6. Rindu Lantai Tiga

📌📎📍📌📎📍

Bertemu awal pekan lagi, sebuah momok yang selalu ingin di-skip. Awal pekan, itu berarti lembaran baru telah dimulai. Lembaran baru sama dengan masalah baru. Seperti saat ini, kerjaan di kantor lagi ngegas semua, nggak ada yang santai. Apalagi kalau lihat mejaku, tumpukan kertas entah isinya apa aja bikin aku yang baru datang tiba-tiba kliyengan saking banyak dan berantakan. Aku memilih ke pantry dulu bikin sesajen biar kuat ngadepin hari ini.

Pantry di kantorku ada di lantai tiga, dan di sini nggak ada lift. Ya iyalah, ketimbag cuma tiga lantai ngapain perlu lift segala sih. Tapi ya gitu, aku jadi jarang banget ke lantai tiga kalau nggak benar-benar ada urusan. Misalnya makan, atau salat. Ya, lantai tiga kantorku ini bisa dibilang pusat aktifitas pengembangan diri orang-orang kantor, selain buat tempat istirahat. Ada meeting room, ada ruang makan, ruang arsip, musala, sampai arena tenis meja.

Oh satu lagi, ada sebuah perusahaan lain yang menghuni lantai tiga ini selain perusahaanku. Begini, begini, jadi, kemarin kan aku pernah bilang kalau ranah perusahaanku ini sektornya banyak. Kantorku menangani penjualan feed product atau pakan ternak, sementara di lantai tiga ini juga merupakan salah satu jaringan dari kantorku. Mereka menangani bagian penjualan DOC atau bibit ayam.

Jadi, kebayang nggak sih gimana ramainya lantai tiga apalagi pas jam istirahat? Karena itu aku ogah banget naik kalau nggak butuh-butuh amat. Makan siang aja aku jarang ke ruang makan. Mending lunch di luar lah. Nah kalau urusan salat kan beda ceritanya, bisa jadi alasanku ke lantai tiga ya hanya untuk hal itu.

Berhubung kali ini aku butuh bikin kopi buat nyegerin badan, jadi ya mau nggak mau aku kudu naik kan?

Lantai tiga masih sepi, cuma ada mas Yoyok, OB yang lagi bersih-bersih. Mas Yoyok lagi asyik ngepel sambil dengerin lagu, jadi nggak tahu kalau aku masuk pantry.

Yauda lah, sebaiknya emang aku kudu segera bikin kopi dan cepetan balik, ingat kertas-kertas itu!

Aku membuka lemari yang udah macam kantong doraemon karena di dalamnya terdapat berbagai macam harta karun penyelemat ketika lapar. Jadi, di pantry ada lemari yang menggantung di atas dapur, dan lemari ini merupakan tempat persembunyian benda-benda keramat dari karyawan (read : indomay dari yang ori sampai berasa-rasa dari Sabang-Merauke, kopi beraneka merk dari wellday sampai yang punya password kopi enak nggak bikin kembung, teh sariharum sampai teh cepek pun ada) sangat komplit.

Aku menyeduh satu sachet kopi wellday, mengucurkan air panas dari mesin dispenser, kemudian mengaduknya perlahan. Nah, bagian paling kusuka dalam menyeduh kopi adalah saat menghidu aroma yang menguar ketika adukan pertama. Nikmat banget, rasanya ketegangan syarafku rontok seketika, kemudian jadi seger lagi.

Aaah, sedap.

Oke, aku siap menghadapi hari ini. Yuk turun lagi, nggak lupa bawa kopi hasil racikanku ini.

Aku berbalik, "Ouuchh," ohh shiitt! Hampir aja.

"Maaf, maaf."

Aku mendongak, nggak, aku nggak pa-pa kok. Kopiku nggak tumpah, nggak mengenai kemejaku maupun orang yang tiba-tiba muncul begitu aku balik badan tadi. Aku cuma sedikit kaget.

Bagaimana bisa dia tiba-tiba muncul tanpa terdengar suara hentakan kaki atau suara pintu berderit, atau suara apapun yang memberitahukan bahwa akan ada orang masuk ke dalam pantry?

"Eh, Maaf, Rindu. Kamu kaget ya?" tanya orang yang hampir menumpahkan kopi buatanku.

Ya menurut anda saja gimana?

"Bikin kopi? Udah sarapan kan?" tanyanya lagi begitu pertanyaan tadi nggak mendapat tanggapan dariku.

"Seperti yang Mas lihat. Aku udah sarapan juga kok," jawabku berusaha senyum meski sebenarnya malas banget.

Salah satu alasan mengapa aku enggan ke lantai tiga, adalah karena orang ini.

"Ingat, kamu punya maag, nggak baik lagi pagi-pagi ngopi," nasihatnya.

"Kecuali aku udah sarapan," sahutku cepat nggak ingin dia melanjutkan cuitannya.

Kemudian dia terkekeh dan menggaruk tengkuknya yang kuyakin nggak gatal sama sekali.

"Aku duluan ya, mas?" pamitku kemudian beranjak.

"Kerjaan banyak ya? Atau mau berangkat audit lagi?" Langkahku mendadak berhenti, memejam mata sebentar sambil menghela napas panjang.

Jengah! Tapi nggak urung aku menoleh ke belakang lagi. "Iya, ini Senin sih, maklum lah kalau banyak. Kalau soal audit, ya kan itu memang kerjaanku," jawabku retoris.

Nggak ingin melanjutkan lebih lama, kali ini aku beneran keluar pantry dan turun ke lantai satu.

Jadi, sebuah kopi nampaknya masih tetap kalah dengan mood-breaker yang berusaha kuhandir mati-matian.

Dia, Lutfhi Hulaefi, seseorang yang pernah melambungkan anganku, kemudian perlahan menghilang, mengempaskan angan tersebut, terempas hingga tak bisa kupungut lagi.

Seseorang yang pernah meyakinkanku bahwa tidak ada ucapan terindah selain akad, sebuah janji sakral kepada Allah di depan ayahmu, katanya, kala masa-masa dekat dulu. Karena itu, tidak ada hubungan yang lebih indah, selain hubungan halal yang tiap lakunya dinilai ibadah.

MasyaAllah, karena nyatanya Allah maha pembolak-balik hati hambanya.

Semua ucapan baik itu nyatanya hanya ucapan belaka, tidak berwujud sampai cerita ini terwujud. Mas Lutfhi, salah satu anak Purchasing di kantor lantai tiga, orang baru setahunan yang lalu. Orang yang langsung bikin geger karena tiba-tiba dikabarkan dekat denganku, kala itu.

Ceritanya begini.

Jadi, kantor lantai tiga juga punya tim audit khusus untuk inspeksi ke gudang luar. Salah satu satu gudangku yang ada di Solo, juga disewa oleh kantor lantai tiga. Kami sharing tempat istilahnya. Sehingga barang yang ada di gudang Solo pun menjadi milik bersama, gampangnya begitu. Nah, ketika awal Mas Luthfi masuk, dia langsung ditugaskan oleh orang akunting untuk ikut audit bersama kami. Alasannya, karena orang akunting lantai tiga sedang sibuk-sibuknya, sehingga mengutus orang Purchasing yang notabene 'anak baru itu' untuk berangkat bareng kami.

Singkat cerita, terjadilah banyak cerita di sepanjang perjalanan dinas kala itu. untuk pertama kali dalam sejarah, aku jadi begitu semangat berangkat audit. Dan berujung meminta dengan sukarela untuk berangkat lagi di bulan selanjutnya karena ada si 'dia'.

Banyak hal yang kami lalui selama perjalanan, tukar pikiran, obrolan ini itu, semuanya lah. Semua hal yang nggak bisa aku ceritakan satu per satu.

Nah, sampai suatu ketika, begitu kami kembali dari dinas, orang-orang di kantor menaruh bau-bau mencurigakan dari pergerakanku dengan Mas Luthfi. Aku jadi sering makan siang di ruang makan atas. Makan siang satu meja dengannya, salat di jam yang bersamaan, kalau orang yang nggak tahu ceritanya kan jatuhnya semacam janjian salat bareng biar jamaah, terus pulang bareng. Adalah hal mencolok yang sebelum itu jelas belum pernah terjadi denganku.

"Kamu pacaran sama Luthfi?" satu pertanyaan umum yang wajar untuk dipertanyakan.

Aku cuma nanggapin dengan senyum sambil mengendikkan bahu. Karena nyatanya aku nggak pacaran lho. Tidak ada istilah, maukah kau jadi pacarku ala-ala anak SMA yang tembak-menembak dor itu.

Kami jalan, kami nyaman, aku cocok dengan segala pembahasan dia. Dia pun bisa ngimbangin aku. Dia nganterin aku pulang ke kosan, sebelum itu mampir makan malam dulu, cari sate kambing terenak sambil menikmati malam indah kota Surabaya. Dan yaaa, apa namanya untuk sebuah hubungan yang sudah kadung sebegitu dekatnya?

Biasa saja, mungkin aku yang terlalu baper. Benar.

Aku masih ingat betul ketika kami menikmati sate kambing yang menjadi ikon makanan favorit kami berdua ketika 'kencan'. Dia menanyakan hal yang menurutku 'agak prinsipal' terkait pandangan hidup ke depan.

"Kamu sampai kapan mau kerja begini?" tanyanya di sela-sela nikmatnya sebuah gigitan satu tusuk sate yang dicocol sambal kacang kecap beriris bawang merah segar.

"Nggak tahu, belum kepikiran, mungkin sampai aku bosan dan nemuin hal baru yang lebih nyaman dari kerja begini."

"Nggak pengen usaha aja?"

Aku mengernyit, sampai sini aku belum paham arah pembicaraan mau di bawa ke mana.

"Nggak punya bakat usaha sih."

"Kalau aku gini sih, Rind. Kita tuh kerja buat cari modal, dalam artian modal materi, modal pengalaman, serta modal relasi atau kolega. Nah, saat ini kita kan berkecimpung dalam bisnis vetenary, kamu kepikiran nggak sih kalau suatu saat kita yang jadi customer kantor ini. Bukan Cuma pegawai dari sebuah kantor begini."

Aku terdiam.

"Aku lagi cari kenalan peternak ayam petelur, kalau belum bisa beli ayamnya, mungkin mulai usaha kecil-kecilan dari jualan telur. Tentu jualan dalam skala besar."

Aku berusaha menelan sate yang sudah kadung kugigit, agak seret, kuambil es teh di sebelahnya.

"Ehem, Mas mau resign?" tanyaku langsung.

"Bukan sekarang, tapi nanti."

Ada hening sejenak sebelum dia melanjutkan, "Nanti ketika ada yang siap menemani bangun, jatuh, dan bangun lagi ngadepin bareng-bareng, mulai dari nol."

"Oh...," Nggak tahu ya, saat itu aku cuma bisa ber-oh ria aja.

Bingung sih, karena jujur, untuk pertama kalinya aku kurang tertarik dengan tema obrolan di antara kami malam itu.

"Kamu nggak pengen bisnis kayak gitu? belajar bareng-bareng?"

Deg!

Sampai sini aku mulai nggak enak hati, aku menyudahi aktivitas makanku. Mengambil tissue, menyapukan ke bibirku, untuk menetralisir rasa gugup yang tiba-tiba mendera. Meski aku tahu gugup dan sebuah tissue nggak punya hubungannya sama sekali.

"Nggak tahu, untuk saat ini belum. Aku masih fokus kerja. Belum pengen yang lain."

Dan dari situlah semua itu berubah.

Mas Luthfi yang tiga bulan begitu ramah, begitu hangat dengan kelakar canda-tawanya. Mas Luthfi yang kukenal dengan pandangan hidupnya yang begitu visioner. Dengan penyampaian ilmu-ilmu agama yang related banget dengan kehidupan sehari-hari, yang justru menjadikan aku mudah paham tanpa ia bermaksud menggurui. Aku begitu terpesona.

Tapi, sejak malam itu, keesokan harinya dia berubah seratus delapan puluh derajat.

Tidak ada lagi semeja ketika makan siang. Salat dhuzur pun tidak pernah tepat bareng waktunya. Dia juga sudah jarang terlihat main pingpong bareng anak-anak segengnya. Dan tentu tidak ada lagi makan sate kambing sepulang kantor.

Ketika kutanya kenapa. Dia jawab nggak pa-pa. Sesingkat itu seperti cewek yang lagi pms dan nggak keturutan apa yang dia mau kan?

Aku kembali menggali semua memoriku, apa yang kira-kira membuat dia berubah seperti itu. Oh, bahkan dia juga keluar jadi tim audit lantai tiga, dan memilih menjadi tim Purchasing saja tanpa ingin terlibat kerjaan orang akunting seperti audit dan segala macamnya.

Bulan berganti, kami bukannya kembali memperbaiki kedekatan itu, justru kerenggangan semakin nyata. Papasan di tangga, ketemu di gerbang depan, cuma sekali dua kali di mana tidak ada obrolan, kami cuma saling senyum tanpa menyapa.

Kontras.

Dua orang yang begitu akrab bisa menjadi dua orang asing tak saling kenal, saling berjauhan seperti kutub utara dan selatan. Sangat jauh, tak terjangkau.

Dan, tepatnya, dua bulan yang lalu, aku mendengar kabar ini.

"Loh, Rind. Luthfi mau nikah ta? Ya ampun, Rind! Tak kira kalian masih. Sejak kapan kalian udah nggak?"

Inginku menjawab, 'dari dulu emang enggak, situ aja yang bikin jadi iya', tapi sekali lagi aku lebih memilih no komen. Kemudian menyingkir tak ingin terlibat obrolan lebih dalam lagi.

Berita tentang seorang Luthfi Hulaefi yang ternyata sudah punya calon istri pun ramai menjadi perbincangan orang segedung. Apalagi ketika makan siang di ruang makan, beuh, pastilah itu obrolan nggak jauh-jauh dari rasa penasaran mereka terkait calonnya Luthfi sampai tentang kok bisa pada akhirnya Luthfi tidak denganku?

Jadi, kalau sudah begini, bagian mana yang masih membuatku selera untuk makan siang di ruang makan lantai atas? Ogah!

Aku jadi teringat ketika awal-awal kami kenal dulu. Ketika bulan pertama setelah kami pulang audit. Aku yang waktu itu mau pulang ke rumah di Sidoarjo, dia menawarkan untuk mengantarkanku pulang.

Yaa, aku memang tipikal orang yang agak strict dan selektif terhadap hal-hal sensitf yang mungkin saja akan menimbulkan persepsi berbeda di masyarakat terutama tetangga-tetanggaku. If you know what I mean, makanya saat itu aku menolak, kecuali jika ramai-ramai sama anak yang lain, mungkin aku masih oke.

Sekali penawaran, dua kali penawaran aku masih enggan untuk mengiakan. Nggak tahu ya, semacam ada rasa 'belum siap', nanti dululah.

Bukannya apa-apa, dan nggak tahu kalau kalian menilai aku terlalu baper, tapi ya emang aku merasa ini momen yang terlalu cepat untuk istilahnya, 'membawa pulang lelaki' kemudian 'mengenalkannya sebagai teman lelaki' terlebih aku bukan tipikal anak yang sering bawa teman cowok main ke rumah. Sekali lagi beda orang bakal memaknai hal ini beda. Kalau aku ya memang begitu adanya.

Dan, entah kenapa mungkin semua perubahan Mas Luthfi bisa karena hal 'itu' (read: tidak kuizinkan mengantar pulang) atau hal 'itu' (tidak mendapatkan jawaban yang melegakan ketika makan sate kambing malam itu).

"Mbak Rind, AR-ku sudah ditanda tangani?" Aku kaget seketika.

Aku menoleh, ada Ridho yang udah berdiri depan kubikelku.

Astagfirullah, Rindu!!! Ngapain Aja!! Bego!

"Eh, Dho. Bentaran ya, abis ini deh aku anterin ke mejamu," balasku sambil nyengir.

Matilah aku ini kalau dia sampai ngadu ke emaknya. Si Tyas orang terkenal galak, dedengkotnya anak AR/AP. Padahal satu divisi besar di Akunting Finance, tapi nggak bisa toleran dikit sama hal-hal yang menyangkut kerjaannya.

"Yauda deh, Mbak. Cepet ya, udah ditanyain Mbak Tyas aku." Aku memberi isyarat oke ke Ridho sebelum dia pergi.

Haish! Gara-gara sebuah kopi dan akhirnya berujung nganggur sejam tanpa melukan apapun? Hell, Rindu! Hell!

Tumpukaan di mejaku setelah kupikir-pikir kok nambah ya? Jadilah aku mulai memilah masing-masing tumpukan itu dan memisahkannya berdasarkan urgensi yang harus dikerjakan. Nih, tumpukan AR invoice, sebaiknya memang kukerjakan dulu sebelum emaknya Ridho teriak-teriak menyatroni kubikelku dengan kedua tangan yang mentereng di pinggang. Kemudian barulah selanjutnya tagihan ongkos angkut dari anak Sales yang kukerjakan dilanjut dengan laporan bukti potong PPH.

Siyap, Senin memang selalu nyenengin.

Oh, iya, lupakan sejenak tentang ocehanku dan segala pembahasanku tentang lantai tiga berserta para makhluk yang menghuninya tadi. Anggap saja aku khilaf dan nggak pernah menceritakan hal itu ke kalian.

Sebentar, line teleponku berbunyi.

"Halo, selamat pagi Rindu Amaya di sini?"

"Rindu, ke ruangan saya sebentar yaa, ada yang mau saya bicarakan."

Baik, saya hapal itu suara siapa dan saya tidak punya alasan pengelakan, "tapi, Pak?" tapi tetap berusaha mengelak.

"Nggak ada tapi, sekarang ya, Rind," titah beliau, sang Baginda Raja Fikri Daulat.

Tarik napas, embuskan. Kalem. Masih pukul sepuluh, setengah hari bahkan belum terlewati.

Aku kembali menunda garapan dari tumpukan kertas-kertas itu, lebih memlih menuruti titah tak terbantah dari Baginda Fikri yang tiada dua. Dengan segala perasaan yang campuran antara kopi wellday sama sisa sarapan tadi pagi, aku mengetuk akurium besar sebelum masuk ke dalam. "Permisi, Pak."

"Silakan duduk, Rind," kata beliau dengan mata yang terfokus pada dokumen yang dipegangnya.

Firasat memburuk nih.

Aku nggak enak hati sama dokumen itu.

Jangan-jangan ...

"Ini, hasil auditmu bulan kemarin. Sudah saya review. Dan untuk gudang Cirebon memang nggak ada pilihan selain audit ulang."

Kalau di sinetron-sinetron, ekspresi kaget karena mendengar ungkapan seseorang biasanya sih teriak, "APA??" lalu menyemburkan air yang lagi diminumnya.

Tapi sayangnya aku lagi nggak minum dan pegang gelas, dan kata 'apa' justru nggak keluar dari mulutku.

Akhirnya aku cuma nelen ludah doang, dengan gaya andalan cengiran tanpa dosa seolah semua hal itu 'enteng, kecil, begini doang elah'.

"Kamu berangkat besok ya Rind, Selasa berangkat sampai sana kan jam setengah dua, kamu ke gudang kalau belum kelar lanjutin besoknya. Dan kamu ambil kereta malamnya buat balik ke sini. Harapannya sih itu bisa kelar dua hari aja, jadi Kamis kamu udah bisa ngantor lagi."

Sak karep udelmu, Pak!

Tentu aku nggak bakal nyemburin langsung ke beliau kan? bisa dikutuk jadi karyawan durhaka kan berabe urusan.

"Sudah saya pesankan tiket kereta via Mbak Meli, kamu follow up aja ke Mbak Meli tinggal hotelnya. Pilih yang biasanya kamu aja, senyaman kamu."

"Kerjaan saya, Pak?" cicitku, berusaha memelas.

"Nanti saya minta bantu Pak Berry kalau dia luang. Kalau nggak ya kan bisa kamu lanjutin Kamis."

Pengin misuh-misuh rasanya. Cuk! Cuk!

Astagfirullah, Rindu. Nyebut, Rind, sing eling!

"Ya udah kalau nggak ada yang ditanyakan, kamu bisa kembali ke meja."

Nggak, ada percuma!

Bah! Terserah Bapak sajalah! Aku ki opo to? cuma curut cilik yang nggak bia melakukan apapun selain manut to?

Oke, Cirebon, see you when I see you again. Wait me there.

__________ grasindostoryinc __________

Terima kasih telah merindu.

Jangan lupa tekan love-nya dan tinggalkan komentar paling seru dari kalian.

See you when i see you kalau kata Rindu.

Babay.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top