27. Rindu Hari Yang Tak Bisa Dideskripsikan
Hai hola, tekan 🌟 dulu, kuy
And
Enjoy!
🌻🍀🌻🍀🌻🍀
Pernah nggak sih kalian berada di suatu masa di mana kalian nggak bisa merasakan emosi sama sekali?
Mengutip salah satu quote di novel Sunflowers kesukaanku, Puncak Perasaan seseorang itu adalah ketika ia tidak bisa mendeskripsikan apa yang ia rasakan karena ada kata saking turut menyertai di depannya. Contoh, saking marahnya, saking sedihnya, saking harunya, saking bahagianya, dan mungkin saking nggak tahu lagi mau menceritakan bagaimana. Yang jelas apa yang sedang aku alami sekarang adalah suatu akumulasi rasa yang melebur menjadi kompleks definisi tentang rasa itu sendiri.
Aku bahagia, banget. Haru, bukan lagi. Tegang, udah nggak aturan bagaimana jantungku harus bekerja ekstra untuk tetap kalem meski nyatanya deg-degan yang kualami nggak bisa santai. Bingung, itu pasti, karena bingung harus mengurus kembali semua hal yang kukira sudah nggak mungkin untuk terjadi. Kalang kabut, pengin nangis, teriak, jadi satu tumpah ruah di hari itu. Sehari berselang ketika proposal kedua itu dia lantangkan di depan banyak orang.
Aku menerimanya, benar. MasyaAllah aku pun nggak tahu bagaimana hatiku tiba-tiba bergerak untuk mengiakan tanpa keraguan sekali lagi. Hatiku mendadak menjadi yakin dengan sosok lelaki yang tiba-tiba datang di restoran malam kemarin. Permintaan langsung dari mamanya, sosok yang sudah kuanggap sebagai ibu kedua setelah bunda. Sosok yang kemarin sempat membuatku meragu, lalu dengan tulus memintaku untuk putranya.
Ah ...
Allah Maha membolak-balikkan hati manusia, itu nyata dan benar adanya. Mungkin doa-doa yang selalu kita lantunkan benar didengar langit lalu dipertemukan dalam suatu momen yang nggak akan pernah bisa kulupa.
Bagaimana pontang-pantingnya hari ini. Pengurusan izin kembali yang serba mendadak. Apalagi tepat di hari Jumat, biasa dikenal sebagai hari pendek. Segala urusan perkantoran pasti nggak bisa semaksimal hari kerja lainnya. Terlebih ketika kami mengurus segala hal di KUA yang berkaitan dengan acara besok. Birokrasi yang belibet, ruwet dan cenderung bertele-tele. Yang menjadi keyakinan kami hanya, InsyaAllah, ketika memang ini adalah jalan yang Allah ridhoi, Allah pasti akan mempermudah semua.
Untuk urusan acara besok seperti apa, bertempat di mana, kateringnya bagaimana, lantas undangan yang kadung dibatalkan itu bagaimana, kami hanya mampu pasrah kepada keluarga dan kerabat kami yang dengan ikhlas membantu semuanya.
Kami pasrah. Ya, aku dan Mas Hanif sudah nggak bisa mikir lagi besok tuh mau bagaimana. Atau mungkinkah acara besok bisa terjadi dengan persiapan tak kurang dari 24 jam dari sekarang ini?
Hanya Allah yang bisa memampukan. Itu yang kami pegang.
"Ndak bisa begitu seharusnya, Mbak, Mas. Bagaimana pun, berkas-berkas yang sampean ajukan kemarin kan sudah dicabut. Kalau dimasukkan lagi harusnya ya mengikuti prosedur antre dari awal. Schedule kami juga banyak, Mbak, Mas. Apalagi weekend begini. Di bulan besar begini lagi. Siapa yang nggak mau nikah di bulan baik seperti ini? MasyaAllah ini tumpukan berkas-berkas calon pengantin udah nggak kehitung lagi jumlahnya. Kalau ditambah dengan sampean ya ngapunten kita nggak bisa menjanjikan."
Penjelasan dari staff KUA tersebut rasanya mampu membuatku kakiku melemas seketika. Pengin ambruk dan pasrah saja dengan ketetapan-Nya. Seolah seperti mustahil. Semua harapanku luluh lantak dalam sekejap.
"Tetap kami usahakan. Semua ini tetap kami proses. Sampean berdua juga silakan mengikuti rapak sekalian. Cuma teknisnya besok seperti apa itu yang nanti akan kami kabari selanjutnya."
Dengan sisa-sisa keyakinan dan harapan, kami tetap mengikuti serangkaian prosedur dari petugas KUA. Melengkapi berkas-berkas yang kurang, menjalani rapak seperti kebanyakan calon mempelai lainnya, dan proses administrasi yang lain. Seharian penuh, rasanya udah nggak karuan lagi.
Debaran yang meletup-letup, yang seharusnya bisa kami rasakan selayaknya orang yang sedang menyambut hari bahagia dengan sukacita, nyatanya tidak demikian dengan kami berdua.
Cenderung khawatir bahwa apa yang kami semogakan nyatanya belum bisa berjalan dengan selaras.
Kami keluar kantor KUA sekitar pukul lima sore jelang magrib. Mas Hanif tanpa babibu lagi langsung melesatkan mobilnya menuju suatu tempat yang nggak kusangka. Alih-alih langsung mengantarku pulang ke rumah, Mas Hanif justru membelokkan mobilnya menuju Masjid Al-Akbar, suatu tempat yang kami berdua idam-idamkan dari dulu menjadi saksi bisu atas pengucapan ikrar janji suci nanti.
Tapi nyatanya, skenario Allah memang nggak ada yang tahu. Drama yang kubuat sendiri, semua rencana yang telah tersusun, kuhancurkan dengan satu kali jentikan jari. Semuanya batal hanya karena aku termakan ego dan bujuk rayu syaiton semata.
Subhanallah. Mengingat semua hal yang sudah kulakukan membuat hatiku kembari teriris perih. Seperti tersayat belati yang menggoreskan luka tepat di sanubari. Begitu bodohnya aku dengan segala hal kenakan yang terus saja kurutuki sampai sekarang.
"Mas, kenapa ke sini?" tanyaku sambil menunduk dengan sisa tenaga yang berusaha kuhimpun.
"Magriban lah, Rind," jawabnya padat.
"Tahu, maksudku kenapa nggak di rumah saja?" tanyaku belum puas dengan jawabannya.
"Pertama, ini sudah mau masuk waktu Magrib. Kita nggak akan tahu kan apa yang akan terjadi ke depan apalagi di jalanan di waktu-waktu penting seperti sekarang. Daerah Waru situ pasti macet, nggak bisa jamin ketika sampai rumah masih kebagian Magrib.
Kedua, aku pengin menghadap Allah langsung di rumah-Nya, Rind. Mengadukan semua yang terjadi hari ini, dan memasrahkan apapun yang akan terjadi esok hari. Pengin curhat, kita i'tikaf sambil nunggu Isya sekalian ya," kata Maa Hanif membuatku tertohok seketika.
"Tapi, Mas. Orang rumah lagi repot mengurusi semuanya. Apa nggak lebih baik kita ikut bantuin?"
"Yakin mereka mengizinkan kita bantu-bantu?" tanya Mas Hanif lagi, yang hanya kujawab dengan gelengan.
"Mumpung masih Jumat, setor Al-Khafi juga belum terlambat kok. Seharian sibuk ngurusin dunia melulu. Gimana Allah mau melancarkan kalau kitanya nggak ingat Dia?"
MasyaAllah, tamparan yang lagi-lagi memaksaku untuk melek dan sadar bahwa nggak seharusnya aku risau dengan semua hal yang akan terjadi.
Masa depan, satu detik kemudian itu rahasia Allah. Kita nggak pernah tahu. Tugas kita hanya bagaimana berupaya untuk terus merayu-Nya dalam ketaatan agar apa yang kita rencanakan diridhoi, dilancarkan, dan berjalan selaras sesuai rencana Allah.
Pada akhirnya aku mengikuti apa mau masku ini. Dengan memasuki pintu yang berbeda, aku memisahkan diri darinya.
Dan yaa, nggak ada yang lebih ngademin hati memang, selain mengadu langsung pada-Nya Dzat yang Maha Esa.
Sembari menunggu Isya, aku membuka mushaf Al-Qur'an dari salah satu lemari penyimpanan di masjid ini. Bermurojaah melantunkan ayat-ayat-Nya sebagai salah satu healing treatment terampuh menurutku. Mengagungkan asma-Nya dalam setiap tarikan napas, itu benar-benar efektif meredakan pening yang melanda seharian ini.
Laa haula walla quwwata illa billah.
🌻🍀🌻🍀🌻🍀
Aku sampai rumah sekitar pukul setengah delapan malam. Rumah sudah ramai, dari tetangga komplek dan saudara-saudara sudah pada banyak yang ngumpul untuk bantu-bantu. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk menggelar acara sederhana saja di rumah karena kalau mau mengatur semua keperluan acara dari awal sudah pasti nggak akan nutut waktunya.
Yang terpenting adalah prosesi akad esok hari. Entah setelahnya bagaimana, itu bukan menjadi prioritasku saat ini. Tapi, tidak dengan para sesepuh yang tetap ingin kekeh ada hajatan walau sederhana. Jadilah sekarang mereka terlihat repot mempersiapakan apapun mulai dari pasang tenda, mendekor pelaminan, bahkan soal katering.
"Assalamualaikum, Yah." Aku menyalimi Ayah begitu turun dari mobil. Mas Hanif juga begitu, ikut menyusulku setelah memastikan mobilnya terkunci.
"Gimana? Beres?" tanya Ayah langsung pada intinya.
Iya, maksud Ayah adalah tentang pengurusan berkas-berkas tadi, dan kejelasan acara besok lebih tepatnya.
"Alhamdulillah, Yah. Tadi memang sempat bersitegang sebentar dengan petugas KUA. Tapi pada akhirnya mereka bersedia untuk memproses kembali berkas-berkasnya." Mas Hanif menjelaskan ketika Ayah meminta duduk di salah satu kursi yang sedang ditata.
"Alhamdulillah, terus besok akadnya jam berapa?" Terlihat sekali guratan khawatir yang tercetas jelas di raut wajah sepuh beliau.
Ah Ayah ... Membuatku tiba-tiba mellow kala mengingat InsyaAllah ini adalah malam terakhir beliau mengemban tanggung jawab besar atasku.
Ayah ... The One, and only King of my heart, ever.
"Nah itu yang mau Rindu sampaikan, Yah. Karena kami bisa dibilang menyela antrian. Jadi kami nggak kebagian jam sebenarnya. Pilihannya hanya yang terpagi atau yang paling terakhir. Rindu sama Mas milihnya sih yang terpagi, jam setengah tujuh. Karena kalau paling terakhir kesorean, ba'dha Isya. Gimana menurut Ayah?" jelasku tentang acara akad besok.
"Ya nggak papa. Lebih pagi lebih baik. Jangan ditunda-tunda lagi. Ayah kabarin Bundamu dan yang lain kalau gitu," jawab Ayah.
Kami berdua, aku dan Mas Hanif baru mendapat kabar dari KUA setelah sholat Isya tadi sewaktu perjalanan pulang ke rumah. Pihak KUA menyampaikan kalau sebenarnya kami sudah nggak kebagian slot untuk melakukan akad pada hari Sabtu esok. Tapi mereka menawarkan pilihan demikian, dan tanpa pikir panjang lagi, kami berdua langsung mantap untuk mengiakan pilihan pertama yaitu yang terpagi dengan catatan tidak ngaret karena pukul tujuh tepat, pihak KUA harus segera melesat ke tempat yang lain.
Huuftt, baiklah. Semoga memang tidak ada kendala dan halangan apapun lagi.
Aamiin.
"Hanif bisa bantu apa, Yah?" tanya Mas Hanif sambil melihat sekeliling, orang-orang yang ramai menata semuanya. "Mas, bisa dibantu?" Mas Hanif langsung ikut turun tangan membantu mas-mas perewang dari pihak dekorasi.
"Mboten usah, Mas. Calon manten lenggah mawon." Aku terkekeh kecil melihat ekspresinya yang kecewa karena penolakan tersebut. Sambil menggeruk tengkuknya yang kuyakin sama sekali tidak gatal.
Hahaha, selalu ada saja hal-hal yang kamu selipkan di tengah ketegangan yang sedang terjadi. Menjadikan kami yang semula spaneng bisa sedikit rileks.
"Wes kamu pulango, Mas. Nggak usah ikut usung-usung begituan. Sampaikan ke Mama Papa kalau memang besok akadnya pagi. Kamu juga istirahat. Nggak usah mikirin yang di sini. InsyaAllah semua bakal ter-handle," pesan Ayah.
"Benar kata Ayah, Mas. Kamu pulang gih. Eh, diantar Ical sama Aufar aja, ya. Aku nggak tega kamu nyetir sendiri pulangnya." Aku menambahkan.
Beneran, di balik pancaran wajahnya yang terlihat masih semangat ingin ikut bantuin ini-itu, tapi kuyakin sekali bahwa dia sudah begitu lelah seharian ini.
"Nggak usah, Rind. Kamu berlebihan deh. Aku pulang sendiri."
"Beneran ini, Mas. Kamu tuh harus istirahat. Besok kudu sampai di sini paling nggak jam enam. Ngeri ah kamu nyetir dalam kondisi lelah penat seharian ngurusin ini itu. Untuk kali ini saja, nurut sama aku tanpa tapi. Oke?" kataku lagi, sambil menautkan dua jariku membentuk tanda ok.
Dan ...
"Adakah alasan lain untuk menolakmu, Sayang?" Dia tersenyum manis seakan pasrah dengan titahku. Terbukti berhasil juga caraku merayunya.
"Massss...."
Astagfirullahhaladzim .... Rinddd. Sabaaar .... Belum juga halal issh!
🌻🍀🌻🍀🌻🍀
Malam ini terasa begitu panjang. Rasanya aku sudah melalui berbagai kegiatan yang melelahkan hari ini. Tapi waktu belum juga bergulir menuju pergantian hari.
Menunggu itu memang terkesan lama. Setiap detiknya sangat terasa. Seolah ingin mempercepat waktu, aku berniat untuk tidur dan melupakan semuanya sementara. Penginnya tahu-tahu ketika bangun ijab qobul itu sudah selesai terucapkan. Sah, halal.
Ah, andai bisa sesederhana itu? Karena nyatanya, niatku untuk segera menyelami mimpi tidak semudah yang kubayangkan. Mata ini justru sangat terjaga. Segala kantuk seolah lenyap. Nahasnya, aku kini justru kembali kepikiran soal hari esok.
Bagaimana besok?
Bagaimana? Bagaimana dan bagaimana, semua pertanyaan itu hilir mudik di kepalaku, berebut minta perhatian.
Prewedding syndrome maybe? I dunno know why!
Di tengah kekalutan yang nggak jelas tersebut, ponselku bergetar, menampilkan nama 'Hanif Zarchasi' di layarnya.
Ya ampun, dia belum tidur? Ini sudah hampir pukul setengah dua belas malam. Setengah jam lagi, Hari H itu akan tiba.
"Assalamualaikum," sapaku setelah menggesar panel hijau di layar.
"Waalaikumsalam, ternyata benar firasatku kalau kamu belum tidur," katanya diujung sana dengan suara yang sedikit serak.
"Nggak bisa tidur lebih tepatnya. And i know, you too."
"Iya bener. Kenapa ya, Yang?" Dia kembali bertanya.
"Nggak tahu, Mas. Aku bukan ahli ilmu tidur."
"Hahaha, kamu ini. Eh, deg-degan nggak?" tanya Mas Hanif setelah menertawakan entah apa yang lucu dari jawabanku.
"Biasa aja!" tukasku, tentunya mengandung kebohongan yang hakiki.
Mana mungkin aku nggak deg-degan. Salah satu alasan mengapa aku nggak bisa tidur juga karena sumbangsih genderang yang bertabuh keras di dalam sana, sedang konser tak tahu waktu dan susah untuk dihentikan. Saling bertalu bersahutan, menggedor dinding jantungku tanpa ampun. Deg-degan nggak tahu diri!
"Astagfirullahhaladzim ... Maaf ya, aku malah nelepon kamu malam-malam begini. Padahal tahu bahwa kayak gini aja kita tuh berhasil dibuyuk rayu oleh setan. Tahu nggak kenapa kalau kita sudah tahu itu dosa tetap aja dilakukan?"
"Kenapa coba?" tanyaku balik.
"Karena yang dosa itu enak. Contohnya begini nih. Berlama-lama teleponan padahal nggak ada bahasan urgensi. Hanya karena pengin denger suara kamu."
Ya ampun!
"Situ sudah tahu pak. Mohon maaf masih diterusin juga ini," sahutku.
"Hahaha. Semoga ini menjadi malam terakhir kita pillow talk berjauhan gini ya, Rind. Karena aku nggak sabar, pengin selalu cerita banyak hal ke kamu, langsung, dan pastinya halal."
"Aamiin. Istirahat ya, Mas. Assalamualaikum."
Aku sengaja menyudahi terlebih nggak pengin jantung ini makin nggak terkontrol karena debaran yang tak kunjung reda.
Pukul oo.oo, selamat pagi hari Sabtu. Mari kita tidur.
🌻🍀🌻🍀🌻🍀
Tidak ada yang bisa mengalahkan rasanya berada pada titik ini. Titik di mana aku nggak bisa mengeluarkan satu kata pun. Telapak tangan yang dingin. Air mata yang ingin keluar dari pelupuknya. Buncahan perasaan ini seperti bom molotov yang meledak dahsyat ketika sebuah kalimat itu pada akhirnya terdengar sendiri di telingaku.
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Sebuah kalimat sakral, sighat qobul tersebut berhasil Mas Hanif lafalkan dengan satu kali tarikan napas tepat sesaat setelah Ayah mengucapkan kalimat ijab sambil menjabat erat tangan Mas Hanif.
"Bagaimana saksi?"
SAHHH!!!
"Barakallahu laka wa baraka 'alayka wa jama'a baynakuma fii khair."
Tanpa aba-aba lagi, air mata ini sudah menganak sungai membahasi pipiku yang tersapu rias tipis pagi tadi.
Haru, bahagia.
Ah, entahlah.
Alhamdulillah. Tiada Puji selain bagi-Mu ya, Rabb. Allah subhanahu wa ta'ala.
Seruan syukur dari para hadirin yang turut menjadi saksi atas ikrar suci kami tersebut sudah nggak bisa lagi kugambarkan. Allah .... Terima kasih atas segala nikmat-Mu yang tak terhingga ini.
"Mempelai wanita silakan mendekat untuk duduk di samping mempelai pria."
Aku kemudian menghampiri Mas Hanif dan mengambil tempat untuk duduk di sampingnya.
Dia memandangku sekilas dengan pandangan teduhnya yang kali ini lebih dari biasanya sambil melemparkan senyuman seratus kali lebih manis.
Ah, diabetes seketika, Mas.
Jangan menatapku seperti itu.
Mas Hanif mengulurkan tangan kanannya, dan aku meraihnya dengan sedikit gemetar. Mengecup punggung tangannya dengan penuh takdzim. Punggung tangan dari seseorang yang kini telah resmi menyandang status sebagai suamiku. Seseorang yang berani-beraninya mengambil alih tanggung jawab ayah atasku. Seseorang yang memindahkan surgaku padanya.
Mas Hanifku.
Dia mengelus lembut puncak kepalaku sambil mengucapkan doa barokah. "Allaahumma innii as-aluka khayraha wa khayra maa jabaltahaa ‘alaihi wa a’uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa ‘alaihi."
Aamiin.
Acara dilanjutkan dengan pemasangan cincin di jari masing-masing. Disusul dengan penyerahan mahar. Dan tentunya tanda tangan buku nikah sebagai bukti sah bahwa kamu telah resmi halal.
Yey!!!
Tidak ada foto yang lebih indah dari sebuah foto pamer buku hijau ini. Akhirnya, aku bisa menerbitkan sebuah buku yang menjadi idaman banyak orang. Buku hijau keramat.
"Acara selanjutnya yaitu prosesi sungkeman. Mohon kepada kedua mempelai untuk bersiap mengambil tempat di depan ayahanda dan ibunda tercinta."
Sesuai instruksi dari master of ceremony, kami menjalani setiap rangkaian acara serba dadakan ini. Meskipun begitu, aku bersyukur bahwa acara ini bisa tetap sakral dan penuh hikmat sepanjang acara belangsung.
Kami duduk menghadap Ayah dan Bundaku terlebih dahulu, sungkem untuk meminta restu dan ridho mereka atas pernikahan yang akan kami jalani ke depannya.
Tangis dan senggukan dahsyat secara otomatis tumpah ruah ketika aku mohon ampun kepada Bunda. Bahwa selama kurang lebih dua puluh lima tahun ini, aku belum cukup berbakti dan belum cukup membahagiakan dua orang yang sudah mempertaruhkan apapun selama aku hidup. Dua orang yang Allah amanahi untuk membesarkan aku sebaik ini.
Kalian telah menuntaskan amanah itu, Yah, Bun. Tapi aku belum membalas semuanya, dan mungkin nggak akan pernah lunas balasan yang kuberikan untuk segala kasih sayang kalian selama ini.
Ayah .... Bunda .... Terima kasih, karena tanpa kalian, aku bukanlah Rindu Amaya Kinasthi yang bisa sampai di titik ini.
Tetaplah sehat, sampai nanti. Sampai akhir.
Ah, nggak tahu lagi harus bagaimana. Apalagi ketika Ayah berpesan kepada Mas Hanif dengan suara yang bergetar.
"Titip anak Ayah ya, le. Bimbing ia menuju ridho-Nya. Jangan pernah lelah menegurnya jika anak ayah ada salah. Tolong jangan sakiti dia ya, le. Ayah nggak bisa melihatnya menangis. Ayah percaya kamu adalah orang yang tepat. Tolong pegang baik-baik kepercayaan ayah ini, le."
Hah! Ayah ....
Mas Hanif pun nggak bisa berkata banyak. Sebuah anggukan dari Mas Hanif dan pelukan dua lelaki terhebatku itu makin membuatku tak henti menangis.
Kini kami beralih menuju Mama dan Papa. Dua orang yang dari kemarin belum kutemui sama sekali. Dan baru hari ini aku kembali bertemu dengan mereka. Orang tua keduaku, baktiku yang lain selain Ayah dan Bunda. Surga dari suamiku yang turut tak bisa kulawan sejengkal pun. Mama.
"Rindu mohon maaf atas segala khilaf dan kesalahan Rindu kepada Mama. Mohon restu Mama untuk pernikahan Rindu dan Mas Hanif, Ma. Bimbing Rindu untuk bisa menjalani peran istri terbaik bagi Mas Hanif. Jangan pernah lelah menegur Rindu jika Rindu lalai dalam hal apapun, Ma."
Tanpa dinyana, alih-alih mengelus puncak kepalaku, Mama Ratih justru ikut membungkuk dan memelukku begitu erat dengan senggukan tangis yang begitu keras.
"Maafin Mama juga Rindu. Maafin Mama sudah jahat sama kamu. Mama salah. Mama bukanlah ibu yang baik. Mama percaya kamu bisa memperlakukan anak Mama jauh lebih dari apa yang mama lakukan. Mama merestui kalian, sayang. Ridho Mama dalam setiap langkah yang akan kalian jalani. Jadilah istri yang shalehah ya, titip anak laki-laki Mama satu-satunya." Mama mengecup keningku lama. Cukup membuatku hilang kata bagaimana deskripsi perasaanku saat ini.
Allah maha membolak-balikkan hati manusia.
Sekali lagi. Hal itu benar dan nyata.
🌻🍀🌻🍀🌻🍀
Resepsi digelar sederhana dan kecil-kecilan. Yang berhasil kami undang kembali di H-1 kemarin adalah orang-orang terdekat kami yang memang memiliki keterikatan yang sangat erat.
Dengan panggung pelaminan yang minimalis, kontras dengan gaun pengantin yang kami kenakan, ah tak apa. Meski semua ini jauh dari definisi pernikahan impian ala-ala negeri dongeng, tapi yang terpenting menurutku adalah kesakralan dan keabsahan status kami berdua. Saah! Mutlak, nggak ada yang bisa menawar lagi.
Yang membuatku lagi-lagi terharu adalah ketika anak geng esempe bisa hadir komplit berempat, Rahay dengan perutnya yang membuncit karena kehamilannya sudah masuk trimester akhir, Arini, Diva dan Fita. Ah, mereka.
"Selamat ya, Bray. Akhirnya ya kaaan. Akhirnya doa kita di pelaminan Rahay pas itu benar-benar didengar Tuhan. Jadilah kalian berdua beneran sah, cieee," celetuk Arini dengan keantusiasan seperti biasa.
"Gek wes ndang nyusul kasih kami ponakan cek kamu melu ngrasakno dadi mamud, Rind." Kini, Diva ikut nimbrung.
"Heh, kejauhen. Wes ta, ngerasakno rasa bulan dikasih madu ae disik. Sing penting alon-alon ya, Mas Hanif. Ojok gaspol ae lho." Yang ini tentu si Fita.
Grrrr. Gelegar tawa langsung pecah menggoyang panggung pelaminan kami.
Mereka itu benar-benar langka memang, dan nggak akan terganti bagaimana bentuknya juga.
Dilanjutkan dengan adik-adikku yang juga nggak mau kalah dengan tamu undangan lain. Ical, Aufar, Zia, Kina, turut mengajak mbak-mbaknya Zira dan Vanya berebut mengambil jatah sesi foto terlebih dahulu.
"MasyaAllah, selamat ya, Mbak. Akhirnya Mbak Rindu resmi jadi mbaknya Kina." Kina memelukku erat, ditambah dengan Zia yang turut memelukku juga. Ah, dua adik perempuanku.
"Selamat ya, Rind. Barakallah, semoga Allah melimpahkan berkah atas pernikahan kalian. Selamat Mas Hanif," Zira bersama suaminya, turut memberikan ucapan.
"Sayangkuu, selamat yaaa, doain aku cepet nyusul." Pun dengan Vanya yang seperti biasa, cemprengnya mengundang perhatian banyak orang, memelukku posesif dan mengecupiku. Tentu dengan pacarnya yang juga memberikan selamat.
"Terima kasih, gek ndang dilamar sepupuku satu ini. Kasihan, dia aja yang belum sold out," kataku mencandai pacar Vanya.
Mereka berlalu, kini gantian yang lain.
Yang membuatku nggak nyangka itu adalah rombongan orang kantor yang datang ramai-ramai di tengah acara resepsi. Sudah hopeless sebenarnya, karena undangan serba mendadak kemarin. Tapi MasyaAllah, aku sungguh terharu karena mereka menyempatkan untuk ke sini memberikan ucapan langsung kepada kami.
"Selamat ya, Rind. Kalau soal pesan-pesan, rasanya nggak akan cukup jika saya sampaikan sekarang. Intinya, jadilah istri yang patuh kepada suami. Apapun itu, jika suamimu Ridho, insyaAllah, yang Di Atas sudah pasti juga ridho." Wejangan dari Abah Baginda Fikri meskipun cukup singkat tersebut, langsung tepat pada intinya. Ah, Abah Fikri, terima kasih, Bah.
Dan, ini, ketika yang datang adalah gerombolan teman-teman sejawat Mas Hanif, kini giliran aku yang mati kutu. Satu gengnya Mas Hanif yang jujur ku tak hapal siapa namanya. "Wohooo, selamat ya ente, Nif. Nggak nyangka akhirnya jadi dihalalin juga setelah kegalauan yang tiada tara. Baek-baek ente, Nif. Ane tunggu Hanif juniornya ya."
"Syukron, rek. Makasih udah nyempetin datang. Terus kapan nih giliran ente-ente pada?" Kelakar Mas Hanif bersama temannya.
Juga, kedua teman perempuan Mas Hanif yang datang bersamaan. Si ahli gizinya Mas Hanif. Dan tentu si dokter kecentilan itu.
"Jadi nyesel nggak nih sekarang, Nif?"
"Ya nggak lah, Nes. Kamu nggak usah macem-macem, Nes. Itu biar jadi rahasia kita berdua."
Deg!
Sampai di sini aku mandeg. Percakapan mereka berdua yang kembali terulang dan kini live terdengar di telingaku.
"Hahaha, kamu bisa ae, Nif. Eh, btw selamat yaaa. Awas sampai nyesel karena nggak mau nungguin aku," kata dokter kegenitan itu sambil sesekali mengeplak lengan Mas Hanif dengan manjanya.
Oh okay, meski Mas Hanif sudah menghindar tapi interaksi intim keduanya sungguh tak biasa. Aku bisa membaca guratan ekspresi tersebut.
Perih itu kembali muncul beserta segala pikiran negatif tentang hubungan keduanya.
"Hai, Rindu. Keasyikan sama nih orang sampai lupa kalau ada istrinya. Selamat ya, Rind. Akhirnya ada cewek yang bisa menaklukan hati si bujang lapuk ini. Sleding aja kepalanya kalau dia sampai berani macam-macam. Hahahaha."
Dengan sedikit paksaan, aku berusaha turut dari berbagai candaan konyol yang sedang mereka buat.
Apaan sih? Apa lucunya?
Jayus.
Please, jangan merusak hari bahagiaku.
Tapi sepertinya telat, aku nggak bisa mengontrol emosiku. Entah kali ini karena apa, tiba-tiba perutku kembali merasakan sakit yang begitu hebat.
Aku mencekaram gaunku, dan merasakan sensasi dingin dari keringat yang tiba-tiba mengucur di pelipis.
"Masss...." rintihku kepada Mas Hanif.
"Eh, Rind. Kamu kenapa???"
Kali ini aku hanya mampu meringis sambil menggeleng.
"Hei, Rind ... Rindu, Rindu...."
Setelah itu aku nggak bisa mendengar kelanjutannya.
_______selamat merindu kembali_____
Lav
😘😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top