22. Rindu itu Menyiksa

🍋
🍇
🍋
🍇
🍋
🍇

Esok pagi di Stasiun Gubeng Baru, ada atmosfer yang berbeda dari dalam fortuner putih yang tengah parkir di depan pintu keberangkatan. Sunyi, sepi, dan kami saling terdiam sibuk menyelami pikiran masing-masing.

Kemarin sepulang dari Malang, aku memberitahukan isi pesan Whatsapp dari Baginda Fikri kepada Mas Hanif. Sekaligus niatnya meminta izin untuk bisa berangkat hari ini. Memang, tanpa izinnya sekalipun tak jadi masalah, karena bagaimana juga Mas Hanif belum resmi menjadi suamiku, jadi tidak ada kewajiban untuk hal itu. Tapi, apa pantas aku pergi diam-diam tanpa mengabarinya? Meskipun pada akhirnya kutahu reaksinya bakal begini.

Mas Hanif memang tidak mengiakan, tidak pula melarang. Dan aku juga nggak pengin berasumsi macam-macam dengan aksi diamnya kali ini. Dia hanya mengatakan akan menjemputku dan mengantarkan ke stasiun. Jadilah kami sekarang berada di sini.

Masih ada tiga puluh menit sebelum jadwal keberangkatan tiba. Aku masih enggan turun dari mobilnya jika kami masih sama-sama seperti ini. Setidaknya, ayolah mas, jangan mendiamiku.

Kulihat sekilas, Mas Hanif sedang sibuk menekuri ponselnya. Sosok yang belum pernah kulihat sebelum ini dari seorang Hanif Zarchasi. Begitu dingin, bahkan mampu menandingi suhu AC yang terembus dari dashboard mobil.

"Mas, kenapa?" Pada akhirnya, akulah yang memutus rantai kesunyian ini.

Namun, tidak sampai di situ saja upayaku untuk membuatnya kembali bersuara. Karena Mas Hanif hanya menanggapi dengan gelengan.

"Mas, bukannya Mas bilang kalau apapun yang mengganjal harus saling dikomunikasikan? Jujur, aku nggak tahu salahku apa sampai Mas diam kayak gini. Tapi, jika itu karena keberangkatan dinasku kali ini, tolong maafkan aku, Mas. Aku pun nggak pengin, tapi aku nggak bisa mengelak."

Mas Hanif menaruh ponselnya kemudian mengubah posisi sehingga bisa menghadapku. Terdengar helaan napas lelah dari Mas Hanif, entah apa yang dipikirkan hingga ia sepertinya begitu kesal.

"Aku nggak pernah melarangmu dalam hal apapun, Rind. Terlebih kamu belum istriku, aku nggak punya hak untuk itu. Pun jika itu berkaitan dengan kerjaan. Karena dari awal aku juga sudah tahu bagaimana kamu bekerja kan? Tapi, bisakah kamu menempatkan acara kita dalam prioritas tertinggi untuk saat ini? Hanya saat ini sampai terlaksananya acara nanti."

Aku terhenyak, nggak pernah menyangka bahwa Mas Hanif memendam perasaan seperti itu. Aku nggak bermaksud untuk melupakan persiapan pernikahan kami dengan keberangkatanku ini. Sama sekali nggak.

"Mas, tapi ini tugas. Aku nggak bisa menolak jika itu perintah langsung dari atasanku."

"Apa auditor di kantormu itu hanya kamu? Kamu nggak kerja, kantormu nggak akan tutup, Rind."  Sangat jelas perkataan Mas Hanif barusan membuatku terkesiap. Kaget, tentu saja. Karena sebelum ini, Mas Hanif tidak pernah menunjukkan sikap yang demikian.

"Bukan gitu---"

Belum selesai aku melakukan pembelaan, Mas Hanif kembali menyahut, "atau jangan-jangan sampai sekarang kamu belum mengajukan cuti menikah?"

Astagfirullah.

"Lalu, kalau kamu mengajukan cuti dadakan kemudian mereka nggak setuju, apa kamu akan membatalkan pernikahan kita karena kamu nggak bisa mengelak perintah atasan?"

Sampai di titik ini, aku habis kata untuk menimpali Mas Hanif. Karena apa yang dia katakan memang benar adanya. Sampai saat surat tugas itu diturunkan, aku belum juga menghadap HRD untuk mengajukan cuti. Mungkin terdengar sepele, tapi Mas Hanif ada benarnya. Belum tentu HRD langsung approve. Terlebih sebelum itu aku harus mengisi form cuti yang ditandangi oleh Pak Fikri dan Pak Vincent selaku atasan di divisiku. Belum lagi pelimpahan pekerjaan jika nanti kutinggal cuti. Semua itu seharusnya sudah kupikirkan jauh-jauh hari.

Allah, kenapa aku bisa selalai ini?

"Subhanallah, nggak gitu, Mas," lirihku berusaha meredam atmosfer yang kian memanas.

"Maaf, Rind. Dari kemarin saya udah berusaha berhuznudon, tapi tetap nggak bisa. Jujur saya kecewa. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga tugas kerja, mungkin dengan ini saya harus belajar untuk bisa mengerti kamu di kehidupan yang akan datang."

Sungguh, tolong jangan menjadi seperti ini, Mas. Situasi yang makin membuatku merasa bersalah. Mas Hanif begitu dingin sampai kembali membahasakan dirinya menjadi 'saya'. Apa segitu kecewanya kamu sampai harus begitu, Mas?"

Aku kangen sikap jahilmu seperti biasa.

"Sudah hampir pukul sembilan, kamu masuk gih. Biar nggak ketinggalan kereta," katanya, kali ini tanpa melihatku.

Aku menggeleng pelan. Aku belum pengin beranjak jika masalah di antara kami belum usai. Aku nggak mau meninggalkannya dengan rasa yang masih menggantung ini. Rasa yang sukses membuat dadaku pengap sepagi ini.

"Maafin saya kalau kata-kata tadi menyakitimu, Rind. Nggak seharusnya saya begitu. Bagaimana pun, saya belum punya hak apapun atas kamu. Termasuk melarangmu berpergian dinas." Mas Hanif melanjutkan.

Sementara aku masih sibuk menetralkan hatiku yang makin gemeretak karena serangan dadakan ini. Nyeri dan ngilu yang bercampur menjadi satu.

Beberapa orang mulai ramai memasuki pintu keberangkatan, kulihat sekilas jam di pergelangan, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima menit. Sepuluh menit lagi roda Ranggajati akan berderit.

Aku nggak bisa terus-terusan di sini, bukan?

Namun, belum juga akan beranjak, tiba-tiba perutku terasa seperti tertekan, bergejolak tak menentu.

"Ssshh," ringisku pelan, berusaha agar nggak terdengar oleh Mas Hanif.

"Kalau gitu, aku berangkat ya, Mas. Maaf kalau aku membuatmu kecewa," kataku sambil menahan rasa sakit yang entah mengapa datang tanpa permisi.

Mas Hanif tampak memperhatikanku sekilas, mengernyit heran karena mungkin melihat ekspresiku yang tak biasa.

"Kamu kenapa?" tanyanya sebelum aku turun dari mobil.

Sekali lagi aku menggeleng kemudian benar-benar memutuskan untuk meninggalkannya. "Assalamualaikum," pamitku.

Maafkan aku, Mas.

Sambil sedikit tertatih aku menuju ke dalam stasiun untuk check in. Sedahsyat ini rasa sakitnya sampai dadaku yang memang sudah pengap karena momen bersama Mas Hanif tadi, jadi semakin sesak akibat gejolak dalam perut yang sepertinya sudah mengenai ulu hati.

Aku memasuki peron, beruntungnya gerbong keretaku tepat di tengah sehingga tak perlu jalan lebih jauh lagi untuk mencapainya. Beruntung pula satu gerbong yang kutempati tidak begitu penuh, dan sepertinya bangku di sebelahku juga tak berpenghuni. Setidaknya, aku bisa istirahat lebih leluasa setelah ini.

Untuk Mas Hanif, aku janji akan menyelesaikan semuanya setelah pulang dinas nanti. Tunggu aku, Mas.

🍋🍇🍋🍇🍋🍇

Tiba di Purwokerto kurang lebih pukul enam sore, lebih lambat lima belas menit dari jadwal yang tertera. Adzan Magrib terdengar baru saja selesai dikumandangkan. Menggunakan taksi Stasiun, kini aku menuju hotel tempatku menginap yang berada di Jalan Jendral Sudirman.

Kalau kalian menanyakan bagaimana kondisi perutku saat ini, kurasa, tidak lebih baik dari tadi pagi ketika berangkat. Sepanjang perjalanan, sakitnya tak kunjung membaik meski aku sudah mengonsumsi obat pereda nyeri yang kuminta ke petugas KAI. Jadi untuk mengabaikan hal itu, aku memilih untuk tidur sepanjang perjalanan.

Audit di Purwokerto selalu punya cerita tersendiri. Karena waktu satu hari hanya kami gunakan untuk perjalanan baru keesokan harinya kami melaksanakan tugas. Biasanya, malam hari kami akan menghabiskan waktu untuk mengeksplor kota perwira ini. Beberapa kali kami pernah ke Baturaden, atau jika terlalu lelah, mungkin kami hanya akan wisata kuliner. Mencoba beragam makanan yang sekiranya belum pernah ada di Surabaya. Atau lebih sederhana lagi, palingan aku dan partner hanya menghabiskan malam di alun-alun sembari duduk menyaksikan anak-anak bermain sambil menikmati jajanan pinggir jalan. Alih-alih kongkow ria di mal depan alun-alun yang begitu megah. Ketimbang mal saja, di Surabaya kan banyak. Begitu pikir kami.

Itu biasanya, tapi kali ini tidak biasa.

Karena sekarang aku berangkat audit sendiri setelah beberapa waktu vakum dari dunia perauditan. Pertama karena kemarin Baginda Fikri meminta untuk menghandle langsung proses audit. Kedua, karena setelah hantaman kasus demi kasus yang ada di gudang Cirebon, Baginda Fikri begitu concern terhadap segala hal yang berhubungan dengan administrasi gudang. Termasuk mengawasi langsung bagaimana tim admin sales bekerja.

Menjalani audit seorang diri memang ada enak dan nggak enaknya. Enaknya sih kita bisa bebas mengatur waktu sesuai dengan ritme kita sendiri. Misal setelah audit kita mau melancong ke mana, atau mau mampir ke mana dulu, maka tidak perlu meminta pertimbangan pada partner. Nggak enaknya sih jelas beban audit lebih berat. Kerja pun kudu lebih ekstra. Bagian nggak enaknya lagi adalah ketika kita lagi sakit begini, kerasa banget sendirian di kota orang. Mau ngapa-ngapain juga susah. Jadilah aku hanya bisa terpekur menikmati sakit di kamar hotel ini.

Terlebih, ada rasa yang tertinggal di Stasiun Gubeng pagi tadi. Belum kelar, dan butuh penyelesaian segera. Tapi hingga malam tiba, gawaiku tidak ada tanda-tanda menunjukkan pesan atau panggilan masuk dari orang yang kuharapkan.

Mau memulai terlebih dahulu, aku hanya takut bahwa Mas Hanif masih dikuasai oleh emosinya tadi pagi. Mungkin, lebih baik memang begini saja. Biarkan kami mendinginkan kepala masing-masing.

🍋🍇🍋🍇🍋🍇

Hingga pagi menjelang, pesan Whatsappku tidak ada perubahan. Belum ada tanda bahwa dia akan mengabariku. Hanya beberapa pesan dari Pak Fikri yang memberi bahan untuk kugali lebih lanjut ketika audit nanti. Juga pesan dari Bunda yang menanyakan apakah kondisiku sudah mendingan. Iya, pada akhirnya semalam aku memilih untuk menelepon bunda dan menceritakan kondisiku saat ini. Tentu saja bunda cemas, tapi kuyakinkan lagi kepada beliau untuk tidak terlalu khawatir. Bahwa aku baik-baik saja dan hanya butuh istirahat sedikit lebih lama.

Benar memang, karena pagi ini setidaknya lebih baik. Nyeri di perut yang kurasa kemarin sudah hilang. Masih ada sisa obat yang diberikan sama petugas KAI, maka aku memilih mengonsumsi itu setelah makan malam. Berharap, hari ini akan berjalan lancar sehingga aku bisa segera pulang.

"Assalamualaikum Mbak Rindu," sapa Pak Mahmud, yang akan menemami proses auditku hari ini.

"Waalaikumsalam, Pak," balasku sambil mengatupkan tangan.

Pak Mahmud menjemput di lobi hotel tepat setelah aku menyelesaikan sarapan.

"Langsung berangkat, Mbak?"

"Boleh, Pak."

"Maaf ya, Mbak. Beke inyong kesiangan. Habis ngantar anak sekolah dulu," kata beliau sambil mulai menjalankan mobil.

"Mboten, Pak. Pas kok, saya juga kesiangan soalnya, baru selesai sarapan."

Pak Mahmud ini adalah technical sales area Jawa Tengah bagian Barat. Tugasnya memang menghandle para customer yang berada di area ini. Termasuk mengawasi bagaimana gudang bekerja, seharusnya.

Berbeda dengan Cirebon yang tidak memiliki TS, sebutan yang sering kami gunakan. Di Purwokerto ini, customer yang tersebar lebih banyak dan merata. Sehingga keberadaan TS memang cukup diperlukan.

"Harga ayam lagi anjlok ya, Mbak?" tanya beliau membuka obrolan.

Wah, kalau sudah mulai ngobrolin ayam begini, jujur deh aku nggak tahu. Mungkin yang lebih paham adalah Sherly dan anak sales lainnya. Tapi, meskipun nggak tahu, aku tetap menanggapi beliau.

"Oh, nggih tho, Pak?"

"Iya, Mbak. Beuh, peternak lagi bangkrut-bangkrutnya, Mbak. Kemarin saja bahkan dibagikan gratis ke warga karena harganya yang nggak masuk akal. Masak per ayam siap panen dihargai empat ribu, Mbak. Dapat apa peternak itu?" cerita beliau dengan logat khasnya yang selalu menarik, ngapak.

"Loh, dipasaran tapi masih 28-an tuh, Pak," kataku. Karena beberapa waktu lalu saat aku belanja untuk membuatkan bekal Mas Hanif yang kutahu harga Ayam masih kisaran puluhan ribu per kilo.

"Harga pasar itu kan sudah ada range-nya, Mbak. Nggak serta merta bisa berubah mengikuti kondisi di lapangan. Jadilah kemarin peternak gelar aksi protes dengan membagikan ayam gratis. Harapannya ya biar harga ayam stabil lagi."

"Kok bisa sampai anjlok gitu kenapa lho, Pak?"

"Imbas dari lebaran kemarin itu lho, Mbak. Kebanyakan stok ayam. Ketika siap panen, permintaan pasar nggak ada peningkatan. Stagnan bahkan cenderungnya menurun. Jadilah para peternak berlomba-lomba menurunkan harga agar istilahnya laku di pasaran. Kebablasan, jadinya begini, Mbak."

Mendengarkan beliau bercerita walau nggak sepenuhnya kupahami tapi cukup menyenangkan karena bisa menambah pengetahuan. Aku hanya ber-oh ria sepanjang cerita itu terus mengalir.

Sampai kami telah tiba di gudang yang letaknya di Bobotsari, daerah Purbalingga. Memang sedikit jauh dari Purwokerto. Tapi karena aksesbilitas kami melalui kota Purwokerto, jadilah kami sering menyebut audit gudang Purwokerto. Padahal letak gudangnya di Purbalingga.

Kami tiba langsung disambut oleh pemilik gudang, Pak Huda namanya.

"Assalamualaikum, Mbak Rindu. Lama sekali kayake jenengan nggak ke sini ya, Mbak," sapa beliau, dengan logat yang sama.

Kadang aku senyum-senyum sendiri ketika mendengarkan mereka berbicara, terdengar lucu dan menggemaskan.

"Waalaikumsalam, Pak. Iya, kemarin kan Pak Fikri yang lagi pengin berangkat. Sekarang saya yang ditugaskan kembali," jelasku.

Selain itu aku juga bertemu Mbak Fitri, bagian administrasi. Biasanya dengan Sherly-lah mbak Fitri ini berhubungan.

"Gimana Mbak laporan stoknya, aman?" tanyaku sebelum memulai proses audit."

"Ya ada selisih sih, Mbak. Kemarin saya sudah cocokan sama Mbak Sherly, tapi belum nemu selisihnya di mana." Ketika jawaban dari si Fitri itu demikian, maka aku nggak banyak berharap dari proses audit kali ini.

Down tiba-tiba ketika membayangkan keruwetan apa yang kutemui nanti.

"Kita hitung fisik dulu bae, lah, Mbak. Ayo saya temani," kata Pak Huda yang membimbingku menuju gudang yang terletak di belakang kantor untuk meninjau langsung.

Proses bongkar muat sedang berlangsung, kuminta untuk diselesaikan terlebih dahulu satu truk yang sudah terlanjur, baru setelahnya akan kuhitung. Singkat saja, dengan bantuan Pak Mahmud, Pak Huda serta kuli yang ada di gudang, aku mulai menghitung perlahan berharap tidak ada yang terlewat.

Beberapa bagian yang susah untuk dipastikan jumlahnya, membuatku kudu rela naik ke tumpukan pakan untuk memastikan hitungan versi kuli benar adanya. Nggak peduli lagi deh, bahwa semalam perut sakit maha dahsyat dan pagi ini baru mendingan. Yang penting urusan audit cepat kelar. Titik.

Sejam menghitung, setelahnya aku langsung cocokan dengan Mbak Fitri. Kuminta dia untuk mengeluarkan semua alat yang bisa dipakai. Kartu stok gudang, surat jalan, apapun yang bisa kuperiksa.

Dan yaaa seperti biasa, proses seperti ini tidak pernah mudah, tidak pernah sederhana, dan yakin tidak akan selesai dalam satu waktu.

🍋🍇🍋🍇🍋🍇

Kembali ke Surabaya dengan sejuta pe-er di tangan seperti yang sudah-sudah. Aku sampai di Surabaya pukul setengah enam pagi dari keberangkatan setengah sepuluh semalam via kereta Bima.

Aku sudah izin Pak Fikri untuk istirahat setengah hari. Baru nanti siang rencananya akan ngantor. Nggak mungkin juga aku nekat ke kantor sementara semalaman di kereta mata ini sama sekali belum terpejam. Perutku kembali sakit. Sampai saat ini, di mana aku masih harus menunggu grab pesananku datang menjemput.

Jangan tanyakan kenapa aku nggak meminta jemput Mas Hanif. Tolong soal Mas Hanif kita selesaikan nanti saja. Sekarang biarkan aku istirahat dulu.

🍋🍇🍋🍇🍋🍇

Tiba di kantor saat afterlunch. Beberapa teman kantorku ada yang baru balik dari makan siang di luar. Beberapa lainnya baru turun dari lantai tiga.

"Gimana perjalanannya, Rind?" tanya Mbak Tyas basa-basi.

"Ya gitu deh, Mbak. Capek," jawabku sambil menuju kubikel.

Melewati akurium alias kubikel besar milik Baginda Fikri, kuintip sebentar melalui kaca transparan di antara kaca buram yang menyelimuti. Masih kosong, mungkin beliau masih istirahat salat. Lagipula belum ada pukul satu siang, bel juga belum bunyi, wajar jika beliau belum kembali.

Aku memutuskan untuk ke kubikel dan bersiap terlebih dahulu.

Lagi-lagi kubuka ponsel berharap ada satu notifikasi yang membuatku kembali semangat. Nothing. Whatsapp sepi, hanya beberap pesan grup kerjaan yang belum juga kubuka.

Mas Hanif, aku Rindu, sedang merindukanmu.

Ah, mumpung masih jam istirahat, aku berinisiatif untuk meneleponnya lebih dulu. Tenang, kalem.

Hanif Zarchasi 📞

Kudial nomornya, nada sambung terdengar. Tapi, belum ada sahutan dari seberang hingga beberapa saat berlalu. Coba yang kedua kali, sudah pukul satu, harusnya Mas Hanif sudah kembali bekerja. Naas, hingga percobaan kelima, panggilanku belum juga terjawab.

"Rind, sudah masuk?" Aku terlonjak mendapati suara yang tiba-tiba mengagetkan.

"Astagfirullah, Bapak. Saya kira siapa." Pak Fikri muncul dari balik kubikel.

"Maaf-maaf kalau bikin kaget, hehehe. Gimana? Everything okay? Well done?"

"Not sure," jawabku pasrah.

"Saya tunggu di akurium ya, Rind. Bawa apapun yang bisa kamu laporkan," kata beliau begitu melihat ekspresiku yang tidak meyakinkan.

"Baik, Pak." Kemudian beliau berlalu, sementara aku bergegas untuk menyusul.

Seperti biasa, Baginda Fikri akan meminta penjelasan terkait apa saja yang  kudapatkan selama audit kemarin. Keganjilan, atau hal-hal yang sekiranya perlu diselidiki lebih lanjut. Apalagi terkait transaksi keluar masuk barang. Bagaimana bisa barang yang ada di gudang selisih dengan laporan yang digarap oleh admin. Ada miss di mana, apa yang terlewat, atau apa yang salah, itu yang kita cari betul-betul.

Pembahasan cukup alot sampai kami harus memanggil tim admin sales yaitu Sherly. Ternyata kehadiran Sherly pun tak cukup membantu, karena dia juga turut bingung dengan laporan versi gudang.

Sampai pukul empat sore kami tenggelam dalam diskusi yang buntu itu. Pak Fikri menjeda, "Ya sudah, Ashar dulu yuk, biar ketemu jalan keluarnya. Kalau nggak gitu ya dilanjut besok. Saya lagi nggak bisa lembur," kata Pak Fikri.

Sementara Sherly pamit kembali ke kubikelnya, aku menahan Pak Fikri untuk tinggal sejenak.

"Maaf, Pak. Ada yang mau saya bicarakan dulu."

"Nggak bisakah kita salat dulu, Rind?"

"Maaf, Pak. Sebentar saja. Nggak sampai lima menit."

Beliau kembali duduk lalu menatapku serius.

Aku mengeluarkan satu lembar kertas yang sudah kutanda-tangani. Lembar yang akan kukabarkan kepada seseorang yang membuatku benar-benar merindunya.

"Saya izin cuti menikah, Pak," kataku.

Beliau membaca sekilas form tersebut sebelum akhirnya kembali menatapku dengan tatapan tajamnya. Beberapa detik, komentar belum juga keluar.

Tapi ...

Satu senyum.

"Ashar dulu, yuk. Nanti kita bicarakan lagi."

Baiklah.

Aku mengikuti beliau ke lantai atas, mengajak anak-anak lain yang sekiranya belum salat juga. Tapi, ketika aku baru saja menginjakkan kaki di tangga terakhir sebelum lantai tiga, tiba-tiba serangan rasa sakit yang begitu dahsyat kembali  kurasakan di perutku.

Kali ini seperti dikoyak, "Astagfirullah, ssshhhh," lirihku sambil mengelus perut berharap sedikit membaik.

"Eh, Rind, kenapa?" Kata Mbak Desy yang kebetulan salat barengan.

"Nggak tahu, Mbak. Perutku sakit."

"Loh, eh. Duduk dulu, yuk."

Ketika aku baru saja akan duduk, kali ini bukan hanya perut yang sakit. Pandangan mataku tiba-tiba mengabur. Pening melanda. Dan entah bagaimana kelanjutan setelahnya. Karena setelah itu, aku nggak ingat.

Mungkin hanya suara panik Mbak Desy yang masih kudengar samar lalu kian menghilang.

_______selamat merindu kembali______





Lav,
😘😘😘
Chaa~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top