33. Rindu Tak Lagi Terkejut
🍂
🍀
🍂
🍀
🍂
🍀
Aku harus menuntaskan semua ini, hal yang membuatku ngotot untuk pada akhirnya mengikuti mereka. Menggunakan ojek pangkalan yang kebetulan melintas di depan jalanan rs, aku mengikuti mobil putih yang sudah melaju cukup jauh di depan sana. Sebuah titik kecil yang kuyakini mobil tersebut masih tertangkap dalam pengelihatanku.
"Pak tolong agak cepat ya, Pak," pintaku pada Bapak Ojek yang sedang berkonsentrasi penuh untuk mengejar.
"Iya, Mbak, ini juga udah ngebut. Istighfar, Mbak, bantu doa biar kita selamet itu yang paling penting." Dengan tas sebagai pembatas antara aku dan bapak ojek, dalam radius sekian, samar-samar kudengar balasan bapak ojek tersebut.
Aku tak berkomentar lebih, takut menganggu konsentrasi beliau, memilih fokus mengikuti arah titik putih itu menuju kemana.
Sampai pada akhirnya aku melihat mobil tersebut masuk ke dalam kawasan perumahan di daerah Wiyung. Cluster perumahan yang tergolong baru karena memang beberapa rumah masih dalam tahap finishing. Perumahan ini dekat dengan rumah Mama Ratih. Tapi mengapa Mas Hanif ke sini? Untuk apa?
"Pak saya turun sini aja," kataku kepada Bapak Ojek ketika Mas Hanif memarkirkan mobil di depan salah satu rumah.
"Mbak, ngintilin siapa sih sebenarnya?" tanya Bapak Ojek dengan keponya.
"Ssst, Pak, sudah ya, Bapak bisa ninggalin saya."
"Nanti Mbak Pulangnya gimana?" Ya ampun, aku sudah gregetan ketika Bapak Ojek tersebut seperti ingin meledek begitu melihat tingkahku yang mengendap-endap sambil memperhatikan mobil putih di depan sana.
"Hehehe, iya-iya, Mbak. Pesan saya, jangan suka suudzon sama suami, Mbak. Cowok itu malah nggak suka kalau dicurigai melulu. Kalau emang penasaran sebaiknya tanya terus terang, biar nggak jadi panjang, salah paham, dan berujung sakit hati sendiri."
Aku geram, "Bapak, makasih udah anterin saya. Sudah bapak bisa pergi sekarang."
"Oke, oke, Mbak, maaf lho saya cuma kasih saran mewakili kaum laki-laki. Saya permisi, Mbak. Assalamualaikum."
Hhhh. Waalaikumsalam, iya, Pak, aku terima nasihatnya, tapi untuk sekarang sudah terlanjur. Biarkan aku menuntaskan semua ini dengan cara yang sudah kadung kutempuh.
Mas Hanif turun dari mobil dengan dokter Nesya yang juga mengikutinya, kemudian keduanya masuk ke dalam rumah. Bahkan, Mas Hanif seperti mempersilakan dokter Nesya untuk masuk terlebih dulu. Subhanallah, Mas, apa yang aku lihat sekarang?
Aku nggak bisa membiarkan semua ini terus berlangsung. Hatiku nggak kuat. Kalau aku terus menduga-duga sendiri, pasti pikiranku akan ngelantur tak tentu arah. Aku memutuskan untuk menemui mereka.
"Assalamualaikum, Mas," kataku, begitu mereka hendak masuk ke dalam rumah.
Mas Hanif berbalik badan, cukup kaget ketika melihat bahwa aku yang mengucap salam tersebut. "Wa .... Waalaikumsalam, Rindu? Kamu kok bisa ada di sini, Sayang?" tanyanya, sambil celingak-celinguk, mencari tahu bagaimana aku bisa ada di sini.
"Hai ... Rindu." Kali ini, dokter Nesya yang menyapaku.
Aku masih berusaha tenang sampai di sini, sekuat hati mengenyahkan emosi yang sebenarnya sedang membuncah dalam dadaku. Berusaha tetap waras meskipun hal yang sedang kuhadapi terlihat nggak waras.
"Seharusnya aku yang tanya, katanya Mas nengokin Rahay. Aku ke rumah sakit tadi. Mas malah nggak ada dan pergi. BERDUA! Dengan seseorang yang, maaf, maaf dokter Nesya, kalian bahkan bukan mahram."
"Astagfirullah, Rindu. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan."
"Mungkin nggak seperti yang aku pikirkan, Mas. Tapi pengelihatanku menjelaskan semuanya." Emosiku mulai tak terkendali.
"Hei, kalian udah dateng, kok nggak masuk?" Satu orang lagi turut nimbrung, keluar dari dalam rumah yang bau catnya masih terasa basah ini. Laki-laki, entah siapa dia.
"Oh, sorry, ini siapa Pak Hanif?" tanya laki-laki itu.
"Ini istri saya, Pak Abi," kata Mas Hanif menjelaskan. "Sayang, kenalin, ini Pak Abiandra." Mas Hanif memintaku untuk berkenalan dengan laki-laki penunggu rumah ini.
"Oh, MasyaAllah, jadi ini nyonya Hanif. Senang berkenalan dengan Anda, Mbak ... Rindu, ya?"
Aku mengangguk, kali ini, aku justru bingung dengan permainan yang Mas Hanif sajikan.
"Engh ... Hanif, Rindu, gimana kalau kita masuk dulu ke dalam rumah. Sepertinya Rindu butuh beberapa penjelasan. Masuk yuk, Rind," ajak dokter Nesya memecah ketegangan di antara kami.
Aku nggak suka! Aku kesal dengan perempuan ini. Kenapa dia selalu terlihat memuakkan di depanku. Apalagi ketika ia memperlakukan Mas Hanif, nggak pernah aku bisa berpikir positif tiap kali melihat dokter Nesya dekat-dekat dengan Mas Hanif.
"Ayo, Sayang. Kita masuk dulu," Mas Hanif merangkul, membimbingku untuk masuk ke dalam rumah.
Rumah ini benar-benar baru, masih terasa sangat segar. Rumah yang begitu futuristik dengan dua lantai. Begitu kami masuk, kami disambut ruang tamu yang cukup luas. Dinding yang dilapisi cat putih, menambah kesan luas. MasyaAllah, rumah ini seperti gambaran rumah impianku selama ini. Apa mungkin ini rumah Pak Abiandra? Dan dokter Nesya? Jangan-jangan dokter Nesya adalah istri dari Pak Abiandra, Mas Hanif hanya mengantarkan pulang.
Ah, tetap saja! Apa yang kamu lakukan itu tetap nggak dibenarkan, Mas! Mas Hanif sendiri yang mengatakan bahwa ia ingin berbenah diri, salah satunya membatasi berkhalwat dengan lawan jenis yang bukan mahram ketika tidak ada kepentingan urgensi. Tapi tadi apa? Mereka berada dalam satu mobil hanya berdua saja.
"Rindu, karena kamu sudah di sini, sepertinya memang Hanif harus menjelaskan sesuatu agar semuanya clear," kata dokter Nesya.
Mendadak jantungku berdegub kencang. Adrenalinku mengalir deras, telapak tanganku mendingin tiba-tiba. Aku sepertinya belum siap mendengar penjelasan Mas Hanif yang akan ia sampaikan. Bolehkah aku memilih untuk mengabaikan saja semua ini?
"Rindu ...." Mas Hanif memanggilku dengan suara teduhnya seperti biasa. Tapi, kali ini, suara itu bahkan tidak dapat menenangkanku.
"SURPRISE!"
Ha?
Mas Hanif berdiri dari duduknya, membuka kedua tangan dengan gurat wajah yang begitu gembira. Sementara aku, masih diam tak berekspresi sama sekali.
Tunggu ... Maksudnya bagaimana? Apa? Kenapa?
"Apa? Surprise apa, Mas?" kataku, yang disambut tawa pecah dari dua orang lainnya, dokter Nesya dan Pak Abiandra.
Aku seperti orang bodoh yang sama sekali tidak tahu suguhan macam apa yang sedang mereka berikan.
"Sayang, apa yang kamu lihat itu nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku sedang menyiapkan kejutan untukmu. Dan ... selamat ulang tahun, Sayang."
Aku melongo. Siapa yang ulang tahun? Hei, Mas Hanif yang ngaco.
"Karena kamu sudah terlanjur tahu, dan sepertinya aku gagal surprise, jadi sekalian aja aku ngucapin ulang tahun ke kamu hari ini."
"Mas, apa sih maksudnya? Aku nggak paham." Aku makin gregetan dengan Mas Hanif yang bertele-tele.
"Sayang, aku sedang menyiapkan kejutan untuk ulang tahunmu bulan depan. Dan rumah ini ... rencananya sebagai kado. Mereka, Nesya dan Pak Abi, mereka lah yang bantuin aku untuk menyiapkan rumah ini agar rampung tepat di ulang tahunmu sebulan lagi."
Aku nggak tahu harus berkomentar apa.
"Pak Abi ini arsitek dari salah satu perusahaan kontraktor terkenal di Jakarta, Mahardi Co. Beliau kebetulan ada proyek pembangunan klinik dengan orang tua Nesya. Delapan bulan lalu, ketika pertama kali aku kembali Surabaya, dan bertemu Nesya, aku cerita kalau mau bangun rumah. Dan Nesya ngenalin aku dengan Pak Abi ini." Penjelasan Mas Hanif begitu panjang, namun aku masih bergeming bingung harus menimpali semua ini bagaimana.
"Benar apa yang dikatakan Hanif, Rindu. Maaf kalau pada akhirnya bikin kamu justru salah paham. Hanif nggak pernah mau semobil hanya berdua denganku selama ini. Tapi tadi, nggak disangka juga ban mobilku kempes. Sementara kami harus segera kesini karena janjian dengan Pak Abi. Tolong kamu mengerti itu, Rindu."
"Mas! Aku nggak suka!" tangisku pecah. Aku memukul dada Mas Hanif. Rasanya sesak, entah bagaimana aku menjelaskan, tapi kesal yang kupendam sedari tadi, kini membuncah.
"Hei, Rindu ... Rindu ... Tenang, Sayang. Tolong maafin, aku. Aku tahu caraku salah. Maafin aku, Sayang."
Mas Hanif mendekapku erat, menciumi puncak kepalaku, berusaha membuatku tenang. Aku justru semakin terisak, mengeluarkan semua rasa gondok yang dari tadi menggangguku. Melampiaskan rasa sakit hati dengan memukul dada mas Hanif berulang kali.
Aku kesal, Mas!
"Sayang, Hei, Rindu. Lihat, ini istana kita. Rumah ini aku berikan untukmu. Aku memberikan kewenangan untuk kamu mengisi rumah ini sesuai seleramu. Menjadikan rumah ini tempat di mana kita akan selalu pulang pada akhirnya. Ini rumah kita, Rindu."
Tangisku semakin pecah, sementara kedua orang yang menjadi penonton kami justru terbahak seolah semua ini lelucon.
Pelan-pelan aku mengontrol diri. Mengembalikan kewarasanku pada tempatnya. Meskipun masih sesekali senggukan, setidaknya kali ini jauh lebih baik.
"Maafin aku, Mas, sudah salah paham sama kamu," lirihku.
"Nggak, Sayang. Aku yang minta maaf karena sumber kekacauan ini semua adalah aku. Maaf, ya." Sekali lagi, Mas Hanif kembali menciumi keningku, meredam letupan emosi yang tak terkendali.
Aku luluh, tak berdaya dengan daya magismu yang selalu membuatku lemah, Mas.
"Mas ... Terima kasih," kataku lagi.
"Everything for you, Rind. Selamat ulang tahun yang kecepetan, Sayang," ucapnya dengan senyum penuh kejahilan yang kembali muncul setelah drama telenovela barusan.
Aku gemas, tak tahan dengan keusilannya, kubalas ia dengan mencubiti perutnya yang sedikit membuncit.
"Aduh ... Aduh ... Ampun, Rind, masih ada Nesya dan Pak Abi lho, kalau mau nyerang ntar aja."
Seketika aku terdiam, sementara Nesya dan Pak Abi justru terkekeh melihat adegan film Bollywood yang baru saja kami sajikan. Astaga, aku malu!
🍀🍂🍀🍂🍀
Setelah drama panjang yang menguras air mata, kini aku dan Mas Hanif ingin menyelesaikan sisa-sisa yang masih mengganjal di antara kami. Mas Hanif mengajakku untuk menginap di hotel. Aku sudah mengabari bunda dan Ayah bahwa kami tidak pulang.
Entah baju kerja untuk besok pagi bagaimana, yang jelas Mas Hanif tetep kekeh mengajakku menginap di hotel. Katanya, nanti gampang mampir toko baju yang ketemu sepanjang jalan. Ya sudah, aku menurutinya. Aku juga ingin memulihkan hatiku yang meradang akhir-akhir ini karena pikiran negatif yang terus menggerogoti.
"Yauda aku akan tanggung jawab. Aku obati deh sekarang. Siap untuk healing therapy dengan dokter Hanif, Ibu Rindu?"
"Ih, Masss ... Mulai deh ngeselinnya," kataku, ketika dia justru menggodaku dengan kerlingan matanya yang super jahil.
Mas Hanif memesan kamar tipe suite dengan city view yang membentangkan pemandangan seluruh kota Surabaya. Lokasi hotel yang berada di Jalan Basuki Rahmat ini, cukup untuk di katakan berada di tengah-tengah kota Surabaya, menjadikan hotel ini memiliki rate tinggi di kalangan para penggila hotel.
"Mas aku udah isi bath up-nya, mau aku dulu atau kamu dulu yang mandi?" tanyaku, ketika dia sedang asyik memijit-mijit remote tv, mencari saluran yang diminatinya.
"Kenapa gantian, Rind? Gimana kalau mandi bareng aja? Biar hemat waktu," katanya, asal ngejeplak.
Aku mendelik, seketika menggeplak lengan Mas Hanif dengan bantal. "Mulai kan ngaconya, mbuh kah, aku mandi duluan," ucapku, lantas beralih ke kamar mandi.
Tapi apa yang terjadi?
"Ehhh ... Eh, Mas? Ngapain kamu???"
"Dibilang ayo mandi bareng, Sayang. Biar cepet!"
Oh ... Okay, maafkan aku untuk menyudahi scene ini sampai di sini saja.
🍂🍀🍂🍀🍂
Setelah kami sama-sama bersih diri, Mas Hanif membawaku ke atas kasur, lalu dia menjelaskan semuanya secara detail.
Tentang kesibukannya yang begitu menggila, ia yang sering pulang malam, itu tidak semata-mata bahwa Mas Hanif ada urusan pekerjaan di rumah sakit. Katanya, seusai pulang kerja, Mas Hanif selalu mampir ke calon rumah kami untuk mengecek sejauh mana perkembangannya. Mas Hanif menggunakan jasa Pak Abi, menyewa tenaga borongan dengan dua shift kerja. Sehingga tidak khayal bahwa hanya dengan delapan bulan, rumah kami hampir mendekati rampung.
"Delapan bulan yang lalu berarti kita belum dekat dong," kataku.
"Sudah kenal tapi lost kontak. Itu pertama kali aku balik ke Surabaya, kemudian keterima kerja di Rsal. Lalu ketemu Nesya," jelasnya.
"Terus, kamu udah kepikiran bikin rumah?"
"Kamu ingat, nggak? Waktu kita makan di Grage Mall Cirebon pas kamu habis kesakitan karena disminore?" tanyanya, sementara aku hanya mengangguk-angguk sambil mengingat.
Iya, aku ingat, Mas. Satu malam yang pasti akan selalu kuingat. Percakapan berkualitas yang sangat berharga, yang nggak akan pernah terlupa.
"Lagi cari rumah di Sby aja. Kan emang niatnya biar deket Mama Papa juga. Mereka sudah sepuh, dan udah saatnya aku ngerawat mereka. Nggak jauh-jauhan gini."
"Ya gitu kenapa harus cari rumah segala. Kan bisa di rumah orang tuanya Mas Hanif."
"Buat masa depan. Kelak aku wajib menyediakan kebutuhan selain sandang dan pangan, yaitu papan. Buat istri dan anak-anak ntar."
Sepenggal percakapan kami malam itu masih begitu jelas dalam ingatan.
"Nggak tahu ya, Rind, mungkin malam itu aku udah mulai tertarik sama kamu. Kemudian pikiranku udah jauh ke depan. Jadi, pas sampai di Surabaya, meski kita sempat lost kontak, aku niatin dulu aja buat bangun rumah, nyicil dikit-dikit. Awalnya cerita biasa aja sama Nesya terus Nesya nawarin untuk ngenalin aku ke arsitek, katanya biar pembangunannya cepet, terarah, dan terstruktur. Biasanya kalau bangun-bangun sendiri itu rawan buat mandeg tengah jalan. Akhirnya, aku turutin deh apa kata Nesya," jelas Mas Hanif, panjang lebar.
"Berarti yang kulihat pas di lampu merah KBS itu, beneran kamu, Mas?" Aku kemudian kembali teringat dengan kejadian sore jelang petang beberapa hari yang lalu.
"Kayaknya sih iya. Sore itu aku memang mau ke rumah kita."
"Sama dokter Nesya?"
"Iya .... Yaa memang, Sayang. Tapi tolong kamu jangan salah paham ya. Waktu itu kami nggak berdua. Ada Pak Abi yang turut dalam mobil."
"Iiih, tapi kamu udah bohong waktu itu!" protesku nggak terima. Aku kembali menimpukkan bantal kepada Mas Hanif sebagai aksi kesalku.
Lagian, kok ya ternyata diam-diam pinter bohong juga jadi orang. Nggak nyangka deh!
"Hahaha, ampun, Rind. Dibilang kan aku tuh mau kasih surprise ke kamu. Taunya aku yang terkejut berasa kegep selingkuh."
"Ih, jangan-jangan emang?"
"Astagfirullah, Rindu ... Nyebut. Demi Allah, Wallahi, aku nggak mungkin mengkhianati kamu apalagi dengan cara selingkuh kayak gitu. Aku punya iman yang menjaga agar aku tetap berpegang teguh pada ikrar yang sudah kuucapkan di depan Ayahmu kala itu, Sayang." Kali ini, Mas Hanif memandangku penuh lekat dan serius.
Mas Hanif membingkai wajahku, mata kami saling bertemu. Iris gelap yang dimiliki Mas Hanif, begitu intens memandangku tanpa interupsi.
"Tolong percaya aku," lirih Mas Hanif.
Perlahan Mas Hanif semakin mendekatkan wajahnya, membuatku memejamkan mata tanpa pinta.
Mas Hanif mengecup ubun-ubunku dengan lembut dan pelan. "Bismillah, Allahumma jannibnaassyyaithaana wa jannibi syaithoona maarazaqtanaa."
Kemudian, Mas Hanif merebahkan tubuhku pelan-pelan. Dan ... Malam ini menjadi milik kami berdua seutuhnya.
Mungkin, ini benar-benar healing therapy terbaik yang pernah kurasakan, Mas.
Maafkan aku untuk semua hal kekanakan yang masih ada di diriku. Terima kasih telah sabar terhadapku. Terima kasih untuk hal-hal tak terduga yang kamu berikan untukku.
"I loveou, Sunshine. I miss you," bisiknya tepat di daun telingaku.
I love you, too, Sugar. Thank you.
_____________merindu lagi____________
Lav lav
😘😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top