4. Rindu Bertemu Kembali
💻☎📠💻☎📠
Empat hari berlalu, kini aku sudah kembali ke Surabaya. Sebuah kota metropolitan tersibuk nomor dua setelah Jakarta. Sebuah tempat nomor satu di Jawa Timur untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah dari setiap keringat yang kita peras. Tak ayal kota ini makin menggila dengan kemacetannya. Apalagi di jam-jam genting aktivitas pagi seperti sekarang. Pagi dan Senin, sebuah waktu yang sebisa mungkin sangat dihindari oleh para pekerja maupun anak sekolah.
Seperti biasa, aku lagi di atas ojek online yang akan membawaku ke kantor. Deru mesin dan asap kendaraan dari kanan-kiri saling berlomba menunjukkan nyalinya. Wah ini nih, penyumbang polusi terbesar di pagi hari.
Andai orang-orang itu lebih bijaksana sedikit, misalnya mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan lebih memilih transportasi umum, mungkin jalanan nggak semacet ini. Dan kita masih bisa menikmati udara segar kota Surabaya di pagi hari. Toh pilihan moda transportasi umum sekarang kan makin beragam dan banyak pembaruan. Tapi semua itu sudah menjadi tradisi dan karakter masing-masing sih, jadi ya butuh proses untuk mengubah.
Beruntungnya kemacetan di perempatan lampu merah arah kantorku tidak begitu parah kali ini. Karena biasanya di daerah sini bisa beneran macet total alias berhenti grak hampir setengah jam kalau benar-benar sedang menggila. Maklum lah, ini adalah perempatan terakhir sebelum masuk gerbang kawasan industri paling sibuk di Surabaya. Menjadi wajar apabila daerah ini menjadi gerbang keluar masuk para karyawan yang bekerja di dalamnya.
Lima menit kemudian kemacetan bisa sedikit terurai dan kang mas ojekku berhasil membelah kerumunan pengendara lain yang dulu-duluan tak ingin kalah. Masih pukul 07.48, lumayan, aku berhasil sampai di kantor dengan selamat dan kali ini nggak pakai drama lari-larian ngejar check lock.
"Widih, tak kira cuti. Oleh-oleh mana nih," todong Mbak Via, orang purchasing yang kerjaannya nyinyir begitu melihat aku berdiri di finger print depan pintu masuk.
Ingat kan aku pernah cerita gimana reaksi orang-orang pas aku berangkat audit keluar kota. Salah satu yang suka nyindir ya orang di depanku ini.
Aku sih cuek aja, senyumin dikit terus nyelonong ke dalam. Palingan habis ini juga jadi bahan omongan lagi. Orang yang anti bawa oleh-oleh kalo habis berpergian entah itu cuti jalan-jalan atau acara kantor semacam ini ya cuma aku. Beda sama Sherly si anak sales.
"Beneran nggak bawa, Rind?" tanyanya sambil mengintiliku ke kubikel.
"Nggak ada, Mbak. Nggak sempet, jadwalnya padet."
"Ealah, Rind. Pelit banget deh jadi orang," gerutunya kemudian balik terus bisik-bisik ke gengnya sambil ngibas-ngibasin tangan gitu. Aku kelihatan karena belum duduk juga dari tadi diikutin gitu, siapa yang nggak risih?
Hhh!
Menurutku, aku nggak begitu suka ya sama tradisi bawa oleh-oleh semacam ini. Meskipun kadang aku juga turut menikmati kalau di meja tengah ada beragam jajan entah itu oleh-oleh maupun jajan yang sengaja dibawa mereka. Tapi adab meminta oleh-oleh itu lho yang aku nggak suka. Apalagi kalau kesannya maksa. Helo, please ini aku usai audit lho bukan usai jalan-jalan ke luar negeri. Tidak ada oleh-oleh masuk dalam daftar anggaran budget. Oke soal uang sebenarnya juga nggak masalah. Yang jadi masalah adalah, kalau kita lagi capek-capeknya, pulang nggak dalam kondisi lega, dalam artian banyak kasus menggantung, siapa juga yang sempat mikir oleh-oleh? Mikir nasib kita jangan-jangan yang digantung iya! Kelar deh urusan.
Jam kantor sudah dimulai begitu bel menggema di seluruh sudut ruangan. Mereka langsung pada sok sibuk terpekur di depan layar monitor masing-masing. Begitupun aku. Meski dengan segala perasaan gundah gulana campur aduk macam gado-gado yang kayaknya enak dimakan entar siang.
Oke Rindu, bayangan anda offside.
Tenang, sekalem mungkin. Biasanya juga bisa kan stay cool dengan muka lempeng tanpa dosa?
Akan kucoba.
"Rindu, akhirnya you come back!" Satu suara seperti biasa selalu mengagetkanku tiba-tiba.
Baginda Fikri Daulat sudah mentereng di depan kubikel dengan wajah yang berbinar-binar seperti menemukan anaknya yang kemarin hilang.
Ratapan anak hilang.
Kok sedih.
Untuk terlihat biasa saja, maka step pertama yang harus dilakukan adalah memasang senyum secerah mungkin. "Pagi, Pak. Kangen saya, ya?" Jangan lupa menyapanya dan tambahkan kata-kata yang bisa bikin beliau melambung karena kege-eran.
"Wah tau aja ini." Benar kan, baru begitu doang beliau langsung tersipu gitu.
Aku sih nelen ludah sambil geleng-geleng. Udah, Rind, sampai di sini aja step satunya, bakal berabe kalau dilanjutin.
"Iya, Pak? Ada yang bisa dibantu?"
"Loh kok tanyanya gitu. Harusnya kan saya yang tanya? Bagaimana Rindu perjalanannya kemarin? Sepertinya menyenangkan sekali ya sampai nggak sempat update kabar?" tanyanya begitu sarkas.
Asli, itu sindiran keras gais!
Tetap kalem, kali ini mari kita lanjut ke step kedua. Ingat, senyum kudu tetap stay on meski di dalam udah mulai berontak pengin teriak. Tahan!
"Iya, Pak. Saking sibuknya sampai nggak sempat ngurusin hape. Eh tau-tau lowbat. Tapi ya ada untungnya juga sih, Pak. Alhamdulillah saya jadi lebih fokus ke kerjaan." Menjawab dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang tinggi.
Jangan sampai kita kelihatan lagi gugup atau lagi nyembunyikan sesuatu. Meski habis ini juga bakal ketahuan juga, yang penting sekarang stay cool dululah.
"Ow gitu, syukurlah. Berarti saya udah bisa lihat laporannya ya. Laporan sementara lah minimal." Tapi, tidak semua step tersebut bisa berhasil, gais. Heheh.
Itu tadi contoh step gagal. Pak Fikri malah memintaku untuk laporan sekarang kan?
Kampret!
Oke, maaf ralat. Nggak sopan ngata-ngatain orang tua, awas kualat.
Kucing dah! Kucing banget emang. Baru juga sampai kantor, napas aja belum sempat, sekarang laporan udah ditodong.
Kurang sengsara apaaaa, nak?!!
"Maaf, Pak. Setelah makan siang aja gimana laporannya. Saya mau follow up kerjaan saya yang udah tiga hari nggak kepegang, Pak. Tuh tumpukan udah menuhin meja." Step ketiga, bikin pengelakan jika step kedua tadi nggak berhasil. Tapi usahakan jangan kelihatan menghindar, hanya menunda.
Ingat, mau ke mana juga kita ngumpet ujung-ujungnya pasti ketangkep.
"Oke setelah makan siang saya tunggu di akurium," kata beliau menyebut kubikel besar dengan akurium. Maklum biar beda katanya, karena kalau cuma kubikel doang lha kita semua juga ada di kubikel. Kagak level dong.
"Baik, pak." Step terakhir jawaban sapu jagat untuk menutup debat kusir dan dijamin setelah itu beliau bakal pergi dengan sendiri.
Satu.
Dua.
"Yauda, kerjakan dulu," ucap beliau kemudian langsung cuzzz.
Babay pak tua!
Hah! Akhirnya.
Napas nih, napas!!!
🔎💡🔎💡
Nggak ada yang lebih bikin mood anjlok selain omelan bertubi-tubi dengan sederet kalimat wejangan yang malah bikin pusing. Kukira menemui Pak Fikri selepas makan siang bakal sedikit meredam reaksi berlebihan beliau begitu aku cerita soal kejadian di Cirebon.
Nyatanya nggak!
Tadi dengan segala sisa-sisa keberanian yang tercecer aku nekat menghadap Pak Fikri dengan membawa laporan seadanya yang sama sekali belum kusalin maupun kurapikan. Mulai kujelaskan pelan-pelan, kubalik laporannya dari audit yang paling terakhir. Tidak ada masalah berarti karena tiga gudang selain Cirebon berjalan mulus dan tanpa kendala. Mungkin cuma kasus ringan seperti selisih stok yang nggak begitu banyak. Hal itu wajar dan solusinya cukup mudah, klaim. Maka urusan clear.
Nah, ketika aku menjelaskan soal Cirebon, destinasi pertama yang bikin aku gundah gulana nggak aturan sepanjang hari tadi, tiba-tiba mules menyerang. Form audit untuk Cirebon masih putih bersih alias kosong alias tidak terisi sama sekali.
Reaksi pertama, Pak Fikri cuma mengernyit, kemudian masih membolak-balik halaman selanjutnya. Mungkin berharap ada setitik tinta yang membahasi halaman berikutnya.
Naas, beliau tidak menemukannya juga.
Ya iyalah. Apa juga yang mau diisi.
Reaksi kedua, "Loh, ini mana laporannya, Rindu?" sudah mulai menaikkan satu oktaf nadanya.
Aku masih tetap kalem kemudian mulai menjelaskan abcdefg.
Reaksi ketiga, whoilla, semburan demi semburan menjejal ke kupingku sampai pengang.
Yang paling membuatku bete parah adalah konklusi dari semua ocehan beliau. "Oke berarti bulan depan kamu lagi yang berangkat. Berangkat awal bulan dan kalau perlu di Cirebon nginep sampai audit beres."
Baik.
Aku lagi.
Berarti empat bulan berturut-turut.
Bulan depan di awal bulan, itu artinya seminggu lagi.
Kucing!!!!!
Gimana aku nggak pengin teriak!!
Kesel! Aku kesel banget! Pengin jerit sekarang juga! Hah!
Sudah untung kan aku jujur? Kalau nggak? Bisa aja tuh laporan kumanipulasi kan gampang aku juga diberi laporan stok oleh Elis via whatsapp malam itu.
Begini nih, apreasiasi buat orang jujur masih sangat minim. Nggak heran deh kalau banyak orang jahat. Mereka rela berbohong, berdusta atau apapun itu tindakan tidak jujur demi menyelematkan diri. Karena ya untuk menghindari hal-hal begini, semakin jujur bukannya mujur malah semakin hancur.
Belum genap aku mengatur kembali rasa gondokku, satu pesan whatsapp menyembul, memperkeruh suasana hatiku yang udah berserakan nggak karuan.
Oke, mari kita lupakan sejenak tentang Fikribo barusan itu.
#DolanYukGais
AriniPutri
Gais, Sabtu besok jangan lupa ya nikahannya Rahay. Kalian dtg kan?
Dan aku hampir lupa! Saking apanya?
FitaLarisa
Dateng lah, aku sama mas Danang palingan nyampe gedung jam 1-an. Tgguin yes.
DivaAninda
Aku juga sama masku. Doi nyalon mobilnya dlu tapi. Ya paling sama, Fit kita nyampenya, jam 1an lah.
Aku masih menyimak, sambil berpikir bagaimana aku harus datang ke acara itu. mereka adalah sahabatku dari SMP, satu SMA, kemudian satu kampus juga waktu kuliah. Jadi bagian mana yang membuatku untuk tidak turut andil di salah satu hari bahagia sahabatku sendiri. Arini, Fita, Diva, dan Rahay, sudah dua belas tahun kami bersama. And still counting till don't know.
Masalahnya, di antara kami berlima, kini tinggal aku yang masih sendiri.
Menurut kalian saja, bagaimana aku harus memposisikan diri untuk bergabung bersama mereka sementara bahasan di antara kami sudah berubah. Mereka dengan segala pembahasan soal ilmu kerumah tanggaan dan calon ibu muda. Sementara aku masih roaming tentang hal begituan. Jadi, kebanyakan aku cuma nyimak.
Fita sudah menikah dua tahun lalu, tepat tiga bulan setelah wisuda. Sekarang dia bahkan sudah dikaruniai seorang putri yang cantik. Kalau Diva, dia juga menikah, lagi hamil enam bulan. Arini pun demikian, pengantin baru yang masih anget-angetnya. Arini menikah tiga bulan yang lalu. Dan kali ini si Rahay akan menyusul melepas masa lajangnya dan siap berganti status di ktp.
Sementara Rindu Amaya bagaimana?
Hahaha.
AriniPutri
Oke, see u there.
Eh, btw, Rindu kok g nongol sih. Rind, km dtg kan?
RahayuningAsri
Awas ae smpe g dtg. Opo perlu tak jmput, Rind?
FitaLarisa
Rindu kon ojok read tok. Duduk koran iki. [Rindu kamu jangan baca aja. Bukan koran ini]
Kalau si Fita sudah mengeluarkan Bahasa jawa medoknya begitu, maka riwayatku untuk terus bersembunyi selesai sudah.
Ok. Aku dtg kok. Tenang ae. Ketemu di sana.
Aku datang kok. Pasti datang. Tapi please, aku nggak suka pertanyaan mereka yang seolah mengintimidasiku. Lalu ujung-ujungnya pasti merembet ke hal-hal yang nggak aku penginin. Misal, 'Gimana kali ini, Rind? Si Barbie bakal punya om baru kan?' itu kata Fita bawa-bawa anaknya, keponakanku yang paling cantik. Terus pasti ada kelanjutannya, 'tinggal kamu lho, Rind. Kapan dong kita dapat kain dan undangannya.' Kalau sudah seperti itu biasanya aku sih aku silent grup aja. Sampai mereka membahas hal lain. Baru aku balik terus ikut gabung lagi.
Mereka kemudian membicarakan beragam persiapan ke nikahannya Rahay. Mulai dari kain seragam yang diberikan si Rahay udah dijahitin atau belum, modelnya gimana, dan lain-lain. Bahkan mereka juga janjian pakai heels atau wedges warna apa. Aku cuma menyimak sambil mendesah. Terserah mereka lah, aku manut hasil akhir aja.
Kalau mereka waras, aku cukup senang dengan kehadiran mereka yang sedikit menjadi warna pembeda dari monokrom hidupku ini. Lima orang berbeda karakter yang bisa bertahan lebih dari dua belas tahun, kukira itu nggak mudah. Mereka langka, makanya perlu kuabadikan.
Setidaknya mereka bisa sedikit meredakan ketegangan syarafku tentang hasil audit yang masih tak berujung itu. Meski mereka juga bikin kesal sih, tapi itu lebih baik lah ketimbang aku adu urat di akurium bersama Baginda Fikri.
🔺🔻🔺🔻🔺
Dan Desember selalu menjadi penutup perjalanan indah di setiap tahun. Pilihan untuk mengakhiri status sendiri di bulan Desember ini memang pilihan yang baik. Atrium gedung resepsi pernikahan Rahayu dan suaminya terhelat begitu mewah. Maklum, ayah Rahay merupakan salah satu advokat tersohor di pengadilan negeri Jawa Timur. Suami Rahay ini pun juga hasil dari perjodohan dengan salah satu pengacara didikan ayahnya. Ya nggak heran kalau acaranya segini besar. Tamu-tamunya pun pasti bukan orang sembarang.
Aku iri? Jelas! Iri dalam artian, kapan aku juga disegerakan menyempurnakan separuh ibadah itu. Bukan iri soal materi atau apapun.
Tapi aku bersyukur dengan hidupku yang sekarang.
Tenang aja, pasti akan ada masanya.
Kapan? Itu hanya yang Dia yang tahu. Tugasku cukup mendekati-Nya agar Dia segera mendekatkanku dengannya. Mudah bukan?
Mudah gundulmu, Rind. Teori tok, coba praktekin sendiri!
Pukul satu lebih sepuluh menit, aku melihat sekeliling mencari mereka lima kucrut yang dari tadi pagi sudah berisik di whatsapp mengingatkanku untuk beneran hadir. Nyatanya, sampai aku sudah ada di sini pun, batang hidung mereka bertiga belum terlihat.
Rahay sudah ada di atas pelaminan dengan balutan busana kebaya emerald maroon yang menawan. Cantik sekali.
Sementara aku masih di sini.
"Ya ampun, Rindu. Aku cariin juga. Ke mana aja sih?" Arini datang bersama Bagus, suaminya.
Dasar. Anak ini!
"Aku juga nyari kalian kali. Di mana sih?" tanyaku, nggak pengin kalah karena dari tadi aku juga mencari mereka. Enak aja.
"Kita tuh udah ngumpul di sana. Rahay udah kasih kode buat kita foto bridesmaid. Fita sama Diva juga udah siap," jelas Arini sambil menunjuk gerombolan krucut yang lain.
"Oke, oke, sorry. Yuk, deh."
Benar, mereka lagi di pojok dekat panggung electone. Diva, Fita, lengkap dengan pasangan masing-masing.
"Rinduuuuu, ya ampun. Kon iku yooo, arek kok!" Fita langsung merangkul kemudian membejek-bejek diriku sampai habis.
Entah deh, kalau sudah ketemu mereka, maka seluruh dunia dan seisinya akan rusuh seketika.
"Iya, iya, maaf gais. Beneran deh, aku tuh udah datang di sebelah sana. Kalian aja yang nggak lihat."
"Heh, mangkane talah WA iku diwoco, nduwe hape digae pajangan tok. Deloken a, kene wes ngomong yo neg tak enteni ning sebelahe panggung. Ancene!" [Makanya sih, WA itu dibaca, punya hape dipakai pajangan doang. Lihaten tuh, sini udah ngomong ya kalau nunggu di sebelah panggung]
Ya, aku kalah. Satu lawan tiga cuy.
Ya udahlah, semua itu terabaikan ketika akhirnya kita bisa bareng seperti ini. Kami ngobrol apapun tentang semua cerita yang terlewat ketika kami nggak lagi bersama kemarin-kemarin. Ya, sejak kami lulus kuliah, terlebih sejak mereka bertemu dengan pasangan masing-masing, tentu hal tersebut sangat berpengaruh pada intensitas pertemuan kami. Grup #DolanYukGais hanya sebagai nama. Sisanya, hanya sebuah wacana dan rencana yang batal menyadi nyata. Kesibukan kami juga salah satu faktornya.
Fita tinggal di Malang, beruntungnya dia kuliah kemudian bertemu dengan suaminya yang merupakan kakak tingkatnya yang ternyata asli Kera Malang. Sedangkan Diva, dia melancong ke Lumajang, tentu mengikuti jejak suaminya juga. Sedangkan sisanya, Arini, Rahay, setelah selesai kuliah memilih kembali ke kampung asal, menjadi penghuni tetap kota pahlawan ini. Meskipun aku memilih ngekos daripada pulang ke rumah.
Banyak hal dan cerita terjadi, tawa mereka, serta guyonan receh khas mereka yang selalu aku rindukan, nyatanya masih tetap sama. Dan aku cukup senang kali ini mereka sama sekali belum menyinggung soal ...
"Eh," seruku begitu sensai dingin tiba-tiba kurasakan menjalar mengenai dress. Spontan, aku langsung mengusap-usap meski nyatanya tidak memberikan pengaruh apapun.
Yah, tambah basah deh.
"Astagfirullah, maaf," kata orang tersebut, tapi aku belum menanggapinya.
Ini dressku bagaimana, gais, duh nggak oke dong kalau photo session kelihatan dressku basah begini.
Ealah! Situ jalan meleng banget sih!
"Eh, Rind, nggak papa?" tanya Diva bukannya bantuin, tanya tok aja.
"Nggak papa kok, nggak papa," balasku sambil mengisyaratkan dengan tangan agar mereka menungguku.
Kesel sumpah, mana sapu tangan cuma bawa satu. Pengin banget marahin orang yang numpahin ini. Dia jalan nggak lihat-lihat apa ya.
"Rindu?"
Aku mendongak, begitu mendengar orang yang menumpahkan minumannya tadi mengenalku.
Loh?
Astaga!
"Mas Hanif?" spontan kusebut nama itu begitu melihat perawakan yang sama persis dengan orang yang kutemui di Cirebon sebelumnya.
Eh, bener nggak sih? Apa iya?
Dan aku cuma terbengong sambil satu tanganku masih berusaha mengelap dress agar sedikit kering.
"Loh, Rind? Oalah kok nggak bilang to kalau kamu bawa seseorang. Kenalin kek," sahut Fita membuatku menoleh.
Seseorang gundulmu!
"Bu ... bukan."
"Eh bentar deh, masnya bukannya sepupunya Rahay ya?" Arini ikut angkat bicara, mendekat ke arahku kemudian memindai sekilas orang di depanku ini.
"Iya, saya emang sepupunya Ayu. Kok tahu?" Dan orang yang mirip dengan dokter Hanif, Mas Hanif, atau siapapun orang yang pernah kutemui di Cirebon itu, membenarkan pernyataan Arini.
"Kayaknya kita pernah ketemu. Kalau nggak salah pas Rahay wisuda." Arini kembali menggali, melempar satu fakta mengejutkan.
Dan yaa waktu Rahay wisuda aku emang datang belakangan, bisa jadi Arini benar karena aku nggak sempat ketemu Arini dan anak-anak yang lain juga.
Sementara mas itu masih mengingat-ingat pernyataan Arini barusan. "Oooh, temannya Ayu?"
Gotcha! Sebuah kebetulan apa ini?
"Iya, masnya ingat?"
"Iya-iya. Saya ingat." Mas itu manggut-manggut masih memegangi gelas tinggi berisi minuman dingin kampret yang bikin dressku jadi basah.
"Loh, masnya kenal Rindu ternyata. Kok nggak pernah cerita sih, Rind?"
Oke ini makin ngawur karena Arini kini melibatkanku dalam obrolan mereka.
"Eh, nggak gitu." Dan, baru saja aku mau memberikan statement lanjutan, si Fita emak-emak kucrut satu itu menyela dengan pernyataan tak terbantahkan.
"Halah, ojo sok-sokan, Rind. Awas kon main rahasia-rahasiaan. Utang cerito, Rind."
Aku speechless. Aku udah nggak sempat mikir mau menimpali Fita bagaimana. Sini masih sibuk mikirin diapain lagi agar dress ini bisa sedikit kering. Memang nggak parah sih, cuma bagian lengan aja yang kena minuman tadi. Tapi tetap aja kan nggak enak gitu dipakainya.
Ah entahlah.
Ini juga makhluk satu di depanku. Siapa sih dia?
Hobi banget muncul di hidup orang akhir-akhir ini.
Bagaimana ceritanya minggu lalu masih di Cirebon sekarang udah di Surabaya lagi?
"Yauda, sekarang kan udah lengkap, kita naik yuk, gais. Rahay udah nunggu tuh." Diva makin memperkeruh dengan ajakannya barusan.
"Yauda kamu sama Mas Hanif kan, Rind. Akhirnya foto kita bakal lengkap bersepuluh," kata Arini asal ngejeplak.
Ini apa? aku bahkan nggak sempat memberikan klarifikasi.
Sementara orang yang dengan spontan kupanggil Mas Hanif itu nyatanya malah mengangguk kemudian menggandengku mengikuti mereka di belakang. Mas Hanif juga mengenakan seragam yang sama. Ala-ala brides groom gitu. Kocak sih ini.
Baik. Sungguh lelucon yang sangat tidak lucu.
"Rindu, ini pertemuan keempat."
Bodoh amat! Terus kenapa? Ini kenapa tangannya masih nyantol? Heeei!
Eh jantung, nggak usah ikutan deg-degan juga.
Ya Ampun! Mimpi apa aku ini?
_________tunggu kelanjutannya_______
Selamat menikmati.
Jangan lupa tekan bintang dan kasih komentar terseru ya gengs.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top