23. Merindukan Kasih-Mu, Ya Rabb
💊💉💊💉💊💉
Yang kutahu, suara yang kurindukan itu kembali terdengar. Sayup-sayup hingga begitu jelas memanggilku seiring dengan cahaya yang memaksa netra ini untuk terbuka.
"Rindu .... Rindu ... Bisa dengar suara saya?" tanya seseorang itu, yang kuyakini sebagai dia.
Aku hapal betul bagaimana suara teduh itu selama beberapa bulan ini selalu membersamai hari-hariku. Hingga mampu membuatku merindu hanya karena aku tak mendengarnya barang dua hari.
Aku mengerjap pelan, masih mengumpulkan puing-puing nyawa yang tercecer. Pening, namun sekuat tenaga aku berusaha mengumpulkan fokus. Napasku tidak sebebas biasanya. Ada masker yang menghalangi jarak pandangku. Ada sensasi dingin yang menjejali rongga hidung. Setidaknya, dadaku tidak begitu sesak untuk saat ini.
"Rindu lihat saya. Bisa dengar saya?"
Ya, dia.
Mas Hanifku. Sedang berdiri gagah dengan jas putihnya dan stetoskop yang menggantung di leher. Guratan wajahnya tampak begitu khawatir karena tak juga menerima respon dariku.
Aku mengangguk cepat, napasku tercekat hingga tak mampu mengeluarkan suara sepatah pun.
Lalu seketika, Mas Hanif tampak lega seolah kecemasannya sirna.
"Apa yang sakit? Katakan, sayang," ucapnya, tidak peduli bahwa di sampingnya ada seseorang yang lain. Seorang perawat juga beberapa orang yang kuduga sebagai mahasiswa koas.
"Tadi, kamu dianter sama teman kantormu. Mereka ada di depan nunggu kabarmu. Saya periksa dulu ya, biar bisa kasih kabar ke mereka kalau kamu baik-baik saja," ucapnya yang hanya bisa kubalas dengan anggukan.
Aku nggak bisa berbuat apa-apa. Yang kurasakan hanya tubuhku limbung, seolah energiku terserap habis tak bersisa. Lemas, hingga untuk bersuara atau menggerakkan tangan saja rasanya tak berdaya.
Dibantu dengan perawat, Mas Hanif kemudian memeriksaku begitu telaten.
"Maaf ya, Rind. Saya tekan perutnya, ya," izinnya sambil meraba area perutku.
Aku terpaku sekian detik dengan pesonanya. Bahkan mata ini tak berkedip memperhatikan bagaimana dia menanganiku. Meski dalam ranah profesional sehingga ia masih menggunakan 'saya' sebagai sapaan, mungkinkah Mas Hanif sudah tak marah lagi padaku?
"Kalau sakit saat saya tekan, bilang ya," katanya sambil menekan perutku di beberapa titik.
Sampai ketika dia menekan daerah panggul sekitar perut bagian bawah, di situlah rasa sakit luar biasa itu kembali muncul.
"Arrghh," ringisku, membuat Mas Hanif mengernyit serius.
"Koas, tolong panggilkan internis, ya." Mas Hanif memerintah beberapa anak koasnya, sementara perawat yang menemani Mas Hanif kulihat kembali ke nurse station.
Kembali ke rumah sakit setelah sekian lama aku tak berhubungan dengan tempat ini, rasanya seperti nostalgia. Tapi, bukan menjadi objek pesakitan yang kuinginkan. Dulu, ketika masih praktek magang profesi ahli gizi, tempat ini begitu akrab denganku. Jadi, tak bisa dipungkiri juga bahwa aku familier dengan segala hal tentangnya. Alat-alat medis, istilah-istilah yang mereka gunakan, meski tidak semua, tapi aku bukan awam.
Kini, hanya tersisa aku dan Mas Hanif sembari menunggu dokter penyakit dalam datang. Kupikir, apakah segitu parahnya hingga Mas Hanif perlu memanggil seorang internis untuk memeriksaku lebih lanjut?
"Mas ...." ucapku, di sela napas satu-dua yang berusaha kuatur.
"Nanti yaa, sekarang istirahat aja. Percayakan sama saya. Kamu pasti baik-baik saja," ucapnya sambil menggenggam satu tanganku yang terbebas infus.
Aku mengangguk, memejam sebentar untuk menghidu oksigen yang keluar dari dalam masker. Dia, yang kukira masih menaruh amarah ketika pengin bertemunya. Namun kini, dia kembali menjadi Mas Hanif yang begitu kurindukan dengan sejuta hal yang mampu membuatku terpesona.
Allah, terima kasih telah menghadirkan dia.
Mas Hanif masih di sampingku, mengelus tanganku sambil sesekali mengecek tetesan infus. Sampai seorang dokter paruh baya datang menuju brankar-ku bersama mahasiswa koas tadi.
"Selamat malam dokter Gunawan," sapa Mas Hanif menyalami seniornya.
"Malam dokter Hanif. Gimana-gimana? Ada apa ini? Bisa dijelaskan kondisi pasien?" tanya dokter tersebut sambil memindai sekilas tubuhku.
"Pasien datang dengan kondisi tidak sadar, Dok. Keterangan rekan kerja pasien yang mengantarkan, katanya sebelum pingsan pasien mengeluhkan sakit perut hebat. Tekanan darah 90/70, nadi 98 kali per menit, pernapasan 20 kali per menit. Setelah saya beri rangsang nyeri beberapa kali, pasien merespon dengan baik dan kesadaran kembali." Mas Hanif menjelaskan detail kondisiku. Sementara dokter paruh baya tersebut terlihat mendengarkan dengan saksama sambil mengecek nadi di pergelanganku.
Aku pasrah, membiarkan orang-orang yang mengelilingiku kini mengambil alih kendali atas tubuh ini. Sama sekali aku tak bisa melawan.
"Dokter Hanif kenal dengan pasien?" tanya dokter Gunawan tiba-tiba. Beliau sempat memandangku begitu intens sebelum beralih memperhatikan setiap gerak-gerik Mas Hanif. Karena, pada posisiku yang berbaring begini saja, aku bisa melihat Mas Hanif yang begitu cemas meski kuyakin dia sudah berusaha untuk menyembunyikan.
"Maaf, Dok. Dia calon istri saya."
Dokter Gunawan tersenyum seketika sambil menepuk-nepuk punggung Mas Hanif. "MasyaAllah, kenapa nggak bilang dari awal. Pantesan anda gugup banget. Nggak kayak biasanya lho."
Dan sontak hal tersebut menjadikan bahan tertawaan oleh perawat dan mahasiswa koas yang menyertai pemeriksaan ini. Asal kamu tahu, Mas, aku di sini juga menahan tawa karena melihatmu yang serba salah tingkah di hadapan teman-teman sejawatmu. Mas Hanif mengusap tengkuknya, mungkin untuk mengusir rasa grogi.
"Mbak siapa namanya? Benar ya mbak, calon istrinya dokter Hanif? Jangan-jangan dokter Hanif yang ngaku-ngaku ini." Kembali gelegar tawa memenuhi seisi ruangan IGD.
Aku yang semula ikutan cemas karena sampai saat ini belum dapat kepastian tentang sebenarnya apa yang terjadi pada tubuhku, seketika bisa terkekeh karena aksi guyonan dari dokter Gunawan.
"Rindu, Dok," lirihku yang lagi-lagi suara ini terhalangi oleh masker oksigen yang menutupi hidung.
"Oke, Mbak Rindu saya periksa dulu yaa." Kemudian, dokter Gunawan mulai melakukan prosedur pemeriksaan yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Mas Hanif.
Beberapa kali beliau mengernyit ketika aku menjerit karena sakit yang terasa di bagian perut yang sama.
"Mbak Rindu apa sedang atau akan menstruasi?" tanya dokter Gunawan membuatku terkesiap.
Memang sih, tanggal-tanggal segini sudah memasuki masa periodeku. Tapi sampai malam sebelum aku berangkat audit, rasanya aku belum mendapat period. Hanya rasa nyeri yang baru kusadari memang menyerupai disminore yang biasa kurasakan tiap kali datang bulan. Hanya saja kali ini nyeri tersebut lebih hebat hingga mampu membuat perutku terkoyak.
"Dokter Hanif sepertinya kita memerlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menguatkan diagnosis saya. Kita lakukan USG. Baru setelah itu kita bisa tentukan tindakan apa selanjutnya. Bagaimana Mbak Rindu? Dokter Hanif?"
Aku melihat ke arah Mas Hanif, sementara dia mengangguk dengan sorot matanya yang seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi justru aku merasa bahwa memang ada yang salah dengan tubuhku. Bahwa aku nggak bisa mengelak jika memang saat ini aku sedang tidak baik-baik saja.
💊💉💊💉💊💉
Berbagai prosedur pemeriksaan akhirnya kujalani. Mulai dari USG, pemeriksaan darah, protein, dan sejumlah pemeriksaan lainnya yang tidak kuhapal. Saat ini, aku telah dipindahkan ke ruang perawatan. Bunda dan Ayah sudah tiba, tentu saja mereka khawatir. Orang kantor yang membawaku ternyata Mbak Meli dan Mas Ibra selaku HRD. Mereka sudah pulang ketika kubilang bahwa aku sudah tidak apa. Ical yang baru pulang kantor juga menyusul ke rumah sakit. Sementara keluarga Mas Hanif hanya menanyakan kabarku via telepon. Mereka akan berkunjung besok rencananya. Karena Mama Ratih dan Papa Ruslan sedang ada acara. Sementara Mbak Atiqa dan Mas Danar pun sedang tidak di rumah.
Mas Hanif dari tadi wara-wiri mengurusi apapun. Entah dia sudah terbebas dari jam kerjanya atau belum, yang jelas Mas Hanif belum bisa stay menemaniku. Aku bisa maklum, setidaknya dia nggak sedingin pertemuan terakhir kami. Meskipun, permasalahan di antara kami bisa dikatakan belum berakhir.
"Bunda, maafin Rindu ya, bikin Bunda dan Ayah khawatir," kataku ketika mereka dengan kesabarannya merawatku tanpa pinta.
Bunda mengelus-elus puncak kepalaku sambil sesekali mengecupnya. "Yang penting kakak sembuh ya, biar nanti cantik waktu di pelaminan," kata Bunda masih bisa tersenyum. Kuyakin Bunda menyimpan sejuta ketakutan yang sama denganku, hanya saja beliau enggan menampakkan di hadapanku.
Pun dengan Ayah, sedari tadi hanya diam di sofa tunggu. Hanya beberapa kali menanyakan untuk memastikan aku tidak kembali merasakan sakit.
Beberapa saat kemudian, dokter Gunawan masuk ke kamar rawatku bersama Mas Hanif yang menyertainya.
Mas Hanif tersenyum ke arahku, sementara ayah yang semula duduk, kini turut bergabung di samping bed.
Bunda terus mengenggam tanganku untuk menguatkan. Sementara Mas Hanif yang berada di samping dokter Gunawan juga terlihat menyimpan kecemasan.
"Seperti yang sudah saya jelaskan ketika pemeriksaan USG tadi ya, Pak, Buk. Ini adalah endometriosis, atau yang kita kenal sebagai kista ovarium. Jadi memang di dalam indung telur Mbak Rindu itu terdapat kantung darah haid yang menempel. Ini bisa disebakan karena adanya proses refluks, yaitu kembalinya aliran darah haid ke rongga panggul kemudian menempel di mana saja salah satunya ovarium, sehingga membentuk kantung berisi cairan kental. Lalu dari situ timbulah nyeri hebat tiap kali Mbak Rindu menstruasi."
"Subhanallah." Spontan aku menutup mulut tak percaya.
Runtuh sudah duniaku ketika penjelasan demi penjelasan kudengar dari dokter Gunawan. Bahkan ketika beliau masih melanjutkan, rasanya semua seperti meluap begitu saja. Aku memang mendengar, tapi syaraf inderaku yang lain sedang tidak bisa bekerja sama dengan baik. Aku tidak bisa mencerna penjelasan dokter Gunawan. Yang jelas, sebuah kata 'kista' itu cukup mampu memporak-porandakan hatiku.
"Ndak apa-apa Mbak Rindu. Kita akan menawarkan solusi yang saya rasa terbaik untuk saat ini. Mbak Rindu pernah dengan laparaskopi?" tanya dokter Gunawan lagi.
Mas Hanif kembali melihatku dan mengisyaratkan untuk tetap tenang dengan mengikuti arus yang ada. Bunda dan Ayah yang berada di sampingku pun juga tak henti mengelusku untuk menguatkan.
"Pernah, Dok," jawabku lirih.
"Nah, jadi laparoskopi itu merupakan tindakan bedah invasif minimal yang termutakhir saat ini untuk proses penanganan pada kasus endometriosis. Kami nanti akan melakukan sayatan kecil pada perut Mbak Rindu, kemudian memasukkan alat berupa tabung kecil yang disebut trocar dengan kamera yang terpasang. Selanjutnya kami akan mulai prosedur pengangkatan pada kistanya. Sampai di sini ada yang perlu ditanyakan?"
"Tanyain aja, Sayang. Apa yang ingin kamu ketahui? Jangan takut. Prosedur ini nggak sakit kok. Habis ini sembuh, kamu harus yakin itu ya. InsyaAllah." Mas Hanif yang mungkin melihatku risau, kini turut memberikan suntikan semangat walau kuyakin dia pun sedang dirundung ketakutan yang sama.
"Mmm ... Dok. Gimana dengan pemulihannya?" tanyaku.
"Ah iyaaa. Karena ini bedah invasif ya. Jadi recovery-nya bisa lebih cepat daripada tindakan bedah mayor lainnya. Tenang aja, Mbak Rindu, kata dokter Hanif acaranya kan masih dua minggu lagi. InsyaAllah, seminggu juga sudah kembali pulih kok. Nanti tetap kontrol untuk ngecek luka jahitannya ya. Dikontrol calon suami kan juga bisa. Lebih cepet sembuhnya nanti." Aku terkekeh pelan.
Lagi-lagi dokter Gunawan mampu mencairkan suasana yang terlalu mencekam ini. Walaupun tetap aja, nggak bisa dipungkiri bahwa takut itu masih tetap ada.
"Ya sudah, kalau memang ok, nanti silakan Bapak atau Ibu terserah siapa, monggo mengisi inform consent-nya kemudian Mbak Rindu mulai puasa ya. Besok tindakan operasinya langsung dengan obsgyn atau dokter spesialis kandungan. Nanti langsung saya alihkan ke beliau, untuk lebih jelas lagi Mbak Rindu bisa tanyakan ke beliau langsung saat nanti visit."
"Baik, Dok."
"Kalau gitu saya pamit ya, Mbak Rindu. Cepat sembuh, calon manten nggak boleh sakit."
"Terima kasih ya, Dok." Ayah ikut menyalami.
"Sama-sama, Pak, Buk. Saya permisi dulu, ya. Mari."
Mas Hanif mengantarkan dokter Gunawan keluar kamar terlebih dahulu, baru kemudian kembali.
Kali ini, ruangan kembali hening. Kami tenggelam dalam keresahan masing-masing.
"Apa yang dirasain sekarang? Hmm?" Mas Hanif mengambil kursi dan duduk di sebelahku, sementara Ayah dan Bunda duduk di sofa dekat televisi.
Aku menggeleng, apakah dia memang secemas ini? Sementara yang kutahu dari tadi dia selalu mengurus apapun tentangku. Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri?
"Mas sudah makan malam?" tanyaku.
Mas Hanif tidak menjawab, dia justru tersenyum sambil sesekali mengelus jilbabku.
"Nak Hanif, apa sebaiknya Nak Hanif pulang saja? Pasti capek seharian kerja to? Rindu biar sama Ayah dan Bunda. Ada Ical juga. Nak Hanif nggak usah khawatir," kata Ayah kepada Mas Hanif.
"Nggak apa-apa, Yah. Justru Ayah dan Bunda saja yang sebaiknya istirahat di rumah. Biar Hanif dan Ical yang nungguin Rindu."
"Kamu nggak papa to? Sudah izin mama papamu?" Kini Bunda ikut bertanya.
"Sudah kok, Bun. Papa malah minta Hanif di sini. Besok pagi mereka ke sini sekalian bawain baju ganti untuk Hanif."
"Yawes, tapi kamu makano dulu gih. Ical kayaknya keluar cari makan. Coba kamu telepon. Palingan di depan sana."
"Iya, Mas maem dulu, ya." Aku ikut menyahut.
Asal kamu tahu, Mas. Akupun jauh lebih mencemaskanmu apalagi sejak kita baru kembali bertemu setelah persoalan dua hari yang lalu.
"Ya sudah, aku nyusul Ical dulu kalau gitu. Kamu istirahat."
Aku mengangguk, kemudian Mas Hanif pamit kepada Ayah dan Bunda untuk keluar.
Allah, malam ini terlalu panjang untuk dilewati. Bisakah dua minggu yang akan datang dimajukan sekarang juga? Aku terlalu takut untuk tidak bisa mencapai hari yang kunantikan itu ya Rabb. Meski kuyakin, kuasa-Mu tak pernah mengecewakan.
💊💉💊💉💊💉
"Sayang, gimana, Nak? Sudah mendingan?" tanya Mama Ratih.
"Alhamdulillah kok, Ma. Rindu sudah baikan," jawabku meski sambil meringis menahan sakit yang sesekali masih hilang timbul.
Saat ini Mama Ratih tengah menjengukku bersama Papa Ruslan. Mereka baru saja datang. Tepat ketika jam kerja rumah sakit hendak dimulai. Karena itu, Mas Hanif langsung pamit ketika Mama menyerahkan baju ganti untuknya.
Mama dan Papa terlihat khawatir sekali begitu masuk ruang rawatku tadi. Papa Ruslan bahkan sempat mengecek kondisiku langsung. Mungkin naluri beliau sebagai seorang dokter tak bisa dibohongi.
"Syukurlah kalau sudah enakan. Pokoknya kamu nggak usah mikirin apa-apa dulu ya, Sayang. Fokus pada penyembuhanmu. Serahkan semua persiapan pernikahan kalian pada mama dan Papa." Mama Ratih mengecup pelan keningku.
Memiliki sosok calon mertua yang begitu menyayangiku rasanya memang membahagiakan. Tapi, apakah ketika beliau tahu tentang penyakitku, rasa sayang ini masih akan tetap sama?
Mengingat, ah... Tak dipungkiri bahwa penyakit ini mau tidak mau akan mempengaruhi kesuburanku. Hal yang kuketahui setelah aku membaca beberapa jurnal ilmiah yang sengaja kucari semalam. Kenyataan yang begitu mengiris hati, menyayat naluriku sebagai seorang perempuan normal.
"Gimana hasil pemeriksaannya, Rind? Kata dokternya apa? Masmu Papa tanya jawabannya nanti-nanti ae. Nggak ada masalah yang berarti kan?" tanya Papa.
Jadi memang benar bisa kusimpulkan bahwa beliau berdua belum mengetahui tentang penyakitku.
Allah, aku mendadak tidak ingin mereka mengetahuinya.
Salahkah aku jika takut bahwa perlakuan mereka akan berubah ketika tahu apa yang sebenarnya terjadi?
Tapi, mau bagaimana pun aku berusaha diam, tak urung hal ini pasti akan terbongkar. Karena nggak lama setelah itu, ada perawat yang datang untuk mengecek kondisiku.
"Permisi ya, Pak, Buk, saya mau mengecek pasiennya dulu."
"Oh iya silakan, Mbak."
Perawat tersebut lalu melakukan prosedur pemeriksaan tanda-tanda vital seperti biasa, nggak lupa mengecek cairan infusku apakah masih atau sudah perlu diganti.
Mama dan Papa hanya memperhatikan, aku berharap mereka tidak menanyakan apapun kepada perawat ini.
"Mbak Rindu, sebentar lagi dokter obsgyn-nya akan visit ya. Sekaligus setelah ini persiapan operasi. Nanti Mbak Rindu akan kami pindahkan. Operasinya kurang lebih pukul sepuluh. Rileks aja ya Mbak sekarang. Jangan terlalu tegang."
Blam.
Aku bisa melihat eskpresi kaget yang ditunjukkan langsung oleh Papa dan Mama begitu mendengar kata obsgyn dan operasi. Sungguh, aku nggak tahu lagi setelah ini harus mengatakan apa.
Aku nggak siap.
"Operasi, Rind? Obsgyn? Maksudnya apa? Kamu kenapa, Sayang? Tolong jelaskan." Nada Mama Ratih yang beberapa saat lalu masih terdengar lembut, kini telah berubah.
Seolah aku telah menyembunyikan suatu rahasia besar, Mama Ratih meminta penjelasan lebih.
"Operasi apa, Rind?" Pun dengan Papa yang juga tak sabar mendengarku angkat bicara.
"Maaf, Ma, Pa---"
Belum juga aku mulai menjelaskan, tiba-tiba pintu ruang rawatku kembali terbuka.
"Ma, Pa, Hanif kira kalian udah balik." Mas Hanif langsung menginterupsi.
Kini Mas Hanif kembali datang dengan penampilan yang lebih fresh. Setelan kemeja baru dan snelli yang telah dikenakan sepertinya memang Mas Hanif akan mulai kerja.
"Hanif, jelaskan kepada kami. Sebenarnya Rindu sakit apa? Operasi apa hingga melibatkan Obsgyn? Kalian nggak???"
"Astagfirullah, Mama. Jangan salah paham dulu. Eh, Mama sama Papa sudah sarapan belum? Di kantin ada lontong sayur yang enak banget lho, Ma. Pake sayur lodeh krecek itu lho. Kesukaan Mama. Sarapan, yuk."
"Hanif, jangan mengalihkan pembicaraan."
Bahkan kini, Papa ikutan mengeluarkan suara tegasnya.
Aku takut.
Aku nggak tahu harus berbuat apa.
Inginku jujur pada mereka. Tapi aku nggak sanggup jika mereka berubah setelahnya.
"Mmm ... Ma, Pa. Ikut Hanif sebentar yuk. Rindu biar istirahat dulu. Habis ini mau persiapan operasi.
Sayang, Mas tinggal keluar sebentar ya," pamitnya kepadaku.
Aku mengangguk, sambil menyaksikan Mas Hanif membimbing kedua orang tuanya untuk keluar ruangan.
Silakan jelaskan semuanya, Mas. Mau tidak mau, aku harus siap apapun yang terjadi ke depannya.
Satu hal, kamu lupa menutup kembali pintu kamar rawatku begitu keluar. Sehingga obrolan kalian bisa terdengar begitu jelas di telingaku.
Obrolan yang sudah kuduga sebelumnya. Ketakutanku, juga hal-hal yang kubayangkan agar tidak terjadi di kemudian.
Tapi sekarang, seolah mimpi.
Semua terjadi di luar alur yang telah kurancang. Sebuah hal mengerikan yang tak sanggup untuk kubayangkan.
💊💉💊💉💊💉
"Kita setelah ini masuk ruang operasi ya, Sayang. Aku nggak bisa menemani masuk karena nggak punya kapasitas. Tapi satu hal yang harus kamu tahu. Di sini, doaku nggak pernah putus untuk menemanimu di dalam sana," ucap Mas Hanif begitu brankarku akan didorong keluar kamar rawat.
Aku telah berganti pakaian operasi berjubah hijau tua. Mas Hanif masih setia di sampingku. Entah dia izin kerja atau bagaimana, yang jelas, sejak tadi, dia setia mendampingku.
Mama Ratih dan Papa Ruslan sudah pamit pulang. Kurasa itu lebih baik, daripada beliau berdua di sini menyaksikanku dalam kondisi sangat tidak berdaya nantinya.
Terlebih ingatan itu kembali muncul begitu brankar yang didorong oleh perawat mencapai pintu ruang operasi.
"Sus, boleh tunggu sebentar? Saya mau berbicara dengan dokter Hanif," kataku meminta izin untuk menahan brankar agar tidak masuk terlebih dulu.
"Jangan lama-lama ya, Mbak. Dokter sudah nunggu di dalam."
"Sebentar kok, Sus."
"Rind, ada apa? Nanti saja ya setelah operasi dilanjutin ngobrol sepuasmu," kata Mas Hanif.
"Mas, sisa undangan yang belum disebar, tolong jangan disebar dulu, ya. Kita pikirkan baik-baik setelah ini. Pokoknya, jangan sebar undangan dulu," ucapku memberi penekanan pada setiap kalimat.
"Astagfirullah. Kamu ngomong apa, Rind? Nggak ada ya begitu-begitu. Undangan akan tetap disebar. Dan acara akan tetap berlangsung sesuai rencana." Tentu saja Mas Hanif langsung tidak terima.
"Maasss ...," lirihku, berusaha membuatnya kembali tenang.
"Sudah-sudah. Sus, bawa masuk langsung aja, ya."
Mas Hanif menolakku untuk berbicara lebih lanjut. Dan pintu operasi memisahkan kita untuk beberapa waktu ke depan.
Maafkan aku, Mas. Aku hanya tidak ingin mengecewakan dan menyakiti banyak pihak di kemudian. Terutama kamu.
Karena semua yang dikatakan Mama memang benar adanya. Dan seorang Mama tidak akan membiarkan anaknya menderita apalagi karena salah dalam memilih.
Mama sangat menyayangimu, Mas. Terlepas dari betapa aku juga mencintaimu sejuta kali sehari.
Allah, ini bukanlah rencanaku, mungkin aku luput memperhitungkannya kemarin. Lalu, bolehkah kini kuminta pada-Mu sekali lagi?
Berikanlah yang terbaik dari yang paling baik untuk kami berdua.
Kasih-Mu yang tak pernah kudustakan. Aku mempercayai itu, Ya Rabb.
______selamat merindu kembali______
Taraaaa, terima kasih yaaa karena kalian telah memaksaku untuk kembali menyuguhkan rindu dalam waktu yang singkat.
Terima kasih atas antusias di part kemarin.
Oh ya, berhubung ini banyak scene medis. Jika ada yang ngaco, tolong koreksinya ya sejawatkuuuh, hahaha.
Abisnya mau tanya Mas Hanif, entah ke mana dia.
Udahlah.
Well, selamat merindu
Tetep give me a lot of star for supporting. 🌟 🌟 🌟 yang baanyaaaaak.
Lav laaav
😘😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top