21 Rindu Menjelang Hari H

🍐
🍌
🍐
🍌
🍐
🍌

Persiapan jelang pernikahan semakin mendekati hari H. Banyak hal yang telah dan sedang kami lakukan. Baju sudah masuk proses jahit. Katering sedang dinego oleh Bunda, katanya mau pakai katering Tante Ayu, iparnya Budheku, mamanya Vanya. Beberapa kerabat dan sanak saudara merasa cocok dengan makanan yang tersaji saat acara pernikahan Nadzira beberapa waktu yang lalu. Lalu Bunda turut mengajukan katering tersebut menjadi vendor untuk meng-handle soal menu prasmanan saat pernikahanku nanti. Kami memang tidak menyewa wedding organizer. Mama Ratih, Mbak Atiqa, justru yang menjadi penggagas untuk mengurus semua ini sendiri. Dengan sistem pembagian pihakku mengurus apa, pihak Mas Hanif kebagian apa, maka pelan tapi pasti, sedikit demi sedikit persiapan mendekati rampung. Meski masih banyak hal, tapi lumayan lah.

Undangan baru saja selesai cetak. Siap untuk disebar kepada para tamu. Untuk undangan fisik kami sengaja tidak mencetak dalam jumlah yang besar. Mungkin hanya untuk para rekanan dan kolega orang tua kami yang setidaknya masih menganggap undangan fisik sebagai bentuk menghargai diri. Sementara, undangan digital memang kami khususkan untuk teman-teman terdekat kami. Bahasa sekarang sih para millenial, jadi cukup dengan undangan digital mereka pun akan paham dan mengerti. Lagipula, ya sedikit langkah kecil kami ini semoga bisa menyumbangkan dampak sebagai aksi jaga lingkungan, menghemat kertas, artinya kita juga turut penjaga populasi pohon sebagai bahan utama pembuatan kertas.

Hahaha, terlalu diplomatis, but it's true.

Kalau dihitung dari sekarang, pernikahan kami tersisa kurang lebih tiga minggu lagi. Sedikit lebih cepat dari kesepakatan awal yang rencananya akan dilaksanakan seminggu setelah Idul Adha. Dengan pertimbangan kedua belah pihak keluarga telah siap, maka pernikahan akan disegerakan. Jelas itu lebih baik, daripada kami ke mana-mana dalam status yang belum halal. Kami berdua pun manut, karena bagaimanapun ini adalah pengalaman pertama kami. Sementara mereka para sesepuh pastinya sudah jauh berpengalaman dalam hal beginian.

Mas Hanif justru senang sekali ketika tahu bahwa acara dimajukan satu bulan. Kami kemudian langsung konfirmasi ke percetakan untuk mengganti tanggal di undangan. Untung saja saat itu belum naik cetak, jadi masih bisa diedit.

"Rasanya tiga minggu itu lama banget ya, Rind?" kata Mas Hanif ketika kami sedang makan malam sepulang kantor di hari jumat.

"Sabar, kalau dihitungin malah makin lama," ucapku.

Selama proses kami saling menyelami pribadi satu sama lain, memang tidak ada hal yang terlalu spesial yang terlewat. Karena memang kami jarang menghabiskan waktu berlama-lama hanya berdua saja. Palingan pulang-pergi ke kantor bareng, itu pun hanya menghabiskan waktu kurang lebih satu jam. Pulang juga jarang sekali setelahnya kami lanjut jalan. Sudah sama-sama lelah karena seharian tenggelam dalam pekerjaan. Mungkin hanya beberapa kali kami makan malam bersama itu pun karena sebelumnya kami ada urusan untuk mengurus pernak-pernik pernikahan. Misalnya usai mengurus dekor, ke percetakan, atau ke vendor-vendor lainnya.

Jadi kalau dibilang kami sudah saling mengenal?

Mmm, belum sepenuhnya. Mungkin penjajakan setelah menikah sambil pacaran lebih menyenangkan. Lebih leluasa juga untuk ngapa-ngapain. Hahaha.

"Gimana hari ini?" tanyanya di sela kami menikmati santap malam.

"It should be better. Ada kalanya kerjaan emang bisa senganggur ini. Dan ada masanya masalah demi masalah datang menghujam," jawabku.

"Betul. Karena masalah ada beserta solusinya. Jadi, ketika kita sedang dihadapkan pada suatu masalah tertentu, nggak perlu panik. Justru kalau panik biasanya malah amburadul. Tetap tenang sambil berpikir langkah apa selanjutnya yang akan diambil. Itu nggak cuma dikerjaan. Malahan itu relateable untuk diaplikasikan di kehidupan sehari-hari." Kurasa Mas Hanif sedang memberikan kultum.

Aku mengangguk saja mendengarkannya yang malam ini terlihat berbeda. Iya, tumben jahilnya nggak muncul. Yang di depanku justru sosok Mas Hanif penuh wibawa dengan kebijaksanaannya. Gimana aku nggak makin jatuh hati jika seperti ini?

Menurutku, menanyakan apa yang terjadi hari ini. Atau bagaimana harimu berlalu, itu lebih dari sekadar perhatian basa-basi seperti sebuah pertanyaan lagi apa atau sudah makan/belum dan pertanyaan sejenis lainnya sebagai penyambung sebuah percakapan.

Dan, aku selalu senang ketika Mas Hanif sudah bertanya demikian. Dengan begitu maka biasanya mengalirlah semua hal yang telah kulalui hari ini. Mulai dari konteks kerjaan hingga apapun yang sekiranya menarik untuk diobrolkan. Meski nggak lama seperti kataku tadi, tapi obrolan ringan seperti ini ampuh meredakan lelah seharian.

Ketika kami masih asyik berbincang, ponselku tiba-tiba bergetar. Ada panggilan masuk dengan nama Zia yang tertera di layar. Tumben sekali anak ini.

Aku memberi isyarat pada Mas Hanif untuk mengangkat. Mas Hanif mengangguk kemudian kembali bergulat dengan makanan di depannya.

"Assalamualaikum, iya Zi?" sapaku pada Zia di seberang sana.

Suara Zia sedikit panik. Zia berbicara sambil merepet begitu cepat, membuatku memintanya mengulang.

"Subhanallah," lirihku, sambil melihat Mas Hanif ketika Zia usai menjelaskan sesuatu.

Mas Hanif mengernyit tanda tak paham dan meminta penjelasan lebih.

"Yauda kamu update kabar terus ke Mbak ya. Nanti Mbak juga kabarin kamu," pesanku pada Zia sebelum sambungan akhirnya terputus.

"Ada apa, Rind?" Mas Hanif langsung menodongku dengan pertanyaan.

Aku bingung harus memulai dari mana. Takut bahwa apa yang kusampaikan akan mengangetkannya. Tapi, ini harus, bagaimana pun juga Mas Hanif perlu dan harus tahu meski yang bersangkutan melalui Zia melarang untuk memberitahukan hal ini.

"Rind, ada apa? Itu tadi Zia?"

Kupikir aku nggak bisa berkelit lagi. Mas Hanif tahu bahwa tadi yang mengobrol denganku adalah Zia. Mungkin juga Mas Hanif bisa mendengar samar-samar karena Zia berbicara terlalu kencang.

"Itu, Mas. Kina sakit," ucapku pada akhirnya.

Zia dengan suara paniknya mengabarkan bahwa Shakina, adik mas Hanif, sedang demam dari kemarin. Sudah minum obat penurun panas namun belum juga reda. Beberapa kali Zia menawarkan untuk mengantarnya ke dokter tapi Kina menolak. Sampai puncaknya sore tadi, kata Zia, Kina muntah-muntah hingga lemas. Zia semakin khawatir dan nggak tahu harus berbuat apa. Apalagi mereka tidak satu kos, menjadikan Zia tidak bisa selalu standby untuk memantau kondisi Kina. Sementara menurut Zia, Kina melarang Zia untuk mengabari orang rumah. Beruntungnya Zia tak mengindahkan lalu menelponku untuk disampaikan ke Mas Hanif.

"Rind, bisa teleponin Zia lagi? Aku mau ngomong sama Zia." Setelah kuceritakan semua, Mas Hanif ikutan gelisah, namun berusaha setenang mungkin.

Bagaimana pun, Kina adalah adik bungsunya, lalu kini ia sedang di Kota tetangga dan jauh dari keluarga. Meski ada Zia yang kuyakin mereka bisa saling jaga. Tapi tetap saja, namanya dikabari kalau adik sakit. Pasti khawatir lah.

Aku kemudian menyambungkan Mas Hanif dengan Zia.

"Iya, Zi. Ini Mas Hanif. Gimana kondisi Kina sekarang, Zi? Masih demam? Udah makan belum?"

Aku mendengarkan saja Mas Hanif yang sedang serius mengobrol dengan Zia.

"Heem, terus muntah lagi?"

Masih berlanjut sampai Mas Hanif berpesan untuk melakukan tindakan medis sederhana, seperti mengompres dan menjaga asupan minum pada Kina agar jangan sampai dehidrasi. Mas Hanif juga menyebutkan beberapa merk obat yang perlu Zia berikan kepada Kina. Meski mereka mahasiswi Farmasi, tapi bagaimana pun, pemberian obat nggak bisa sembarang, minimal ada advise dari dokter. Lebih baik lagi kalau menggunakan resep.

"Ya sudah nanti Mas WA merk obatnya lagi ya. Biar kamu enak nunjukin ke apotekernya. Mas titip Kina ya Zi. Makasih banget. Assalamualaikum," tutup Mas Hanif mengakhiri percakapan dengan Zia.

"Rind, kayaknya aku harus ke Malang deh. Kina tuh kalau sakit nggak bisa dibiarkan sendiri. Pasti bakal bebal tuh anak nggak mau minum obat, apalagi dibawa ke dokter. Gimana menurutmu?" tanya Mas Hanif masih dengan raut muka cemas.

"Nggak apa-apa, Mas. Sebaiknya Mas Hanif juga kasih tahu Mama dan Papa."

"Iyalah pasti. Meski risikonya Mama bakal langsung telepon Kina dan ngomel-ngomel. Kalau Papa paling tetap stay cool padahal ya khawatir juga." Ah, aku kini tahu sikap sok cool-nya itu menurun dari siapa. Sok cool padahal aslinya jahil abis.

"Kamu temenin ya?"

"Aku?"

"Iya, sayang. Masa aku sendirian ke Malang. Nggak mau ah."

"Aku lebih nggak mau lagi kalau ke Malang sama kamu aja. Berduaan Mas. Jauh itu, dan lama. No," kataku.

"Iya, aku pun paham, Sayang. Aku akan cari cara biar kamu bisa ikut tapi tetap aman," ucapnya dengan begitu yakin.

🍐🍌🍐🍌🍐🍌

Keesokan harinya, Sabtu pagi, wacana untuk ke Malang menjadi nyata. Mas Hanif pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumah, dan tentu langsung disambut hangat bak anak sendiri oleh Ayah dan Bunda. Ternyata Mas Hanif hendak meminta izin ke Ayah untuk mengajakku ke Malang. Sungguh, kukira rencana tersebut nggak jadi, karena setelah kami selesai makan semalam, Mas Hanif tidak membahas lagi agenda untuk pergi ke Malang.

Ayah tentu nggak mengizinkanku begitu saja. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Sudah macam promo-promo berhadiah kan?

Ayah meminta Ical atau Aufar untuk menemaniku agar kami tidak berduaan. Dan, dari dua adikku tersebut akhirnya Ical-lah yang dengan sukarela mengorbankan weekend-nya untuk menemaniku. Sementara Aufar beralasan ada acara di sekolah yang nggak bisa ditinggal. Dih, kuyakin itu hanya alibi karena Aufar memang dasarnya malas pergi-pergi jika tidak acara yang begitu penting.

Sekitar pukul tujuh setelah kami sarapan, kami langsung berangkat via tol Surabaya-Malang yang terhubung langsung melalui tol baru Pandaan-Malang. Dengan harapan bisa sampai di Malang hanya satu jam seperti yang ramai diberitakan. Maka, Mas Hanif memasang kecepatan penuh untuk menjajal kebenaran tersebut.

Ical sengaja kuminta menemani Mas Hanif di depan, biar ada teman ngobrol dan nggak ngantuk. Lagipula lebih enak seperti itu untuk menghindari fitnah dan hal lainnya. Sementara aku duduk di kursi tengah, bersantai sambil menikmati dua lelaki kesayanganku ini saling membicarakan apapun mulai dari hobi hingga bisnis yang kukira mereka begitu cocok.

Kurang lebih, satu jam setengah kami sudah sampai exit tol Karanglo. Tujuan utama kami memang menengok Kina. Namun kubilang sama Mas Hanif bahwa aku pengin ke rumah Fita, silahturahmi sekaligus menyerahkan undangan. Entah sudah berapa lama kami tidak bertemu. Terakhir ya acara empat bulanan si Rahay. Bahkan Diva melahirkan saja belum sempat kutengok. Tapi kalau lanjut ke Lumajang sepertinya nggak memungkinan jarak dan waktunya. Jadi, biarkan kali ini aku mengunjungi sahabatku si Fita saja.

"Rind, Cal, langsung ke kosnya Kina dulu ya?" tawar Mas Hanif.

"Iya, Mas. Ini Zia masih di sana kok. Semalem nginep dia. Nggak tega ninggal Kina katanya," tambah Ical yang mungkin sedang berbalas WA dengan adiknya.

"Alhamdulillah kalau gitu. Kok ya jodoh gitu ya, Rind. Kina dan Zia ternyata teman dekat," ucapnya. Sementara aku hanya mengaamiinkan dalam doa.

Aamiin, semoga memang kita berjodoh sampai nanti, Mas. Nanti, akhir waktu di mana kita tidak bisa mengelak lagi suatu perpisahan.

Kemudian Mas Hanif langsung melajukan mobilnya ke daerah Kembang Kertas, tempat kos Kina.

Empat tahun di Malang menjadikanku begitu hapal tiap lekuk jalanan kota ini. Jadi, tanpa navigasi online Mas Hanif hanya perlu menuruti arahanku untuk sampai di tempat tujuan. Meski ini bukan kali pertama dia kemari, tapi katanya dia nggak begitu hapal.

Sampai di kosan Kina, kami langsung izin kepada penjaga Kos untuk masuk ke dalam.

"Mbak, Mas. Alhamdulillah, akhirnya nyampe juga." Zia turun dari lantai dua setelah Ical mengabari kalau kami telah sampai.

Zia langsung membawa kami ke kamar Kina yang terletak di lantai dua. Tadi sudah izin sama penjaga kos bahwa kami keluarga Kina sehingga kami langsung dibolehkan masuk ke dalam kamar.

"Kina," sapaku begitu masuk dan langsung melihat tubuh Kina yang meringkuk di atas kasur.

Kina menggeliat, menyadari bahwa kami sudah datang, dia kemudian bangun dari posisi semula.

"Mbak Rindu," lirihnya dengan suara parau.

Aku mendekat dan duduk di kasur di samping Kina, sementara calon adik iparku ini malah langsung memelukku posesif.

"Kenapa sih Mbak mau-maunya nurutin Mas Hanif buat ke sini? Aku nggak papa," cetus Kina sambil memanyunkan bibir.

Sementara kulihat Mas Hanif justru diam saja sambil bersendekap. Heran deh.

"Kan sambil jalan-jalan juga. Eh yang mau diajak jalan malah sakit. Nggak jadi deh."

"Ihh, Mbak. Ayo, kemana? Ke Batu a? Aku beneran udah nggak papa." Shakina yang semula cemberut kini justru semringah ketika kuiming-imingi rencana jalan-jalan.

Bisa saja sih, tapi itu kan tidak termasuk tujuan utama kami ke sini. Jadi, nanti saja lah kalau waktunya lebih.

"Kamu gimana? Apa yang dirasa sekarang? Kok masih demam gini," kataku sambil menempelkan punggung tangan ke kening Kina. Masih terasa hangat dan lemas. Meski aku nggak berkapasitas untuk memeriksa Kina, tapi Kina tampak nyaman di sampingku.

Kemudian aku menengok ke Mas Hanif, memberi isyarat agar dia berinisiatif mengambil alih. Mas Hanif dari tadi hanya bersendekap sambil mengamati obrolanku dengan Kina. Lalu fungsinya dia ke sini itu apa? Mulai deh nyebelin.

"Kita ke rumah sakit ya, Kin. Kan dekat dari sini nggak sampai sekilo," ajakku, sementara Kina hanya menggeleng.

Memang benar kata Mas Hanif, Kina kalau lagi sakit berubah menjadi super manja seperti sekarang. Padahal kalau mau, bisa saja Zia membawa Kina ke rumah sakit pendidikan kampusnya, yang letaknya hanya berjarak dua kilometer dari kosan Kina.

Mas Hanif memintaku untuk beranjak dari kasur, gantian dia yang duduk di samping Kina.

"Apa?" sewot Kina melihat kakaknya mendekat.

Aku hanya tersenyum menyaksikan interaksi dua kakak beradik ini. Lucu dan menggemaskan.

"Kooperatif jadi pasien. Kalau nggak, kurujuk aja deh langsung ke IGD daripada ditangani baik-baik nggak mau," ancam Mas Hanif membuat Kina makin memberengut kesal.

"Mbak Riiin, Mas Hanif lhooo. Kok mau sih sama dia. Nyebelin tau mbak. Ganti yang lain aja deh. Kina lebih ikhlas Mbak Rindu dapat yang lebih baik."

"Loh, emang Masmu nggak baik? Jangan menghasut calon istriku, Dek. Kamu ini, lagi sakit masih bisa ajaa."

Aku terkekeh menyaksikan mereka. Sementara Mas Hanif kembali serius ketika mulai melakukan prosedur pemeriksaan kepada Kina. Dia sengaja membawa alat-alat medisnya karena yakin bahwa Kina nggak akan mungkin dengan sukarela dibawa ke rumah sakit.

"Minum yang banyak kalau nggak mau diinfus. Kamu ini hampir dehidrasi. Pasti awalnya karena telat makan. Terus lambung kena. Jadinya begini. Sampai tiga hari nggak ada perubahan. Zia Mas paksa untuk bawa kamu ke IGD."

Meski Kina terlihat sebal sekali dengan Mas Hanif, pada akhirnya dia menuruti apa kata kakaknya itu. Beberapa obat yang Mas Hanif bawa dari rumah ia siapkan untuk diminum oleh Kina. Bunda juga membawakan bekal untuk diberikan kepada Zia dan Kina.

Jadilah kami menghabiskan waktu jelang siang dengan menemani Kina istirahat di kosan, sambil menikmati bekal yang dibawakan Bunda tadi.

🍐🍌🍐🍌🍐🍌

Ba'dha Dzuhur aku, Mas Hanif dan Ical pamit ke adik-adik untuk melanjutkan perjalanan. Meninggalkan daerah Kembang Kertas kini kami beralih menuju ke Tidar, daerah rumah Fita. Sebelumnya aku sudah menghubungi Fita bahwa kami akan segera ke sana dalam beberapa menit.

Nggak sampai setengah jam karena kebetulan jalanan sedang lengang, kami sudah tiba di kediaman Fita.

"Masya Allah, ketamuan orang jauh. Ayo masuk-masuk," sambut Fita yang langsung memelukku begitu aku turun dari mobil.

Lalu ya begitulah. Kami jika sudah bertemu seolah lupa dengan sekitar. Maklum, beberapa bulan nggak ketemu menjadikan kami begitu antusias. Apalagi Fita adalah orang paling rame dibanding anak Geng Esempe yang lain. Perusuh banget lah pokoknya.

"Nginep ae lho, Rind. Ambilo cuti, kamu ki calon manten sek sibuk ae," katanya memintaku untuk singgah lebih lama di Malang. Sambil nostalgia mengenang masa-masa kuliah dulu kata Fita.

"Nggak bisa, Fit. Kerjaanku itu kalau ditinggal sehari pasti bakal numpuk dan jadinya banyak."

"Lha umak se. Kan kapan hari wes tak bilangi, resign, Rind. Fokus masa depan. *Cek cintane kamu sama kantormu."

(*= Sebegitu, umak= kamu)

Pun dengan Fita yang memiliki pemikiran sama dengan calon mertuaku. Fita itu meski dulunya termasuk orang yang passionate sekali, namun ketika dia memutuskan untuk menikah, maka dilepaskanlah semua impian yang saat itu sedang dia selami. Hampir sama dengan Zira. Lalu kini, ia pun memberi petuah yang sama kepadaku.

"Ya gini ini kerjaanku tiap hari, Rind. Antar jemput Barbie sekolah. Terus kalau udah beres palingan nengokin toko. Begitu aja sih. Tapi nikmat dan tanggung jawabnya Masya Allah. Terlihat remeh tapi ternyata nggak."

Aku memandang serius ke arah Fita. Bahkan seorang Fita, bisa berubah seiring dengan perubahan status pada dirinya. Lantas, bagaimana denganku?

Segala pikiran kembali berkecamuk mengiringi perjalanan pulang kami. Tidak ada obrolan yang serius. Lebih banyak Mas Hanif menghabiskan obrolan bersama Ical.

Sampai kami memutuskan untuk istirahat sejenak sambil salat magrib sekaligus cari makan sebelum akhirnya menempuh perjalanan tol panjang.

Kami berhenti di salah satu rumah makan di daerah Singosari. Mencari yang ada musalanya, jadi bisa sekalian salat Magrib.

Mas Hanif baru saja selesai salat. Sementara Ical sepertinya masih antre wudhu. Kami memang sengaja salat bergantian karena musala resto yang tidak begitu besar. Pengunjung lain juga sedang antre. Untung saja tadi kami datang tepat ketika adzan Magrib berkumandang.

"Udah datang makanannya?" tanya Mas Hanif yang baru saja duduk.

"Belum, kayaknya emang lagi ramai, Mas," kataku karena memang yang terlihat seperti itu.

Para pramusaji sedari tadi tak henti hilir mudik mengantarkan makanan. Dan sepertinya tiba giliran kami masih beberapa menit lagi.

Kuperhatikan lekat-lekat wajah di depanku yang kini sibuk memainkan gawainya. Iya, wajah imam masa depanku kelak. Aamiin.

Ada berjuta rasa yang sebenarnya pengin kubagi dengannya, tapi aku nggak seberani itu untuk bisa kemudian curhat semauku. Apalagi terkait persoalan bagaimana aku menjalani peran sebagai seorang istri nantinya. Apa maunya, apa keinginanannya kepadaku, jujur kami belum pernah membicarakan. Justru Mama Ratih, calon mertuaku, dan teman-teman yang begitu giat memberiku masukan terkait proses setelah menikah nanti.

Lalu, apa sekarang waktu yang tepat untukku membuka suara dan memulai obrolan yang kukira bakal berat?

"Kenapa sih, lihatinnya gitu amat. Amat aja kalau lihatin aku nggak gitu-gitu juga," canda Mas Hanif mulai mengeluarkan kejayusannya.

Aku menggeleng pelan. Jangan sekarang.

"Ada apa? Hmm?" Tatapan Mas Hanif begitu teduh. Sekali lagi membuatku kembali luluh.

Aku mengembuskan napas panjang. "Mas, Mas Hanif pengin punya istri yang bagaimana nanti?"

Dia tersenyum singkat, namun mampu membuatku lagi-lagi merasa tenang.

"Insya Allah, aku maunya punya istri seperti kamu, Rind. Dan Insya Allah, hanya kamu yang kuinginkan jadi istriku saat ini."

Aku terdiam, sambil berpikir bagaimana merangkai kata agar tak salah dipahami oleh Mas Hanif.

"Maksudku, apa yang Mas inginkan dariku ketika nanti aku sudah jadi istri Mas Hanif?"

Mas Hanif kembali memandangku dengan tatapan yang begitu dalam. Mungkin bertanya-tanya kenapa aku mendadak membicarakan hal ini.

"Aku nggak pengin Rindu versi lain. Rindu yang ada di depanku ini InsyaAllah sudah memenuhi kriteria calon istriku. Jadilah Rindu versi terbaik menurutmu sendiri, Sayang. Jangan kamu berubah hanya untuk jadi orang lain. Jika kamu pengin berubah, pastikan itu karena Allah."

Rasanya aku pengin menangis. Belum sepenuhnya percaya bahwa Allah telah mengirimkan ia, calon imam masa depanku yang begitu melampaui apa yang kuinginkan. Allah maha baik, bukan?

Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Itu adalah benar adanya.

"Hei? Kenapa nangis sih? Apa ada hal yang lagi menganggumu, Rind?"

Aku bahkan nggak sadar bahwa air mata yang berusaha kutahan ternyata sudah membasahi pipiku.

"Aku takut nggak bisa jadi istri yang sempurna untuk Mas nantinya. Aku takut kamu menyesal dan punya pikiran salah pilih di kemudian hari," lirihku, tertunduk dalam tangis yang tak bisa kukendalikan lagi.

"Definisi istri yang sempurna itu apa? Kamu ingat aku pernah bilang apa waktu kita baru kenal dulu? Kalau kamu mau berbenah, ayo bareng-bareng. Dan aku melihat itu darimu, Rind. Jadi, harapanku ke depan, kita bakal terus berbenah bareng-bareng sampai kita sama-sama diizinkan masuk ke syurga-Nya kelak."

"Tolong jangan berpikir yang macam-macam, Sayang. Tidakkah hari yang kita nantikan hanya tinggal beberapa kali pejaman mata?" lanjutnya, yang semakin membuat dadaku pengap sambil terisak.

Kami terinstrupsi oleh pramusaji yang datang menyuguhkan makanan. Kulihat dari jarak lima puluh meter di depan, Ical baru saja selesai salat dan berjalan mendekat kemari. Buru-buru kuhapus air mataku agar tidak menimbulkan pertanyaan yang macam-macam oleh Ical.

"Mbak, Mas, maaf ya lama," kata Ical langsung bergabung duduk di sebelahku.

"Nggak apa-apa, makanannya juga baru datang," balas Mas Hanif. Sementara aku, sibuk menetralkan perasaan yang bercampur aduk tak keruan ini.

Terdengar helaan napas yang begitu berat dari Mas Hanif. Sementara kemudian dia bisa cepat menutupi perasaannya dengan mengajak Ical mengobrol apapun.

Satu pesan Whatsapp membuyarkan lamunan. Satu pesan yang kuharap bisa membuat suasana hatiku kembali normal. Namun, pesan tersebut justru menjadikan hatiku kembali tercabik-cabik rasanya.

Pak Fikri Daulat
Rindu, urgent. Besok kamu berangkat ke Purwokerto ya. Malam ini saya kirimkan file-nya untuk kamu pelajari. Saya sudah minta Mbak Meli untuk mengurus tiket keberangkatan dan hotelmu sekalian. Besok kamu nggak usah ke kantor. Langsung ke Gubeng kereta jam 8.

Aku kemudian kembali menatap laki-laki yang kini sedang kusyuk menikmati makan malamnya sambil sesekali melempar obrolan dengan calon adik iparnya tersebut. Rasa bersalah kembali menyusup, membuat hatiku berdenyut nyeri.

Kekhawatiran ternyata bukan datang dari orang yang membuatmu cemburu hanya karena ia begitu dekat dengan lekakimu. Tapi rasa khawatir terbesar adalah ketika kamu tidak bisa menjanjikan dirimu sendiri bagaimana menjadi versi terbaik untuknya yang kamu bilang paling dicinta.

_______selamat merindu kembali_____


Untuk kalian yang masih mendukungku sampai sekarang. Enjoy it.

Makasih yaaa

Lav
😘😘😘
Chaa~














Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top