7. Rindu Kembali Berulah
🌅
🚂
🌅
🚂
🌅
🚂
Seperti titah Baginda Fikri, pagi ini, Selasa, aku sudah berada di Stasiun Pasar Turi sedang mencetak boarding pass dari kode booking di aplikasi pesan tiket online di ponselku. Kali ini aku memang nggak kepagian, sisa lima belas menit dari jadwal keberangkatan kereta. Cenderung mepet malahan.
Semua perlengkapan untuk checking sudah kusiapkan lebih dulu, belajar dari yang sudah-sudah, aku lagi nggak pengin bikin drama seperti kemarin. Jadi, setelah boarding pass tercetak, aku segera menuju ke petugas pengecekan memperlihatkan boarding pass beserta KTP. Setlah itu aku langsung masuk ke dalam rangkaian gerbong yang sudah siap di jalurnya.
Kali ini aku dapat gerbong agak ke tengah, Eksekutif 4, lumayan, dekat dengan kereta makan di sebelah Eksekutif 5, jadi kalau mau jajan nggak perlu jalan jauh-jauh. Eksekutif 4 – 11D, tepat ketika aku mencocokkan nomor bangku dengan boarding pass yang kupegang. Kuperhatikan sekeliling, masih lengang, banyak bangku kosong tidak terisi, mungkin hanya sepertiga dari total bangku satu gerbong. Berbeda dengan keberangkatanku sebelumnya di mana satu gerbong penuh berjubal.
Mungkin efek keberangkatan hari Selasa kali ya, tengah minggu, jadi tidak sebanyak ketika awal pekan atau akhir pekan. Ya, syukurlah, aku jadi bisa beristirahat tanpa gangguan dari kanan-kiri yang ramai. Pakai headset, nyalain musik, dan tidurlah.
Tentunya, nggak akan ada lagi drama-drama aneh yang menyertai perjalananku kali ini. Segera sampai, segera selesai dan balik pulang. Aku udah cukup lelah dengan audit Cirebon yang nggak ada habisnya. Gudang terkasus yang paling malas kukunjungi sebenarnya, tapi tetap kudu. Gimana dong?
Sebenarnya meski aku lebih cenderung malas ketimbang semangat, tapi ada lho, hal-hal yang bikin aku nagih buah jalan-jalan begini. Jalan-jalan dalam tanda kutip.
Ya itu sih istilah buat ngebahagian diri sendiri. Biar nggak tertekan banget. Nikmati aja.
Yang bikin seneng di tiap perjalanan, apalagi rute pantura begini adalah hal-hal yang bakal kutemui sepanjang perjalanan nanti.
Argo Bromo Anggrek, selalu terselip cerita di setiap derit gesekan roda kereta dengan besi rel yang dilewatinya. Romantis.
Seperti sekarang ini, empat jam setelah kereta lepas laju, aku selalu bikin pengingat di ponselku agar nggak kelewatan menikmati sesuatu yang kubilang bikin nagih tadi.
Sebuah hamparan pemandangan laut lepas utara Jawa, terpampang begitu jelas dari jendela. Sajian panorama pantai utara dengan tanaman bakau yang mengepungnya, begitu eksotik memanjakan mata. Ah, itu menenangkan sekali.
Apalagi kalau laut lagi pasang, debur ombaknya bergelung bersahutan, turut berlarian seraya kereta yang terus melaju, itu nggak cukup diekspresikan hanya dengan untaian kata begini. Definisi Wonderfull Indonesia paling sederhana versiku mungkin begini. Sesederhana ini.
Bikin aku seneng itu mudah, kan?
Kalian harus coba, ini tuh seperti menjajal sebuah wahana permainan di Jatim Park, atau taman permainan lainnya, adrenalinnya nggak kalah menegangkan.
Oh, momen ini hanya berlangsung selama kurang lebih setengah jam mulai lepas Stasiun Tawang Semarang sampai kira-kira jelang Stasiun Pekalongan. Nggak boleh ketiduran pokoknya.
Epic moment yang bener-bener nggak boleh terlewat.
"Makan siang, teh, dan kopinya. Silakan Kak." Lamunanku harus buyar ketika petugas KAI lewat menawarkan makanan.
Aku melihat jam digital di layar ponsel. Pukul dua belas lebih seperempat, sudah waktunya makan siang memang. Perutku mulai melilit dan sedikit perih. Ini pasti efek nggak sempat sarapan nasi. Tapi tadi sebelum berangkat udah sempat nyemil roti sandwich di Indoapril sih. Masa kurang juga?
Lagian, aku nggak begitu tertarik dengan makanan di kereta. Bukannya apa, variasi menunya nggak beragam, dan cenderung nggak fresh, kebanyakan hasil angetan dari makanan tadi pagi.
Tapi kalau lagi gini, memangnya aku ada pilihan? Cirebon masih dua setengah jam lagi. Aku nggak yakin bakal baik-baik saja kalau harus nunggu sampai dan cari makan di luar.
Nggak tahu kenapa, tiba-tiba perutku rasanya kram. Seperti melilit kemudian dicengkeram begitu erat. Arrgh!
Aku melihat arah pintu depan. pertugas KAI yang tadi lewat belum juga kembali dari gerbong depan. Rasanya aku butuh teh anget biar sedikit rileks. Mungkin, mau nggak mau aku juga harus makan di sini.
"Silakan teh anget, kopi, makan siangnya." Nah! Suara itu datang lagi.
"Mbak, saya teh anget satu," kataku begitu mereka kembali lewat di gerbongku.
Mereka kemudian menyeduhkan satu teh hangat di paper cup dan menyerhakan kepadaku. "Silakan, Kak."
"Terima kasih," ucapku sambil menyerahkan satu lembar uang sepuluh ribu.
Aku menerima cup teh tersebut dengan satu tangan dan tangan lainnya yang menahan kram yang makin menjadi-jadi.
Aarghh!
"Astaga, Kakaknya nggak papa?"
Naas, teh yang kupegang jatuh bersamaan dengan serangan rasa sakit di perut yang udah nggak bisa kutahan lagi.
Aargh! Astagfirullah!
Perutku tiba-tiba seperti adonan kue yang sedang diuleni, diulet begitu hebat kemudian dibanting-banting. Sakit banget!
"Apanya yang sakit, Kak?" Petugas KAI yang menjajakan makanan tadi langsung heboh begitu melihat aku belingsatan yang mungkin kayak orang sakau.
Salah satu dari mereka langsung membereskan cup teh-ku yang tumpah di lantai kereta. Kulihat sekeliling orang-orang sudah ramai memperhatikanku.
Astaga! Bikin kacau nih ceritanya.
Mau bilang nggak papa tapi aku kenapa-napa. Serius, aku beneran nggak tahan lagi dengan kram yang tiba-tiba menekan perutku.
Aku cuma meringis aja begitu mereka malah mendatangkan awak kereta yang lain. Kali ini kondekturnya yang bertanya kepadaku. Menanyakan apakah aku baik-baik aja.
Sumpah, aku udah malu banget kalau nggak ingat ini beneran sakit. Jadi pusat perhatian gitu lho.
Ya ampun, Rindu! Ada-ada aja sih!
"Permisi, apa terjadi sesuatu?" Aku masih meringkuk di tempat sambil memegangi perutku yang kian perih. Terdengar suara orang lain lagi, yang kuduga itu adalah penumpang kepo yang ikut campur karena penasaran. Bodoh amat dah!
"Ini, Mas. Kakaknya ini tiba-tiba meringis kesakitan megangi perutnya. Sepertinya kram." Aku juga mendengar mbak-mbak KAI tadi berbicara dengan mas-mas tersebut.
Sekali lagi, aku nggak kuasa buat melihat mereka ngobrol. Yang kulakukan cuma merem sambil nahan sakit yang nggak udah-udah.
"Boleh saya lihat?"
What? Lihat? Seketika itu juga aku langsung melek.
Dia pikir aku tontonan apa?
"Nggak usah, saya nggak pa—"
Ya ampun!
"Rindu?"
Aku nggak bisa lanjutin omongan lagi.
"Saya dokter, izinkan saya memeriksa Mbak ini. Saya kenal dia. Dia teman saya." Sosok yang kutahu bernama Hanif itu tengah berdiri dan meminta izin kepada petugas KAI untuk menanganiku.
Iya Hanif, mas yang kemarin itu lho. Masih ingat kan?
Mas Hanif, sepupunya Rahay, kami bertemu kembali untuk kesekian kalinya.
Aku tiba-tiba mingkem dan nggak berkutik lihat sesosok penampakan di depanku saat ini.
Kukira drama yang kubuat sendiri itu sudah berakhir, ternyata ini sebuah sinetron yang ada ada episode lanjutannya.
Dari sekian peluang dia kembali ke Cirebon, kenapa harus bareng dan mengulang drama dengan adegan yang berbeda?
Dia kemudian seenak udel duduk di sebelahku. "Permisi, Rindu. Apa yang kamu rasakan?" tanyanya sambil meraih pergelangan tanganku dan menekannya sedikit. Mungkin dia lagi ngecek nadiku.
Sekali lagi aku masih tertegun nggak berkutik sama sekali. Bahkan aku lupa rasanya sakit terlilit sesaat lalu tadi. Akhirnya aku cuma bengong lihat wajahnya yang begitu serius dan bolehkah kubilang kalau ada guratan khawatir tercetak di sana?
Ah, pede banget aku!
"Rindu, apa yang sakit?" tanyanya lagi, begitu dia tak mendapatkan jawaban dariku.
"Perut," rintihku pelan.
Dan begitu aku tersadar dari lamunan, semua rasa sakit itu kembali menyerang dengan sangat dahsyat. Tanganku refleks memegang perut sambil mengaduh.
Aaargh! Rasanya pengin nangis tapi kutahan-tahan karena nggak mau lebih malu lagi.
"Rindu, rileks. Jangan tegang. Kamu jangan meringkuk gitu." Dia spontan mengambil tanganku dan membenarkan posisi dudukku.
Aku pasrah, bawah sadarku memerintah untuk menurut apa katanya. Tiba-tiba aku melemas nggak punya daya untuk memberontak.
"Mbak, apa ada kotak P3K?" kudengar dia tanya ke petugas KAI.
"Ada, Mas. Butuh apa?"
"Minyak kayu putih dan analgesik."
"Analgesik?" tanya Mbak KAI yang mungkin nggak paham dengan bahasa dia.
"Oh maaf, paracetamol, ibuprofen, atau asam mefenamat apa ada?"
"Oh, ada, Mas, sebentar saya ambilkan."
"Minta air juga ya, Mbak."
Aku mendengar semua obrolan itu. Sumpah demi apa orang ini kenapa selalu muncul di situasi tergenting dalam hidupku?
Bagaimana mungkin semesta mengatur semua kebetulan ini?
Sebuah ketidaksengajaan yang kembali berulang dan terus berlanjut. Disebut apakah itu?
"Rindu, sakit yang kayak gimana yang kamu rasa?" tanyanya.
Aku cuma berdeham, enggan menanggapi. Oh sorry, bukan enggan, tapi ini beneran lemes sampai nggak punya tenaga buat ngomong satu kata pun. Beneran, aku nggak bohong.
"Rindu, jelaskan ke saya biar saya tahu kamu kenapa. Dan biar saya tahu harus ngapain?"
Oke, aku baru ingat kalau dia ini dokter, dan dia lagi jadi dokter gitu ceritanya sekarang?
"Perih, kayak terkoyak, kayak dicengekeram, ditarik paksa, kram banget pokoknya," jelasku pada akhirnya.
"Mas ini minyak kayu putih dan obat adanya paracetamol." Mbak-mbak petugas KAI kembali datang menyerahkan obat kepada Mas Hanif.
"Makasih, Mbak," katanya dan petugas KAI tersebut pamit pergi.
Oke, bagus, ceritanya aku ditinggal berdua sama orang ini?
Astaga! Kalau aku diapa-apain gimana? Heiii!
"Rindu, minum ini sebentar. Aku jamin setelah itu sakitmu bakal sedikit reda."
Nggak ada plihan lain saat ini selain manut. Aku membuka mata, dan menerima obat serta air putih botolan yang diangsurkannya.
Kuminum obat tersebut, sementara dia begitu intens memperhatikan setiap gerak-gerikku. Ealah! Kan jadi salting sih, Mas. Ngapain ngelihatinnya begitu banget?
Sorot matanya itu lho!
"Kamu mens?" tanyanya.
"Hah?"
Seketika aku mengingat-ingat hari ini tanggal berapa. Kubuka ponselku dan melihat kalender women period. Tepat, hari ini tanggal tujuh belas, harusnya tamu bulananku memang datang.
Bego!
"Disminore, kram perut jelang menstruasi, biasanya memang kerap menyerang wanita di usia-usia produktif seperti kamu. Apa tiap bulan kamu selalu gini?" tanyanya lagi.
Dan bodohnya aku ngangguk seolah membiarkan dia mengetahui kondisiku lebih dalam.
"Separah apa?"
"Pernah sampai pingsan," jawabku.
"Udah pernah periksa?"
Aku langsung mendelik. "Bukan suatu hal yang perlu dibesarkan. Tadi kan kamu sendiri yang bilang kalau disminore ini emang nyerang para wanita tiap mau bulanan. Jadi wajarlah. Dan nggak usah lebay. Itu bukan urusan kamu."
"Saya hanya memberi tahu sebagai orang yang lebih tahu masalah begituan. Maaf kalau terlalu menyinggung privasi kamu."
Skak! Aku kembali terdiam.
Duh! Salah ngomong kah aku? Nggak seharusnya sih aku judes begitu dengan dia yang istilahnya udah nolongin aku di saat-saat sekarat tadi. See? Aku udah bisa ngoceh panjang kan sekarang? Obatnya manjur juga!
"Makasih," cicitku pelan.
"Buat?"
Oke, dia resek sih. Di saat aku mulai sedikit meredam ego, dia kembali menggodaku dengan seringaian jahilnya.
"Makasih udah nolongin aku."
Dia malah terkekeh seolah meledekku. "Hahaha, kita jodoh banget sih, Rind."
"Ini cuma kebetulan."
"Kebetulan kok sampai lima kali."
Udah lah, aku diam aja daripada lanjut malah melantur ke mana-mana. Dia emang bisa banget nanggapin aku dengan kata-kata kunciannya.
"Kataku kalau kita ketemu ke empat kali aku bakal minta nomor hape kamu. Eh kemarin malah kelupaan saking asyiknya ngobrol tau-tau udah nyampe rumah kamu."
Aku cuma berdeham.
"Sekarang aku nggak mau kelewatan lagi. Apalagi lihat kamu lagi kayak gini. Boleh aku minta nomor hape kamu?"
Kasih, jangan?
Dengan ragu-ragu akhirnya aku menyerahkan ponselku. Kulirik sekilas dia mengetikkan sejumlah nomor kemudian mendialnya. Begitu ponselnya berdering kemudian dia mematikannya kembali.
"Sudah tersimpan." Dia kembali menyerahkan ponselku. "Kamu nginep di mana di Cirebon?"
"Hotel di Kejaksan situ aja," kataku.
"Mau langsung kerja abis ini?"
"Lihat nanti," jawabku sesingkat mungkin.
"Lebih baik kamu istirahat dulu aja. Kerja besoknya. Daripada ntar makin parah."
"Hmmm."
"Nanti bareng aku aja, ya. Kuanterin sampai hotel."
Aku melihat ke arahnya. Memakukan pandangan sekian detik, dan yang kudapat justru adalah sorot matanya yang begitu meneduhkan penuh ketulusan.
Serius?
Dia, orang yang asing yang kebetulan masuk ke dalam hidupku tiba-tiba?
Haruskah aku mempercayainya begitu saja?
"Oke? Nggak ada penolakan. Udah kamu istirahat aja. Aku balik ke bangku. Kalau ada apa-apa bilang ya. Aku di bangku 4-A di belakang. WA atau miscall aja. Nomorku udah ada di hapemu kok."
Aku masih tertegun.
Dia kemudian senyum lalu bangkit kembali ke bangkunya.
Allah, apakah dia yang Engkau maksud?
Apakah memang dia?
Selamat Merindu Kembali
Jangan lupa vote dan komen yang paling seru ya, gais.
See you next.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top