3. Rindu Itu Berlanjut
📋📝📋📝📋📝
Menjadi tim audit internal seperti ini memang susah-susah gampang dan enak nggak enak. Susahnya kalau udah nemuin kasus yang beragam lalu kita dituntut untuk cepat tanggap bagaimana menyelesaikan dengan penyelidikan kilat. Kalau usut belum tuntas maka tamatlah riwayatmu untuk nginep dan melanjutkan investigasi di hari berikutnya. Kalau gampang sih relatif ya, asal kita telaten, tahu dasarnya dan punya tingkat kekepoan tinggi, kurasa kerjaan ini cukuplah mudah. Satu hal lagi, menjadi auditor seperti ini nggak boleh punya mental lemah yang gampang luluh oleh gelimang sogokan yang ditawarkan, itu kalau-kalau mereka ketahuan punya kasus dan menghindari kita bertindak lebih.
Enaknya sih kami bisa kerja nyambi jalan-jalan. Itu kalau kerjaan mulus-mulus aja, mengaudit palingan cuma sejam dua jam selesai, setelah itu sembari menunggu jadwal kereta ke rute selanjutnya biasanya kami bakal melancong ke tempat-tempat menarik di kota tersebut yang belum pernah dikunjungi. Atau kalau udah mentok nggak tahu mau ke mana, seengaknya kami bisa kulineran menjajal makanan khas yang nggak bakal ditemuin di Surabaya.
Nah, kalau nggak enaknya sih banyak. Jelas pas nemu kasus rumit, misal selisih stok yang nggak masuk akal antara jenis pakan satu dengan pakan lain. Atau nemuin kondisi gudang yang nggak layak, terus berimbas ke kualitas pakan, ada yang kutuan lah, jamuran, dan masalah lain yang masih banyak lagi. Saat itulah kesabaran kita diuji banget. Apalagi kalau audit sendirian begini, beuh, pasti bakal beneran diservis dengan baik oleh klien. Diservis dengan baik, menggunakan tanda kutip karena memiliki makna yang lain. Sogokan berkedok entertain. Duh, iman, iman, kudu kuat banget kalau sudah begini.
Entertain yang dimaksud di sini, biasanya pemilik gudang bakal memberikan jamuan istimewa kepada kami. Misalnya diajak makan, dibawakan oleh-oleh, diajak wisata, pokoknya diservis dengan baik seperti yang kukatakan tadi. Pemilik gudang adalah klien perusahaan kami yang disewa gudangnya untuk dijadikan semacam anak perusahaan di area tertentu. Biasanya yang punya gudang adalah perusahaan ekspedisi yang kami gunakan untuk proses transfer barang dari pabrik pusat ke gudang cabang. Karena itu perusahaan biasanya menyewa gudang sepaket dengan ekspedisi dan asuransinya. Jadi, mereka diberi kepercayaan oleh perusahaan sebagai perantara dengan customer yang susah dijangkau langsung oleh perusahaan pusat.
Sehingga audit semacam ini perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa amankah barang kami di tangan gudang tersebut.
Kali ini aku menggunakan rute pantura, artinya Cirebon bakal menjadi kota pertama yang kukunjungi, maka aku nggak perlu booking hotel untuk menginap karena setelah dari Cirebon, malam harinya aku bakal langsung otw ke Puwokerto, destinasi selanjutnya yang bakal kulakoni.
Pukul setengah tiga, grab yang kupesan sudah stand by di depan stasiun. Biasanya kalau audit sama anak sales pasti mereka bakal menghubungi pihak gudang dulu, lalu mereka menawarkan jemputan. Memang enak sih, dan lebih hemat juga dari sisi budget. Masalahnya kalau aku audit sendiri begini, berhubung aku nggak begitu dekat dengan mereka, bukan tidak kenal ya, hanya tidak begitu dekat, maka aku lebih memilih pakai transportasi umum. Pertama ya nggak mau ngerepoti aja, kedua juga jaga jarak dengan mereka, dalam artian secara emosional kita dilarang terlalu akrab dengan klien, dikarenakan untuk menghindari proses audit yang cenderung subjektif. Jadi tetep kudu objektif dan profesional. Intinya begitu.
Oh iya, audit itu ada yang terencana dan ada juga yang audit spontan, seperti sidak misalnya. Lagi-lagi kalau kami—tim akunting—berangkat dengan tim sales maka audit yang terjadi adalah audit terencana. Dan itu pasti jalannya mulus-mulus aja, entah kenapa ya, aku bukan ingin mencurigai anak sales sih, cuma kebanyakan memang nggak ada masalah yang berarti kalau berangkat bareng tim sales. Nah, kalau sekarang aku bakal mengaudit secara spontan, artinya mereka belum tahu kedatanganku yang mendadak ini, kecuali kalau anak sales membocorkan terlebih dahulu. Ya entahlah.
Jarak tempuh gudang dari stasiun nggak begitu lama, palingan cuma setengah jam. Memang sudah keluar area Cirebon kota sih, ke jalan arah Kuningan tapi juga nggak begitu jauh.
Aku sampai di gudang pas banget adzan Ashar berkumandang. Ketika turun dari grab, benar bahwa mereka kaget. Mereka lagi riweh kegiatan bongkar muat, tiba-tiba terhenti karena lihat aku datang.
"Loh, Mbak Rindu?" sapa Pak Miskad, kepala gudang sekaligus mandor. Mungkin beliau kaget, karena bulan lalu aku datang sama Sherly, anak sales yang kumaksud tadi.
"Selamat siang, Pak Miskad," sapaku yang langsung masuk ke gudang nyamperin Pak Miskad.
"Siang, Mbak. Punten, kok mendadak, biasanya mbak Sherly ngabarin kalau mau ke sini."
Oh, jadi Sherly belum ngabarin ceritanya, pantas aja kalau mereka beneran kaget.
"Mbak Sherlynya lagi riweh, Pak, di kantor. Jadi saya datang sendiri."
"Mbak Rindu, tahu gitu biar dijemput Mang Dadan tadi, kok nggak ngabarin jeh," sahut Elis yang datang dari arah samping gudang, kantornya si Elis. Mungkin Elis langsung buru-buru keluar begitu dengar suaraku dari jauh. Sudah hapal dan saking seringnya aku ke sini kali ya.
"Iya, Lis, mau ngabarin tapi nggak sempat, tau-tau nyampe stasiun, daripada lama ya ngegrab aja, banyak juga," jelasku ke Elis.
Nah, Elis ini admin gudang yang sering banget berurusan sama Sherly. Bisa dibilang mereka ce-esan lah. Karena apapun terkait dengan barang keluar-masuk pasti Elis bakal melaporkan kepada Sherly. Begitupun sebaliknya, Sherly sebagai tim sales bakal kasih info ke Elis customer mana aja yang order pakan lengkap dengan jenis dan kuantitinya. Kurang paham prosedural pastinya seperti apa, tapi setidaknya seperti itulah gambaran umum yang pernah kutanyakan kepada Sherly.
"Mbak mau langsung nyetok?" tanya Elis, sambil masuk ke dalam gudang. Mereka emang bahasanya stock opname sih, kalau kami menyebutnya audit karena yang dicek nggak Cuma stoknya aja, terkait manajemen, administrasi, juga terkait kualitas gudang dan segala aspek yang melingkupinya.
Aku melihat sekeliling, kurang lebih samalah dengan bulan lalu, tumpukan pakan juga masih sama banyaknya, bahkan yang sekarang sepertinya sedikit lebih penuh. Gambarannya begini, satu zak pakan itu memuat kurang lebih 50 kg. Penataannya, tiga zak ditata secara vertical kemudian dua zak diletakkan horizontal, tumpukan di atasnya akan mengikuti selang-seling. Begitu terus sampai tumpukan mencapai tinggi maksimal.
"Ini lagi ada muat, Pak?" tanyaku sambil mengamati para kuli yang sedang memindahkan pakan ke dalam truk.
Aku selalu kagum dengan orang-orang seperti mereka ini. Kerja begitu keras dengan mengerhakan segala kemampuan dan kekuatan fisik. Nggak salah kalau ada istilah banting tulang asal dapur di rumah tetap mengepul. Mereka rela kerja begini untuk tetap menafkahi anak dan istri di rumah. Begitu intinya.
"Iya, Mbak. Muat ke Tasik Pakan Starter Premium delapan ton," jelas Pak Miskad sambil lihat catatan kartu stok.
"Masih lama kira-kira?" tanyaku lagi.
"Ini baru mulai, Mbak. Apa mau distop dulu? Hitung dulu atau gimana?"
Aku kemudian melirik jam di pergelangan, keretaku selanjutnya masih pukul tujuh malam sih, dan sepertinya membiarkan mereka menyelesaikan proses muat ini juga nggak masalah.
"Nggak usah, Pak. Lanjut dulu aja, saya mau numpang salat dulu kalau gitu," kataku.
"Oh, iya mangga, Mbak." Kemudian aku meminta Elis untk mengantar ke tempat salat. Elis mengajakku ke kantor yang berada di samping gudang.
Kantor Elis ini nggak luas-luas banget tapi cukup lengkaplah untuk dikatakan sebagai kantor gudang. Ruangan utama ukuran 4x6 meter, ada tiga meja kerja, sofa panjang, televisi dan lemari es. Ruangannya juga ber-Ac. Ada kamar mandi dan satu kamar tidur yang isinya kasur lantai, kata Elis sih tempat istirahatnya para kuli. Cukup memanusiakan manusialah kataku.
Elis mengarahkanku ke toilet untuk berwudhu kemudian meminjamkan mukena. Aku sebenarnya juga bawa mukena sendiri, tapi ingatkah kalian bahwa tas ranselku isinya sudah tak berbentuk. Aku aja sampai nggak tega yang mau buka. Entah se-amburadul apa ketika nanti kubongkar.
Selesai mengerjakan kewajiban lima waktu, aku segera kembali ke gudang menyusul Elis yang meninggalakanku pas salat tadi. Baru aja mau ke gudang masih pakai sepatu, suara teriakan dan gedebrug yang sangat keras terdengar dari arah gudang. Aku langsung cepet-cepet kemudian lari ke sana.
Dan ...
Astaga.
"Elis, apa yang terjadi?"
"Mbak Rindu," teriak Elis begitu panik pas lihat aku masuk. Lalu Elis langsung berlari ke arah bapak-bapak kuli yang tergeletak di bawah, sudah ada Pak Miskad dan bapak-bapak lainnya yang juga nggak kalah panik.
Aku juga jadi ikutan panik. Lebih ke takut malah.
"Pak, gimana ceritanya?" Tanyaku tapi mereka nggak ada yang jawab. Mereka begitu fokus dan saking bingungnya harus ngapain dengan bapak kuli yang tak sadarkan diri di lantai ini.
Kemudian beberapa dari mereka berhambur keluar gudang sambil teriak meminta bantuan, mungkin mencari mobil atau ambulance aku kurang paham karena aku langsung ikut mendekat ke arah korban.
"Astagfirullah, Pak ... Pak, bisa dengan suara saya?" kataku coba merangsang respon kesadaran dari Bapak tersebut.
Tidak ada sahutan. Aku coba lagi, meraba nadinya, tapi entah aku yang nggak bisa menemukan, atau ... Astaga, aku makin takut.
"Mbak Rindu, gimana ini Mbak, kita harus ngapain?" Teriakan Elis yang begitu panik malah membuat ketakutanku makin nggak karuan. Pak Miskad yang tadi di sebelah juga lari keluar begitu melihat bapak-bapak yang lain sudah balik bawa mobil.
Tanpa pikir panjang lagi, mereka langsung membopong bapak kuli yang tak sadarkan diri ke mobil.
"Pak Saya ikut," teriakku begitu mereka sudah selesai menggotong bapak kuli tersebut.
"Mbak Rindu motoran sama saya aja," ajak Elis yang sudah menyalakan motor dan memakai helm.
Memang setelah kupikir-pikir, lebih baik aku ikut Elis aja karena kalau dimobil bukannya tenang aku malah ketakutan sendiri. Segera setelah mobil tersebut berangkat terlebih dahulu, aku menyusul dari belakang dengan Elis yang mengendarai.
Lupakan soal audit dan segala macamnya, ini lebih penting perihal nyawa. Dan ini bisa aja kumasukkan laporan sebagai kejadian tidak diinginkan.
----000----
Begitu sampai rumah sakit, aku langsung menuju IGD dan menemukan Pak Miskad dan satu bapak kuli lainnya yang juga turut dalam mobil tadi. Sementara bapak kuli yang tak sadarkan diri tadi sedang di dalam mendapatkan penanganan medis. Kemudian aku bertanya kronologi kejadian bagaimana bisa sampai terjadi kecelakaan seperti itu. Menurut penuturan temannya, kuli tersebut mau ngangkut pakan dari tumpukan paling tinggi. Entah tubuhnya nggak siap atau gimana, tiba-tiba Pak kuli tersebut oleng, kemudian jatuh, naasnya lagi ketika Pak kuli tadi mau pegangan ke tumpukan pakan yang lain, justru hal tersebut malah membawa petaka. Pakan yang dipegangi merusut kemudian jatuh menimpa pak kuli. Kurang lebih seperti itu cerita singkatnya.
Aku melihat Pak Miskad yang sibuk menelepon, dari pembicaraan yang nggak sengaja kudengar sepertinya beliau sedang telepon Pak Endo, pemilik gudang sekaligus bos mereka. Sementara si Elis, sedang sibuk mengurus administrasi.
"Keluarga pasien?"
"Saya, dok," aku menoleh begitu Pak Miskad mengajukan diri kemudian berjalan terburu-buru menuju pintu IGD untuk menemui dokter.
Aku juga langsung ikut mendekat.
Loh? Dokter itu?
"Pasien atas nama siapa, Pak? Sudah diurus administrasinya?"
"Sudah, dok. Pasien atas nama Pak Rahman, sudah saya daftarkan." Aku melihat Elis yang juga tergopoh-gopoh mendekat.
Detik selanjutnya dokter itu menyadari kehadiranku. Kami bersitatap beberapa saat sampai Pak Miskad menyadarkan. "Dok, punten, jadi gimana dengan teman saya?"
"Oh iya, ada beberapa hal yang harus saya jelaskan, Pak. Mari ikut saya sebentar." Dokter itu meminta Pak Miskad untuk ikut ke ruangannya. Sementara aku dan Elis tetap di depan IGD sambil menunggu kabar selanjutnya.
Jadi, dia dokter?
Aku nggak sengaja membaca sebuah identitas pengenal yang tergantung di saku atas jas dokter tersebut. Dokter Hanif Zarchasi, seseorang yang sama dengan lelaki yang menyelamatkan nasibku tadi pagi. Orang yang bikin aku penasaran mampus namanya siapa dan tujuannya ke mana. Lalu, tanpa aku berusaha lebih keras, Allah menunjukkan hal itu, lagi.
Ketika tadi di kereta dia minta pindah bangku ke sebelah, kami sudah tidak berinteraksi lagi setelahnya. Dan aku pikir selesai lah sudah urusanku dengannya. Yang jelas aku tadi udah sempat mengucapkan makasih meski aku belum puas dengan reaksi balasan yang dia berikan. Dia ngganguk doang yang itu malah bikin aku kepo maksimal.
Tadi ketika suara CS KAI mengabarkan bahwa sebentar lagi kereta akan sampai, aku memang nggak sempat lihat penumpang di kanan-kiriku karena memang satu gerbong di Eksekutif 2 banyak sekali yang turun Cirebon. Aku juga nggak kepikiran buat pamit, atau sekadar menyapa mas-mas itu karena udah riweh sendiri nurunin ransel yang bikin ribet. Jadi aku juga nggak tahu kalau ternyata mas-mas itu turun Cirebon juga. Lalu aku juga udah nggak keingat lagi tentang dia karena ya memang kupikir urusan di antara kami udah selesai, aku menyerahkan sisanya ke Allah, biar Allah saja yang membalas kebaikan mas-mas itu.
Lalu, sekarang, berarti ini kali ketiga kami dipertemukan. Tragedi KTP, ternyata satu bangku di gerbong yang sama, dan sekarang aku ketemu lagi di tempat dan kejadian yang berbeda.
Aku nggak mau nyebut ini takdir. Meskipun aku juga nggak menyangkal sebuah takdir dari ketidaksengajaan itu bisa aja tercipta, tapi kurasa ini terlalu cepat.
Lagian, aku ke sini kan tujuan untuk ...
Astaga! Gimana nasib auditku?
"Elis, gimana ya? Saya harus kembali ke gudang. Apa kamu bisa nemenin saya?"
"Mbak Rindu, maaf, bukan saya menghindari proses audit, tapi Mbak Rindu tahu sendiri kan, suasana sedang nggak memungkinkan untuk kita lanjut nyetok, Mbak." Aku terdiam, benar juga sih.
Justru nggak etis dan nggak manusiawi kalau aku tetap memaksa proses audit tetap berjalan. Lagipula Elis sepertinya lagi repot menghubungi keluarga Pak Rahman, bapak kuli yang baru kutahu namanya ketika Elis menyebutkan di depan dokter tadi.
Aku bimbang, gusar, sekarang sudah pukul setengah enam sore, sebentar lagi magrib, kereta ke Puwrokerto juga jam tujuh. Lagipula kalau aku memaksa untuk nyetok sendiri juga lebih nggak memungkinkan. Di gudang pasti sudah sepi, kalaupun ada orang juga tinggal bapak-bapak kuli yang tersisa. Penerangan di gudang juga kurang. Hasil hitungku bakal nggak maksimal.
Ponselku berdering, dari tadi kuhindari buka hape karena memang nggak pengin dikrecoki oleh baginda Fikri Daulat ini. Tapi sepertinya feeling beliau sedang bermain, dari tadi aku memang belum mengabari beliau sama sekali.
"Ya, Pak?" sapaku begitu menggeser ikon hijau di layar ponsel.
"Rindu, sudah clear semuanya? Gimana? Ada selisih, nggak? Sudah selesai belum? Kamu kok nggak ngabari?"
Aku meraup wajahku frustasi, bingung harus menjelaskan dari mana. Dan pasti bakal panjang urusan kalau aku membeberkan kondisi yang sebenarnya sekarang ini.
"Pak, nanti saya hubungi Bapak lagi, ya. Saya masih repot. Maaf, Pak."
"Loh, Rindu. Kenapa? Ada kendala, apa, coba cerita ke saya."
Aku udah nggak bisa ngomong lebih banyak lagi. Pengin nangis saking bingung dan nggak tahu lagi harus gimana. Tanpa salam dan pamit dulu ke beliau, langsung kumatikan sambungan telepon dari Pak Fikri. Mohon maaf sekali, Pak. Ketika sampai Surabaya nanti, saya janji akan menjelaskan semuanya.
Aku juga udah siap dengan segala konsekuensinya, kok. Satu gudang teranulir dari proses audit, aku pulang tanpa laporan Gudang Cirebon.
Dan semoga, tiga gudang selanjutnya sedikit bisa menutupi kekecewaan beliau tentang absennya gudang Cirebon kali ini.
Aku kembali melirik jam di pergelangan, masih ada waktu sebelum ke stasiun. Setelah lihat maps, ternyata jarak rumah sakit dengan stasiun nggak begitu jauh. Aku juga barusan mengecek kembali jadwal keberangkatanku ke Purwokerto, ternyata masih pukul 19.17, harusnya masih nutut kalau aku salat magrib sebentar.
Aku pamit ke Elis dan Pak Miskad yang baru saja kembali dari ruangan dokter. "Elis, Pak Miskad, saya harus melanjutkan perjalanan ke Purwokerto, saya pamit, ya."
"Tapi, Mbak? Gimana?" Elis nggak kalah bingung.
"Nggak papa, nanti saya jelaskan ke mereka. Kamu tenang aja."
"Punten ya, Mbak. Jadi gini keadaannya." Pak Miskad pun telihat sangat menyesal dan bersalah. Padahal ini juga bukan kehendak kami semua toh? Apa mereka juga mau ada kejadian seperti ini?
"Mbak, apa nggak nunggu Pak Endo, sebentar lagi beliau akan ke sini," kata Elis menyebutkan bos mereka.
Aku emang nggak begitu kenal Pak Endo, tapi pernah beberapa kali ketemu pas audit bareng Sherly bulan-bulan lalu, pernah diajak lunch juga. Tapi sekali lagi ketimbang Sherly aku nggak begitu dekat dengan beliau.
"Maaf, Lis. Keretaku jam tujuh, sampaikan salam aja ya sama, Pak Endo."
"Iya, Mbak."
"Oh, iya, kalau kamu udah nggak repot, aku tolong kirimin posisi stok per hari ini ya. Kamu WA aja," pintaku ke Elis.
Kemudian, aku beneran pamit meninggalkan mereka yang masih bersedih atas kecelakaan yang menimpa salah satu pekerja mereka.
Allah, lengkap sudah hari ini.
Daripada aku makin gusar nggak karuan, lebih baik aku segera salat, mendinginkan kemballi hati dengan segala emosi yang tercampur baur seharian ini. Kembali mengingat bahwa semua kejadian tidak akan pernah terjadi tanpa seizin-Nya. Itu artinya, semua terjadi karena ada maksud yang coba Allah sampaikan ke kita. Tinggal kitanya aja paham nggak maksud-Nya apa.
Setelah mengikuti jamaah magrib yang untung aja sempat kukejar, aku duduk sebentar di beranda masjid sambil menunggu grab yang barusan kupesan.
"Orang Cirebon?" Dan, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba mengajakku bicara. Aku menoleh, ada mas itu yang duduk satu meter di sebelah kananku.
Mas itu.
Lagi.
Dia udah nggak pakai jas dokter kayak tadi. Dia beneran berbeda, tadi di kereta dia terlihat stylist sekali menggunakan tuxedo kasual dengan kaos berkerah di dalamnya, semacam dandanan Eskmud zaman sekarang. Tadi, ketika di IGD aku melihatnya menjadi sosok yang lain, sosok yang begitu gagah dengan wibawanya yang terlihat dari kemeja biru laut dan jas dokter yang menyelimutinya. Lalu sekarang, aku melihatnya lagi dengan perawakan yang kembali beda. Celana kain memang sama, tapi dia mengganti kemeja dan jas dokternya dengan baju koko dan sebuah peci. Adem banget kayak ubin yang lagi kududukin sekarang.
Ya ampun, Rind. Masih sempatnya!
"Eh, bukan, Dok," balasku yang mendadak gagu.
Jadi, siapa ya yang tadi di kereta sok-sokan pengin ngobrol banyak dengan mas-mas ini? Sekarang?
"Oh, jadi di Cirebon untuk?"
"Saya ke sini untuk urusan kerja," jawabku, kemudian dia manggut-manggut aja.
"Ini udah ketiga kalinya kita ketemu, kalau nanti ketemu lagi, saya boleh ya minta nomor hape kamu." Aku terdiam nggak menanggapi.
Gini lho gaes, ini aku kaget aja, nggak nyangka pernyataan itu keluar dari orang yang kukira kaku banget macam patung di taman kota.
Dan bodohnya, entah kayak terhipnotis, aku ngangguk. Eh, dia malah terkekeh kecil lalu meluncurkan senyum yang ... astaga, aku mimisan. Gigi ngilu seketika modal disenyumin gitu doang.
"Saya duluan kalau begitu. Assalamualaikum."
Waalaikumsalam! Nyatanya aku masih terbengong meski dia udah jalan keluar masjid.
Bego!
Dan ponselku bordering, satu panggilan dari nomor yang tidak kukenal.
"Iya, Halo?"
"Dengan Mbak Rindu, ya?"
"Iya, saya?"
"Mbak Rindu yang pesan Grab?" Astaga! Aku sampai lupa!
"Eh, iya, pak? Bapak di mana?"
"Saya sudah di depan rs, Mbak. Mbaknya posisi di mana?"
"Sebentar, Pak. Saya kesitu."
Dan, hari ini ditutup dengan kejadian tak kalah konyol. Kamis, terima kasih telah memberikanku berbagai hal meski dengan beragam rasa yang tak bisa kudeskripsikan satu per satu.
Mungkin aku akan mulai suka dengan hari Kamis.
Kamis manis.
❤ Liked by 7783 peoples
RndAKnst ga pengen balik ke Sby. Ga siap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top