24. Rindu dan Keputusannya

Vote dulu kuy gess 🌟

And enjoy!

🍐
🍊
🍐
🍊
🍐
🍊

Tak pernah ada dalam bayangan sebelumnya, jika aku akan melewati fase yang begitu pelik dalam hidupku. Menerima dengan ikhlas bentuk kasih sayang Allah yang lain, mungkin memang  sudah jalanku. Iya, kutahu Allah menguji hamba-Nya karena memang Dia begitu sayang. Allah yakin bahwa aku mampu bukan? Rabb-ku ingin tahu, seberapa tingkat keimananku pada-Nya. Sudah sejauh mana taatku pada-Nya di kala Dia menimpakan suatu hal berat seperti ini.

Dan, bukankah Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuan? Itu berarti aku mampu. Allah yang menjamin itu

Lalu apa lagi yang kuragukan?

Aku hanya perlu bermunajat pada-Nya. Istikharah lagi, meminta petunjuk untuk membulatkan keputusan yang telah kupikirkan matang-matang semingguan ini.

Seminggu pascaoperasi yang membuatku terkurung hanya berdiam diri di dalam kamar. Seminggu itu pula berbagai pertimbangan dan pikiran tumpang tindih saling berjubal menjejali isi kepalaku. Tak hentinya aku meminta pada Rabb-ku, bahwa semoga aku memang tak salah dalam mengambil keputusan.

Hari ini, cuti istirahat yang diberikan oleh dokter telah selesai, itu berarti rutinitas sudah menunggu untuk kembali kusapa. Ayah, Bunda, juga adik-adik, sudah siap di meja makan. Pukul setengah tujuh memang. Mereka sudah siap untuk beraktivitas masing-masing.

"Kak? Yakin masuk kantor? Kalau belum kuat, extend lagi aja, Kak," kata Bunda sambil menyiapkan sarapan.

"Kerjaan Rindu sudah segunung, Bun. Semakin lama Rindu nggak masuk, akan semakin banyak pula PR yang harus Rindu garap."

Bunda hanya tersenyum sambil mendesah pelan, mungkin frustasi karena nggak pernah mempan kalau memberi tahu anak sulungnya yang bebal ini.

"Kamu jangan pulang ke kosan. Udah nggak ada ya, Kak. Pulang-pergi sama adikmu. Ical, kamu paham?" Kini giliran Ayah yang memberi wejangan.

Kalau sudah begini, aku bisa apa?

Semenjak kejadian seminggu yang lalu, Ayah dan Bunda memang sangat protektif. Mereka melarangku kembali ngekos lantaran tidak percaya padaku. Apalagi, kondisiku yang masih dalam masa pemulihan memang membutuhkan perhatian ekstra. Mereka hanya khawatir kalau aku lalai terhadap diriku sendiri terlebih ketika kesibukan menyihirku untuk tidak berhenti beraktivitas.

"Yah, Bun, Aufar berangkat dulu kalau gitu. Udah siang juga." Adikku yang paling bontot, menyudahi sarapannya dan bergegas pamit.

"Hati-hati, jangan ngebut kalau bawa motor," pesan Bunda yang hanya diangguki oleh Aufar.

Selepas Aufar berangkat, kini hanya tersisa kami yang sebentar lagi juga menyusul.

"Ayo kak kalau udah selesai," ajak Ical yang sudah lebih dahulu mengakhiri santap pagi.

"Ical, bisa kamu tunggu di luar sebentar? Kakak mau ngomong hanya dengan Ayah dan Bunda. Penting," kataku.

Meski kemudian ketiga orang kesayangan di hadapanku ini saling melempar pandang, menanyakan ada apa. Namun, segera kukasih kode kepada Ical agar ia sedikit mengerti keadaan.

"Kenapa, Kak?" tanya Ayah langsung pada intinya.

Aku mengambil napas sejenak sebelum memulai. "Seperti yang sudah Rindu sampaikan sebelumnya, Yah, Bun. Tanpa mengurangi rasa hormat dan bakti Rindu pada kalian. Rindu ingin membatalkan pernikahan ini dan melepaskan khitbah," ucapku, tak berani memandang mereka sama sekali.

Terbukti, tidak ada sahutan sepatah katapun yang terlontar dari Ayah dan Bunda selang beberapa detik setelah aku mengatakan hal tersebut. Sunyi, sementara detik terus bergulir tanpa mau dijeda. Ical pasti sudah gusar menungguku yang tak kunjung keluar. Memang belum jam tujuh, tapi perjalanan Aloha ke kantorku, belum lagi ke kantor Ical, pasti akan menempuh waktu yang tak sebentar.

"Yah, Bun, tolong katakan sesuatu."

"Kamu yang paling tahu hatimu seperti apa nak. Kami sebagai orang tua sebenarnya tak berhak melarang, namun kami masih berhak ikut campur jika itu menyangkut kebahagiaanmu. Rindu, Kak, satu hal yang perlu kamu tahu. Bisikan syetan sama kata hati itu kadang nggak bisa dibedakan. Nyaris mirip dan saling mengelabui. Jadi tolong, Bunda minta tolong sama kamu untuk kembali pikirkan baik-baik keputusanmu, sayang."

"Tidak ada Ayah yang akan rela menyerahkan putri kesayangannya pada laki-laki bejat manapun. Kamu percaya cinta pada pandangan pertama, Kak? Itu Ayah alami ketika untuk pertama kalinya nak Hanif bertamu ke sini. MasyaAllah, selama kamu tumbuh sampai jadi seperti ini, untuk pertama kalinya, ada teman lelakimu yang datang kepada Ayah dengan begitu serius. Hati Ayah mana yang nggak bergetar terlebih dia begitu memuji putrinya. Kamu yang ditaarufin, Ayah yang kesemsem, Kak. Jangan karena hal-hal yang seharusnya masih bisa diikhtiarkan tapi kamu menyerah duluan. Tolong, Ayah minta tolong baik-baik sama kamu, Kak. Pikirkan sekali lagi." Kini giliran Ayah.

Lalu, kalau sudah kedua orang paling kusayang ini mengeluarkan fatwanya, aku harus bagaimana?

Aku bisa apa selain meluruhkan air mata yang tak lagi dapat kubendung. Hujan di pagi hari yang cerah seperti ini. Hujan di pipiku yang membuat isakan kecil ini sedikit menyesakkan.

"Astagfirullah, Mbak, berapa lama lagi? Udah jam tujuh lewat lho. Jadi berangkat nggak----loh, Mbak? Ayah, Bunda, Mbak Rindu kenapa?" Ical kembali masuk ke dalam rumah dan menginterupsi kami bertiga.

Aku segerap mengusap pipiku yang basah itu. Kemudian bergegas mengambil tas dan pamit kepada Ayah dan Bunda.

"Yah, Bun, Rindu berangkat dulu, ya." Tidak ada sahutan di antara keduanya, kecuali membiarkan tangan mereka untuk kucium penuh takdzim.

Selama perjalanan menuju kantor, Ical memilih diam tak banyak bertanya. Sementara aku hanya termenung melihat kepadatan jalan dari balik kaca jendela. Mungkin, untuk seminggu ke depan atau entah sampai kapan, Ical akan menjadi supir pribadi yang mengantar-jemputku.

"Mbak, maaf ya kalau aku nggak sengaja dengar obrolan Mbak dan Ayah Bunda tadi," kata Ical begitu ia menepikan mobilnya tepat di gerbang kantorku.

Aku terdiam, tidak ingin membagi perasaan ini kepada adik sulungku. Sekalipun aku tahu, mungkin di antara adikku, Ical-lah yang bisa kuajak berkeluh kesah saat ini.

"Aku tahu, mau gimana pun, aku bakal tetap jadi adek kecil di matamu, Mbak. Tapi, kalau boleh aku ikut memberi saran, tolong jangan gegabah dengan apa yang akan Mbak putuskan. Pikirkan juga dampaknya untuk orang-orang sekitar. Membatalkan khitbah seseorang itu harus disertai alasan syari, ada adabnya juga setahuku. Aku begini bukan mau menggurui, Mbak. Tolong pikirkan perasaan Ayah Bunda juga. Bagaimana pun, mereka sudah mengabarkan kabar bahagia ini ke sanak saudara kita yang jauh-jauh. Apa Mbak siap melihat Ayah Bunda menahan malu kalau sampai acara ini batal? Meskipun Ayah dan Bunda nggak pernah mengatakan ini kepada kita. Tapi pasti mereka akan sangat kecewa."

Aku tergugu, hanya mampu terdiam karena apa yang dikatakan adikku adalah benar.

Sudah seberapa banyak baktiku pada Ayah dan Bunda hingga mau mencoreng luka di wajah mereka? Benar, mereka mungkin nggak akan menunjukkan rasa kecewanya di hadapanku, tapi apa mungkin aku tega menggagalkan semua ini?

Sementara, sisi hatiku yang lain turut menjerit ketika mengingat perkataan Mama Ratih dengan Mas Hanif di depan pintu ruang rawatku seminggu yang lalu.

"Kista, Mas? Itu artinya, ada kemungkinan Rindu nggak bisa hamil? Terus kalian---"

"Kemungkinan itu memang ada. Tapi nggak sedikit juga yang bisa, Ma. Iya kan, Pa?" Kutahu itu suara Mas Hanif yang menjeda mamanya.

"Memang, vonis nggak bisa hamil itu nggak sesederhana issue soal penyakit kista, Ma. Mama jangan langsung menyimpulkan demikian."

"Tapi tetap saja, Mama nggak mau ambil risiko jika itu menyangkut anak mama, Pa. Mama nggak ridho."

"Kok jadi ngelantur sih, Ma. Setelah ini Rindu akan operasi pengangkatan kista. InsyaAllah sembuh. Dan soal bisa hamil atau nggak, itu bisa kita ikhtiarkan bersama nanti. Mama nggak usah berpikiran yang macam-macam."

"Hanif, kamu itu anak laki-laki satu-satunya Mama dan Papa. Besar harapan kami bahwa kamu punya keturunan setelah menikah. Mama pengin cucu dari kamu, terlepas Mbakmu Tiqa sudah memberikan kami cucu. Dan demi Allah, mama nggak akan ridho kalau kamu sampai menikah dengan seorang perempuan yang akan nggak bisa hamil. Rumah tangga tanpa anak itu nggak mudah. Kamu pikirkan baik-baik sebelum semuanya terlambat."

"Mama! Tolong jangan begini, Ma. Ini rumah sakit. Sebentar lagi calon istri Hanif akan operasi. Harusnya Mama kasih support. Kalau begini ceritanya, sebaiknya Mama pulang saja."

Dan bertepatan dengan itu, Mas Hanif kembali masuk ke dalam kamar rawatku dengan wajah yang sedikit kaget karena menyadari bahwa pintunya terbuka. Aku berusaha biasa saja, menyembunyikan nyeri hebat di hatiku saat itu. Sementara Mas Hanif serba salah tingkah, mungkin ingin menjelaskan tapi ia urungkan karena melihatku yang tak menaruh curiga sedikit pun. Setidaknya, usahaku untuk berpura baik-baik saja sedikit berhasil kala itu.

Dua hari pascaoperasi ketika aku diperbolehkan pulang hingga saat ini, hubunganku dengan Mas Hanif bisa dikatakan hambar. Entah mulanya bagaimana, yang jelas niatku untuk sedikit demi sedikit menghindarinya, ternyata justru disambut baik oleh Mas Hanif.

Mungkin Mas Hanif sibuk, atau apakah Mas Hanif menuruti perkataan Mamanya, yang jelas, kami belum pernah bertemu lagi sejak terakhir ia mengantarkanku pulang dari rumah sakit. Untuk hanya sekadar ngobrol melalui sambungan telepon saja, baik aku maupun Mas Hanif sepertinya sama-sama enggan memulai terlebih dahulu. Padahal, Sabtu besok, tidak lebih dari seminggu lagi, rencananya, hari bahagia itu akan tiba.

Namun, semoga keputusan yang akan kuambil ini, bisa menyelamatkan banyak pihak dan demi kebaikan bersama di kemudian hari.

🍊🍐🍊🍐🍊🍐

Mengambil cuti sakit seminggu, kukira gunungan pekerjaan akan menyambutku ketika kembali kerja. Tapi ternyata, aku justru dikejutkan oleh meja kerja yang begitu rapi tanpa selembar kertas gawean satu pun. Sungguh tidak pernah ada dalam sejarah sebelumnya, orang-orang di sini tidak pernah ada yang begitu loyal untuk menggantikan pekerjaan rekannya yang cuti dengan sukarela.

"Ini sebagai hadiah dari kami untuk kamu, Rind. Apalagi sebentar lagi kamu juga akan cuti menikah. Harusnya kamu extend saja, toh cuti tahunanmu nggak pernah kamu pakai. Istirahat yang cukup, gunain buat persiapan nikah aja, Rind," kata Pak Fikri begitu aku menemuinya di akuarium besar.

Aku sedikit tercengang, benarkah sosok di hadapanku ini adalah Baginda Fikri? Mimpi apa beliau sampai bisa mengeluarkan kata-kata yang menyejukkan seperti angin puncak begitu.

Namun, kedatanganku ke ruangan beliau justru bukan untuk menanyakan soal kerjaan yang telah beres.

"Tapi, saya ke sini justru ingin menanyakan surat cuti menikah saya, Pak," kataku berusaha setenang mungkin.

"Oh iya, Astagfirullah, saya lupa mau bilang. Surat cutimu sudah saya sampaikan langsung ke HRD. Jadi kamu nggak usah khawatir soal itu, Rind. Saya dan Pak Vincent sudah pasti acc kok. Hanya saja waktu itu kamu keburu pingsan, padahal setelah salat rencananya saya mau ngerjain kamu dulu." Pak Fikri terkekeh jahil.

Sementara aku justru terhenyak.

"Tapi, Pak. Justru niat saja ingin menarik lagi pengajuan cuti itu."

Suasana yang semula cair mendadak hening. Pak Fikri mengerutkan keningnya tanda tak paham. Sementara aku juga nggak akan mungkin membagi hal-hal seperti ini dengan begitu saja. Aku terdiam, tidak bisa menjelaskan tapi aku berada di situasi yang menahanku untuk tidak beranjak.

"Saya memang nggak tahu dan nggak akan tanya masalah apa yang sedang menimpamu, Rind. Tapi, kalau boleh saya kasih saran. Apapun itu, kembalikan lagi semuanya sama yang Di Atas. Pasrahkan, karena segala sesuatu terjadi itu atas izin-Nya. Begitu juga dengan kamu, Rind, selalu libatkan Allah dalam setiap langkah yang kamu ambil.

Ya sudah, untuk surat cutimu biarkan di HRD saja. Entah nanti kamu jadi gunakan atau tidak, diurus nanti saja lagi ya. Sekarang kamu balik kerja sana."

Tidak satu dua orang yang sudah mencekoki dengan beragam petuah soal pengambilan keputusan besar ini. Hati memang bukan tak mungkin pernah salah, terkadang, mengingkari kata hati itu perlu untuk dilakukan.

Siapa yang tidak menantikan hari bahagia yang sudah kuimpikan jauh-jauh hari itu. Tapi aku nggak ingin egois dengan memikirkan kepentinganku sendiri. Kalau nyatanya hari bahagia itu akan ada pihak yang tersakiti karena tidak ridho, terlebih seseorang itu adalah surga dari calon suamiku. Lantas, apakah hakikat pernikahan itu masih dapat kurengkuh? Apakah aku bisa berbahagia dengan semestinya seperti yang kubayangkan?

Aku nggak yakin.

🍊🍐🍊🍐🍊🍐

Berada di sinilah aku sekarang, di depan rumah pagar hitam tinggi. Bersama Ical sepulang kantor, aku memintanya untuk menemaniku menjalankan apa yang kuyakini sebagai langkah terbaik. Awalnya Ical memang menolak, dengan dalih sudah diwanti-wanti ayah Bunda untuk segera pulang membawaku. Tapi kumohon dengan sungguh kepada adikku itu, untuk menuruti sekali ini saja dengan ancaman jika memang dia tidak mau, aku akan pergi sendiri.

"Kamu di sini aja, Cal. InsyaAllah aku nggak lama kok," pesanku kepadanya untuk tetap menunggu di mobil.

"Nggak, Mbak. Tak temenin. Tolong biarkan aku menjalani peran sebagai adikmu, Mbak. Kalau bukan aku yang melindungimu saat ini, lalu siapa? Apalagi kondisimu---"

"Mbak baik-baik saja, Cal. Makasih ya adek ganteng. Kadang aku emang belum sepenuhnya percaya kalau adikku sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa seperti ini," kataku memotong ceriwisnya sambil menenangkan agar dia percaya aku memang baik-baik saja.

"Tunggu di sini. Aku janji nggak akan sampai sejam."

Aku bergegas turun dari mobil dan masuk ke beranda rumah. Sambil memencet bel di samping pintu, aku memastikan bahwa mobil fortuner putih itu sedang tidak ada di tempatnya. Setidaknya, untuk saat ini aman.

Pintu terbuka, aku langsung disambut oleh tuan rumah langsung, "Assalamualaikum, Ma," ucapku sambil menyalimi beliau.

Terlihat sekali beliau tertegun dengan kedatanganku, "Wa ... alaikum salam, warahmatullah. Kamu .... sama?" tanya beliau sambil melihat ke arah carpot. Mungkin heran, karena mobil putranya tidak terparkir di sana.

"Rindu sama Ical, Ma. Ical nunggu di mobil saja katanya mau istirahat."

"Oh, kenapa nggak disuruh masuk saja?"

"Nggak usah, Ma. Rindu juga nggak akan lama, kok."

Beliau hanya mengangguk lalu mempersilakanku untuk masuk.

"Masmu belum pulang tuh," ucap beliau sambil membawaku duduk ke sofa di ruang tengah.

"Saya nggak ada perlu sama Mas Hanif, Ma. Saya memang ke sini untuk menemui mama."

Sampai di sini, suasana yang kukira biasa saja tiba-tiba berubah sedikit mencekam. Beliau begitu intens melihatku dari atas hingga ke bawah. Tatapan yang begitu dingin, tatapan yang nggak pernah kudapatkan dari sosok Mama Ratih sebelumnya.

"Kamu sudah sehat?"

"Alhamdulillah, sudah, Ma."

"Tapi tetap saja. Diagnosis itu nggak akan berubah, kan. Maaf ya, Rindu. Mama harus bicara soal ini padamu."

Aku diam, belum ingin menyanggah beliau terlebih dulu. Mempersilakan beliau untuk mengeluarkan semua uneg-unegnya langsung di depanku. Dengan begitu, mungkin itu akan lebih membulatkan tekadku soal keputusan tersebut.

"Mama dulu itu perawat. Sedikit banyak paham soal penyakit kamu itu. Kista itu adalah penyakit yang sebisa mungkin dihindari oleh banyak wanita. Kamu pasti tahu risiko wanita yang kena kista itu bagaimana. Meskipun tetap ada pengecualian tertentu. Rindu, Mama itu perempuan, kamu juga perempuan. Coba tempatkan posisimu sebagai seorang Ibu yang memiliki putra. Relakah kamu melepaskan anakmu menikah dengan seorang perempuan yang nantinya akan sulit mendapatkan keturunanan?"

Aku masih terdiam.

"Mama tahu semua bisa diusahakan. Tapi kalau kamu tahu diri, kalau kamu benar-benar sayang sama Hanif. Kamu nggak akan mungkin tega membiarkan dia menderita hanya karena ini kan?"

"Maafin Mama, Rindu. Tapi mama pengin sekali punya cucu dari Hanif. Apalagi Hanif itu anak laki-laki satu-satunya kami. Jelas kami menginginkan menantu yang bisa kriteria tersebut. Terlebih, kamu itu seorang wanita karier. Mama juga nggak berhak melarang-larang untuk melepas kariermu kan? Sementara yang mama inginkan, Hanif itu punya istri yang mengabdikan dirinya penuh untuk urusan rumah tangganya. Kesibukanmu dalam bekerja, itu juga bisa jadi faktor meningkatkan risiko infertilitas selain karena kista itu sendiri."

Aku tersenyum singkat kepada beliau. Kemudian, aku sedikit mendekat dan mengambil tangan beliau untuk kugenggam hangat.

"Kedatangan Rindu ke sini juga tujuannya memang untuk itu, Ma. Dengan rasa sadar diri tanpa mengurangi rasa hormat rindu kepada Mama." Aku melepaskan cincin yang beliau pasangkan ketika khitbah waktu itu. "Rindu ingin mengembalikan cincin ini. Dengan begitu, Rindu melepaskan khitbah Mas Hanif atas Rindu, Ma. Dan Rindu juga akan membatalkan---" Aku terhenti begitu suara pintu dibanting itu terdengar menggelegar.

"NGGAK ADA!!!" Mas Hanif datang dan  langsung memutus pembicaraanku dengan Mama.

"Rindu, apa-apaan kamu? Nggak ada acara batal-batalan," ucapnya memintaku untuk berdiri dan menyingkir dari Mamanya.

"Mama, berapa kali Hanif katakan sama Mama. Dengan atau tanpa restu Mama, Hanif akan menikah dengan rindu. Pernikahan kami akan tetap sah. Hanif hanya perlu mencari saksi yang bersedia menghadiri pernikahan kami nanti. Tolong, Ma. Jika Mama masih menginginkan Hanif ada di sini. Tolong hargai keputusan Hanif."

"MASS!!!" sentakku tak ingin kalah dengan suara kencangnya Mas Hanif.

"Aku nggak nyangka kamu tega ngebentak Mama. Keputusan ini dari aku, Mas. Aku yang membatalkan pernikahan ini. Aku melepaskan khitbah dari kamu. Aku nggak mau gara-gara pernikahan ini kamu jadi durhaka sama Mama. Tujuanku menikah itu untuk mencari ridho-Nya, Mas. Kalau salah satu pihak aja ada yang nggak ridho. Lebih baik acara ini nggak ada!" tangis yang kutahan sedari tadi akhirnya pecah.

"Mama, maafin, Rindu, Ma. Terima kasih sempat menyayangi Rindu sampai seperti anak sendiri. Rindu pamit," isakku, sambil menghampiri beliau kembali dan menyaliminya.

Terlihat Mama juga seperti menahan tangis. Entah karena momen ini begitu emosional atau karena sakit hati karena bentakan sang anak beberapa saat tadi. Yang jelas niatku untuk menyampaikan maksud dan tujuan datang kemari sudah kutunaikan.

"Untuk masalah acara, gedung, dan semuanya. Izinkan Rindu yang membereskan, Ma. Mama nggak usah khawatir," ucapku sambil kemudian membereskan tas dan bersiap pergi.

"Rindu, tunggu, Rind." Mas Hanif menahanku untuk tidak beranjak.

"Mas, tolong biarkan aku pergi."

"Aku anterin kamu pulang."

"Aku sama Ical."

"Ical sudah kuminta pulang duluan."

"Mas!!! Kamu apa-apaan sih."

Dan, nggak ada pilihan lain selain mengiyakan kata Mas Hanif. Karena saat ini tangannya begitu posesif menggandengku untuk mengikutinya. Kutahu Mas Hanif sedang diselimuti amarah. Lebih baik aku sedikit mengalah.

"Ma, Rindu pulang dulu. Assalamualaikum," kataku sambil mengikuti Mas Hanif yang seperti sudah geram.

Benar, begitu aku keluar rumah, mobil Ical sudah nggak ada di depan pagar. Yang ada hanya fortuner putih milik Mas Hanif yang kini sedang mengaum garang.

Astagfirullahhaladzim. Tolong bantu hamba untuk menenangkan laki-laki ini, Ya Rabb.

Jika memang keputusan ini baik, maka, mudahkanlah semuanya ya Rabb.

Kami memulainya dengan sangat baik. Harapanku, jikalau pun ini berakhir, kuingin mengakhirkan dengan baik pula, Mas.

Kuingin setelah ini ukhuwah kekeluargaan di antara kita tetap terjalin.

Namun, mampukah aku?

______selamat merindu kembali______





Lavlav
😘😘😘
Chaa~

21.07.2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top