31. Rindu, Karena Semua Tak Lagi Sama
💐
🌺
💐
🌺
💐
🌺
Begitu sampai di rumah Mama, benar saja bahwa beliau sudah menyambutku. Mama Ratih memelukku erat seolah melebur rasa rindunya sebulan ini.
"Uuughhh, MasyaAllah, Mama kangen banget, Rind," kata beliau penuh mesra.
Sementara aku merasa terharu sekaligus nggak percaya bahwa sambutan Mama akan segini hebohnya.
"Eh, bentar ... Kok kamu sendirian?" Menyadari bahwa tidak menemukan putranya, Mama celingak-celinguk ke depan rumah.
"Rindu tadi sama Ical, Ma. Tapi maaf Ical nggak turun dulu, buru-buru mau balik kantor ada yang ketinggalan katanya," jelasku.
"Loh, Masmu?" Raut muka mama mendadak berubah. Kaget bercampur kecewa terlihat di sana.
"Mas Hanif masih jaga IGD, Ma. Gantiin temennya."
"Tapi nanti nyusul kan?"
"Iya, Ma. Pasti nyusul kok. Mas Hanif juga udah kangen banget sama Mama," kataku. Barulah ada sedikit kelegaan yang beliau pancarkan.
Memang, belum pernah terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan tinggal berdua bersama mertua tanpa Mas Hanif yang menemani. Baru seperti ini saja reaksi Mama sebegitu hebohnya.
"Mama sendirian? Yang lain pada ke mana kok sepi?" tanyaku, menyadari bahwa tidak ada lagi orang lain selain kami berdua dan si mbok yang terlihat sekilas di ruang dapur.
"Keisha lagi minta jalan-jalan. Dibawa sama Ami dan Apinya, pamitnya sih ke TP, kalau nggak gitu ke Grand City, embuhlah, Mama nggak paham. Kalau papamu lagi ada simposium di Jakarta. Tiga hari ini, jadi ya mama sendirian gini. Untung aja kamu cepet datang."
Aku tersenyum, merasa bersyukur bahwa kehadiranku memang dinantikan. Setidaknya Mama Ratih yang kukenal pertama kali telah kembali. Kehangatan itu bisa kurasakan. Dan kuharap, kami tak lagi saling canggung satu sama lain.
"Ya udah kamu istirahat gih, Mama mau lanjutin masak," kata Mama beralih menuju dapur.
Nggak ingin tinggal diam gitu saja, aku menyusul beliau. Terlihat memang dapur sudah penuh dengan bahan-bahan masakan yang siap dieksekusi. Daging, ikan, aneka sayuran, dan berbagai macam bumbu dapur tersebar di atas meja.
"Sore Mbak Rindu," sapa Si Mbok yang tampak sibuk dengan pisau dan talenannya.
"Sore, Mbok. Ada yang bisa Rindu bantu?" tawarku.
"Eh, ndak usah Mbak. Mbak Rindu sebaiknya istirahat saja, pasti capek habis pulang kerja," kata Si Mbok.
"Wong Rindunya mau bantu-bantu kok nggak boleh sih, Mbok. Biar paham juga urusan dapur, biar yang diingat nggak cuma tumpukan kertas dan angka-angka di komputer." Sementara itu, Mama Ratih menimpali Si Mbok, tidak setuju dengan pernyataan Si Mbok.
Aku tersenyum kecut, langsung beralih mengambil pisau dan melakukan apapun yang sekiranya belum tersentuh.
"Mau masak apa, Ma?" kataku, sebelum bertindak lebih jauh, takut sok tahu dan akhirnya salah.
"Tuh kan, Mbok, padahal bahannya udah jelas. Ada bayam, ada jagung, masa kamu nggak tahu, Rind?" Pertanyaan Mama, atau entah menurutku lebih ke sindirian tersebut, jelas cukup berhasil menohokku.
Bukan aku nggak tahu bahwa bahan-bahan tersebut untuk sayur bayam, tapi nggak bolehkah aku sekadar basa-basi untuk membunuh canggung yang mendera di antara kami?
Padahal, beberapa waktu yang lalu kukira Mama Ratih begitu hangat, tidak terbesit di pikiranku bahwa beliau akan menunjukkan sikap yang demikian. Tapi ya sudahlah, dijalani saja, Rindu.
"Tahu, kok, Ma. Siapa yang paling suka sayur bayam, Ma. Pasti ini Mama masak untuk Keisha, ya?"
"Kok Keisha sih, Rind. Mama masak ini ya buat anak laki-laki Mama satu-satunya lah. Keisha pasti udah makan di luar sama Ami Apinya. Jangan-jangan kamu nggak tahu ya kalau Hanif suka banget sama sayur bayam?"
Blam, serasa ditampar, ditelanjangi di depan umum, semenohok itu cetusan Mama Ratih barusan. Berhasil membuatku terdiam seketika, bingung mau menimpali apa kemudian.
Lagi-lagi yang bisa kulakukan adalah tersenyum kecut di hadapan mama mertuaku. Sedang Mama Ratih justru melontarkan senyum dengan gelengan frustrasinya. Iya, frustrasi punya menantu yang nggak bisa menyervis anak kesayangannya dengan baik.
Aku pantang menyerah sampai di situ saja. Mengabaikan pernyataan nyelekit dari Mama, aku berusaha melanjutkan gawean yang sekiranya bisa kukerjakan. Kali ini aku lebih memilih membantu Si Mbok, ketimbang mendekat ke Mama yang lagi asyik membumbui sayur bayamnya. Belum siap dicerca lagi dengan celetukan beliau yang begitu ajaib.
"Rind, coba bantu Mama aduk sayurnya, sama bumbuin ya, adjust aja kalau kurang apa. Mama mau nyiapin sambel," pinta Mama yang langsung kuturuti tanpa tapi.
Aku bukan nggak bisa masak. Meskipun jarang dan hampir nggak pernah masak sayur bayam, tapi bukan berarti indera perasaku tidak familier dengan rasa dari sayur bayam yang ideal. Segar, dengan paduan asin gurih umami seperti kebanyakan masakan Indonesia berpadu dengan aroma khas temu kunci yang identik dengan sayur bayam.
Setelah menambahkan sedikit garam, gula, dan kaldu jamur sebagai penyedap, kuyakin kali ini rasanya benar-benar sudah mantap.
"Rind?" panggil Mama, memecah keheningan sesaat tadi.
"Iya, Ma?" Aku menyahuti beliau sambil menuangkan sayur bayam ke dalam mangkok.
"Gimana? Apa sudah ada tanda-tanda?" Mama menghentikan sejenak gerakan mengulek sambal yang sedang beliau lakukan.
Pun denganku, rasanya seperti difreeze begitu cepat. Centong sayur yang sedang kupegang pun masih menggantung di udara urung untuk menuangkan kuah sayur bayam ke dalam bangkok.
Aku bukan tidak paham maksud beliau seperti apa. Pertanyaan yang sedari tadi tak kuharapkan hadir di antara kami, nyatanya sekarang muncul menjadi sebuah topik bahasan baru.
Diawali dengan senyuman yang entah kali ini berjenis apa, "mohon doanya saja ya, Ma. InsyaAllah, Allah kasih yang terbaik untuk Rindu dan Mas Hanif," aku menjawab pertanyaan beliau dengan sebuah kalimat diplomatis yang kurasa sangat tidak memuaskan.
"Ya pasti lah Mama tuh selalu doain kalian. Maksud Mama, usaha kalian sudah sejauh mana? Kamu pastinya tahu kan, Rind, doa tanpa ikhtiar itu sama saja dengan percuma. Terlebih dalam kondisi kamu yang nggak biasa, harusnya usaha lebih keras lagi. Kalau perlu ikut program."
Berusaha untuk tetap kuat menyangga mangkok kaca berisi sayur bayam panas, aku berjalan menuju ruang makan dengan backsound lantunan ocehan Mama.
"Usaha tuh juga banyak macamnya, salah satunya memperhatikan pola makan dan istirahat. Kalau kalian makannya jajan di luar melulu, gimana nutrisi itu bisa didapat? Sampai makanan kesukaan suami aja kamu nggak ngerti," lanjut beliau, belum ingin kutanggapi.
"Kamu masih suka lembur dan dinas luar kota?" tanya Mama, lagi.
"Lembur yang sampai malam sih sudah nggak pernah, Ma. Kalau dinas luar kota kan memang sudah jobdesc Rindu tiap beberapa bulan sekali, jadi sepertinya masih akan terus untuk itu," jawabku, berusaha menahan dada yang mulai pengap karena serangan dari Mama yang mendadak ini.
"Gimana mau punya quality time lebih banyak kalau kamu sering ke luar kota. Kamunya sibuk, Hanif juga sibuk. Iya Hanif sibuk nggak papa, wajar to namanya juga suami. Lha kamu? Nggak bisa apa dikurangi sedikit aja kesibukanmu, Rind? Sibuk itu juga salah satu penyulit lho. Sibuk, terus kecapekan, bikin badan jadi nggak fit, ngaruh juga ke sana."
Aku kembali terdiam, berusaha menyibukkan diri dengan membantu Si Mbok menata lauk lainnya juga piring di atas meja.
"Mama cerewet gini bukan karena gimana-gimana, Rind. Ini karena Mama sayang sama kalian. Mama menaruh harapan besar pada kalian untuk memberikan kami penerus garis keturunan Zarchasi, Rind. Apalagi Hanif itu anak laki-laki satu-satunya Mama. Kamu mengerti itu, kan?" Emosi Mama yang berapi-api dengan raut muka beliau yang menggebu, membuatku benar-benar terdiam tak bisa menanggapi barang sekejap.
"Nggih, Ma. Rindu paham," dan memang hanya inilah yang bisa kujawab di hadapan beliau.
Sampai sebuah salam dari arah pintu, membuyarkan ketegangan di antara kami.
"Ehh ... Cucu Yangti sudah pulang. Habis main ke mana aja siiih? Sampai Yangti ditinggal lho." Mama Ratih beralih mengambil Keisha dari gendongan Mbak Tiqa, seolah lupa bahwa beberapa detik yang lalu, kami sedang bersitegang yang begitu serius.
"Sudah dari tadi, Rind?" sapa Mbak Tiqa sambil membereskan belanjaannya.
"Lumayan mbak, sore pulang kerja tadi," kataku.
Kemudian kami saling mengobrol ringan khas pertemuan para perempuan pada umumnya. Memang, dari awal, di rumah ini, aku merasa paling cocok dengan Mbak Tiqa. Mungkin karena Mbak Tiqa lebih dewasa daripada aku, membuatku jadi adik dan merasa terayomi. Mbak Tiqa memang ngemong banget orangnya, nggak memandang bahwa aku orang baru, dulu, ketika pertama kali aku dikenalkan pada mereka, Mbak Tiqalah yang menyapaku hangat. Di luar, kejadian lucu di mana aku sempat salah paham sama Mbak Tiqa, yang mengira bahwa Mbak Tiqa adalah istri Mas Hanif dengan Keisha sebagai anak mereka berdua. Konyol sih, tapi beneran, waktu itu aku percaya gitu aja ketika Mas Hanif mengerjaiku. Menyebalkan memang itu orang satu.
"Assalamualaikum." Belum juga aku selesai membatin tentang orang tersebut, si empunya nongol dari balik pintu rumah.
Ah saking asyiknya ngobrol dengan Mbak Tiqa, aku bahkan nggak mendengar suara mobil Mas Hanif parkir.
"Waalaikumsalam, MasyaAllah anak ganteng Mama akhirnya nyampe juga." Mama sambil menggendong Keisha kini menyambut Mas Hanif penuh suka cita. Kentara sekali bahwa Mama memang merindukan putra mahkota yang selalu dielu-elukannya itu.
"Alhamdulillah Ma. Maaf ya baru bisa pulang," kata Mas Hanif sambil menciumi Keisha dengan gemas.
"Ya wajar, namanya juga laki-laki. Mama ngerti dan paham kok. Kamu pasti sibuk banget "
Aku masih di sini, memberikan ruang dan waktu untuk ibu dan anak tersebut saling bercengkrama melebur rindu.
"Eh, Sayang." Baru beberapa saat kemudian Mas Hanif menyadari keberadaanku.
Aku kemudian mendekat, meraih punggung tangannya dan membawakan tas juga jas dokternya. "Mas mandi dulu gih, setelah itu makan malam," kataku.
"Iya, Nif. Ini cuma nunggu kamu tok lho. Mama udah masakin makanan kesukaanmu, sesuai requestmu kemarin kan? Mandi dulu gih sana."
Kemudian Mas Hanif bergegas untuk bersih diri. Sementara aku? Kembali terjebak dalam keakraban keluarga suamiku di mana canggung itu lagi-lagi menyergap. Terkait Mama yang nampak biasa saja ketika ada yang lain, namun menjadi berbeda kala kami hanya duduk berdua seperti beberapa saat yang lalu.
💐🌺💐🌺💐🌺
Seperti yang sudah kuperkirakan sebelumnya, makan malam kali ini rasanya kurang berselera. Mungkin, karena dipengaruhi beberapa hal nggak ngenakin hati yang kuterima tadi. Meski aku sudah berusaha mengenyahkan dari pikiran, tapi aku hanyalah perempuan biasa pada umumnya, yang begitu perasa terkait bahasan sensitif.
Mama memang membungkusnya dengan sangat baik. Tidak kentara bahwa di antara kami sedang terjadi perang dingin. Entah lagi-lagi itu hanya perasaanku, Mama seperti ingin menunjukkan bahwa aku tidak lebih baik dari beliau dalam hal melayani Mas Hanif. Seperti saat ini, ketika aku hendak mengambilkan nasi ke piring Mas Hanif, Mama menyela lebih dulu.
"Makan yang banyak, Nif. Mama tahu kamu pasti capek seharian. Mama udah bikinin sayur bayam spesial khusus buat kamu."
Aku urung menuangkan nasi ke piring Mas Hanif, mengoper ke piringku sendiri.
"Terima kasih, Mamaku. Mama emang paling ngerti apa mau Hanif."
"Ya iyalah, Nif. Mama yang ngelahirin dan ngebesarin kamu sampai jadi kayak gini. Nggak cukup sehari dua hari sih memang untuk kenal luar dalam seseorang," ucap Mama Ratih sambil melirikku sekilas, dengan smirk khas yang benar-benar manipulatif.
Sesaat, aku merasa menjadi pemeran utama dalam sinetron hidayah, persoalan tentang menantu dan ibu mertuanya. Ah, tolong jangan dibuatkan judul yang aneh-aneh, takut saja menjelma nyata di kemudian. Naudzubillah, istighfar, Rindu.
Astagfirullah.
"Rind, kamu kok makannya dikit, nambah lagi dong, Sayang," kata Mas Hanif sambil menyendokkan lauk lainnya.
"Udah, Mas, nggak usah banyak-banyak, ini udah cukup," kataku, mencegahnya untuk mengambil lebih baik.
Tidak banyak obrolan yang kami habiskan di meja makan kali ini. Lebih banyak menyaksikan drama telenovela yang Mama mertuaku sajikan. Meski tidak ingin buruk sangka, nyatanya Mama memang secara terang-terangan tidak menyukaiku. Meski aku sudah berhuznudzon sebanyak mungkin, Mama tetap menjadi Mama Ratih yang menilaiku penuh kekurangan.
Mungkin Mas Hanif merasakan ada yang tidak beres padaku. Mungkin memang sangat terlihat jelas wajah muramku ketika makan malam tadi. Mau berusaha menyembunyikan sekuat mungkin, nyatanya ekspresi yang dikeluarkan hati nggak pernah bisa berbohong.
"Kamu kenapa, Rind?" tanya Mas Hanif, begitu kami tinggal berdua.
Kami duduk di balkon kamar, menikmati malam dengan temaram lampu teras. Surabaya kala malam tanpa hujan itu begitu gerah. Semilir angin ikut absen, menjadikan peluh masih mengucur meski hari hampir habis.
Bagiku, waktu berduaan dengan Mas Hanif seperti ini adalah mahal. Tidak selalu bisa, banyak rindunya.
Aku menggeleng pelan, berusaha terlihat biasa dengan menikmati secangkir teh hitam yang kubuat usai makan malam tadi. Ada kopi untuk Mas Hanif, tapi dia belum ingin meminumnya.
"Dalam masa berusaha mengerti satu sama lain, aku semakin tahu bahwa ketika perempuan ditanya mengapa kemudian jawabannya geleng, itu artinya ada apa-apa. Pun dengan pertanyaan lain. Kata ahli filsafat perempuan, jawaban kaum hawa itu kebanyakan antonim."
Praktis, pernyataan suamiku tersebut berhasil membuatku tergelak.
"Harusnya aku yang tanya, Mas Hanif sehat? Filsafat banget ngomongnya," kataku yang dibalas dengan tawa kecil olehnya.
Kami kembali menyelami pikiran masing-masing dalam hening. Mas Hanif sudah mulai menyeruput kopinya. Kopi hitam dengan gula sepucuk dan satu sendok krimer.
"Tentang Mama?" katanya, memecah jeda diam sesaat tadi.
Aku bergeming, tidak ingin buka suara perihal ibunya. Biar aku yang menyimpan sendirian, Mas Hanif tidak perlu tahu, karena aku tidak ingin membebaninya.
"Maaf ya, Rind. Kalau keputusanku untuk ngajak kamu pulang ke sini malah bikin kamu murung gini," lanjutnya, kini mengelus lembut puncak kepalaku.
"Enggak, Mas. Aku baik-baik aja. Kerjaan di kantor lagi nggak santai. Masih kebawa sampai ke rumah. Maaf ya? Kamu sendiri, beneran sibuk banget ya, Mas?" kataku, membalikkan tanya kepada Mas Hanif.
Tiba-tiba saja teringat tadi sore ketika aku melihat mobil yang mirip punya Mas Hanif ada di jalan, sementara dia izin untuk jaga IGD menggantikan temannya.
"Iya sayang. Tadi ada pasien merah, sampai memerlukan RJP. IGD lumayan hectic," jelasnya tanpa ragu.
Lalu, apa mungkin aku hanya salah lihat? Ical memang benar, fortuner putih itu nggak cuma diproduksi satu dari pabriknya. Apalagi di Surabaya, kota tersibuk setelah Jakarta, sudah bukan barang mewah bahwa mobil series tersebut bisa dimiliki siapa saja. Nggak cuma satu dua orang.
Meski gitu, entah kenapa perasaan ini masih saja ada yang mengganjal. Ingin membuat semua ini menjadi jelas agar aku nggak berpikir yang macam-macam lagi.
"Aku tadi lihat fortuner putih mirip punya Mas di lampu merah KBS arah Darmo. Tak kira Mas nggak jadi jaga IGD," kataku asal cetus.
Uhukkkk
Dan ... Aku nggak menyangka bahwa reaksi Mas Hanif segitu kagetnya sampai tersedak.
"Mas, kenapa sih sampai kesedak?" ucapku sambil membersihkan sedikit tumpahan kopi.
Aku kemudian memandang Mas Hanif penuh lekat.
Mas, mungkin, ini kali pertama aku menjumpai ekspresimu kali ini. Semacam .... Kepergok, lalu ingin berkilah?
Astagfirullah, jauhkan hamba dari segala prasangka buruk terhadap suamiku, Ya Rabb.
"Lama-lama gerah ya, Rind di sini. Masuk yuk, ngadem. Udah malam juga. Ayo istirahat," katanya sambil membereskan gelas kopi di meja kecil.
Tidak terjawab, mari lupakan soal fortuner putih.
Seharusnya aku sadar, bahwa ketika kita memutuskan untuk menikah, kita harus lebih dulu selesai dengan diri sendiri. Dealing with my self, itu poin wajib yang harus dilakukan. Nggak ada lagi ego diri yang melangit. Nggak ada lagi sikap kenakanan yang masih melekat. Nggak ada lagi yang mau diraih, kecuali kesempurnaan ibadah dalan berumah tangga.
Untuk umur pernikahan kami yang baru masuk hitungan hari, kami masih sangat jauh dari sebuah kata ideal.
Lebih jauh lagi ya, Mas. Sampai nanti.
Nanti.
_________mari merindu lagi___________
Terima kasih atas atensinya, tetap dukung, sukai, komentar, dan bagikan ke teman-teman kalian untum turut membaca cerita ini.
Info lebih lanjut
Ig: Risaliaicha
Dah gitu aja
Miss yaa
10.12.19
😘😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top