26. Rindu untuk Kedua Kalinya
Tekan 🌟 dulu kuy ...
🍊
🍓
🍊
🍓
🍊
🍓
Lusa, hari itu akan tiba. Jika bisa aku meminta, bolehkah aku meng-skip Sabtu esok? Aku nggak ingin melewatinya. Bahkan, aku nggak bisa membayangkan, bagaimana bisa bertahan di hari yang seharusnya menjadi hari bahagiaku, tapi justru berubah menjadi awan kelabu yang nggak akan pernah kulupa seumur hidup, mungkin.
Bahkan seharusnya, hari ini aku sudah cuti dari kerjaan. Tapi buktinya, aku malah sok menyibukkan diri di dalam kubikel untuk membunuh perih yang masih saja terasa hingga saat ini. Dalihnya sih menolak ingat tentang Sabtu lusa yang begitu mengerikan. Huh! Tetap saja nggak mempan. Buktinya, aku tetap kepikiran meski tumpukan berkas-berkas audit di depan mata sudah melambai minta dibelai.
Tanggapan orang-orang kantor soal batalnya pernikahanku memang nggak begitu heboh. Mungkin saking prihatinnya melihat jalan hidupku yang begitu miris sehingga mereka urung mengeluarkan semua kejulidannya. Termasuk si biang julid Via, yang biasanya begitu antusias mengomentari hidup orang, tapi ketika mendengar aku batal menikah, dia justru menjadi makhluk teranteng sejagad raya. Yang lain seperti Mbak Tyas atau bahkan Sherly sih masih turut menanyakan dan memberikan support kecil seperti ucapan 'sabar' dan kata-kata penenang pada umumnya. Justru yang membuatku heran adalah si Via Mollen ini, dia sama sekali nggak mengeluarkan cerocosnya sedikit pun untuk mengomentari perihal ini. Ketemu aku di toilet aja cuma senyum kemudian cepat-cepat pergi, lebih terkesan menghindari tatap muka denganku lebih tepatnya. Entah kenapa ya, tapi ya sudahlah. Aku nggak cukup energi untuk memikirkan hal-hal seperti itu.
Energiku telah terkuras habis untuk menyokong diriku sendiri agar tetap kuat melewati hari-hari kritis yang mau nggak mau harus tetap aku lalui.
Sudah pukul lima sore, kantor mulai sepi. Anak-anak sudah pada bubaran sejak setengah jam yang lalu. Tapi, aku justru masih betah di sini, enggan pulang karena pasti pikiranku kembali menyiarkan hal-hal menyakitkan itu.
Oh, kalau memang tidak ada cara untuk meng-skip hari, bolehkah aku berharap agar amnesia sesaat? Rasanya aku pengin menjedukkan kepala ke tiang listrik atau ke apapun yang bisa membuat ingatanku hilang seketika. Dengan begitu, setidaknya aku tidak perlu bersusah payah membunuh semua ingatan mengerikan itu, bukan?
Tolong kasih tahu aku cara yang lain jika ada!
"Rindu? Kok belum pulang?" Aku terperanjat begitu satu suara tiba-tiba membuyarkan lamunan.
"Loh? Eh, Mas Luthfi?"
Masih ingatkah kalian dengan sosok orang ini?
Iya, Mas Luthfi Hulaefi. Seseorang yang pernah .... Ah, sudahlah. Yang kuheran, kenapa dia bisa ada di kantorku?
"Sorry bikin kaget. Tadi habis dari Koh Marcus konsultasi PO*, biasa lah," jelas Mas Luthfi.
[*: Purchase Order]
Koh Marcus itu adalah manager si Via, manager Purchasing di kantorku yang juga merangkap sebagai manager Purchasing lantai tiga. Jadi, seperti wajar bahwa anak-anak Purchasing lantai tiga sering keluar masuk kantorku hanya untuk menemui Koh Marcus.
Masalahnya adalah selama ini bukan dia yang sering wara-wiri ke ruangannya Koh Marcus, tapi anak Purchasing yang lain. Lalu kenapa sekarang tepat sekali? Momennya itu lho, bisa pas banget ketika kantor lagi sepi-sepinya dan aku lagi galau-galaunya.
Maaf, bukan gagal move on itu kembali muncul, bukan. Tapi yang ada, kegalauanku makin akut karena kepalang bad mood melihat penampakan orang ini. Sekalipun, orang di depanku ini nggak bikin salah apa-apa sih. Kesal aja bawaannya. Entahlah.
"Nggak pulang, Rind?" tanyanya. Sementara aku entah kenapa otomatis langsung menyambar tas dan keluar kubikel.
"Ini juga mau pulang kok, Mas. Duluan ya," kataku.
Mas Luthfi justru mengikutiku dengan menyejajarkan langkahnya sehingga terkesan kami keluar kantor bersama.
"Rind, aku nggak tahu mau komen apa soal kabar itu. Aku turut sedih, Rind. Semoga Allah mengganti yang lebih baik lagi," katanya.
Aku tak mempedulikan ia mengoceh. Tapi ia malah menungguku yang sedang absensi di depan mesin finger print lalu kembali mengikutiku setelahnya.
"Padahal, aku bahagia banget ketika dapat undangan kemarin, Rind. Tapi yang namanya takdir itu emang nggak bisa ditebak. Mau sebisa apa kita berusaha, Allah-lah yang berhak menentukan hasil akhirnya. Yang pasti, kamu tetap semangat buat kedepannya, ya."
Seperti tak ada kata lelah, Mas Luthfi terus berceloteh sepanjang kami menuju gerbang keluar. Hingga akhirnya kami tiba di parkiran, dan bersyukurnya momen awkward itu bisa kuakhiri sampai di sini.
"Mas, aku duluan ya. Makasih," ucapku sambil sedikit menyunggingkan senyum basa-basi.
"Don't mentioned it, Rind. Anggaplah itu ucapan dari kawan lama yang sedang merindukan kebersamaan mereka seperti dulu."
Hah! Apa maksudnya coba?
Aku tak menghiraukan lagi ucapan ngawurnya ketika dia melambaikan tangan dan berjalan ke tempat parkir. Ah, sudahlah, nggak perlu diambil pusing. Lupakan Mas Luthfi karena nyatanya dia justru menjadi penyumbang rusaknya mood-ku yang berusaha kutahan mati-matian sedari tadi.
Aku keluar gerbang kantor, berharap Ical sudah menunggu dengan mobilnya yang biasanya sudah terparkir di jam-jam segini. Tapi, aku baru sadar bahwa dia sama sekali belum mengabariku. Biasanya kalau Ical mau jemput minimal pasti mengirimkan WA dengan satu pesan singkat 'otw'. Baru saja aku hendak mengetikkan pesan untuknya, satu panggilan dari Ical membuat ponselku berdering.
"Ya, Cal? Kamu di mana?"
"Maaf, Mbak aku mendadak lembur ini. Server di kantorku lagi down. Mau nggak mau harus kubereskan malam ini juga. Ini aku sama timku nggak boleh pulang sama pak bos. Gimana ya, Mbak? Kamu ngegrab aja ya?"
"Rindu?" Belum juga aku membalas suara Ical di ujung sana, satu tepukan membuatku menjeda obrolan dengan Ical.
"Mammm ... Mama Ratih?" Aku terbelalak tak percaya dengan kehadiran orang di depanku saat ini.
"Mbak? Halo, Mbak? Gimana?"
"Eh, oke Cal. Nggak papa-papa. Gampang abis ini aku ngegrab. Kamu ntar pulang ati-ati. Udah dulu, ya." Kumatikan sambungan dengan Ical lalu kemudian menyalimi beliau yang sedang menungguku menyelesaikan panggilan.
"Mama kok bisa ada di sini?" tanyaku. Sementara beliau justru tersenyum sambil mengelus lembut pipiku dengan mata yang berkaca-kaca.
Ada apa?
"Rind, itu tadi siapa yang ngabari? Ical, ya? Apa Ical nggak bisa jemput?"
"Eh, iya, Ma. Ical lembur mendadak," jawabku merasa canggung.
"Ikut Mama makan mau ya, Rind? Nanti Mama antar kamu pulang."
Sampai di sini aku nggak tahu harus bagaimana. Mau menolak rasanya serba sungkan dan nggak enak hati. Tapi jika aku mengiyakan ajakan beliau, aku nggak tahu harus bersikap bagaimana ketika nanti kami hanya berdua.
Jujur, sebelum ini aku nggak pernah berada di suatu momen yang membuatku bingung harus bersikap bagaimana ketika bersama seseorang. Tapi kini, aku mengalaminya.
Tanpa bisa menolak, Mama Ratih sudah menuntunku untuk masuk ke dalam mobilnya. Kami duduk di kursi belakang bersama dengan driver yang mengemudi. Aku pasrah mau dibawa ke mana oleh orang yang pernah hampir kuanggap sebagai ibu keduaku ini.
Allah, kenapa rasa sakit itu kembali muncul? Nyeri, ketika mengingat perkataan beliau, baik yang beliau sampaikan secara langsung maupun yang kudengar tak sengaja kala itu.
Mataku mendadak perih, hingga buliran air itu tak terelakkan lagi untuk keluar dari kelopaknya. Akumulasi sesak yang tak bisa kutahan lagi.
Aku berusaha untuk tetap kuat dan biasa saja meski nyatanya nggak segampang yang kuucapkan. Kuusap pelan air mata yang menggenang di pelupuk. Semoga nggak terlihat oleh beliau yang sepertinya sedang asyik memainkan ponselnya.
Tidak ada obrolan yang berarti sampai kami tiba di suatu restoran ekslusif. Entah atas dasar apa dan untuk keperluan apa hingga Mama Ratih mengajakku makan malam di sebuah restoran yang bisa kubilang cukup mewah hanya untuk sebuah makan malam sederhana tanpa rencana.
Atau justru, ini sudah direncanakan?
"Makan dulu, sayang." Aku masih ternganga ketika Mama Ratih memintaku untuk menyantap terlebih dahulu hidangan yang baru saja disajikan oleh waitress tersebut.
Sebuah momen makan malam yang tak biasa. Dengan iringan musik jazz di mini stage, lampu temaram yang menggelantung di atas, lilin-lilin kecil yang menyala di setiap meja. Itu semua membuat nuansa makan malam kami terkesan begitu romantis.
"Rindu," panggil Mama Ratih ketika aku sedang fokus menikmati sajian musik di depan sana.
"Eh, iya, Ma?"
"Sudah makannya?"
"Sudah, tapi kenapa sampai dinner begini segala sih, Ma? Rindu kira tadi makan di resto prasmanan langganan Mama."
Mama Ratih hanya tersenyum menimpali candaanku barusan. Beliau justru tampak serius sambil terus memandangku tanpa henti.
Sampai di sini firasatku memburuk. Aku nggak pengin terjadi hal-hal yang sama sekali nggak pernah aku pikirkan sebelumnya. Atau hal-hal yang justru aku hindari mati-matian agar jangan sampai kejadian. Tapi sepertinya ...
"Mama minta maaf sama kamu, Rindu. Mama menyesal telah menyakiti perasaanmu dengan kata-kata Mama yang sama sekali nggak pantas diucapkan itu. Mama mohon maafkan, Mama, Rindu."
Ketakutanku terjadi juga.
"Maa ..."
"Mama salah, sayang. Mama sudah menghancurkan kebahagiaan putra Mama dengan keegoisan Mama sendiri. Mama salah, mengira Hanif akan baik-baik saja dengan permintaan Mama yang bodoh itu. Mama mohon, maafkan Mama, Rindu." Mama Ratih menunduk sambil menggenggam tanganku begitu erat dengan senggukan dahsyat yang secara jelas mengundang perhatian dari meja-meja sebelah.
"Maa .... Maa, tolong jangan seperti ini." Aku mengelus genggaman beliau, berharap beliau menyudahi aksi nekatnya ini.
Aku bingung harus berbuat apa, karena sekarang perhatian mereka semua tertuju pada kami. Aku seolah anak durhaka yang sedang membuat orang tuanya menangis.
"Maa .. sudah. Jangan begini, kita dilihatin orang, Ma," kataku menenangkan beliau.
"Biarin saja Rindu!!! Biar semua orang tau kalau Mama adalah calon mertua yang kejam! Mama tega nyakitin kamu yang sudah begitu baik dan tulus terhadap anak Mama. Mama baru sadar bahwa keegoisan Mama ini justru menjadi bumerang. Anak Mama justru sangat tersakiti karena semua ini, Rindu. Tolong ... maafkan, Mama."
Kali ini bahkan Mama Ratih bersimpuh di depanku sambil terus menangis. "Ya Allah, Mama, nggak gini. Bangun, Ma." Jelas aku langsung ikut tertunduk dan memapah beliau agar kembali duduk di kursinya.
Ini bukan inginku, Ma. Demi Allah aku tidak menginginkan Mama sampai memohon-mohon kepadaku seperti ini.
"Rindu, tolong maafkan Mama," kata beliau lagi sambil terus terisak dan menggenggam tanganku.
"Rindu sudah memaafkan, Mama. Mama nggak salah. Rindu sama sekali nggak pernah marah sama Mama. Sudah ya, Mama minum dulu."
Aku memberikan segelas air putih yang masih utuh milik beliau tadi. Setidaknya beliau tidak menolak dan meneguknya hingga setengah. Berharap setelah ini Mama Ratih lebih tenang dan tidak mengejutkan seperti tadi.
Jujur, aku nggak pernah menyangka jika Mama Ratih akan sedemikian nekatnya hingga bertekuk lutut di hadapanku. Subhanallah, sungguh aku sama sekali tidak menginginkan beliau hingga seperti itu.
"Rindu ..." Beliau kembali terisak.
"Rindu sudah memaafkan, Mama. Mama jangan gini lagi, ya," ucapku sambil menyeka air mata beliau yang terus mengucur.
"Kalau kamu sudah memafkan Mama, apa artinya kamu mau untuk menikah dengan Hanif?"
Aku melonggarkan genggaman tangan Mama Ratih. Kami kembali saling terdiam. Hening menyelimuti di antara kami yang sepertinya sedang sibuk bergumul dengan keresahan masing-masing.
"Kenapa diam? Itu artinya kamu belum memaafkan Mama kan, Rind?
Mama tahu kamu pasti masih sakit hati dengan perkataan Mama itu, Rind. Mama tahu itu nggak gampang.
Lalu Mama harus bagaimana, Rind? Katakan sesuatu." Beliau kembali menangis dengan wajah tertunduk yang sudah nampak sembab.
Aku nggak tega.
"Ma, Maafkan Rindu. Demi Allah Rindu sudah memaafkan Mama. Tapi untuk kembali mengiyakan niatan nikah tersebut tidak serta merta Rindu bisa, Ma. Ada banyak pertimbangan lain yang membuat Rindu tetap tidak bisa menikah dengan Mas Hanif dengan atau tanpa Mama meminta maaf seperti ini."
"Pertimbangan apa, Rind? Mama tahu betul kamu begitu sakit hati akan perkataan Mama. Mama tahu kamu membatalkan semua itu karena nggak mau Hanif durhaka kepada Mama kan? Mama mohon sekali sama kamu. Mohon maafkan semua kesalahan Mama, Rind. Berikan Mama kesempatan untuk menebus semua itu. Mama merestui kalian berdua."
"Maafin, Rindu, Ma." Lalu kali ini, pipiku yang justru banjir dengan aliran air mata yang keluar seiring dengan luapan emosi yang tak terkendali.
Perih.
Aku nggak bisa mendeskripsikan bagian ini.
"Mama nggak menuntut kalian punya keturunan atau tidak. InsyaAllah jika memang rezeki, Allah pasti akan mengamanahkan hal itu pada kalian nanti. Semua bisa diikhtiarkan, Hanif benar, Rind. Mama begitu takabur hingga melupakan ada Allah sang Maha dari segala Maha yang bisa saja mengubah suatu ketidakmungkinan menjadi hal yang sangat mungkin.
Tolong terimalah permintaan Mama kali ini, Rind. Tetaplah menikah dengan Mas Hanif. Mama nggak bisa melihat Masmu begitu tersiksa karena kebodohan Mama kemarin."
Apa benar Mas Hanif memang begitu tersiksa? Lalu, apa artinya perkataannya waktu itu?
"Asal kamu tahu, Rind. Sudah seminggu ini Masmu nggak pulang ke rumah. Entah dia nginep di rumah sakit atau numpang tidur di apartemen temannya. Yang jelas, Hanif begitu kecewa dengan Mama. Dia cuma bilang akan pulang jika hatinya sudah benar-benar sembuh. Bahkan Mas Hanif nggak nyuruh Mama untuk minta maaf sama kamu. Ini semua Mama lakukan karena memang Mama tahu Mama salah."
"Tapi, Ma. Rindu dengar sendiri bahwa Mas Hanif senang dengan keputusan yang Rindu ambil. Mas Hanif jadi nggak merasa bersalah karena Rindu sendiri yang membatalkan. Rindu rasa, ini bukan hanya soal Mama kemarin. Tapi Mas Hanif pun menginginkan pernikahan ini batal."
"Itu nggak benar, sayang. Kamu pasti salah paham. Nggak mungkin Hanif bisa bilang kayak gitu kalau dia saja sampai sekarang masih mendiami Mama, Rind."
Aku nggak memberikan komentar lebih. Kami kembali terjeda dalam situasi hening tanpa sepatah kata. Saling tenggelam dalam dilema masing-masing.
Mama Ratih tampak gusar sambil sesekali celingukan ke berbagai arah. Aku mengikuti arah pandang beliau. Siapa sebenarnya yang dicarinya?
"Rindu, coba lihat ke depan sana," ucap Mama Ratih, membuatku patuh mengikuti apa kata beliau.
Sebuah layar LCD besar tiba-tiba menyala. Seperti intro sebuah film dokumenter.
Dan ...
MasyaAllah ...
Untuk kesekian kali dalam beberapa jam ke belakang, aku lagi-lagi dibuat tercengang dan sama sekali tidak menyangka oleh apa yang Mama Ratih lakukan.
Sebuah kolase foto-foto acara khitbah beberapa waktu lalu. Fotoku dan juga Mas Hanif, tersiar secara bergantian satu demi satu.
Dilanjutkan dengan sebuah penayangan video dokumentasi acara khitbah kemarin.
Sebuah video yang merekam bagaimana Mas Hanif memintaku di depan Ayah. Sambutan dari Mas Hanif sendiri, sambutan dari keluarga Mas Hanif yang langsung diwakilkan oleh Papa Ruslan. Suasana tegang penuh hikmah namun masih ada selingan candaan di antaranya.
Semua tentang hari mendebarkan itu, masih sangat segar di dalam ingatanku.
Hari yang mampu membuat hatiku membuncah tak keruan. Satu hari yang mungkin nggak akan pernah kulupa.
Dan di akhir tayangan, aku cukup dikejutkan dengan sebuah foto. Foto kami berdua di acara pernikahan Rahay kala itu. Aku bahkan hampir tidak ingat jika kami pernah berfoto bersama jauh sebelum ini.
Lalu sekelabat ingatan tentang hal itu kembali muncul.
Semoga dan Insyallah kita bakal jadi saudara sepupu ya, Rind.
Dan Mas Hanif mengaamiinkan kala itu.
Pun denganku.
Iya aamiin, doa baik memang harus diaamiinkan.
Tapi ya Allah, sekalipun ini guyonan, hamba tahu bahwa setiap perkataan adalah doa. Siapa tahu malaikat-Mu turut mengaamiinkan. Sekiranya dia baik, ijabahlah doa orang-orang baik ini ya, Rabb.
Ketika aku pernah berdoa demikian, lalu Allah menjawabnya dengan sebuah jawaban yang nggak pernah terkira. Menurut kalian saja? Masihkah aku sanggup mengingkari bagaimana Allah melimpahkan semua nikmat itu tercurah secara cuma-cuma kepadaku?
Sementara aku justru kufur. Menolak lupa dengan semua yang pernah kuminta dan langsung Allah kabulkan tanpa tapi.
Ya Allah.
Masih pantaskah aku menerima rahmad-Mu yang lain?
"Rind, kali ini mungkin bukan Mas Hanif yang akan memintamu untuk menikah dengannya. Tapi, Rind, izinkan Mama menebus kesalahan Mama dengan menyaksikan kalian bahagia atas ikrar suci yang akan diucap oleh anak Mama nanti, Rind."
( Mulmed play on ...)
https://youtu.be/FOnBnhTpe38
Aku spontan menutup mulut. Semua ini benar-benar di luar dugaanku.
Bagaimana mungkin Mama Ratih bisa mengatur semua ini tanpa ada dalang di baliknya.
Mas Hanif?
Mungkinkah?
"Mama?" Aku menoleh ke sumber suara.
Itu bukan suaraku. Tapi ....
"Hanif????" Mama Ratih tampak begitu terkejut dengan kedatangan putranya.
Loh? Kenapa Mama Ratih tampak terkejut dengan kedatangan Mas Hanif?
Aku memang tidak terlalu kaget dengan kedatangannya. Karena dari tadi sebenarnya, aku mencari-cari sosok yang kini berdiri persis di depanku dan Mama Ratih.
"Rind, bukan aku yang menyuguhkan semua acara ini. Aku baru saja datang beberapa menit yang lalu ketika semua tayangan di layar LCD tersebut mulai dimainkan. Ini serius, aku pun kaget bahwa Mama melakukan semua ini karena sebelumnya Mama sama sekali tidak ada obrolan denganku perihal ini. Aku ke sini mulanya hanya untuk memenuhi undangan Papa. Tapi, Ma ... Terima kasih telah mengejutkan Hanif untuk kesekian kali."
"Hanif ...." Mama Ratih terlihat berkaca-kaca saking tidak percaya bahwa di depannya, berdiri sosok yang mungkin sangat beliau rindukan belakangan ini.
Mungkin, memang benar bahwa ini semua murni rencana Mama Ratih. Karena bisa dilihat ekspresi kedua orang berbeda generasi ini sama-sama saling terkejut satu sama lain.
"Karena Mama sudah mengatakan apa yang disampaikan. Kali ini, izinkan aku untuk memintamu lagi ... yang kesekian kali ....
... dan kupastikan ini adalah yang terakhir, Rind." Mas Hanif menjeda, membuat napasku tercekat karena menunggu kelanjutannya.
Jangan katakan itu, Mas.
"Rindu Amaya Kinasthi, di depan Mama dan juga para pengunjung. Saya Hanif Zarchasi, ingin memintamu sekali lagi. Bersediakah kamu menikah dengan saya untuk menjadi istri saya?"
Mas Hanif kembali mengeluarkan kotak cincin yang pernah kukembalikan kepada Mama Ratih.
Aku tergugu di tempat. Diam tak bisa berkutik sama sekali. Mengeluarkan satu kata pun rasanya begitu sulit. Beragam perasaan dan emosi bertubrukan jadi satu di dalam sini. Mereka saling bersahutan menabuh genderangnya, hingga mampu memacu adrenalinku sedikit lebih kencang dari biasanya.
Deg-degan tak keruan sudah tak mampu lagi kubendung. Pengap, sesak, sudah tak lagi berasa saking dahsyatnya debaran yang tak ada hentinya sedari tadi.
Hanya satu kali kesempatan.
Aku telah sampai sejauh ini.
Tapi, bagaimana pun ...
"Terima .... Terima ... Terima ..."
Dan aku menoleh seketika.
Mereka?
Ada tim hore yang entah sejak kapan datangnya sudah nangkring cantik di salah meja di sisi restoran. Entah saking obrolanku dengan Mama begitu serius, atau mereka memang baru menampakkan diri, yang jelas, aku sama sekali nggak menyadari bahwa ada mereka di sisi samping, sedang memberi dukungan pada kami persis seperti penonton bola yang sedang bersorak di Istora.
MasyaAllah ... Mbak Tiqa, Mas Danar beserta Keysha. Rahay??? Ya Ampun ... Rahay dan suaminya, Mas Kenas. Ada Kina dan Papa Ruslan juga.
Mereka...
"Rind, seperti kataku waktu itu. Semoga dan InsyaAllah, kamu akan jadi sepupuku kelak. Tolong jangan gagalkan impianku untuk menjadi saudaramu, Rind. Masih ada waktu untuk mengiyakan lagi. Kali ini ... Mau, ya?" Rahay, dari meja yang berjarak lima meter dari arahku itu, berdiri dan mengatakan dengan lantang.
Rasanya, saat ini juga aku pengin berlari ke arah Rahay dan memeluknya begitu erat.
Kamu tega, Ray!
Tanpa mempedulikan pengunjung yang lain, restoran ini seperti berubah menjadi milik pribadi. Mereka yang juga sedang menikmati santap malamnya, turut larut dalam sebuah drama telenovela besutan salah satu sutradara yang kuyakin adalah satu di antara orang-orang di meja tersebut.
"Rindu, katakan, Nak. Kali ini ... Apapun yang akan menjadi jawabanmu. Kami semua akan menghargai itu. Ini yang terakhir, seperti kata Mas Hanif," ucap Mama.
Sementara Mas Hanif hanya diam sambil menungguku mengutarakan sesuatu.
Sekarang, akhiri atau awali semuanya.
Sekarang.
Jangan ditunda lagi.
Katakan, Rind.
...
...
...
...
"Bismillahirrahmanirrahim, aku ... Mau menikah dengan kamu, Mas Hanif Zarchasi."
Dan tidak ada yang lebih indah selain mendengar tepuk tangan yang begitu riuh dari sepenjuru restoran.
Mas Hanif bahkan meraup wajahnya, kemudian langsung bersujud sebagai bentuk rasa syukurnya.
Sesaat dia lantas memandangku begitu intens. Kami memakukan tatapan itu seolah berbicara melalui mata yang langsung tersampaikan ke dalam hati.
"Terima kasih ..." Sebuah binar haru untuk kedua kalinya, tidak kalah syahdu dengan permintaannya yang pertama dulu.
Bahkan kini .... Mas Hanif ... Merentangkan tangannya, menuju ke arahku hendak ....
"Hehhh .... Heh! Heh! Astagfirullah, Nif. Sing eling! Nyebut! Belum halal juga udah main nyosor aja!"
Rahay datang sambil berlari lalu menengahi kami. Hahahah, sontak kejadian barusan itu turut mengundang gelak tawa para pengunjung yang sedang menyaksikan kami.
Aku memeluk Rahay begitu erat. Untuk kali ini setidaknya, aku tidak ingin menuruti egoku dengan segala hal yang sebenarnya masih menjadi tanda tanya. Untuk kali ini saja, aku pengin menjeda waktu, menikmati setiap momen yang begitu meneduhkan. Membiarkan hormon dopaminku melakukan perannya.
Hah!
Tidak ada yang lebih mendebarkan dari sebuah pernyataan untuk kedua kali. Sebuah rasa yang masih dan justru bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Sebuah rasa atas nama-Nya, cinta di atas cinta yang insyaAllah akan memberi kebermanfaatan bagi kita semua.
Iya, Mas. Mari kita rajut benang-benang asmara itu dalam ikatan halal bernapaskan cinta Ilahi Robbi. Tolong tuntun aku menuju syurga-Nya dengan kasih yang kamu janjikan itu.
Bersama, mencari ridho-Nya untuk bisa mengetuk pintu jannah-Nya.
Bismillahirrahmanirrahim.
....
....
Tapi sejenak aku lupa, bahwa semua acara itu telah aku batalkan.
Semuanya.
Lalu sekarang, aku harus bagaimana?
________
Lav lav
😘😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top