5. Rindu Kesekian Kalinya

Praktis, begitu aku naik ke pelaminan dan bertemu Rahay otomatis dia heboh dong melihat aku datang sama siapa? Ditambah tiga kucrut lainnya sudah lebih dulu di depan dan membisikkan entah apa yang membuat Rahay beserta suaminya memakukan pandangan ke arah kami, (read: aku dan Mas-mas yang masih menggandengku ini, heiiii!).

"Mas Hanif, kamu kok nggak pernah bilang to kalau bisa kenal sama temenku?" Sungguh, yang tadinya aku mau ngasih ucapan selamat ke pengantin jadi urung gara-gara pengantinnya udah heboh duluan melayangkan tudingan kenapa sepupunya itu bisa datang bersama dengan orang yang ia kenal sebagai sahabatnya.

Mana Mas Hanif diam saja seolah membenarkan semua yang dikatakan oleh mereka. Kan konyol!

"Ray, ini nggak kayak yang kamu lihat dan kamu pikirin," kataku mengklarifikasi.

"Halah, wes to Ray, Rindu tuh emang masih sok-sokan nggak mengakui. Kita lihat habis ini, tinggal nunggu tanggal aja." Fita masih meneruskan menggodaku biar aku makin salah tingkah dan pipiku bersemu merah macam tomat busuk.

"Udah, udah, Rahay dan Mas Kenas selamat yaaa, turut berbahagia untuk kalian. Semoga pernikahan kalian dilimpahi kebahagiaan dunia akhirat," kataku memotong kehebohan mereka. Menyalami Rahay dan cipika cipiki.

Ya begitulah kaum kami.

Kemudian Rahay memelukku erat. "Aaah, Rindu. Kon iku ancen gae mewek ae deh*. Makasih yaaaa. Doa yang sama kembali ke kamu."

[*Kamu tuh emang bikin orang nangis aja deh].

Untuk sesaat suasana aku yang memegang kendali. Aman, semoga mereka tidak meneruskan acara cie-ciean yang sama sekali tidak pernah terbesit di pikiranku.

"Semoga dan insyaAllah, kita bakal jadi saudara sepupu ya, Rind," tambah Rahay.

Salah, kini selain Fita, Arini, dan Diva, Rahay ikut membuatku kalang kabut karena tuduhannya yang seolah benar terjadi.

"Opoan sih, Ray. Kamu, ihhh," kataku berusaha menyudahi.

"Wes talah, Rind. Aamiin gitu lho," sahut Arini malah membuatku tersudut.

"Aamiin, makasih ya, Yu. Selamat, Aku ikut senang dengan kebahagiaan kalian. Sakinah mawadah, warahmah." Aku menengok. Dari arah belakangku, laki-laki yang sedari tadi diam saja, kini ikut menyahut.

Dan aku cuma bisa ternganga, tidak habis pikir bahwa laki-laki ini justru menikmati alur permainan yang dibuat oleh teman-teman kucrutku.

Seperti ikan yang dikasih umpan, jelas mereka langsung menyantap bahan tersebut untuk jadi bahan bully-an lanjutan. "Cieee, tuh, Rind. Mas Hanif aja mengaamiinkan. Masa kamu nggak?"

Bagus!

Aku udah nggak tahu lagi gimana rasanya wajah ini merah banget karena nahan malu atau entahlah. Kayak tersipu gitu lho. Ya kali, mereka mengeroyokku ramai-ramai, cuy. Laki-laki itu, orang yang notabene kuharap bisa diajak sedikit kompromi malah menimpali guyonan tak masuk akal tersebut dan turut bermain di dalamnya. Sudah deh, aku sendirian nggak ada teman.

Apes, apes!

Mimpi apa sih kamu, Rind?

"Iyaaa aamiin, doa baik memang harus diaamiinkan." Dengan senyuman cemerlang yang berusaha kulengkungkan, oke, jangan salahkan aku dan jangan memprotesku kalau pada akhirnya aku mengucapkan itu.

Jadi begini, bukan aku tak ingin menanggapi celoteh mereka. Hanya saja aku nggak pengin banyak berharap banyak. Takutnya kebawa baper, padahal memang ini cuma murni guyonan. Susah say kalau udah baper.

Tapi ya Allah, sekalipun ini guyonan, hamba tahu bahwa setiap perkataan adalah doa. Siapa tahu malaikat-Mu turut mengaamiinkan, sekiranya dia baik, ijabahlah doa orang-orang baik ini ya Allah. Aamiin.

Ngarep dikit boleh kan?

Nggak baper kok.

Cuma ngarep.

Nggak munafik juga bahwa di usiaku yang udah seperempat abad ini, aku merindukan sosok laki-laki selain ayah dan adikku yang bisa kujadikan tempat bersandar, berbagi keluh kesah. Aku juga butuh sosok pengganti surga pertamaku, yang akan kujadikan surga kedua sampai nanti. Sampai akhir.

Aish!

Mulai deh!

"Udah, yuk, kita foto-foto." Arini mengomando, kemudian fotografer di bawah panggung sudah menginstruksi untuk bergaya ala-ala agar terkesan dekat tak tersekat.

Hei, ya mereka sudah pada halal. Ini gimana ceritanya orang di belakang aku nempel deket-deket gitu. Astaga!

Meskipun agak sedikit risih, pada akhirnya foto demi foto tercipta, lima kali foto bersepuluh. Tiga kali foto cewek-cewek squad tanpa pasangan masing-masing, kecuali pengantinnya yang kudu menetap di tempat. Terakhir satu kali foto couple dengan pasangan masing-masing. Sampai di sini aku sudah menolak dan pamit mau turun duluan, tapi sayangnya mereka jelas nggak akan ngebiarin aku kabur gitu aja.

"Sek talah, Rind. Kamu belum foto sama Mas Hanif. Gih cepet! Keburu ditungguin orang-orang yang antre lho."

Benar, di tangga naik ke panggung sudah terpampang antrean dari tamu yang hendak memberi ucapan serta foto dengan pengantin. Mana beberapa orang ada yang ngelirik sinis sambil melotot tajem. Gila. Santai aja bosku. Yoweslah, daripada panjang, aku menuruti mereka untuk foto dengan Mas Hanif.

Ingat ya, ini hanya demi antrian biar nggak makin panjang.

Satu kali cekrek.

Selesai. Dan aku segera menyusul tiga kucrut lainnya yang sudah ngakak di bawah panggung.

Mereka kelihatan puas banget ngerjain aku. Kampret!

Lebih parah lagi, nggak selang beberapa lama mereka kemudian pamit satu per satu. Kita cuma ngobrol sebentar nggak sampai lima belas menit berselang. Ngobrolin apa aja, termasuk agenda terdekat agar kami bisa kembali bertemu dan mengobrol lebih leluasa ketimbang sekarang. Sampai di sini yaweslah, aku maklum, terlebih dua dari mereka menempuh perjalanan luar kota.

Fita mau langsung pulang ke Malang takut macet kalau sorean dikit. Diva pun begitu, setelah ini langsung pulang ke Lumajang karena ngejar kondangan juga katanya. Kalau Arini meski dia nggak luar kota, dia juga ikutan pamit katanya mau nemenin suaminya ke TP cari sesuatu.

Sementara aku, masih di sini. Mau ikutan pulang juga sih sebenarnya, tapi di luar gedung sedang hujan deras. Dari tadi pesan ojek masih finding driver near you melulu. Efek hujan kali ya, wajar sih. Eh tapi aku kan pesan mobil, bukan motor.

Ah tau deh.

"Rindu, mau pulang?" tanya seseorang tiba-tiba menyamperiku.

Aku berjingkat, sedikit kaget karena orang tersebut muncul dari belakang arah.

Mas Hanif lagi.

Padahal aku udah senang tadi ketika turun panggung, aku memutuskan untuk memisahkan diri dari orang ini, bergabung bersama anak-anak sampai akhirnya mereka pamit. Kukira orang ini juga udah nggak tahu ke mana. Lah, kok tiba-tiba muncul lagi.

"Eh, iya," jawabku kikuk.

Nggak kikuk gimana, ya ini aku terjebak berdua tanpa ada yang ngerecoki lagi gais. Akan lebih awkward gila lah.

"Bawa mobil ta?" tanyanya, oke aku tahu ini basa-basi.

"Lagi pesen grab sih."

"Oalah, terus udah nemu?" Lagi, dia belum puas untuk menyudahi obrolan.

"Belum ada yang nyantol. Hujan kali ya," balasku yang kemudian dibalasnya dengan anggukan kecil.

Barangkali jodoh juga begitu, belum ada nyantol karena masih hujan. Nggak tahu kalau nanti sudah reda. Jadi, tunggu aja, Rindu.

Siap!

"Rumahmu mana sih, Rind?" Nah ini nih, ranah pembicaraan sudah mengarah ke bau-bau permodusan. Waspada.

"Deket kok di Aloha situ sih, cuma aku ngekos di daerah deket kantor. Di Tenggilis sana."

"Ow gitu, lha ngapain ngekos segala. Nggak jauh kan?" Dia mengernyitkan kening, heran kali ya.

"Belajar mandiri aja." Jawaban diplomatis yang sarat akan kepalsuan.

Memang, orang-orang juga banyak yang heran kenapa akhirnya aku memilih kos daripada PP rumah-kantor. Selain karena aku nggak bisa naik motor sendiri, kemudian jika bertransportasi umum maka akan membengkak di biaya transport, aku memilih ngekos karena butuh ketenangan lahir dan batin sih.

Di umur yang bisa dibilang nggak muda lagi, aku cukup tertekan dengan cibiran tetangga kanan – kiri yang menanyakan ke Bunda kapan aku nikah. Hell, meski aku nggak peduli tapi kalau jadi omongan tiap hari kan eneg juga.

Lagian, entah yaa, aku semacam butuh privasi untuk hidup sendiri aja. Belajar jauh dari rumah kalau nanti ikut suami. Asyeek.

Karena aku juga udah sering ngekos sejak SMA sih, jadi semacam udah terbiasa aja dengan kehidupan anak kos ini. Justru kalau di rumah bawaannya nggak enak, antara sungkan karena harusnya di usiaku seperti sekarang sudah bukan lagi tanggung jawab orang tua. Atau ya itu tadi, nggak betah karena cukup pengang dengan nyinyiran para tetangga yang lambenya turah banget.

"Terus ini nanti pulang ke rumah atau ke kos?"

"Ya kalau udah di sini harusnya pulang ke rumah sih, Mas. Orang rumah juga udah nanyain kapan pulang karena minggu lalu kan nggak pulang gara-gara dinas ke Cirebon," jawabku.

Memang, minggu lalu bunda juga sudah mewanti-wanti agar aku pulang karena katanya beliau lagi kangen. Aish, sungguh aku bukan tipikal orang yang mudah mengungkapkan perasaan, terlebih rasa sayang ke orang-orang terdekat, seperti bunda, ayah dan adik-adik. Meski di dalam hati berteriak, 'Iya, Bun, Yah. Rindu juga kangen banget.'

"Ah iya, Cirebon. Pertemuan yang konyol." Dia tertawa, sementara aku cuma menyunggingkan senyum sekilas.

Apanya yang lucu?

"Saya anterin, Rind. Kalau kamu nggak keberatan."

Matilah aku ini.

Jawab apa?

Gini deh gais. Aku merasa semua kebetulan yang tercipta di antara pertemuanku dengannya masih belum bisa kuterima begitu aja. Kami adalah dua orang asing yang tidak sengaja bertemu oleh sebuah kejadian ganjil. Jadi, jika ada pertemuan lanjutan setelah itu, aku rasa kita tetap aja dua orang asing. Aku merasa belum begitu dekat untuk sekadar ngobrol begini, atau bahkan main anterin pulang segala.

Gila! Apa kata orang rumah?

Bakal gempar deh orang se-gang begitu tahu aku pulang dianter cowok.

Duh. Aku kudu piye?

"Gimana, Rind?" tanyanya, seolah nggak sabar dengan jawabanku.

"Nggak ngerepoti ta, Mas? Rumahnya Mas Hanif mana sih?" Aku harus memastikan, jangan sampai saja tawaran tadi hanya omong kosong belaka.

"Di Mastrip."

"Tuh kan, jauh lho, Mas. Nggak usah deh."

"Nggak papa, Rindu. Yuk ah, ngobrolnya dilanjut di mobil aja." Dan dia kembali sudah menggandengku keluar plataran gedung resepsi.

Nggak ada pilihan lain. Aku manut, sehingga aku sudah duduk cantik di fortuner putih ini.

Baik.

----ooo----

"Jadi, Mas Hanif tuh sepupunya Rahay gitu ta?" tanyaku memulai obrolan ketika mobil telah melaju. Menetralisir suasana canggung dan senyap di dalam mobil yang malah bikin ngantuk seketika.

"Iya, sepupu jauh lah," jawabnya, sambil sesekali aku melirik.

Dia kalau lagi nyetir begini kelihatan serius banget. Mengatur perseneling, melihat spion, meliuk-liuk di antara padatnya jalan arteri Surabaya- Sidoarjo ini. Apalagi mendekati kawasan ke bandara Juanda, volume kendaraan bertambah membuat para pengemudi kudu lihai memainkan pedal.

"Jauh sih, Cirebon – Sby emang jauh," cicitku pelan, sambil mikir bahasan apa lagi yang mesti kulontarkan.

Namun, nggak nyangka lho, jawaban recehku yang asal celetuk tadi justru bikin dia terkekeh.

Aku kembali mengernyit. Heran aja, kadang ada hal-hal yang menurut kita nggak lucu justru menurut orang lain adalah suatu humor yang begitu renyah.

Atau memang aku yang nggak punya selera humor?

"Saya tuh asli sini cuma lagi kerja di Cirebon aja."

Aku manggut-manggut. Sudah tahu kali, kan situ tadi bilang rumahnya di Mastrip.

"Aku tadi sempat ragu, antara Mas itu beneran sama nggak sih dengan yang kutemui di Cirebon. Eh, ternyata emang benar sama."

Dia melihatku sekilas, kemudian malah terpingka-pingkal gara-gara perkataanku. Yang sekali lagi kurasa itu nggak ada unsur lucu sama sekali sih. "Hahaha, tenang saya nggak punya kembaran kok. Jadi, yang kamu lihat di Cirebon sama yang sekarang memang orang yang sama."

"Kok jauh kerjanya, Mas?"

"Iya, saya dulunya kuliah di Unpad, di Bandung. Terus dari koas, kemudian sekarang internship ya dapatnya di wilayah Jawa Barat situ."

"Oalah, anak Unpad. Kok jauh kuliahnya, Mas?" tanyaku penuh dengan kekepoan.

Masa bodoh deh, demi membunuh suasana canggung, aku rela menggadaikan rasa gengsiku agar mobil ini tetap bernyawa. Biarin dia ngira aku kepo atau sok kenal, salah sendiri sok-sokan mau nganterin pulang.

"Dulu zaman masih muda, penginnya melancong ke mana-mana. Sekarang malah nyesel jauh gini. Pengin segera balik dan menetap di SBY aja," jelas Mas Hanif. "Kamu sendiri, ke Cirebon itu kerjanya ngapain?" Kini, dia kembali menengok ke arahku, menuntut balik semua tanya yang duluan kuluncurkan tadi.

"Audit," jawabku singkat, berharap dia cukup paham kemudian nggak tanya-tanya lagi.

"Wah cewek yang kerjanya Audit itu patut diwaspadai," katanya.

Aku mengernyit.

"Emang kenapa?" Merasa tidak terima dengan pernyataannya, jelas aku menuntut penjelasan dari orang tersebut.

Waspada apanya?

"Ya, orang audit itu kan banyak tanya. Curigaan melulu kan kerjanya. Jangan-jangan kalau punya pasangan ntar malah dicurigain."

"Idih, apaan?"

"Hahaha, pasti iya kan. Pacarmu, eh suamimu pasti ngerasain hal kayak yang tadi kusebut. Cuma dia nggak berani bilang kamu aja."

Entah kerasukan darimana, tiba-tiba aku nyolot kenceng banget. "Nggak ada, ya!"

"Jadi, kamu belum ada pasangan nih?"

Astaga! Dampak keceplosan itu apa ya kira-kira?

Entah aku ge-er atau gimana, pandangan mata mas ini kok mendadak jadi nggak biasa ya.

Jangan salah tingkah! Biasa aja!

Lalu aku mengalihkan obrolan ke topik lain yang lebih safe. Banyak hal yang kami bahas. Satu hal yang aku tahu, dia orang yang pandai berargumen. Aku bisa menilai dia punya pendirian teguh dari pendapat yang coba dia pegang dan nggak bisa dipatahkan begitu aja. Pemilihan kalimat yang dia gunakan juga ajaib.

Dalam kurun waktu tiga puluh menit ini, aku merasa perjalanan kali ini begitu lama dan panjang.

Sampai-sampai aku nggak sadar kalau sudah masuk kompleks perumahan setelah dia hampir kebablasan ke gang kompleks sebelah.

Ah, menyenangkan juga.

"Yang mana rumahmu, Rind?"

"Oh, itu mas, yang depannya ada pohon mangga." Aku mengarahkan sambil menuding rumah berpagar hitam seratus meter di depan itu.

"Wah, enak tuh nggak usah beli pas musimnya."

"Iya, kayaknya baru panen deh. Mas mau ta?" Spontan aku menawari aja, hal lumrah kan?

"Hahaha, nggak Rind. Saya bercanda kok."

"Eh, beneran. Tak ambilkan kalau mau."

"Nggak usah, kapan-kapan aja." Orang Indonesia asli berarti, malu-malu padahal ngarep.

"Keburu habis lah," kataku sambil siap-siap turun.

"Barangkali nanti saya bisa menikmati mangganya tiap musim. Itu lebih baik kayaknya."

"Hah?" Aku menajamkan telinga, agak nggak ngeh dengan perkataannya barusan.

Maklum, ribet beresin tas dan bawaan dari kondangan.

"Eh, enggak. Nah, sudah sampai deh."

Eh, ngomong-ngomong apa sih maksudnya? Sumpah orang ini nggak jelas deh.

"Aku turun ya, Mas. Makasih udah dianterin," pamitku, kemudian segera turun .

"Sama-sama."

Aku berharap semoga dia nggak kecewa karena nggak kupersilakan untuk mampir. Serius, bakal panjang urusan kalau sampai Mas Hanif turun kemudian salaman dengan Bunda dan Ayah. Tapi sampai aku udah turun dan udah berdiri di pagar bersiap masuk rumah, dia masih diam belum menjalankan mobilnya lagi.

"Kenapa lagi, Mas?" tanyaku begitu dia celingukan lihat ke dalam rumah.

Fix, nih orang kayaknya ngarep banget buat mampir.

"Eh, nggak. Yaudah salam aja buat bapak ibukmu ya, Rind."

Salam, ya?.

Aku mengangguk sambil melambaikan tangan begitu dia putar balik dan melaju pergi.

Kujawab sendiri aja deh. Waalaikumsalam.

Lucu ya, sebuah hal konyol yang tak pernah terlintas, nyatanya bisa terjadi juga. Apa namanya kalau bukan jodoh.

Pertemuan ke-empat. Sayangnya kamu lupa minta nomorku. Jadi, sampai di sini aja ya ceritanya. 



____________________




Terima kasih, selamat bertemu Rindu. Jangan lupa vote dan ramaikan dengan komentar terseru kalian.

Keep in touch :
Ig : risaliaicha
Line : risaliaicha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top