25. Rindu dan Perasaan Ini

💐🌷💐🌷💐🌷

Setelah perang argumen yang cukup hebat dengan Mas Hanif semalam, aku merasa energiku terserap habis saat ini. Hanya tersisa serpihan-serpihan asa yang mungkin saja masih tercecer dalam anganku. Keputusanku insyaAllah sudah bulat, dan semoga marahnya Mas Hanif tidak berlarut-larut.

Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, pun jika ini berakhir, aku ingin mengakhiri dengan sesuatu yang baik. Aku masih ingin menyambung silaturahmi dengan mereka. Bagaimana pun, beberapa bulan ke belakang adalah momen-momen yang nggak akan pernah kulupa. Keluarga yang begitu hangat dengan beragam interaksi di dalamnya. Mereka sungguh memperlakukanku begitu baik selayaknya keluarga sendiri. Sebuah angan yang sempat melambungkanku lalu kini rasanya seperti terempas ke jurang terdalam.

Nggak papa.

Hidup memang seperti itu. Apa yang kita rencanakan kadang memang nggak selalu sesuai skenario-Nya.

Tugasku kini adalah berusaha untuk ikhlas dan membereskan sisa kerusuhan yang kubuat sendiri.

Berusaha menjalani hari-hari dengan biasa saja meskipun kenyataan yang kubayangkan tak biasa. Pertanyaan demi pertanyaan pasti akan memborbardir seiring dengan keputusan besar yang baru saja kuambil. Grup WA geng esempe sudah pasti ricuh karena kabar batalnya pernikahanku. Mereka satu per satu langsung mengontak begitu kukabarkan bahwa acara minggu depan tidak jadi terlaksana.

Arini memarahiku habis-habisan. Fita menodongku dengan ribuan pertanyaan yang nggak bisa kujawab. Diva pun demikian. Hanya Rahay yang mungkin tidak turut memberikan komentar terkait hal tersebut. Pasalnya, Rahay adalah sepupu Mas Hanif, sudah pasti ia lebih memilih memastikan kebenaran kabar tersebut pada keluarganya.

Sementara dari pihak keluargaku, mereka memilih diam tak banyak menanggapi. Mungkin Bunda dan Ayah yang meminta mereka untuk memberiku ruang dan waktu sendiri. Meskipun desas-desus para budhe, tante, om, dan sanak saudara yang lain tetap terdengar pelan di telingaku.

Adik-adikku di Malang, Zia dan Kina pun langsung meneleponku begitu kabar itu merebak. Kina bahkan sampai menangis, memohon-mohon agar aku mengurungkan niat tersebut. "Mbak Rindu tega sama Kina. Apa Mbak Rindu beneran nggak mau jadi kakak Kina? Tolong abaikan perkataanku waktu itu soal cari yang lain, Mbak. Apapun masalah di antara kalian, tolong jangan batalkan pernikahan itu," kata Kina diiringi senggukan yang jelas terdengar.

Hahaha, aku masih bisa terkekeh kecil saat Kina teringat dengan guyonannya waktu kami berkunjung ke Malang. Ketahuilah, Kina, bahwa keputusan besar ini Mbak ambil tidak sesederhana karena guyonanmu kala itu. Kelak kamu akan mengerti.

"Rind, jadi ke rumah sakit?" Zira datang begitu saja dan langsung masuk ke dalam kamarku. Ah, bahkan suara motornya sampai nggak terdengar saking pikiranku yang ke mana-mana.

"Jadi, bentar ya, Zir. Tinggal pakai jilbab."

Hari ini memang jadwalku untuk kontrol jahitan. Rasanya pengin mangkir saja kalau ingat bahwa di rumah sakit itu ada seseorang yang mungkin belum ingin kutemui dalam waktu dekat. Namun, setelah kupikir lagi, untuk apa menghindar? Itu tidak akan menyelesaikan masalah, bukan? Lalu tagline yang kugaungkan untuk 'mengakhirkan dengan baik' apa benar-benar sudah kujalankan?

Rumah sakit itu besar, kemungkinan kami bertemu tanpa saling berkabar terlebih dulu satu sama lain itu masih fifty-fifty. Jadi, nggak perlu diambil pusing.

Namun, semua sugesti yang kubangun sejak dari rumah hingga selesai check-up sepertinya memang tidak berpengaruh banyak. Karena begitu keluar dari ruangan dokter, ketika aku dan Zira hendak ke parkiran lewat koridor, mata ini kok ya jeli sekali. Nahasnya, netraku justru mendapatinya yang tidak sendiri.

Mas Hanif tampak baru saja keluar dari salah satu ruangan yang berada di bangsal ujung koridor tempatku berdiri. Dia tidak sendiri melainkan dengan seseorang yang pernah dikenalkannya sebagai teman sejawatnya kala itu. Mulanya, aku memang ingin segera pergi agar tidak sampai terlihat oleh Mas Hanif. Tapi, begitu melihat kedua orang itu tampak asyik berbincang dengan sesekali candaan yang saling terlempar, entah kenapa aku pengin mencuri dengar obrolan mereka.

"Zira bentar, sini dulu," bisikku sambil menyeret Zira ke balik tembok.

"Kenapa sih, Rind? Ada yang ketinggalan?"

"Ssst, diem," pintaku sambil memberi isyarat pada Zira ketika kedua orang yang kulihat itu kian mendekat ke arah kami.

"Hahaha, lah untung kan, Nif, nggak jadi. Emangnya kamu beneran yakin kalau seandainya jadi?" tanya perempuan itu, yang masih kuingat bernama Nesya.

"Ya nggak lah. Gila aja kamu. Aku nggak siap, Nes. Makanya aku beneran bersyukur bahwa pihak sana membatalkan. Jadi aku nggak gitu bersalah deh," jawab Mas Hanif. Kemudian mereka berdua kembali terkikik seolah hal yang mereka obrolkan adalah suatu kelucuan.

Mmm ... Maksudnya???

Astagfirullahhaladzim.

Maksudnya apa Mas Hanif bilang seperti itu?

Allah ...

Mungkinkah Engkau benar-benar menunjukkan kepada hamba bahwa jalan yang telah kupilih memang tak salah?

"Rind, are you okay? Hei, jangan negative thinking dulu. Kamu tuh cuma dengar sepenggal obrolan mereka, Rind. Kamu jangan mikirin yang aneh-aneh deh. Mas Hanif nggak mungkin kayak gitu," kata Zira menenangkanku.

"Aku lemes, Zir. Duduk bentar ya." Seriusan, rasanya kaki dan sendi-sendiku seperti lepas dari tempatnya. Lunglai, hingga nggak mampu untuk menopang tubuhku ketika berdiri.

Akhirnya aku memilih duduk di bangku panjang sambil menetralkan perasaanku sejenak. Zira menodongkan sebotol air mineral untuk kuteguk. Yang meskipun sudah kuhabiskan setengahnya, rasanya lemas ini tak kunjung reda.

Mungkin memang Zira benar. Potongan obrolan seperti itu terkadang menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dikonfirmasi ke yang bersangkutan. Tapi, nalar dan hatiku sedang nggak bisa berkompromi dengan baik. Hatiku remuk redam mendengar pengakuan Mas Hanif barusan itu. Jika memang yang diobrolkan soal batalnya pernikahan kami, sungguh aku nggak menyangka kata-kata itu keluar darimu, Mas.

"Rind, mau ikut aku nggak?"

"Ke mana?"

"Kamu kan udah lama absen kajian karena ngurusin acara kemarin. Ya aku maklum sih karena kamu sibuk banget. Jadi, gimana kalau kita mulai ngaji lagi? Sama aku. Biar tenang juga hati," ucap Zira.

Subhanallah, kadang diri ini malu kepada-Nya. Dulu jika ada maunya saja, aku begitu rajin ikut kajian rutin bersama Zira waktu awal-awal memutuskan untuk mengenakan hijab. Sekarang, begitu Allah telah melimpahkan rahmad-Nya yang tak terkira, aku seolah lupa. Padahal aku yang butuh, tapi seolah enggan kembali bermesraan dengan Rabb-ku. Mengingat-Nya hanya sekadar melalui kewajiban lima waktu yang kutunaikan.

Kadang, inilah yang membuatku kagum pada Zira. Bagian hijrah paling susah memang bukan di saat kamu memutuskan untuk memulai, tapi bagaimana kamu bisa Istiqomah untuk terus berada di jalan Allah. Itu yang Zira selalu tekankan.

Berada di sinilah aku sekarang, keesokan hari, di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya. Bersama para jamaah lainnya, yang kukira sama saja denganku, haus akan ilmu-ilmu tentang keislaman. Kami memerlukan suntikan rohani, salah satunya untuk menguatkan kembali hati yang sedang rapuh ini. Mencari ketenangan dalam iman dan islam. MasyaAllah.

Rangkaian kajian di Ahad ini memang banyak. Namun aku dan Zira sepertinya sudah melewatkan beberapa acara, karena kami sampai ketika pengisi acara sudah menyampaikan tausiyahnya. Kami langsung bergabung dengan jamaah yang lain, mencari tempat yang sekiranya masih kosong namun tidak terlalu ada di belakang. Sambil mencari posisi duduk yang pas, aku mulai memfokuskan indera pendengaranku tentang materi kajian yang disampaikan.

Entah seolah semesta memang sedang mengajakku bicara, materi yang disampaikan ustadz tersebut adalah bab tentang pernikahan. Hahaha, kadang kebetulan memang selucu itu.

"Jadi, untuk kalian yang akan atau sedang merencanakan pernikahan, sebaiknya perbaiki lagi niatnya. Niat menikah bukan mencari kebahagiaan. Ingat kebahagiaan itu akan otomatis mengiringi ketika niat kita sudah benar. Niatkan semata hanya untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Mencari ridho dan keberkahan-Nya. Harapannya apa? Niscaya dengan suatu pernikahan, relasi kita dengan Allah makin erat. Hati kita makin tunduk kepada Allah. Percayalah, ketika Allah sudah ridho, berkah itu akan mengalir dengan sendirinya. Kebahagian pun akan turut mengirinya tanpa kita minta. Allah yang jamin itu.

Masya ... Allah."

Rasanya hatiku kembali berdenyut nyeri sepanjang kajian berlangsung. Menjadikan kebimbangan itu kembali hinggap mengusik pikiran dan juga batinku.

Allah ...

"Sementara untuk kalian yang masih meragu. Tunggu apa lagi? Tidak ada hubungan yang lebih baik dari dua pasang makhluk Allah berbeda jenis yang sedang dimabuk kasmaran selain mengesahkan dalam kehalalan atau meninggalkannya sekalian.

Halalkan ... Apa yang membuat ragu? Ustadz, saya takut nanti nggak ketika sudah menikah nggak bisa menghadapi masalah. Lahhhh, belum-belum kok sudah takut. Pernikahan itu memang untuk mencari masalah. Justru dengan masalah itu bagaimana kita bisa mengolahnya. Masalah bisa jadi media kita untuk lebih dekat lagi kepada Allah subhanahu wa ta'la. Allah memberikan ujian pernikahan, Allah cobakan itu. Hadapi. Dan Allah akan memberikan hadiah yang setimpal sesuai janji Allah."

"Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah, ujian pernikahan itu bermacam-macam bentuknya. Bahkan ujian calon pengantin pun banyak jenisnya. Ada yang tiba-tiba galau menjelang hari-H karena sifat buruk pasangan mendadak terbongkar. Ada yang punya calon mertua cerewet. Ada yang tiba-tiba salah satu pihak membatalkan. MasyaAllah. Semua itu terjadi atas kehendak Allah.

Kemudian ada yang tanya, lalu kami harus bagaimana, Ustadz?

Istikharah. Minta petunjuk pada Sang Khalik. Ingat, jangan mengambil keputusan ketika kita lagi emosi karena sebagian besar sudah pasti itu syaiton yang menguasai. Tenangkan pikirkan. Renungkan kembali bagaimana kemarin bisa mantap untuk berencana menikah dengan si dia. Perbaiki niat. Dan konfirmasi lagi kepada yang bersangkutan. Jika memang masih bisa dikomunikasikan dengan baik, masih bisa ditolerir dan diselesaikan masalah-masalahnya, tunggu apa lagi? Segeralah menikah. Allah akan mempermudah jalannya. Jangan tergoda bujuk rayu syaiton. Ingat, syaiton itu tidak akan pernah lelah menggoda sampai kita berhasil masuk ke belenggunya. Naudzubillah min dzalik."

Semakin dalam materi itu disampaikan, kilatan ingatan-ingatan tentang Mas Hanif dan semua rencana yang sudah kami susun kembali muncul. Keraguan itu menyusup lagi ke dalam relung hatiku. Sakit. Hingga tidak terasa lelehan air mata ini sudah membasahi pipiku.

"Rind? Kamu nggak papa?" tanya Zira begitu tausiyah yang disampaikan telah selesai.

Aku menggeleng pelan sambil menghabiskan beberapa lembar tissue untuk mengeringkan pipi yang telah basah ini.

Zira kembali terdiam seolah paham bahwa aku cukup dimengerti dengan tidak banyak ditanya. Sepanjang perjalanan pulang pun kami berdua saling tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku dengan segala hal kesemrawutan pikiran yang tak keruan tentunya.

Sampai di rumah, aku melihat ada dua mobil terparkir rapi di depan gerbang. Siapa yang sekiranya bertamu sore-sore begini? Mobil-mobil itu tampak tak asing bagiku.

Namun, belum sempat aku menerka, suara dari dalam rumah membuatku menghentikan langkah di depan pintu. Nahasnya, aku sudah tidak bisa berputar balik, sontak semua sorotan para penghuni ruang tamu mengarah kepadaku.

"Assalamualaikum," sapaku.

Mereka pun sepertinya terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Atau apa mungkin kehadiranku sudah ditunggu-tunggu. Entahlah, yang jelas kini aku menjadi pusat perhatian.

"Waalaikumsalam, kak sudah selesai kajiannya? Zira mana?" tanya Bunda yang duduk di samping Ayah.

"Zira langsung, Bun," jawabku sambil memperhatikan satu persatu orang yang tengah mengisi bangku di ruang tamu ini.

"Duduk, Kak," pinta Ayah.

"Rindu langsung ke kemar saja, Yah."

"Kemarilah, sayang. Ayah mau bicara." Kali ini Ayah kembali mengulang dengan nada yang sedikit tegas namun tetap lembut, menjadikan mau tak mau aku kudu menuruti titah beliau.

Aku beringsut mengambil tempat di samping Bunda. Sedikit risih karena orang di seberangku yang tak hentinya mencuri pandang.

"Nak Hanif dan Om Ruslan ke sini beserta Rahayu, temanmu, nduk, dan suaminya. Ada mbak Tiqa dan suaminya juga. Meminta Ayah untuk tetap melangsungkan pernikahan kalian," kata Ayah.

Sementara pandanganku langsung menuju ke orang yang dimaksud.

"Maaf Ayah, Rindu nggak bisa. Rindu sudah membatalkan semuanya. Jadi pernikahan itu tetap tidak akan terlaksana," ucapku sambil menunduk.

Ada helaan napas berat dari semuanya. Raut kesedihan dan penyesalan begitu kentara terpancar. Rahay yang biasanya jika ketemu aku pasti langsung ramai dengan segala ceriwisnya, kini mendadak berubah menjadi sosok yang pendiam. Pun dengan Mbak Tiqa, sosok yang kukenal begitu humble, seseorang yang menerimaku di keluarga Zarchasi sebagai adik sendiri, kini hanya tertunduk lesu di samping suaminya.

"Yah, Pa, semuanya, saya boleh minta waktu berbicara berdua saja dengan Rindu?" Mas Hanif angkat bicara.

"Ditemanin Ical ya," kata Ayah memberikan kode kepada Ical untuk mengajakku ke beranda bekalang rumah.

Aku pengin menolak, dan menyudahi semua ini. Jujur aku lelah. Semakin permasalahan ini berlarut-larut aku hanya semakin takut kembali meragu dengan keputusan yang telah kubuat.

Ical menggandengku ke beranda belakang, memintaku untuk duduk bersama dengan Mas Hanif. Sementara dia duduk di kursi yang lain agak jauh dari tempatku, sebagai hakim garis yang siap sedia untuk melerai kami jika terjadi baku hantam atau hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya. Hah, jangan bercanda, Rind. Segera selesaikan semua ini.

"Rindu, aku minta maaf jika perkataan mama ada yang menyakitimu. Kita sama-sama tahu bahwa hal ini bukanlah yang kita inginkan. Siapa yang bisa menolak suatu penyakit? Sekalipun aku dokter, aku pun nggak akan bisa memprediksi kapan Allah menimpakan suatu penyakit kepada hambanya.

Namanya musibah, kecelakaan, kita gak bisa menduga sebelumnya, Rind. Yang terpenting sekarang adalah gimana kita bisa menghadapi itu bareng-bareng? Dan aku mau kita nantinya akan saling mendampingi di setiap keadaan baik susah maupun senang. Kita selesaikan bersama. Tolong beri aku kesempatan untuk turut merasakan sakitmu, Rind. Bagikan bebanmu kepadaku. Kita topang bareng-bareng. Kita cari jalan keluarnya."

Mas Hanif menjeda sambil kembali mengirup oksigen sekitaran. Berusaha setenang mungkin sebelum kembali melanjutkan.

"Mau ya, Rind? Tolong kasih aku kesempatan untuk mewujudkan itu."

Sebuah permintaan yang begitu panjang dari Mas Hanif dengan tatapan teduhnya seperti biasanya. Nyatanya sekuat apapun aku berusaha menahan, air mata ini tak bisa kubendung lagi. Dadaku kembali pengap, rasanya begitu sakit mendengar suara Mas Hanif yang memohon kepadaku dengan begitu tulus.

Keraguan yang tidak kuinginkan itu kini benar kembali muncul. Hatiku ingin takluk melihat Mas Hanif dengan penuh keyakinannya seperti itu.

Tapi, Ya Rabb ...

"Aku nggak mau menjadi penyebab durhakanya kamu kepada mama, Mas. Aku nggak pengin kamu menggadaikan surgamu hanya demi aku yang bahkan belum siapa-siapa. Bagaimana pun, Mama tetaplah harus menjadi prioritasmu sampai kapanpun, Mas. Termasuk ketika kita sudah menikah nanti. Menikah itu bukan hanya aku dan kamu. Tapi kedua keluarga besar kita. Mana mungkin aku bisa melangsungkan semua itu, jika ada satu orang yang tidak merestuinya? Terlebih itu Mamamu, Mas!" kataku dengan isakan dahsyat yang begitu menyesakkan dada.

"Mbak ...." Kulihat Ical ingin mendekat dan menginterupsi kami berdua, tapi aku memberi isyarat agar dia tetap di tempatnya.

Belum sekarang, Cal.

"Aku tahu, Rind. Aku tahu keutamaanku tetaplah Mama sekalipun aku telah beristri nantinya. Aku minta maaf jika kamu kecewa karena kejadian aku membentak mama beberapa hari yang lalu. Tolong kasih kami kesempatan untuk meyakinkan mama, Rind. Kami, Aku, Papa, dan mereka yang datang ke sini yang begitu menginginkan bahwa pernikahan ini akan tetap terlaksana. Kami sedang meyakinkan mama kembali, Rind. Tolong percaya aku."

"Aku nggak bisa, Mas. Sudahlah! Kamu nggak usah memaksakan diri. Bukannya kamu sendiri yang bilang bahwa kamu senang pernikahan ini batal?"

Sekalipun sisi hatiku ingin memberontak dan mengiyakan ajakan kembali dari Mas Hanif. Tapi potongan hatiku yang lain masih terasa nyeri ketika mengingat kejadian kemarin siang di koridor rumah sakit itu.

Mas Hanif mengernyitkan kening. Mungkin nggak sepenuhnya paham apa yang kukatakan. "Senang bagaimana? Kamu nggak lihat aku dari tadi seperti ini? Keringat dingin berusaha sebisa mungkin meyakinkanmu sambil harap-harap cemas bahwa kamu mau kembali, Rind.

Kamu ...

Hasshhh .... Kamu tuh dapat pikiran dari mana sih aku seneng kalau pernikahan ini batal???? Demi Allah aku tersiksa dengan keputusan sepihak ini, Rind!

Astagfirullahhaladzim...."

Mas Hanif menjambak rambutnya kemudian meraup wajahnya begitu frustasi.

"Berhari-hari aku istikharah, menenangkan hati. Berusaha untuk ikhlas menerima keputusanmu ini sebagai ujian. Tapi Allah selalu menghadirkan wajahmu di mimpiku, Rind. Bagian mana yang bisa membuatku ikhlas dengan semua ini? Aku nggak bisa!

....

Karena itu gimana pun caranya, aku pengin memperjuangkan semua ini sampai Allah sendiri yang mengatakan tidak. Tolong, kasih aku kesempatan, Rind."

Allah...

Astagfirullahhaladzim ...

Kali ini bahkan Mas Hanif berbicara sambil menunduk dengan suara yang bergetar. Mungkinkah seorang Mas Hanif sampai menangis karena hal ini? Apakah benar dia begitu tersiksa ya, Rabb?

Ya Allah, Ya Rahman, hamba harus bagaimana?

"Mas ...," ucapku berusaha membuatnya kembali menegakkan tubuhnya dan melihatku.

Benar saja, begitu dia mendongak, matanya tampak berlinang dengan rona merah yang begitu kentara. Mas Hanif benar-benar menangis.

"Maafkan, aku ... Aku tetap nggak bisa. Tolong berbaktilah kepada Mama, Mas. InsyaAllah jika kita jodoh, Allah pasti memudahkan jalannya. Namun jika tidak, berdoalah semoga kita dijodohkan di akhirat nanti. Ridho Allah itu karena Ridho orang tua, terutama Ibu, Mas ...

... Terima kasih buat semuanya, tapi sekali lagi maafkan aku."

Aku beranjak dari kursi memberi isyarat kepada Ical agar menenangkan Mas Hanif. Sementara aku langsung berlari menuju kamar, tak mengindahkan panggilan dari ruang tamu yang saling bersaut meneriaki namaku.

Ya Allah Ya Rabb, jika memang kami tidak berjodoh sedari awal. Mengapa Engkau mempertemukan kami lalu menguji kami sedemikian rupa

Ternyata sebegitu menyakitkan rasanya ketika kita sadar bahwa itu adalah cinta namun kita tak bisa berbuat apa-apa.

Aku mencintainya karena-Mu Ya, Rabb. Maka, jika memang ini baik, kumohon berikanlah kami kebaikan atasnya.

Laa haula walla quata illa billah.

_______selamat merindu kembali_____





#nangis dipojokan

Aku sampai senggukan ketika baca kembali sambil editing. Hufft. Nyeseeq banget sih.


Akhir kata

Lav lav
😘😘😘
Chaa~


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top