32. Mungkin, Tak Ada Lagi Rindu di Hatinya
🌻
🌸
🌻
🌸
🌻
🌸
Kembali tenggelam dalam kesibukan akhir tahun yang nggak keruan, membuatku sedikit lupa perkara hal-hal nggak ngenakin hati yang kuterima kemarin. Bagi kebanyakan orang, terlebih kaum perempuan, bekerja adalah suatu kebutuhan. Namun, aku memiliki prespektif sendiri terkait seorang perempuan dan pekerjaan. Apalagi setelah menikah, pandanganku tentang perempuan yang bekerja itu semakin membulatkan tekadku untuk tetap mempertahankan jalan yang sedang kulakoni kini. Selain karena passion, kebutuhan, atau memang hobi, bagiku bekerja itu seperti 'me time' tersendiri. Dan mungkin bisa menjadi pelarian diri dari segala kesemrawutan yang telah kami lalui di rumah. Seperti kata Najwa Shihab tentang mengapa perempuan harus dihadapkan pada pilihan antara bekerja atau menjadi ibu rumah tangga? Pilihan tersebut memang cenderung menyudutkan kaum kami sehingga terlihat lebih lemah. Aku setuju, kalau kita bisa menjalani dua-duanya dengan seimbang, proporsional, dan adil, kenapa harus ada pilihan untuk mematahkan?
Saat ini, entah mengapa menurutku momennya pas sekali untuk henyak sejenak dari hal-hal yang membuat hatiku gusar dan gundah kemarin. Tentang Mama Ratih yang ternyata 'masih' seperti itu. Mungkin juga tentang Mas Hanif dengan apapun yang membuatku penasaran.
Bagaimana aku bisa meninggalkan duniaku ini, kalau nyatanya detik ini aku lebih nyaman berlama-lama di kantor ketimbang pulang tenggo seperti biasa. Menyesakkan memang, terlebih dengan statusku yang sudah tak lagi sendiri. Seharusnya aku bisa lebih awal berada di rumah, menyambut suamiku pulang, menyiapkan ia makan malam, kemudian bersantai bersama dengannya sambil ngobrolin kegiatan kami seharian ini. Sebuah momen impian yang kini mulai terkikis di saat kami bahkan belum genap mengisi satu sama lain.
Hhhh, satu kata sugesti yang selalu kujejalkan dalam pikirku, "nggak papa".
Meski hati menjerit pengin mengadukan bahwa ini ada apa-apa, ini nggak normal. Kondisi hubungan kami bisa dibilang anomali saat ini. Jauh dari kata ideal suatu pasangan yang baru saja menikah. Kehambaran dalam rumah tangga mulai kurasakan. Bukan manis yang kupetik dari sari-sari bunga asmara yang kusemai kemarin, bukan.
Sebisa mungkin aku berusaha mengingkari hati yang terdengar mulai jengah dengan keadaan ini. Sebisa mungkin aku menciptakan suatu atmosfer yang kudambakan dari romantisme dua pasang adam dan hawa pada umumnya.
Aku mendial panggilan cepat nomor satu, menunggu nada sambung menyampaikan dering pada si empunya pemilik nomor yang sedang kuhubungi ini. Tiga puluh detik berselang, nada sambung di telepon terputus. Tidak diangkat.
Pantang menyerah, aku kembali menjajalnya untuk kedua kali. Masih dengan suara nada sambung yang menyambutku pertama.
"Assalamualaikum." Hampir saja aku terlonjak kaget mendengar suara lain di ujung sana.
Kira-kira pada detik ke dua puluh sembilan, nada sambung tersebut berubah menjadi sapa salam yang selalu kunantikan.
"Waalaikumsalam, Mas masih di rumah sakit?" tanyaku, tidak ingin basa-basa lebih dulu.
"Iya, Sayang. Ini habis magriban. Kenapa?" tanyanya balik.
"Nggak papa sih. Pulang jam berapa kira-kira?"
"Nggak tahu nih, Rind. Masih nunggu aplusan jaga. Habis ini mau ngecek ke bangsal dulu," jelasnya, diiringi suara gaduh dengan dengingan samar khas suara alat pendeteksi jantung.
Kali ini aku benar-benar percaya bahwa dia memang sedang berada di rumah sakit.
"Ya udah dilanjut gih. Kalau emang pulang malam, sempatin makan dulu ya," kataku.
"Tunggu, kamu di mana?" Mas Hanif menyela, terdengar khawatir dari nada bicaranya. Ah, atau itu hanya perasaanku saja, padahal sebenarnya Mas Hanif biasa saja. Suatu kewajaran bertanya balik dalam komunikasi seperti ini, bukan?
"Aku masih di kantor, Mas," kataku sambil membereskan berkas-berkas yang baru saja kuselesaikan.
"Kamu lembur lagi? Kok nggak bilang?"
Kukira dengan kesibukanmu yang seperti itu membuatmu tak ingin tahu bahwa di sini aku juga sedang sibuk. Menyibukkan diri dengan sukarela lebih tepatnya.
"Iya, Mas, ini aku telepon juga mau ngabari itu."
"Sampai jam berapa?" tanyanya, kali ini dengan nada yang sedikit meninggi.
"Udah selesai kok, habis ini pulang."
"Ya udah, pulang gih. Maaf aku nggak bisa jemput, Rind. Kamu hati-hati ya, kabarin kalau udah sampai rumah."
Kukira, kekhawatiranmu akan diikuti dengan langkah selanjutnya. Namun nyatanya, kesibukanmu tetap menjadi nomor satu. Aku bukan lagi prioritasmu, Mas. Atau mungkin .... Nggak pernah?
Aku mematikan telepon terlebih dahulu setelah Mas Hanif mengakhirinya dengan salam. Pukul delapan malam, dan aku masih di kantor, sendiri.
Satu notifikasi dari pesan WhatsApp menyembul ke layar ponsel meminta perhatian. Dari Bapak.
Pak Fikri
Rindu, kelengkapan berkas untuk audit besok sudah kamu bawa kan? Kereta jam 8 seperti biasa kan? Jangan lupa Sherly diingatkan. Jangan sampai ketinggalan kereta.
Aku menghela napas sambil memejam sekejap. Aku mau menceritakan hal ini sebenarnya, Mas. Tapi kurasa nggak mungkin hanya via telepon seperti tadi. Maafkan aku.
Aku bergegas pulang setelah memastikan berkas-berkas yang kubutuhkan besok sudah siap dan rapi. Menjadi penghuni terakhir di kantor bukan kali pertamanya bagiku. Kerja overtime, lembur membabi buta, adalah nama lain diriku sebelum Mas Hanif hadir dan meredam semuanya. Beberapa security sampai hapal ketika lampu kantor masih menyala, ketika itu pula aku masih bertengger di sana. Seperti saat ini, aku pamit kepada security, meminta beliau untuk memastikan keamanan kantor ketika aku pulang.
"Pulang, Mbak Rindu?" sapa Bapak Security yang sedang berjaga di pos depan kantor.
"Iya, Pak, sudah bisa dikunci kantornya. Terima kasih ya, Pak," pamitku.
"Baik, siap laksanakan, Mbak. Mbak Rindu hati-hati ya pulangnya."
Aku tersenyum sambil lalu, mobil ojek daringku sudah standby di depan kantor. Tanpa melupakan apa yang telah aku lewati seharian, biarkan kali ini aku menikmati lelahnya. Memejam sebentar sambil menghidu aroma sendiri. Mengumpulkan cuilan-cuilan letih untuk kuhimpun dan kusimpan kemudian. Katanya, nggak ada yang salah dari menikmati lelah. Justru jangan dilawan dan berusaha mengingkari. Energi untuk memental itu jauh lebih besar ketimbang pasrah dan berserah pada hari di mana lelah itu ingin meminta perhatian. Rasakan saja, dinikmati, perlahan ditelaah, lalu istirahatlah.
🌻🌸🌻🌸🌻
"Mbak Rindu, ayo masuk. Sudah waktunya check in." Satu tepukan dari Sherly mengembalikan fokusku.
Aku sudah di sini, Stasiun Gubeng Baru, tempat yang seringkali disebut dengan Stasiun Rindu, seperti namaku. Hahaha.
Aku masih memandang ke arah pintu masuk stasiun. Berharap ada satu hal mengejutkan sebelum aku memutuskan masuk ke peron.
"Mbak Rindu nunggu seseorang? Ngelihatin apa sih, Mbak? Masuk yuk, keretanya udah parkir tuh." Sherly mungkin geram melihatku yang tak segera beranjak. Dia sedikit menyeretku menuju petugas pemeriksaan.
Pagi tadi, ketika aku bangun, aku tak mendapati Mas Hanif di sisiku. Satu pesan darinya kutemukan ketika membuka aplikasi pesan cepat nomor satu di dunia tersebut.
Mas Hanif
Sayang, Maaf. Aku nggak bisa pulang, partnerku mendadak izin karena istrinya sakit. Aku longshift nerus sampai pagi. Kita ketemu besok pagi yaa. Sleep tight. Love you. 😘😘😘
Seperti itu.
Sehingga aku belum sempat untuk mengabari terkait keberangkatan dinas luarku kali ini. Terlebih pamit, nggak sempat, nggak keburu, aku sudah kadung riweh dengan urusan packing karena semalam memang belum tersentuh sama sekali.
Jadi aku hanya menyampaikan pesan lewat Bunda dan secarik kertas yang kutempelkan di lemarinya.
Mas, maaf nggak izin lebih dulu. Aku hari ini dinas luar, 4 hari seperti biasa. Kereta jam 8 di Gubeng. Baju untuk kamu kerja hari ini sudah kusiapin. Jangan lupa makan ya. I love you.
Rindu :*
Lalu, apa yang kuharapkan dari sebuah pesan teramat singkat yang aku sendiri sangsi apakah dia sudah membacanya atau justru dia tak menemukan pesan tersebut. Hhh. Mustahil juga Mas Hanif tiba-tiba menyusulku ke sini.
Jadi, yang perlu kulakukan cukup menerima kenyataan bahwa hari telah berganti. Kini, kembali fokus menuai mimpi. Menepikan sejenak masalah-masalah yang sedang menggerogoti diri secara perlahan. Biarkan itu urusan nanti. Kerja dulu.
"Mbak Rindu lagi nggak enak badan ya? Nggak biasanya lho Mbak Rindu nggak semangat audit. Semua orang mengakui, Mbak Rindu tuh paling gercep kalau soal audit gudang luar. Tapi kali ini kayaknya ada yang beda deh. Kenapa sih, Mbak?" tanya Sherly, begitu menemukanku yang sedang terpekur menatap jendela dengan pandangan kosong.
Sekuat mungkin aku berusaha untuk biasa saja, pasti ada titik di mana rapuhku terlihat dengan sendirinya.
"Iya, Sher. Jujur sebenarnya aku nggak minat audit kali ini. Pengin Pak Fikri aja yang berangkat. Tapi tau sendiri ini akhir tahun. Kerjaan beliau nggak main-main. Beliau udah dikejarin Pak Vincent deadline ini itu. Nggak tega juga aku nolaknya," jelasku.
"Memangnya Mbak Rindu kenapa nggak mau berangkat?" tanya Sherly lagi.
Kali ini aku hanya menggeleng sambil melempar senyuman masam. Nggak mungkin juga aku cerita ke Sherly. Terlalu kompleks, Sher. Nggak cukup satu paragraf jika kuceritakan sekarang.
🌻🌸🌻🌸🌻
Begitu sampai Solo, aku langsung menuju ke Gudang pertama. Kalau biasanya aku ke Cirebon dulu, kini aku memutuskan untuk mengaudit Gudang Sukowati terlebih dahulu. Membalik rute dengan menggunakan jalur selatan. Gudang Sukowati ini letaknya di Sragen, jadi setelah kami turun di Stasiun Balapan, kami kudu menempuh perjalanan darat kurang lebih satu jam setengah untuk ke Sragen. Itu dulu, tapi sekarang sih cuma butuh tiga puluh menit untuk ke Sragen via Tol Salatiga-Kertosono. Pintu keluar Tol Sragen langsung terhubung ke ring road Sukowati, persis lokasi gudang tersebut berada. Jadi dari segi waktu jelas lebih hemat dan efisien, memudahkan sekali lah.
Audit di sini tuh bisa dibilang paling enteng dibandingkan lima gudang lainnya. Karena transaksinya yang nggak banyak, dan manajemennya memang sudah mateng sih. Pemilik gudang tersebut sekaligus adalah pemilik ekspedisi yang biasa kami gunakan untuk mengangkut pakan dari pabrik ke gudang. Sudah perusahaan ekspedisi besar lah istilahnya, jadi sudah terbiasa juga dengan manajemen yang tertata.
Nggak butuh waktu lama memang. Kurang lebih satu jam, kami sudah merampungkan semua prosedur audit yang harus dilakukan. Nggak ada masalah berarti, hanya catatan kecil sebagai bahan evaluasi bulanan saja.
"Mbak Rind kita cari makan dulu yuk, habis itu baru dzuhuran," kata Sherly begitu kami keluar gudang.
"Kebalik, Sher. Kita cari masjid dulu aja, biar tenang," kataku. Kondisi kayak gini membuatku pengin segera menghadap-Nya. Mengadukan semua yang sedang terjadi, memasrahkan, dan berserah untuk hal-hal di kemudian.
"Yah ... Mbak, keburu laper. Salat kepikiran makan itu nggak enak lho, Mbak. Nggak khusyuk jadinya," protes Sherly.
"Nggak ada istilah kayak gitu, Sher. Jangan membenarkan istilah yang ngawur. Di mana-mana itu tetep dulukan yang punya hidup. Pas salat gini disuruh cepet masih nanti-nanti. Giliran doa minta dikabulin cepet-cepet. Gimana Allah nggak cemburu?"
"Astagfirullah, Mbak Rind, ih. Iya-iya kita salat dulu. Pak cari masjid, ya," kata Sherly memberi komando pada driver kami. Sementara aku cuma geleng-geleng lihat ekspresi Sherly.
Menggunakan mobil carteran, kami kemudian bergegas mencari masjid terdekat. Aku mengeluarkan ponsel setelah satu jam tidak tersentuh sama sekali. Berniat mengabari Pak Fikri bahwa kami telah selesai.
O ... Ooo.
Dua puluh lima panggilan tidak terjawab.
Mas Hanif 💙📞
Astagfirullah.
Aku segera meneleponnya balik.
"RINDU! KAMU APA-APAAN SIH PERGI GITU AJA NGGAK PAMIT! KAMU ANGGAP AKU APA, RIND? AKU INI SUAMI KAMU!" tidak butuh waktu lama nada sambung tersebut berubah menjadi suara yang membombardir diriku bertubi-tubi.
Sedikit kaget, aku bahkan sampai menjauhkan ponselku untuk mengurangi radiasi yang dihasilkan dari suara oktaf tinggi Mas Hanif.
"Assalamualaikum ... Mmm Mas," sapaku takut-takut, berharap dia sedikit teredam dengan ucapan salamku.
"Astagfirullahaladzimm... Hhhh.... Waalaikumsalam warohmatullah. Rinduuu .... Kamu tuh--"
"Maaf, Mas. Maafin aku beneran. Aku nggak ada maksud----"
"Mbak aku salat dulu ya," Sherly menyela, menyapaku setelah ia selesai wudhu. Aku memberi isyarat kepada Sherly untuk masuk masjid terlebih dulu.
Sementara aku masih perlu meluruskan beberapa hal pada suamiku yang kuyakini betul saat ini tengah diselimuti kabut amarah. Ya iyalah, kamu pergi tanpa izinnya, Rind.
"Maafin aku kalau bikin kaget kamu. Aku cuma kecewa sama kamu, Rind. Nggak seharusnya kamu pergi gitu aja. Kalau kamu marah karena semalam aku nggak pulang bukan berarti kamu balas dengan kayak gini. Astagfirullah ... Aku nggak habis pikir." Suara Mas Hanif terdengar frustrasi di ujung sana. Sedang aku hanya bisa mengigit bibir merasa sangat bersalah.
Sebuah dosa besar seorang istri melangkah ke luar rumah tanpa izin dan restu suami, meskipun itu hanya barang sejengkal. Sementara aku?
Allahu Rabb, ampuni hamba.
"Maaf, Mas ..." cicitku yang mungkin nyaris tidak terdengar oleh Mas Hanif.
"Ya sudah, ini kamu sekarang lagi di mana?"
"Aku lagi di Sragen, Mas. Ini udah selesai audit, lagi di masjid mau dzuhuran. Maaf baru buka hape, tadi silent dan nggak sempat buka."
"Sudah makan?" tanya Mas Hanif tanpa mengindahkan penjelasanku sebelumnya.
"Belum, habis ini rencananya."
"Terus setelah itu ke mana?"
"Rute kedua ke Gudang Boyolali. Habis makan langsung naik tol lagi. Palingan sejam nyampe," kataku sambil bergegas ke tempat wudhu perempuan.
"Ya udah, segera salat, waktu dzuhur udah mau habis. Kalau emang nggak memungkinkan dapat waktu Ashar yang senggang, dijamak sekalian aja."
"Iya, Mas. Mas Hanif ini di mana?"
"Sudah di rs lagi. Lagi di bangsal," jawabnya singkat. "Jangan lupa makan, kabarin lagi aja ntar," pesannya melanjutkan.
"Iya, Mas. Makasih ya, sekali lagi maafin aku."
"Udah, salat sana. Aku tutup. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam warohmatullah." Lalu aku segera menyusul Sherly yang sepertinya sudah mencapai rakaat terakhir.
Alhamdulillah, bersyukur bahwa Mas Hanif tidak murka yang begitu parah kepadaku. Mas Hanif memang orang tersabar yang pernah kukenal. Tapi bagaimana mungkin akhir-akhir ini ia selalui membuatku berasumsi yang macam-macam? Mungkinkah semua pradugaku salah? Atau mungkin ada yang disembunyikan Mas Hanif yang aku nggak tahu? Entahlah.
🌻🌸🌻🌸🌻
Perjalanan dinas empat hari ini begitu berat rasanya. Bukan karena load kerjaan yang banyak, bukan karena kondisi gudang yang lagi semrawut, bukan pula karena banyak masalah terkait audit. Tapi keberangkatanku kali ini benar-benar membuatku sesak sepanjang jalan. Ibarat raga di mana jiwa di mana, tubuhku hanya pasrah dibawa ke sana kemari tanpa 'aku' ikut di dalamnya. Pikiranku tertinggal di Surabaya, dengan segala kerisauan yang sebenarnya kubuat sendiri. Gundah yang tak menemukan titik temu, tak berujung hingga kini.
Berakhir di Pekalongan sebagai kota terakhir, Kereta Gumarang yang sedang mengantarku pulang ini, turut membawa rinduku yang bersarang di sana. Stasiun Pasar Turi pukul tiga pagi, menjadi saksi bahwa aku masih membutuhkan kota ini sebagai tempat untuk pulang. Pulang menujunya, yang kusebut rumah untuk saat ini.
Mas Hanif tadi mengirimkan pesan WhatsApp, mengabari bahwa dia baru pulang pukul satu dini hari tadi, nggak mungkin aku memintanya untuk menjemputku di Pasar Turi. Sementara Sherly sudah dijemput calon suaminya, aku memilih naik taksi yang berjejer di halaman parkir depan Stasiun Pasar Turi ini. Jalanan protokol Kota Surabaya pagi buta begini memang begitu lengang. Kontras ketika sang surya mulai menampakkan jemawanya. Kemacetan sudah bukan hal yang wah, menjadi kawan bagi para pejuang satu aspal.
"Pak, Perumahan Aloha Blok D no 35 ya, saya tidur sebentar ya pak. Tolong bangunkan jika sudah sampai," pintaku kepada supir taksi yang sedang fokus mengendarai di depan sana.
🌻🌸🌻🌸🌻
Aku kembali sadar ketika hari telah berganti. Minggu pagi, matahari sudah tinggi, jendela kamarku sudah terbuka. Aku mengerjap pelan, mengumpulkan nyawa yang masih tercecer. Pukul sembilan pagi, jam digital yang tertera di lock screen ponselku begitu aku membukanya.
Mas Hanif ....
Ke mana dia?
Semalam begitu aku sampai di rumah, yang kuingat adalah Ical membukakan pintu untukku. Ketika aku masuk ke dalam kamar, Mas Hanif sedang tertidur pulas. Aku tak tega untuk membangunkannya. Aku hanya bergegas bersih diri kemudian turut tidur di sampingnya. Sudah, hanya itu.
Tunggu ... Ada sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi dan segelas teh hangat di atas nakas. Juga, selembar sticky notes di sampingnya.
Morning Sunshine :*
Meskipun hari minggu jangan lupa sarapan yaa, abis itu boleh deh istirahat lagi. Aku ke rumah sakit dulu ya, Ayu lahiran. Kalau kamu mau nyusul siangan aja nggak papa. Maaf nggak pamit kamu. Nggak tega bangunin kamu yang super pules.
HZ
Tanpa aba-aba, bibir ini tertarik melengkung dengan sendirinya. Sarapan sederhana dengan pesan manis dari seseorang yang begitu manis membuatku pagiku terasa mewah. Ah, Mas, aku kangen.
Kenapa dia selalu menunjukkan hal-hal yang membuat prasangkaku hilang begitu saja.
Mas, kamu tuh .... Ih. Tunggu aja, aku akan menyusulmu sekarang juga.
Ngomong-ngomong soal menyusul Mas Hanif, tadi Mas Hanif mengatakan kalau Ayu lahiran? Ayu .... Ayu .... Rahay maksudnya?
Astagfirullah, aku benar-benar tidak berpikir bahwa Rahay akan melahirkan dalam waktu dekat. Kesibukan di antara kami membuat kami jarang terhubung satu sama lain. Aku membuka ponsel, mencari kontak teman-temanku yang lain. Benar saja, grup Geng Esempe sudah penuh dengan puluhan massage unread. Tentu, semua pesan tersebut ramai mengucapkan selamat atas kelahiran keponakan kami yang baru.
Yang pertama kali memposting anaknya Rahay adalah Arini, oh berarti Arini sedang ada di rumah sakit. Baby boy, ganteng, putih, bersih, dengan kulit kemerahan khas bayi baru lahir. Kemudian tante-tantenya yang lain turut memberi ucapan, Fita dan Diva yang menjanjikan akan ke Surabaya dalam waktu dekat.
Aku harus segera ke rumah sakit. Selain karena nggak sabar pengin gendong keponakanku yang baru, aku juga pengin menyusul laki-laki misterius yang membuatkanku sarapan ini.
Mmm ... Memangnya benar Mas Hanif yang buat sarapan? Bisa jadi ini masakan bunda dan Mas Hanif hanya tinggal mengambilkan untukku. Ah, terserah, yang penting apa yang dia lakukan kali ini sungguh membuat hatiku terenyuh sekali waktu. Terima kasih, Mas.
🌻🌸🌻🌸🌻
Begitu sampai rumah sakit, benar saja bahwa ruangan Rahay sudah dipenuhi oleh sanak saudara yang berbondong menjenguk baby boy baru di keluarga Rahay. Satu yang hampir kulupa, keluarga Rahay itu berarti keluarga Mas Hanif juga. Mama Ratih memang belum nampak hadir. Tapi, Mama dan Papanya Rahay turut menyambutku begitu aku masuk ke ruang rawat.
"MasyaAllah, ini lho, Yuk, lihat siapa yang datang," sapa Tante Ningrum, Mama Rahay.
Aku menyalimi beliau, "Siang, Tante, Tante apa kabar?"
"Alhamdulillah baik. Kamu ini lho, sejak jadi keluarga kok malah jadi jarang main ke rumah. Biasanya dulu sering main-main ke rumah sama Arini juga," kata Tante Ning sambil menggeplak lenganku pelan.
Aku hanya meringis, memamerkan deretan gigiku tanpa rasa bersalah, "heheh iya, Tante, kapan-kapan Rindu main deh."
"Rindu tuh sibuk, Mam. Udah deh, nggak usah ngarep, dia bisa ke sini aja Ayu udah seneng banget. Untung dia tahu. Pasti dikasih tahu Mas Hanif ya?"
"Heheh, sorry ya Ray, aku baru buka hape tadi pagi. Semalam baru nyampe jam tiga dari Pekalongan," kataku mendekat ke bed Rahay dan menggoda si kecil yang sedang digendong Arini.
"Kamu habis dinas luar kota lagi, Rind?" tanya Arini.
"Iya, Ar. Ya gitu deh, akhir tahun. Kerjaan nggak ada nyantainya."
"Kantormu nggak cuti bersama natal dan liburan akhir tahun, Rind?" Rahay menyahut.
"Boro-boro, nggak ada yang namanya libur gitu. Aku dewe tuh heran, sampai temenku yang nonis tuh melayangkan protes, minta dispensasi diliburkan buat misa pas H-1."
"Terus, libur dong?"
"Ih, nggak. Ya mereka aja, kita-kita ya tetep kerja," gerutuku.
Sementara yang lain turut terbahak, entah menertawakan apa. Mungkin menertawakan nasibku yang sedikit mengenaskan. Di saat yang lain sibuk merencanakan liburan ke mana, kami cukup liburan dengan melihat update stories mereka.
Ada untungnya sih, aku sedikit bersyukur juga, toh jika libur aku justru bingung hendak ke mana. Mas Hanif kuyakin nggak ada libur. Jadi, apa yang kuharapkan dari agenda akhir tahun begini.
Memang sebaiknya banyak-banyak muhasabah diri. Mengingat semua hal yang telah kita lakukan setahun ini. Mimpi apa yang masih tertunda. Kesalahan apa yang luput dari ingatan. Ah, banyak.
"Ar, gantian dong, aku pengin gendong," pintaku pada Arini, memindahkan baby boy dalam gendonganku.
Ganteng banget kamu, nak. Jadilah anak yang sholeh untuk Mami Papimu kelak ya, sayang.
"Sudah pantes lho kamu, nduk. Segera nyusul, kasih tante ponakan. Biar baby boy ini punya temen main ntar," kata Tante Ning, membuat hatiku kembali mencelus. Aku hanya tersenyum menanggapi Tante Ningrum dengan canggung.
"Maaaam, anak itu amanah dari Allah. Kalau Rindu belum dikasih ya berarti Allah belum memberikan amanah. Lagian hidup itu bukan lomba cepet-cepetan kok. Nyantai aja kali, Mam." Rahay kembali mencairkan suasana.
"Mohon doanya saja, Tante. InsyaAllah, semoga Allah segera menitipkan amanah tersebut," kataku sambil menciumi baby boy untuk meredam rasa nyeriku.
"Eh, Ray. Btw, Mas Hanif tadi ke sini?"
"Iya, Rind tadi pagi. Loh, nggak pamit kamu to?" tanya Rahay curiga.
"Pamit, kok. Cuma sekarang kok nggak ada?" tanyaku sambil celingak-celinguk mencari sosoknya.
"Tadi ada urusan kerjaan kayaknya. Dipanggil teman dokternya."
Urusan kerjaan di hari Minggu begini? Apa lagi sih, Mas? Aku kembali penasaran dengan Mas Hanif. Pengin tahu sebenarnya bagaimana ritme kerja dari suamiku tersebut.
"Ray, Ar, Tante, aku pamit dulu ya. Nanti InsyaAllah ke sini lagi," pamitku sambil mengembalikan baby boy dalam gendongan Maminya.
"Oalah, kok buru-buru to, nduk?" tanya Tante Ningrum.
"Heheh, iya, Tante, ada urusan sebentar.
"Ke mana, Rind?" tanya Arini bisik-bisik.
"Nyari mas bojo, Ar. Hehe."
"Ooww dasar, kirain mau ke mana."
Kemudian aku bergegas keluar ruang perawatan Rahay. Menuju poli umum, tempat pertama yang langsung terlintas di pikiranku. Melewati koridor yang begitu panjang, kemudian menyebrang sedikit karena lokasinya yang berbeda gedung. Lumayan jauh untuk seukuran rumah sakit yang begitu luasnya ini. Konsep rumah sakit yang meluas bukan meninggi ke atas, menjadikan penghuninya harus ekstra punya kaki yang cukup kuat untuk mengitari seluruh gedung di rumah sakit ini.
Begitu sampai di poli umum, pemandangan pertama yang kudapat tentu saja pintu yang tertutup. Tulisan 'poli tutup' terpampang di depan pintu. Dengan sederet jadwal dokter yang praktik, membuatku menyusuri nama suamiku berada di sana. Dr. Hanif Zarchasi, jadwal praktik Senin-Jumat pukul 08.00-11.30. Oke baik, mungkin bukan di poli umum, bisa jadi di tempat lain. IGD, misalnya. Perlukah aku mencarinya ke sana?
Perlu!
Perasaanku mendadak pengap, entah mengapa aku jadi semakin mempercepat langkah. Hatiku kembali gusar, cemas dengan suatu hal yang aku bahkan tidak tahu itu apa.
"Loh, Mbak Rindu?" sapa salah satu perawat yang menghentikan langkahku.
"Eh, Suster." Aku teringat sesuatu. "Loh, kamu kan suster yang jaga di depan poli umum?"
"Benar sekali, saya Agnia, Mbak. Suster jaganya dokter Hanif," kata suster tersebut kembali memperkenalkan diri.
"Oh, iya, Sus, kebetulan sekali---"
"Pasti Mbak Rindu lagi cari dokter Hanif ya?"
"Iya, suster tahu ada di mana?"
"Wah sayang sekali, Mbak. Barusan banget dokter Hanif pergi sama dokter Nesya, kayaknya lagi ada urusan deh, Mbak. Soalnya mereka jalan cepet-cepet."
"Dokter Nesya?" lirihku hampir nggak percaya dengan pernyataan suster Agnia.
"Iya, Mbak. Rekan kerjanya dokter Hanif, kebetulan hari ini in-charge di IGD," jelas suster Agnia.
"Berapa menit yang lalu?"
"Ih nggak sampai semenit, mungkin sekarang masih ada di parkiran. Kalau Mbak Rindu mau nyusul kayaknya masih nututi deh, Mbak."
"Oke, Sus, makasih," kataku menepuk pundak suster Agnia dan bergegas lari menuju parkiran.
Lari ... Lari ... Lari, aku nggak mau tahu, aku harus menemukan Mas Hanif sekarang juga.
Semakin aku lari, semakin aku merasa bahwa jarak tempat parkir masih begitu jauh. Yang terus terngiang di pikiranku hanya sebuah nama perempuan lain yang Agnia sebutkan tadi. Dokter Nesya???
"Oi, Nif, nebeng dong."
"Mbaknya dokter juga? Praktik di rs mana?"
"Oalah tak kira kamu nyari yang dokter juga, Nif?"
Perkataan dokter Nesya kala Mas Hanif memperkenalkanku pertama kali pada teman-temannya kembali terlintas dalam pikiranku.
Mungkinkah kami memang tidak cocok karena profesi kami saat ini yang jauh bersinggungan? Kata orang, kebanyakan dokter akan berjodoh dengan dokter karena memang dosisnya pas, mereka saling paham satu sama lain?
Mungkinkah?
Astagfirullahaladzimm ....
Aku telah sampai di parkiran, memindai satu per satu fortuner putih yang belum juga kutemukan.
Tapi ....
Oh ... Shit! Astagfirullahaladzimm ... Aku melihatmu, Mas.
Mas Hanif masuk ke dalam mobil dengan seorang perempuan yang juga masuk melalui pintu sebelahnya.
Ya, Rabb, jauhkan hamba dari segala prasangka buruk ini. Teguhkan hamba untuk tetap berhuznudzon kepada suami hamba, Ya Allah.
Mas Hanif ... Tolong, tolong jangan ....
_________3780 words merindu________
Lav Lav
😘😘😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top