pengakuan tapi Bunda jangan marah, ya," kekehku tak berdosa.

"Eh, apa ini kok bikin pengakuan segala? Kamu habis lapo, Kak?" sahutnya di ujung sana.

"Jadi, Bun, Rindu sekarang lagi di Cirebon. Audit lagi. Maaf banget nggak sempat kasih kabar. Maaf ya, Bunda," cicitku memelankan suara karena tahu banget kelakuanku ini nggak bisa dimaafkan.

Bunda selalu mewanti-wanti, sekalipun aku jauh dari beliau, setidaknya izin ke manapun itu tetep kudu. Karena kata beliau, meski Ayah dan Bunda nggak bisa menemani setiap langkahku, ada doa dari mereka yang menggenggam erat tanganku. Uugh, mantep banget kan?

"Astagfirullah, Bunda kira apa. Ya nggak papa sih, Kak. Tapi lain kali sesibuk apapun kamu sempatkan sedikit untuk ngabarin Bunda dan Ayah ya. Meski jauh, kalau kamu ngabarin kan Insyallah Bunda dan Ayah doain Kakak dari sini. Jangan sepelein itu, Kak." Benar kan? Baru aja kubatin.

"Aaaah, Bunda. Iyaaa, Kakak khilaf. Nggak lagi-lagi deh." Aku nyengir tanpa dosa, yakin banget kalau bunda di sana sedang geleng-geleng kalau tahu ekspresiku saat ini.

"Ya udah. Sampai kapan kamu di Cirebon?"

"Sampai besok aja kok. Doain lancar ya, biar Rindu cepet pulang lagi."

"Berarti ntar pulang ke rumah kan? Bunda kemarin masih kangen lho, kok ya udah balik aja."

Begitulah Bunda, selalu rindu dengan anaknya yang bernama Rindu. Sebuah nama yang disematkan pada bayi mungil dua puluh lima tahun yang lalu sebagai pengingat agar tetap merindu-Nya dan merindunya. Ah, bunda.

"Iya deh, InsyaAllah ya, Bun. Tapi Rindu nggak janji. Hehehe."

Aku emang nggak bisa janji, karena yakinlah bukan berarti ketika semua urusan soal Cirebon beres, urusan kantor yang lain pun tidak lantas ikutan beres. Antrean panjang garapan demi garapan sudah menunggu untuk kusentuh. Nggak ada pilihan lain selain bersiap lembur di akhir pekan besok.

"Yawes, istirahat. Jangan lupa makan dan salat ya." Satu nasihat Bunda di tiap akhir obrolan kami.

"Rindu lagi nggak salat, Bun."

"Oya? Tetep aja jangan malas-malasan. Bunda yakin kamu belum mandi to?" Dan Bunda selalu hapal dengan kelakuan anak wedok-nya.

"Ihh, Bunda tau aja. Udah ih, Rindu mandi dulu kalau gitu."

"Iyaaaa, hati-hati, jaga diri baik-baik ya, Kak. Assalamulaikum."

"Waalalikumsalam."

🍇🍓🍇🍓🍇🍓

Usai magrib, sebuah WhatsApp dari kontak bernama Hanif Zarchasi menyembul di layar ponsel meminta perhatian.

Hanif Zarchasi, sebuah nama yang baru kuingat adalah mas Hanif. Kontak yang ia tulis sendiri pas aku lemas nggak berdaya di kereta tadi. Keinginannya terpenuhi untuk bertukar nomor meski baru terlaksana di pertemuan kelima kami. Itupun dia sendiri yang menyimpan nomornya di hapeku karena aku beneran nggak punya tenaga untuk menanggapinya tadi.

Hhhh, ini lucu. Aku nggak pernah kepikiran bisa bertemu dengan orang baru, berkenalan, dengan cara-cara ajaib seperti ini.

Hanif Zarchasi
Rindu sy udh di lobi. Sy tggu ya.
Hanif.

Aku segera bergegas turun setelah memastikan bahwa penampilanku nggak sepucat dan selecek tadi ketika baru nyampe Cirebon. Satu tas selempang kecil berisi dompet, lipstick, dan juga ponsel sudah kupastikan ikut terbawa.

Mas Hanif langsung menyambutku dengan senyumannya ketika aku baru saja keluar dari lift yang berada tepat di depan lobi hotel.

"Udah enakan, Rind?"

Aku mengangguk aja. Karena ya meski masih sedikit terasa setidaknya ini jauh lebih baik dari sebelumnya.

Kemudian dia mengarahkanku untuk ikut ke parkiran mobil. Dia membukakan pintu dan memintaku masuk ke dalam xpander sport warna hitam ini. Aih, aku sebenarnya agak risih dengan adegan bak putri raja kayak gini. Ketimbang cuma buka pintu mobil aja kenapa harus dibukain sih? Heran aku tuh.

"Rind, mau makan ke mana?" tanyanya.

"Terserah Mas aja."

Meski aku tahu jawaban terserah itu nggak solutif sama sekali, tapi aku beneran nggak tahu mau makan apa karena sebenarnya lagi nggak pengin. Nah kalau nurutin nggak pengin bener kata Mas Hanif tadi sore, aku nggak akan makan dalam kondisi mood-ku yang sedang amburadul gini.

Dasar cewek pms!

Anehnya, kalau biasanya cowok protes dengan jawaban terserah, Mas Hanif nggak lho. Dia kembali diam dan fokus nyetir membelah jalanan kota Cirebon habis hujan sesaat tadi. Nggak lama kemudian, Mas Hanif mengarahkan mobil masuk ke dalam area Grage Mall, pusat perbelanjaan terdekat dari hotel tempatku menginap.

"Cari makan di sini aja, ya. Biar nggak jauh-jauh. Lagian kalau mau nasi jamblang atau empal gentong nggak ada tempat yang enak buat ngobrol," katanya sambil cari tempat kosong untuk parkir.

"Aku udah sering makan itu kalau ke sini."

"Oh ya?"

"Iya."

Ya, dua makanan paling ikonik sebagai khas kota udang ini memang udah sering aku jajal ketika audit sebelum-sebelumnya. Jadi, kayaknya aku juga lagi nggak pengin makan itu sekarang. Syukurlah sepertinya Mas Hanif bisa membaca pikiranku.

Selanjutnya tidak ada obrolan berarti sampai kami tiba di salah satu restoran buffet all you can eat. Dia mengurus pesanan sementara aku diminta untuk langsung mencari tempat duduk di dalam.

"Kalau lagi haid begini, paling ampuh tuh makan daging dan sup hangat. Saya nggak tahu kamu suka atau nggak, tapi harusnya suka lah. Biar badan kamu segeran abis ini," ucapnya begitu selesai dari kasir dan langsung mengambil duduk di depanku.

Dia sedang menata peralatan panggang memanggang di depan kami. Gila, aku aja yang cewek, dari tadi cuma ngelihatin belum pengin nyentuh atau setidaknya nunggu pramusaji datang membantu kami. Sementara dia, udah cekatan gitu.

Ah, kenapa sampai di titik ini rasanya hatiku menghangat? See, bahwa perempuan selalu punya sisi terlemah yang mudah dimanipulasi oleh perasaaan. Bagian ini yang membuatku membangun pagar begitu besar agar nggak mudah luluh dengan segala perhatian laki-laki. Dan mungkin ini juga yang menjadikanku sangat selektif dalam memilih pasangan. Sehingga ya seperti yang kalian lihat, aku sedikit terlambat dibanding teman-teman seusiaku yang kini sudah pada menikah dan punya anak.

Namun, hal itu bukan suatu lomba di mana siapa cepat dia yang menang kan?

Itu bukan hal sederhana untuk sekadar bercanda, gengs.

Aku percaya, perihal itu akan datang di waktu yang tepat. Tetap ikhtiar merindukannya dalam doa. Seperti salah satu cerita Stroopsbaby, author favoritku di aplikasi baca tulis gratis berlambang huruf W berwarna oranye. Bahwa untuk tiga hal yang sudah tetap dan saklek, tidak seharusnya kita mengkhawatirkan. Kita hanya perlu menjemputnya, menyambutnya dengan doa.

Hahaha, apapun bahasannya, mohon maaf kalau ujung-ujungnya selalu bahas jodoh. Ya gimana ya, naluriah sih.

Oke, pramusaji kemudian datang menyediakan bahan-bahan untuk kami masak. Mas Hanif mulai memarinasi daging dengan saos-saosan yang tersedia, kemudian dia langsung bertindak ala-ala chef yang begitu lihai mengolah daging-dagingan ini.

Sementara aku cuma bisa tertegun ngelihatin dia dan kemudian dia senyum karena tahu aku curi pandang ke arahnya.

"Hahaha, apa, Rind? Nih, makan. Biar kuat." katanya, sambil mengambilkan daging yang sudah mulai matang ke dalam mangkukku yang telah berisi sedikit nasi.

"Mas hanif di sini punya rumah juga?" Entah kenapa dari sekian bahasan yang coba kumulai, aku terlalu frontal menanyakan sisi pribadinya.

Kalau dia bagian memanggang daging, kali ini biarkan aku menyuguhkan semangkuk sup bakso ikan berkuah tomyam ala-ala chef Rindu yang semoga rasanya masih bisa ditolerir.

"Nggak, kan rumahku di Sby, Rind. Di sini nempatin rumah dinas yang disedian RS. Bareng-bareng sama dokter internship yang lain. Lepas internship ya keluar dari rumah dinas," jelasnya sambil mulai menyantap sajian di depan kami.

"Oh, gitu. Terus setelah itu mau ngontrak atau cari rumah di sini?" Aku udah macam reporter dengan kekepoan tingkat tinggi kan?

Hahaha biarin, yang penting suasana menjadi nggak canggung karena saking bingungnya harus membahas apa.

"Lagi cari rumah di Sby aja. Kan emang niatnya biar deket Mama Papa juga. Mereka sudah sepuh, dan udah saatnya aku ngerawat mereka. Nggak jauh-jauhan gini."

"Ya gitu kenapa harus cari rumah segala. Kan bisa di rumah orang tuanya Mas Hanif."

Dia menjeda makannya, kemudian melihatku sambil mengutas selengkung senyum. "Buat masa depan. Kelak aku wajib menyediakan kebutuhan selain sandang dan pangan, yaitu papan. Buat istri dan anak-anak ntar."

Ya ampun! Tremor, cuy. Dia bilang begitu sambil melihatku seolah .... aish, mulai deh, Rind!

"Ah, bahagianya bakal istri Mas Hanif."

"Ya siapapun dia nanti. Semoga dia yang mau bareng-bareng lebih baik dalam beribadah. Biar bisa bareng-bareng ke syurga-Nya."

Oke, aku cuma lilin yang kini udah mulai meleleh karena atmosfer hangat di sekitarku. Mendengar setiap perkataan dari orang di depanku ini yang begitu teduh.

Pertemuan pertama, kedua, ketiga, bahkan keempat, boleh jadi aku masih agak jengkel dengan orang yang kupikir sok dengan memanfaatkan segala kebetulan yang terjadi di antara kami. Tapi kali ini, aku harus mengakui kalau memang lelaki ini adalah lelaki baik yang memiliki sisi-sisi tidak terduga lainnya.

"Siapapun? Jadi mas Hanif belum punya calon istri?" Spontan, pertanyaan itu keluar dari mulutku.

Duh, Rind!

"Hahaha, pertanyaanmu kok sarkas, Rind. Kalau aku jawab belum memangnya kamu mau jadi calon istri ya?"

Mampus gak, lo?

"Yee, nggak usah jadi ngaco kali, Mas," jawabku berusaha mengalihkan.

"Lagian kamu yang mulai duluan."

"Aku kan cuma nanya."

"Belum ada, Rind. Kali aja kamu ada temen yang masih single. Boleh kok dikenalin," katanya, sambil terus melanjutkan santap malam.

"Iya, ntar aku cariin ya."

Dia terkekeh. "Btw, kerjanya audit kayak kamu ini ngapain aja sih?"

Kemudian mengalirlah cerita mulai dari awal bagaimana aku bisa terjun menjadi auditor dengan latar belakangku yang seorang S.Gz. Mas Hanif agak nggak percaya sih awalnya, ada seseorang yang begitu banting setir dalam kariernya. Tapi, ya memang itu yang terjadi. Aku sarjana gizi, yang akhirnya memutuskan untuk terjun menyelami dunia akunting dengan menjadi seorang auditor. Langka, tapi ada, and it's me.

"Kamu punya STR?" tanyanya kemudian.

"Punya, tapi aku nggak tertarik untuk kerja di rumah sakit," balasku skeptis.

Karena memang selain karena dulu nggak ada pilihan, aku juga nggak kepengin kerja berjibaku di rumah sakit karena yaaa sejujurnya aku kurang suka dengan tempat sejuta keajaiban itu.

"Ya daripada kamu kerja begini? Nggak nyambung sama sekali to?"

"So far aku menikmati sih, Mas."

"Apa nggak lebih baik kamu buka usaha catering sehat aja? Catering dengan diet tertentu?"

Aku berhenti sejenak. Tiba-tiba, aku jadi keingat Mas Lutfhi dengan momen sate kambing malam itu.

"Nggak bakat usaha." Jawaban yang sama persis ketika dulu Mas Lutfhi menanyakan hal serupa.

Aku berusaha mengendalikan diri, meredam ego dan lebih berhati-hati lagi dalam menjawab pertanyaan semacam ini. Bukannya apa, tiap orang kan pasti punya pemahaman yang berbeda dengan isi pikiran seseorang yang lain kan?

"Tahu dari mana? Belum dicoba? Lagian kan waktumu bisa fleksibel, Rind. apalagi maaf, kamu kan cewek. Suatu saat kodrat sebagai wanita yang sesungguhnya akan kamu hadapin. Jadi madrasah pertama untuk anak-anakmu. Nggak pengin kamu kerja di rumah aja?"

Sampai di sini aku mulai tertohok. Benar sih. Tapi kan ... ah, nggak tahulah.

"Belum kepikiran."

"Ya dipikirin, Rind. Umurmu berapa sih?"

"Dua lima," jawabku mulai nggak nyaman.

"Udah waktunya mikirin hal itu kan?"

"Jelas, semua orang juga udah nyuruh aku untuk itu. Tapi yang namanya jodoh belum ketemu mau bagaimana?" balasku mulai senewen.

"Percaya nggak sih, jodoh itu datang ketika kamu telah cukup dengan segala kesiapan lahir dan batin. Artinya, jika kamu masih gini-gini aja, it means tidak ada menunjukkan tanda-tanda siap hidup di gerbang selanjutnya. Misal masih stay woles, ya mana mau jodoh datang menjemput? Persiapan itu banyak hal. Bukan tentang materi, tapi lebih penting soal pemikiran dan sikap kita dalam melihat kehidupan di depan."

"Iya, Mas," balasku, masih singkat lagi.

Gini-gini, aku bukan cuma mulai nggak nyaman karena pembahasan mulai dalam dan berat. Tapi, apakah ini nggak kejauhan untuk sebuah obrolan dua orang yang baru aja kenal?

"Ya aku bilang gini karena aku juga lagi berusaha berbenah sih, Rind. Kali aja kamu mau bareng. Kan lebih seru. Bareng-bareng berbenah dan siapa tahu kita ketemu jodohnya barengan."

Baik, terima kasih karena memaksaku untuk mengunyah semua obrolan berat malam ini. Dari situ aku jadi tahu, bahwa dia memang orang yang cemerlang dengan pikiran-pikirannya yang visioner. Lalu, apakah dia menyerupai Mas Luthfi? Atau apakah memang semua laki-laki seusia dia, oh bahkan usianya saja masih kukira-kira, apakah memang sedang getol memikirkan soal bagaimana membangun masa depan? Atau hanya aku yang memang sangat terlambat dan keterbelakangan soal hal-hal yang mestinya sudah harus kupikirkan dengan serius?

Bahwa jodoh akan datang dengan kesiapan, aku nggak mengelak kebenaran itu.

Lalu, apa aku sudah siap sejauh ini?





Selamat merindu kembali. Selamat berlibur ya, gengs.

Aku nggak libur, tapi meliburkan diri jadi bisa update siang yang lagi mendung sendu-sendu begini.

Tungguin kelanjutannya Rindu lagi ya.

Jika suka tekan 🌟 dan silakan berkomentar sebahagia kalian.

Lavvv
😘
Chaa~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top