29. Rindu yang Halal
Enjoy it.
💐
🌷
💐
🌷
💐
🌷
Tiga hari setelah kami resmi menikah, jelas keseharian hidupku kini berubah drastis. Say good bye to me yang seenaknya sendiri dalam hal merawat tubuh. Nggak ada ceritanya setelah shubuh meluk guling lagi sampai pukul setengah tujuh baru bangun buat siap-siap ngantor. Nggak ada lagi acara nggak sarapan karena ngejar waktu buat berangkat. Dan tentunya, nggak ada lagi sosok Rindu yang acak-acakan seperti yang barusan kusebut.
Menjelma menjadi seorang istri, adalah barang tentu impian sejuta kaum hawa di muka bumi ini. Punya suami insyaAllah sholeh, poin utama di setiap kriteria perempuan pada normalnya. Ganteng, cerdas, dan mapan, adalah bonus dari doa-doa yang selalu kita ikhtiarkan setiap harinya. Katanya, jodoh adalah cerminan diri, bukan? Tinggal lihat aja, seperti apa jodoh yang telah Allah berikan untukmu, ya seperti itulah gambaran dirimu saat ini. Jawaban dari setiap doa itu Allah sudah pasti menjamin. Percaya deh.
Karena aku, sudah membuktikannya.
Hanif Zarchasi, lelaki yang dikirim Allah melalui pertemuan tak terduga yang sama sekali nggak pernah ada dalam bayangan. Itu juga bentuk kasih sayang Allah yang lain, bahwa benar janji-Nya, jodoh itu seperti rejeki, bisa datang dari mana saja dan dari arah yang tak disangka-sangka.
Kadang, kalau teringat bagaimana kami bertemu dulu, aku terkekeh sendiri. Lucu untuk dikenang, dan mungkin akan kuceritakan pada anak-anak kami kelak. Mulai dari tragedi KTP, satu bangku kereta, tentang Cirebon, dan ketika pernikahan Rahayu. Memori itu masih sangat segar di ingatan.
Hingga kini, lembaran foto-foto pernikahan yang sedang kubuka satu persatu ini, menjadi sebuah titik awal yang lain dalam perjalanan kisah kasih kami. Ya, sebuah awal karena memang petualangan yang sesungguhnya tengah menanti kita di depan sana.
Mas, harapku, semoga memang kita bisa terus kuat bersama-sama mengarungi perjalanan yang kata kebanyakan orang, cenderung keras ini. Aku nggak peduli kata orang, Mas. Ayo ciptakan perjalanan versi kita sendiri.
"Rindu, kamu jadi antar makan siang masmu ke rumah sakit?"
Ahhh ....
Suara bunda dari balik pintu kamar membuyarkan lamunanku akan foto-foto pernikahan kami yang sedang kulihat satu persatu ini.
"Jadi, Bun. Udah jam sebelas ya? Rindu siap-siap dulu deh."
"Ya udah. Bunda bantu siapin bekalnya ya, Kak."
"Eeeh, nggak usah, Bun. Biar Rindu aja." Aku segera bergegas berganti pakaian, dan menyusul bunda sebelum benar-benar didahului oleh Bunda.
Bunda tuh orangnya nggak sabaran. Pengin cepat selesai aja bawaannya. Padahal, anaknya kan juga pengin melayani suaminya, Bun.
Jadi, tiga hari setelah kami menikah, sebenarnya cuti kami berdua masih ada. Karena pengajuan cuti kami kan memang lima hari kerja, ngepasin biar genap seminggu istirahatnya. Tapi sayangnya, Mas Hanif dapat panggilan dari rumah sakit untuk segera masuk kembali. Entahlah ada pasien gawat atau ada hal mendesak lainnya aku kurang paham. Dan sepertinya, kejadian begini akan menjadi makanan sehari-hariku nantinya. Jadi, bismillah, yang ngerti ya, Rind. Belajar!
Karena aku masih cuti, kemudian daripada nggak ada kerjaan di rumah. Jadilah aku berinisiatif untuk menghantarkan bekal makan siang bagi mas suami. Tentunya dengan makanan yang kumasak sendiri tanpa campur tangan bunda. Makanya termasuk dalam menyiapkan bekal, aku pun melarang bunda ikut-ikutan. Biar all out sekalian lah. Siapa tahu, dari sinilah salah satu pintu pahala itu mengalir.
"Bun, Rindu berangkat dulu, ya," pamitku pada Bunda setelah pesanan ojek daring telah sampai depan rumah.
"Hati-hati, kalau udah selesai langsung pulang aja. Nggak usah gangguin suamimu kerja."
"Ya ampun, Bun. Baru juga pertama kali nganterin bekal. Udah dibilang gangguin. Bunda ih, bikin kesel deh. Assalamualaikum."
Seperti puas mengerjaiku, Bunda malah terkikik sendiri sambil menjawab salamku. Iya deh, sebahagia Bunda aja lihat anak perempuannya yang terkesan norak.
Memang ada yang aneh dengan diriku?
Apakah seperti ini terlihat berlebihan gaes?
Aku mengenyahkan segala pikiran yang bermacam-macam itu. Meminta driver ojek daringku untuk sedikit lebih cepat sebelum jam makan siang tiba karena bisa dipastikan setelahnya kemacetan tak terelakkan lagi.
Beruntung, semua aman terkendali sampai aku tiba di rumah sakit tempat Mas Hanif kerja. Masih ada lima belas menit sebelum jam istirahat, aku memilih untuk langsung ke poli umum, ruangan Mas Hanif. Antrean depan poli umum masih mengular, mulai dari Ibu-ibu bawa anak sampai pasien berusia lansia. Sehat itu mahal memang, dan baru terasa berharga kalau kita sudah mencicipi rasanya sakit. Maka, nikmatilah waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu datang.
"Permisi, Sus. Dokter Hanif ada?" tanyaku pada resepsionis depan poli umum.
"Ada, Mbak. Mbaknya sudah daftar atau ambil nomor antrian?" katanya.
Aku hanya menebar senyum sebaik mungkin sebelum memperkenalkan diri. "Saya istrinya dokter Hanif, Sus. Cuma mau nganterin bekal makan siang sih."
"Oh maaf, Mbak. Saya nggak tahu. Lagian dokter Hanif nikah nggak ramai-ramai sih. Nggak semua diundang. Selamat ya Mbak atas pernikahannya. Sekali lagi maaf lho, saya beneran nggak tahu, Mbak." Suster yang mempunyai nama dada Agnia tersebut kemudian menyalamiku.
"Terima kasih, Sus. Maaf memang acaranya pengin sakral jadi terbatas untuk kalangan keluarga saja. Yang penting mohon doanya."
Kemudian suster tersebut menawariku untuk menunggu depan poli umum saja.
Aku sengaja sama sekali tidak memberi kabar ke Mas Hanif. Pengin tahu reaksinya kalau aku datang tiba-tiba dan membawakan makanan untuknya.
Beberapa menit kemudian, dari ruangan poli umum keluar seorang suster sambil membawa tumpukan berkas. Namun tidak diikuti oleh sang dokter yang sedang kutunggu itu. Sudah pukul dua belas, dan memang sudah waktunya untuk istirahat. Apa dia masih sibuk?
Baru saja aku mau masuk ke ruangannya, seorang lain lagi menyerobot, mendahuluiku dan langsung masuk ruangan itu.
Itu kan...
Tanpa menunggu lebih lama aku pun ikut menyusul menuju ruangan Mas Hanif. Kuketuk pintu tersebut, setelah mendapat sahutan yang mempersilakan, barulah aku masuk ke dalam.
"Rindu?"
Kaget, kesan pertama yang bisa kutangkap dari gelagat Mas Hanif.
Termasuk dengan perempuan yang membawakan tas berisikan rantang makanan.
Ahh ... Sekarang, aku ingat siapa dia. Yang ngakunya sebagai ahli gizinya Mas Hanif, perempuan entah namanya siapa aku lupa.
"Maaf, aku ganggu ya, Mas?"
"Eh, nggak kok, Sayang. Jam istirahat juga ini." Mas Hanif beranjak dari duduknya kemudian beralih ke arahku.
Aku menahan kotak bekal yang hendak kuberikan kepadanya.
"Kamu bawa makan siang? Kamu kok nggak bilang dulu kalau mau ke sini. Tau gitu kan aku nggak usah pesen Firni."
Oh iya, namanya Firni.
"Hanif, ini ya istri kamu? MasyaAllah, selamat yaa." Firni, perempuan itu mendekat, menyerobot celah di antaraku dengan Mas Hanif. Kemudian ia memberi ucapan selamat ala-ala, cipika-cipiki selayaknya dua perempuan yang begitu dekat.
Aku membalasnya dengan canggung.
"Eh siapa? Rindu kan, ya? Selamat ya Rindu. Maaf kemarin nggak bisa datang ke acara kalian," lanjutnya. Sementara aku hanya menyimpul senyum masam.
"Terima kasih, Mbak," kataku, enggan menyapa namanya. Lagipula, kami tidak sedekat itu untuk saling tahu nama masing-masing.
Maaf lho Mbak Firni, melihat anda berada di dekat suami saya entah mengapa rasa cemburu itu kembali tercetus. Sindrom pengantin baru juga mungkin ya. Entahlah, kehadiran perempuan-perempuan di lingkungan kerjanya, yang mengelilinginya, hubungan kerja yang bagiku terlihat intim, sedikit banyak telah mengusik pikiran ini.
"Hanif, yauda kalau gitu aku cabut dulu, ya. Entar kalau udah selesai seperti biasa taruh di poli gizi aja," pesannya sebelum dia keluar meninggalkan ruangan Mas Hanif.
"Ehem ... Kamu masak apa, Rind?" Merasa suasana menjadi canggung, Mas Hanif berdeham untuk menetralkan.
"Masak biasa aja kok, telur ceplok balado, sama tumis buncis wortel," kataku sambil membuka kotak bekal yang kubawa.
"Tapi kamu udah terlanjur pesan makanan yang bergizi tuh, Mas," sambungku, menyindir rantang bekal dari yang katanya 'teman' tadi.
"Ah, bentar. Tenang aja, nggak bakal mubadzir juga, Kok," katanya.
Kemudian dia tersambung dalam line telepon entah siapa yang memintanya untuk datang ke ruangan.
Cukup singkat, karena beberapa saat setelah itu, pintu ruangan kembali ada yang mengetuk.
Mas Hanif mempersilakan, dan masuklah suster resepsionis depan tadi.
"Sus, ada makanan lebih ini dari Poli Gizi, bawa gih makan sama anak-anak yang lain." Mas Hanif menyerahkan rantang makanan yang sama sekali belum dibukanya itu.
"Waah, kebetulan, Dok. Saya dan anak-anak baru aja mau ke kantin. Nggak jadi deh kalau dapat ini. Makasih ya, Dok. Emang masakan istri itu nggak ada duanya, Dok. Sering-sering ya, Mbak nganterin bekal dokter Hanif. Biar jatah katering Poli Gizinya buat saya."
Aku terkekeh sendiri mendengar penuturan suster tersebut.
"Udah kenal kamu sama istri saya?" tanya Mas Hanif.
"Udah dong, Dok. Walaupun tadi awalnya nggak tahu kalau Mbaknya nggak memperkenalkan diri. Maaf lho, Mbak sekali lagi."
"Nah makanya kenalan, biar lain kali kalau dia ke sini nggak kamu sangka pasien," kata Mas Hanif lagi.
"Ahsiyaaap, Dok." Kocak susternya Mas Hanif ini. "Saya Agnia, Mbak," katanya sambil mengulurkan tangan.
"Rindu," balasku.
"Ya sudah, Dok. Selamat makan siang berdua sama Mbaknya. Saya nggak ganggu, Kok. Sogokan sudah diterima. Di luar aman terkendali. Makasih, Dok. Mari, Mbak," pamitnya.
Sementara Mas Hanif hanya menggeleng sambil menebar senyumnya itu.
"Udah, Makan," pintaku sambil menata bekal di depannya.
"Kamu juga, dong," katanya, yang kutahu sejak kami bersama, dia nggak mau makan sendirian sementara aku hanya sebagai penonton.
Sederhana, tapi manis. Hal kecil begitu saja sudah membuat hati ini gegap gempita, Mas. Kamu memang ajaib atau aku yang terlalu lebay?
"Nggak, Mas. Aku entar aja di rumah. Aku bawa dikit doang. Cuma cukup buat kamu. Bukan serantang macam tadi," kataku, tanpa berniat menyindir.
"Hahaha, kenapa sih emangnya, kayak nggak suka banget sama rantang tadi?" tanya Mas Hanif sambil mulai menyantap bekal yang kubawakan.
Aku nggak terima. "Ih, siapa yang nggak suka. Aku tuh cuma heran aja. Temanmu beneran ahli gizi? Bukan pegawai katering rumah sakit, kan?"
Perkataanku barusan otomatis membuat Mas Hanif menjeda suapan makannya. Dia tersenyum kecil sambil memandangku penuh intens yang justru membuatku bergidik ngeri. "Rind ... Kamu terlalu sarkas, sayang," katanya sambil menyentil pelan keningku.
Iishh... Menyebalkan.
"Mas, aku dulu pernah kuliah gizi even aku nggak kerja di bidang itu pada akhirnya. Aku pernah yang namanya nakar kalori untuk diet para pasien. Aku pernah bikin rancangan diet untuk pasien dengan terapi tertentu. Aku pernah kasih edukasi ke pasien tentang diet yang harus mereka konsumsi. Tapi, aku nggak pernah tuh, sampai nganterin makanan pasien setiap hari. Apalagi nganterin makan siangnya dokter. Itu ada bagiannya sendiri setahuku," kataku bersungut-sungut.
"Rind ... Kamu cemburu lagi? Kemarin Nesya, sekarang Firni?"
"Nggak!"
"Kalau iya, aku seneng sih. Artinya kamu cinta banget sama aku. Iya kan?" godanya, sambil mengerlingkan matanya penuh jahil.
"Iisssh .... Mas!!!"
Aku memalingkan muka, nggak pengin kepergok dan dia tahu bahwa wajah ini memanas karena tersipu dengan segala keisengannya itu.
Sekali lagi, aku terlalu lemah karena mudah luluh oleh hal-hal sederhana seperti yang kamu lakukan barusan, Mas. Tolong, jangan menggodaku lebih lagi.
______segini dulu aja, mon maap______
Lav
😘😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top