28. Menyemai Rindu
Enjoy it!
Yang kudengar pertama kali ketika setitik cahaya berhasil menelusup netraku, adalah kekhawatiran mereka, orang-orang yang begitu menyayangiku.
"Mas, apa nggak sebaiknya Rindu dibawa ke rumah sakit saja?"
"Hanif rasa belum perlu, Bun. Kondisi Rindu tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Rindu hanya kelelahan, Bun. Jadi sebaiknya biar Rindu istirahat saja."
Aku mengerjap pelan, mengumpulkan kembali kesadaran yang sempat hilang entah sudah berapa lama.
"Sayang? Sudah bangun?" sapanya, seorang yang kini berstatus sebagai suamiku.
Guratan cemas itu kentara sekali ketika dia mengusap lembut puncak kepalaku. Aku tersenyum sebentar, memberitahunya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Rind, kamu sudah sadar, Kak?" Bunda yang sedari tadi berdiri di samping tempat tidurku juga tak kalah khawatirnya.
"Rindu nggak apa-apa, Bun," kataku lirih, meyakinkan mereka sekali lagi bahwa aku sungguh baik-baik saja.
"Ya sudah, Bunda keluar dulu, ya. Masih banyak tamu. Nanti Bunda minta adikmu siapin makan untuk kalian."
Bunda keluar, meninggalkanku yang kini hanya berdua saja dengan Mas Hanif.
"Mas ..." Ah, aku baru sadar bahwa jarum infus yang tertancap di punggung tanganku itulah yang menyebabkan rasa nyeri.
"Nggak papa, biarkan sampai habis dulu ya infusnya. Tadi kamu lemes banget, Rind. Sudah empat jam kamu pingsan, jadi perlu rehidrasi. Sekarang apa yang dirasa? Coba bilang sama Mas?"
Aku memandangnya penuh lekat, ketika Mas Hanif dengan telatennya merawatku. Ketika ia mengecek tetesan infus, mengusap keningku untuk memastikan tidak ada demam. Atau ketika ia mengalungkan stetoskopnya dan bersiap memeriksaku kembali.
"Aku nggak papa," kataku, sambil menahannya untuk tidak memeriksaku.
Dia mengernyit, mungkin heran karena penolakanku barusan.
"Ya udah, tapi coba jelaskan, apa yang kamu rasakan tadi sampai kamu kesakitan dan pingsan? Perut kamu sakit lagi?"
Aku mengangguk.
"Kamu lewat minum obat ya?"
Sepertinya iya, karena kesibukan seharian kemarin menjadikanku lupa akan hal satu itu. Ceroboh.
Tapi, sekelebat ingatan beberapa jam lalu kembali muncul. Suatu kejadian yang kusinyalir menjadi penyebab utama tubuhku ambruk. Perempuan yang merupakan sejawatnya itu, kuakui sedikit banyak telah membuatku cemburu.
Aku memandangnya penuh lekat. Apa mungkin orang di depanku ini sedang menyembunyikan sesuatu yang besar? Mungkinkah ia tidak ridho jika pernikahan ini terlaksana? Sementara, melihat perjuangannya kemarin benar-benar menunjukkan sebuah kesungguhan. Suamiku, apa yang sebenarnya tidak kuketahui darimu?
"Kamu mencemaskan sesuatu? Apa yang membuatmu mengganjal, Rind. Sampaikan sekarang. Jangan dipendam sendiri dan justru menjadikan beban pikiran sampai kamu stress kayak gini. Aku nggak mau." Mas Hanif mengelus pipiku, sambil membalas pandanganku dengan teduh seperti biasa.
Aku sendiri yang pernah bilang, kunci dari sebuah hubungan adalah keterbukaan, komunikasi, itu sangat penting bukan? Lalu, mengapa aku justru tenggelam dalam asumsiku sendiri ketika aku tidak juga segera mengkonfirmasi kebenaran hal itu pada si empunya?
"Mas, penyesalan seperti apa yang kamu dan dokter Nesya maksud? Kamu menyesal jadi menikah denganku pada akhirnya?"
Terang saja, Mas Hanif langsung berjingkat kaget, menjauhkan tubuhnya dariku, kemudian mengernyit bingung.
"Jujur aku nggak paham, Rind. Maksud kamu apa?"
Aku menghela napas sejenak, bersiap kemungkinan terburuk yang mungkin saja akan kudengar.
Kemudian mulai menceritakan bagaimana awal mula hingga aku bisa punya pikiran demikian. Tentang obrolan mereka berdua yang kucuri dengar di koridor rumah sakit kala itu. Juga, sebuah percakapan terkesan intim di depan mataku tepat ketika momen bahagia itu baru saja kucicipi. Beberapa waktu tadi.
Mas Hanif yang semula mendengarkan penuh serius, kemudian menjadi terkikik pelan sambil menebar senyum diabetesnya itu. Senyum dengan deretan gigi putihnya yang terlihat, yang membuat kadar gulaku meningkat drastis, tak pelak kadang juga bikin gigiku mendadak ngilu saking manisnya.
Hassh! Kesal.
Aku lagi kesal, ditambah kesal karena dia selalu berhasil membuatku luluh hanya karena senyum manis dan pandangan teduhnya itu.
"Dengerin aku, Rind. Apapun yang ada di dalam kepalamu sekarang tentang semua yang kamu dengar dan kamu saksikan tadi, itu hanya kesalahpahaman aja. Kamu tuh, kebiasaan deh. Suka nyimpulin sendiri tanpa tanya langsung ke orangnya. Jadinya ya begini ini," ucapnya sambil menjawil hidungku tetap dengan tebaran senyum yang kini makin membuatku tak sehat.
Bayangkan, sudah gigi ngilu, kadar gula naik, sekarang ditambah dengan debaran jantung seperti orang selepas lari maraton. Nggak santai! Modal disenyumin gitu doang. Dasar aku.
Padahal, ucapannya barusan belum sampai pada inti penjelasan yang kumau. Tapi aku sudah kadung tunduk untuk percaya bahwa dia memang bukan seperti yang kubayangkan.
"Jadi, waktu itu, aku dapat tawaran buat ikut simposium internasional di Malaysia. Acaranya menggiurkan sih. Karena nggak semua tenaga kesehatan bisa terikut dalam simposium itu. Terlebih, speakersnya juga bukan sembarang dokter karena memang skalanya internasional. Aku pengin banget saat itu. Tapi acaranya dilaksanakan dari awal minggu kemarin sampai akhir minggu ini, tepat di hari yang kunantikan, hari bahagia kita. Awalnya memang aku sudah didaftarkan. Tapi qodarullah, tim pelaksana yang menunjukku sebagai perwakilan RS tiba-tiba membatalkan, dan mengganti namaku dengan seorang dokter yang lebih senior. Ya nggak papa, aku nggak masalah. Meski sebenarnya menyayangkan hal itu sih. Terlepas ada main curang atau yang lain yaaa."
Aku masih menyimak, bagaimana Mas Hanif menceritakan hal itu penuh detail. Tidak ada kebohongan dari matanya, lalu, bagaimana mungkin aku dengan mudah su'udzon pada lelakiku ini ya Rabb.
"Jadi? Gak menyesal?" tanyaku, kali ini berniat untuk menggodanya.
"Awalnya memang iya nyesel banget. Mungkin salah satu penyebab pembatalan pendaftaranku karena aku nggak segera mengiakan tawaran itu. Aku pengin ikut apalagi waktu itu aku lagi galau-galaunya karena kamu juga membatalkan rencana pernikahan kita. Tapi yang namanya rencana Allah itu emang nggak bisa ditebak, sayang. MasyaAllah, kalau aku tahu akhirnya bakal seperti ini, aku nggak akan mungkin galau kayak anak abege begitu."
Kuperhatikan sekali lagi mata indah dengan pupil hitam legamnya itu. Allah, terima kasih telah menghadirkan dia. Seseorang yang nggak pernah kusangka sebelumnya. Jodohkan kami sampai nanti, sampai akhir.
"Jika itu yang kamu jelaskan, aku menaruh rasa percayaku yang begitu besar kepada, Mas. Tolong, jangan pernah kecewakan aku."
Dia kembali senyum sekilas, lalu tanpa tedeng aling lagi, satu kecupan manis itu sudah mendarat di keningku, terjeda beberapa detik. Deru napasnya begitu terdengar, seolah kami saling menyalurkan energi masing-masing, kemudian meleburkan menjadi satu. Aku, kamu, kini tidak ada lagi. Kita, satu frasa beragam makna, namun punya satu tujuan yang sama. Surga.
"Kalau kita sholat sunnah dua rekaat, kamu udah cukup kuat nggak?" tawarnya, sambil bangun dari posisinya semula.
"Nggak ada yang lebih indah, selain menghaturkan rasa syukur kita kepada-Nya, setelah apa yang kita lewati kemarin. Aku nggak sakit, Mas. Lepasin infusnya, ayo kita tunaikan."
"Dilanjut dengan ibadah sunnah yang lain? Boleh?" katanya sambil mengerlingkan matanya penuh jahil.
Hmmm?
"Mass?" Meski aku paham sepenuhnya apa yang dia maksud, tapi, ah, aku malu menceritakan hal itu.
"Kalau kamu masih lemes, nggak papa kok. Nggak usah dipaksa, istirahat saja setelah itu," ucapnya lembut, tapi kutahu tersirat rasa kecewa dari pancaran matanya.
Hahaha, mengerjai tukang jahil memang asyik.
Kali ini, giliran aku yang tanpa aba-aba memeluknya dari belakang ketika ia hendak beranjak mengambil wudhu.
"Kalau itu titah suamiku, punya hak apa aku untuk menolak? Kalau dengan itu terlimpah pahala, bagaimana mungkin aku akan melewatkan? Kamu tahu, Mas. Seorang pasangan mungkin saja belum saling jatuh cinta sampai ijab kabul itu selesai terucap. Tapi, ketika mereka menyatukan diri dalam sebuah ikatan halal, katanya tidak ada yang lebih indah dari itu. Aku pengin merasakannya."
"Jadi, kamu belum mencintaiku?"
"Bibit-bibit cinta itu tentunya sudah ada. Kalau belum, mana mungkin aku menerimamu kan? Mana mungkin semua drama itu terjadi. Tapi, kini saatnya kita menyemai bibit-bibit itu, dan merawatnya hingga ia tumbuh beranak pinak menjadi cinta luar biasa. Gimana?"
"Kamu terlalu banyak prolog, sayang. Cepat ambil wudhu. Kita buktikan selanjutnya."
Maka yang terjadi setelah itu, biarkan kami berdua yang merasakan sendiri. Itu rahasia sayang. Tapi ketahuilah, menyemai cinta halal itu nikmatnya luar biasa. Jadi, tunggu apa lagi?
Hihihi.
_______selamat kembali merindu_____
Lavvvv
😘😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top