20. Rindu dan Kegalauan Itu, lagi
Happy weekend, 🌟 dulu yuk
🍀
🍂
🍀
🍂
🍀
🍂
Sejak pertemuanku dengan teman-teman Mas Hanif di rumah sakit kala itu, aku jadi lebih concern terhadap hubungan ini. Dalam artian, aku nggak bisa menganggap remeh lagi, karena kita nggak pernah tahu ancaman itu kapan dan datang dari mana. Terlebih tidak setiap hari pula aku bisa bertemu dengan Mas Hanif. Bukan berlebihan, bukan pula aku menjadi protektif, tapi ini lebih kepada keseriusanku dengan mencurahkan perhatian yang lebih lagi kepada hubungan ini. Apalagi, waktu bergulir tanpa mau dijeda, menjadikan persiapan menuju hari H semakin terasa.
Seperti hari ini, Mama Ratih memintaku untuk menemaninya belanja bahan kain sekalian ke butik, begitu katanya. Aku menyanggupi nanti sore, sepulang kantor seperti biasa.
Dan pagi ini, aku tengah bersiap berangkat ngantor sambil menunggu jemputan datang. Satu kotak bekal juga telah siap kubawa. Makan siang yang kusiapkan khusus untuk seseorang yang akan menjemputku nanti. Ini adalah satu dari sekian keseriusan yang kutunjukkan padanya, sesuai kataku tadi. Sambil belajar, InsyaAllah jika kelak memang surgaku telah berpindah padanya, aku nggak terlalu kaku lagi dalam hal seperti ini.
Nada notifikasi Whatsapp berdering, satu pesan muncul di layar ponsel. Vitamin pagiku sedang menyapa. Tanpa sadar, bibirku melengkung, dia telah berhasil menjadi alasanku untuk tersenyum hanya dengan membaca pesan singkatnya.
Mas Hanif 💕
Sayang, mas sudah di depan.
Hanya beberapa kata tapi mampu membuatku patuh untuk segera menuruti titahnya. Aku bergegas menemuinya ke depan. Hal-hal yang sebenarnya kami sepakati berdua, justru kini kami langgar bersama. Ini memang tidak dibenarkan, mau bagaimana kami berkilah dengan segala alasan, pertemuan dua orang berlawanan jenis seperti ini adalah hal yang seharusnya tidak kami lakukan.
Dengan dalih untuk menghindari hal-hal lain, misalnya, ketika aku lebih nggak rela jika Mas Hanif pulang pergi membersamai teman perempuannya yang mohon maaf, kupikir dia menaruh hati pada Mas Hanif. Pun dengan Mas Hanif yang juga tidak mengizinkanku untuk ke manapun menggunakan ojek. Jadi kami bersepakat untuk pulang-pergi ke kantor bersama. Hanya jika kami memiliki jadwal yang sama. Karena beberapa kali Mas Hanif pernah mendapat jadwal jaga IGD shift malam sehingga terpaksa aku tetap harus berangkat sendiri namun pulang dijemput Ical, sesuai permintaan Mas Hanif.
Sekali lagi, tolong jangan dibenarkan apa yang kami lakukan ini. Pun jangan ditiru karena sesungguhnya hal ini salah.
Satu senyum menyapa pagiku dari dalam fortuner putih. Dia membuka kaca jendela mobilnya kemudian membukakan pintu dari dalam.
"Assalamualaikum," sapanya, hangat, seperti mentari yang kini tengah memayungi kami di luar sana.
"Waalaikumsalam," balasku tak ingin sambil memberikan senyuman terbaikku.
"Ini, buat makan siang ntar. Inget ya, nggak usah pesan di poli gizi lagi," pesanku sambil menyimpan kotak bekal di atas tas kerjanya di kursi belakang.
Dia tersenyum lagi, "tau gitu dari dulu aja ya aku ngenalin kamu ke mereka. Aku suka kamu jadi protektif gini. Lucu tau, Rind."
Dan ... Bagiku nggak lucu, Mas! Karena kuyakin saat ini pipiku kembali merah karena pernyataannya barusan mampu membuat perutku seperti dikelitik. Selalu menyebalkan!
"Apalagi kalau kamu malu-malu begini, lihat deh ke sunvisor. Kayaknya blush on-mu ketebalan deh."
Aku melotot seketika, untung saja refleksku masih dalam kendali. Kugeplak lengannya menggunakan tas. Biarkan dia mengaduh kesakitan. Karena nyatanya mas ini semakin hari semakin membuatku nggak habis pikir. Ada saja jahilnya.
"Hahaha, udah-udah, bercanda, sayang. Pagi-pagi itu rileks, jangan tegang. Biar seharian mood-nya bagus, kerja juga jadi enak," katanya seolah lupa aku begini juga karena apa dan ulah siapa.
"Mas yang mulai ya." Aku masih memberengut kesal.
"Kamu masak apa, Rind? Kalau nggak enak aku pesan di poli gizi ah. Lebih terjamin juga gizinya, ada takarannya lagi."
Dia kembali melayangkan seriangaian penuh kejahilan. Sambil berpura tetap cool melihat jalanan di depan, rasanya pengin kugetok aja orang di sebelah ini kalau nggak ingat bahwa dia adalah calon suami. Eman lah kalau dia kenapa-napa.
Astagfirullah. Aku hanya bisa mengelus dada.
"Loh, ditanya serius ini."
"Masak oseng tongkol, sayur asem, sama dadar jagung dan sambel. Maaf jika ternyata nggak sesuai menu gizinya Mas tiap hari. Tapi aku jamin itu juga nggak kalah kandungan gizinya meski tanpa takaran berapa kalori/kg dan lain-lain," jawabku senewen.
Kemudian yang ada dia malah tertawa terpingkal-pingkal seolah aku ini badut yang sedang memeragakan pertunjukkan dan layak untuk ditertawakan saking lucunya.
Kesallllll.
"Hahaha, udah, Rind, jangan makin cemberut. Aku bisa khilaf ntar."
"Astagfirullahhaladzim, nyebut, Mas. Aku turun sini ae wes. Horor lama-lama di sini," sahutku cepat.
Dan bukan Mas Hanif jika kemudian langsung terdiam. Yang ada, mas ini justru makin terpingkal nggak sudah-sudah.
Sampai akhirnya dia baru berhenti menggoda ketika menyadari sudah masuk kompleks perkantoranku. Mas Hanif menepikan mobilnya tepat di depan gerbang kantor. Orang-orang juga terlihat sedang berdatangan. Beberapa dari mereka sudah ada yang hapal dengan siapa aku berangkat. Mas Hanif pernah mengantarku sampai depan gerbang persis, ia turun dari mobil, bahkan berkenalan dengan security kantor. Namanya juga jam-jam berangkat kerja, sudah otomatis ramai orang berlalu masuk ke dalam gedung. Banyak yang penasaran dan akhirnya mereka kenalan. Sebisa itu Mas Hanif dengan caranya masuk ke lingkunganku tanpa kuminta. Hal-hal sederhana yang bahkan tak pernah terpikir olehku sebelumnya. Suka sih, artinya dia pun mulai membiasakan diri untuk mengenal lebih jauh lagi bagaimana keseharianku.
Setelahnya, aku pamit kepada Mas Hanif dan membiarkan fortuner putih itu pergi terlebih dahulu sebelum akhirnya aku pun masuk ke dalam kantor.
Hah, pagi yang cukup kompleks untuk memulai hari. Semoga memang hari ini bisa berjalan lancar tanpa kendala apapun sehingga aku bisa pulang ontime dan segera meluncur menemui Mama Ratih.
🍀🍂🍀🍂🍀🍂
Siang bergulir, sore menjelang, senja menyingsing. Syukur Alhamdulillah, hari ini perkerjaan nggak ada yang mengkhawatirkan. Semua aman dan bisa diselesaikan tepat waktu sehingga kini aku bisa segera menemui Mama Ratih.
Mas Hanif melalui pesan singkat mengabarkan jika tidak bisa menjemput dan menemani kami karena harus extend jaga. Tapi Mas Hanif menyanggupi akan menjemput kami seusainya acara kaum hawa ini selesai. Mas Hanif memperbolehkanku naik ojek online asal pakai ojek mobil, jangan motor karena lebih rawan. Sepanjang perjalanan menuju tempatku dan Mama Ratih ketemuan pun, Mas Hanif nggak henti menemaniku berbalas pesan singkat hanya untuk memastikan aku baik-baik saja.
Mas Hanif 💕
Cie yang mau pedekate sama camer. Jangan grogi lho, yang. Woles ae, ok?
Bagaimana aku bisa biasa saja kalau tiap kali kami sedikit berdamai, dia kembali melayangkan keusilannya seperti itu. Gemas campur kesal rasanya harus membayangkan tiap hari nanti hidupku dipenuhi oleh kejahilannya.
Anda
Aku yakin mama nggak gigit. Jadi mas tenang aja. Atau jangan2 mas yang grogi karena rahasianya sebentar lagi bakal kuusut? 😝
Tak ingin kalah dengannya, kita lihat saja sejauh mana seorang Hanif Zarchasi itu mampu berlagak sok cool padahal aslinya menyimpan sejuta kekhawatiran jika ternyata rahasianya bakal terbongkar.
Sekian menit belum ada balasan, mungkin Mas Hanif kembali sibuk karena pesan yang kukirim belum juga berubah warna menjadi dua centang biru. Sampai aku nggak ngeh kalau ternyata grabcar yang kutumpangi sudah sampai di salah satu pusat perbelanjaan paling ramai se-Surabaya.
Aku menelpon Mama Ratih, menanyakan keberadaan beliau. Bersyukur karena ternyata tepat sekali Mama Ratih juga baru sampai. Sempat khawatir kalau beliau sudah menungguku lama, maklum, perjalanan dari kantor ke sini sedikit terhambat karena memang rush hour jam pulang kantor.
Aku kemudian menghampiri beliau dan menyaliminya.
"Maaf ya, Rind. Mama kejebak macet di persimpangan rel kereta sama lampu merah situ lho. Apalagi buyar kantoran. Wes ampun deh."
"Nggak papa, Ma. Rindu juga barusan banget sampai," jawabku sambil kami masuk ke dalam mal.
"Lha iya Masmu itu lho kok ya mendadak lemburnya. Katanya ada temannya yang sakit, dia nerus sampai teman yang gantiin datang."
"Nggih, Ma, tadi juga ngabari Rindu."
"Eh kamu udah magrib belum? Mama udah sih sebelum berangkat."
"Astagfirullah, iya, Ma. Rindu ke musala dulu ya."
Rencananya memang ketika sampai aku hendak ke musala terlebih dahulu tadi. Tapi ketika bertemu Mama Ratih malah keasyikan ngobrol sehingga sampai lupa jika belum magrib.
"Ya udah, Mama temani. Biar ada yang jagain tasmu," ucap beliau.
Kami pun menuju basement paling atas tempat parkir dan musala mal berada. Karena memang waktu magrib itu pendek, antrian di musala pun tak terelakkan lagi. Berharap Mama tidak bosan karena menungguku yang bisa dibilang lumayan lama.
Dua puluh menit kemudian aku selesai, kami kembali ke lantai bawah langsung menuju toko kain yang dimaksud beliau. Katanya, Mama Ratih memang sudah langganan beli bahan kain di sini, jadi sudah merasa cocok dengan beragam pilihannya dan tentunya cocok di harga pula.
Kami langsung dilayani oleh beberapa pramuniaga. Mama meminta dicarikan sampel kain yang dimaksud. Sementara aku hanya menurut karena memang sedari awal yang menentukan konsep justru beliau. Sementara Bunda di rumah pun malah menyerahkan sepenuhnya kepadaku. Iya, bunda memang tipikal orang yang nggak ribet dalam hal apapun. Jadi ketika ada acara seperti ini sudah dipastikan sebenarnya bunda ingin konsep yang sederhana saja. Namun, dari pihak Mas Hanif tentu tidak akan melewatkan momen ini menjadi momen yang biasa saja.
Akhirnya, pihakku, bunda dan ayah mengalah, kemudian ya itu tadi, menyetujui ide konsep dari keluarga Mas Hanif.
Rencananya acara akan digelar di gedung nggak perlu di rumah karena pasti bakal lebih ribet dan memakan waktu yang lama jika dilaksanakan di rumah. Akad di Masjid Agung kemudian dilanjutkan resepsi di gedung selama kurang lebih dua jam. Seperti itu rencananya.
"Rind, kalau motifnya seperti ini gimana? Jadi brocade soft nggak yang terlalu ngejreng. Tapi tetap ada aksen mewahnya." Mama Ratih menunjukkan satu bahan kain untuk gaunku.
"Iya, nggak papa, Ma. Rindu juga suka," ucapku. Karena memang aku beneran suka dengan pilihan Mama Ratih bukan semata ingin menyenangkan beliau saja.
Mama Ratih bisa kubilang memang orang yang begitu selektif. Terlihat dari selera beliau selama aku mengenalnya. Mulai dari selera pakaian, selera makanan, atau selera perlengkapan rumah tangga lainnya. So picky. Jadi, apapun pilihan beliau, InsyaAllah itu sudah yang terbaik menurut sudut pandangnya. Dan sejauh ini kami saling cocok soal selera.
Setelah bahan utama untuk gaunku sudah terpilih, ada dua bahan yang akan dijahit. Satu untuk pakaian akad dengan nuansa putih. Sementara yang kedua gaun resepsi dengan kesan rose gold sedikit pastel. Mama Ratih memang sengaja menjahitkan semuanya karena ingin begitu seragam dan disimpan kemudian. Nggak pengin hanya menyewa katanya. Jadi beliau benar-benar membelanjakan mulai dari aku dan Mas Hanif, untuk beliau dan Papa Ruslan, untuk Ayah Bundaku, hingga para sanak saudara yang bertugas membantu jalannnya resepsi nanti. Pun beliau bahkan menawarkan apakah aku perlu membeli kain untuk teman-temanku sebagai bridesmaid? Aku memang nggak terpikir soal bridesmaid dan segala macamnya. Menurutku itu bukanlah suatu hal inti dari pernikahan kami. Karena pada dasarnya aku hanya menginginkan suasana penuh sakral nantinya. Tapi percuma jika aku menolak karena Mama Ratih pada akhirnya berhasil memaksaku untuk menganggarkan belanja kain untuk bridesmaid dan bridesgroom.
Lelah berbelanja bahan, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu sambil menunggu Mas Hanif sampai yang sepuluh menit lalu sudah otw ke sini.
Kami kemudian tenggelam dalam cerita sambil menikmati santap malam. Banyak hal, termasuk tentang petuah-petuah hidup sebagai bekal berumah tangga dengan Mas Hanif. Bahkan aku juga berhasil menanyakan bagaimana Mas Hanif waktu kecil dulu. Iya, sebagai bahan untuk membalasnya jika dia kembali menyebalkan dengan sikap jahilnya nanti.
Hahaha, aku bahkan sampai terbahak mendengar Mama Ratih bercerita sosok anak laki-laki satu-satunya itu. Terlalu menggemaskan untuk dibayangkan dengan sosok yang kini akan menjadi suamiku.
"Hahaha, masa, Ma?" tanyaku nggak percaya, bahkan air mataku sampai keluar saking tawaku sudah tak terbendung lagi.
"Iya, Masmu itu paling susah disapih. Sampai TK B aja masih ngedot. Tiap pulang sekolah yang dicari itu dot kesayangannya. Ngedot depan tv sambil lepas baju sampai ketiduran. Bangun-bangun langsung main bola sama anak-anak kompleks. Gitu juga masih pegang dot. Bayangin, Rind."
Hahaha, selucu itu kamu, Mas.
"Terus ya, Masmu itu paling takut sama karet gelang. Mungkin sekarang masih. Karena dia trauma pernah ketapel karet kena keningnya. Itu kan sakit banget, Rind. Sekarang kalau lagi godain Kina, diancam karet aja sama Kina udah langsung diem."
Aha! "Gitu, Ma? Setakut itu Mas Hanif sama karet?"
Tanpa aku bercerita lebih bahwa anaknya memang memiliki bakat keusilan tingkat dewa, kini aku punya senjata pamungkas buat berjaga kalau-kalau segala upayaku untuk menghentikan aksinya nggak ada yang mempan. Patut dicoba sepertinya.
Awas kamu, Mas.
Puas membongkar aib masa kecil Mas Hanif, kami kembali menikmati sajian makan malam yang tersisa tinggal separuh. Mama Ratih kembali memesan hidangan untuk pencuci mulut sambil menunggu Mas Hanif yang tak kunjung datang. Kabarnya melalui pesan singkat, arah ke mal memang lagi padat merayap. Jadi benar-benar harus ekstra sabar kalau berkendara di jalanan pusat Kota Surabaya di prime time seperti sekarang.
"Oh iya, Rind. Kamu beneran nggak ada rencana resign? tanya Mama Ratih di sela kami sama-sama terdiam karena sedang kusyuk menikmati sajian.
Aku meletakkan sendok dan garpu, mendadak hilang selera karena sepertinya Mama Ratih akan berbicara serius perihal ini. Sesuatu yang sangat kuhindari untuk dibahas.
"Rindu nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan, Ma. Rindu nggak bisa menjanjikan akan resign dan menjadi istri penuh waktu bagi Mas Hanif seperti yang Mama lakukan untuk Papa sekarang. Pun Rindu juga nggak menutup kemungkinan jika kondisi nanti mengharuskan Rindu untuk mengabdikan diri seluruhnya dalam urusan rumah tangga. Yang bisa Rindu janjikan adalah, InsyaAllah Rindu akan berusaha semampu Rindu untuk bisa menyeimbangkan peran Rindu sebagai istri dan kesibukan Rindu dalam pekerjaan, Ma," jawabku sediplomatis mungkin.
Aku tidak berbohong dengan jawaban itu. Suatu perkara yang kupikirkan benar-benar sejak ketika pertama kami saling berkenalan. Mama Ratih memang begitu serius kalau menyangkut nasib anaknya kelak ketika sudah berumah tangga. Keterjaminan apakah nantinya anaknya benar-benar diurus oleh sang istri, agaknya bisa kulihat menjadi suatu ketakutan bagi Mama Ratih.
Kugenggam tangan beliau yang kini sedang memandangku cemas. Meski nggak ada sanggahan setelahnya, tapi sorot mata beliau belum sepenuhnya ridho jika aku memutuskan untuk terus berkarir setelah biduk rumah tangga itu kami selami.
"Menjadi istri paruh waktu itu nggak gampang, Rind. Menggapai surga suami itu nggak mudah. Apa kamu nggak pengin digaji dengan ganjaran surga yang telah dijanjikan Allah jika kamu memutuskan untuk bekerja menjadi ibu rumah tangga seutuhnya?" Hatiku mencelus. Genggaman tangan yang semula kueratkan mendadak terlepas begitu saja.
Mama Ratih masih memandangku dengan tatapan serius, sementara aku justru menunduk, menenggelamkan kepala dalam pikiranku yang semrawut.
Sudah tiga puluh menit dari waktu Mas Hanif mengabarkan jika dia sedang dalam perjalanan kemari. Tapi hingga kini belum ada tanda-tanda dia hadir yang kuharapkan bisa menyelamatkan momen serba canggung di antara kami. Dua wanita berbeda generasi yang sedang melakukan penawaran untuk memiliki atau melepas seorang laki-laki paling disayang dalam hidupnya.
"Mama begini bukan semata melarang kamu untuk menggapai impianmu. Bukan, nak. Demi Allah, mama hanya pengin rumah tangga kalian nantinya selalu diridhoi oleh Allah dengan kamu yang menyempurnakan tiangnya sebagai penyokong dalam rumah tangga kalian. Coba bayangkan jika tiangnya nggak ada. Kamu sering keluar rumah. Apa yang terjadi? Rawan roboh karena nggak cukup kuat untuk berdiri. Penyokongnya nggak ada," lanjut beliau semakin menjadikan suasana di antara kami bersitegang.
Kontras sekali dengan beberapa menit yang lalu di mana kami masih terpingkal-pingkal karena topik seorang Hanif Kecil. Sekarang, kami justru tenggelam dalam bahasan serius yang membuat kepalaku mendadak pening.
"Iya, Ma. Terima kasih atas nasihatnya. Rindu akan pertimbangkan baik-baik. Rindu bukanlah wanita sempurna, Ma. Tolong jangan pernah lelah untuk menegur Rindu jika Rindu lalai dalam memperlakukan putra Mama kelak. Rindu juga mohon bimbingannya ya, Ma," ucapku, berharap setelah ini suasana kembali mencair.
Aku menahan ego untuk tidak kembali mendebat beliau dengan argumen-argumen versiku yang siap kulayangkan untuk pembelaan diri selanjutnya. Cukup! Karena bagaimanapun wanita di depanku ini adalah surga dari calon surgaku kelak.
Subhanallah jika aku tidak bisa memperlakukan beliau dengan baik. Aku berusaha untuk tidak menjadi bebal karena termakan egoku yang masih tinggi ini.
Allah.
"Assalamualaikum, maaf ya, kalian nunggu lama pasti." Aku terlonjak kaget mendapati ada suara lain yang bergabung.
"Waalaikumsalam," jawab kami.
Mas Hanif datang kemudian langsung menyalami Mama Ratih dan tersenyum sesaat ke arahku.
"Udah pada maem kan?" tanyanya sambil menyeruput minuman Mama Ratih yang masih tersisa tiga perempatnya.
"Kamu ini ya, Nif. Tega emang bikin Mama nunggu sampai karatan."
"Berapa karat sih? 24 karat? Emas asli atau oplosan??" Aku terkekeh kecil, Mas Hanif mulai mencandai Mama Ratih membuat beliau geram dan spontan mencubit lengan anaknya tersebut.
"Aduuuh, kok kdrt sih, Ma? Nanti kalau Hanif lecet-lecet gimana? Mama lho."
Dan, terima kasih Mas telah menyelamatkan ketegangan di antara kami. Sejenak kami lupa apa yang telah kami bicarakan tadi. Mama Ratih kembali tersenyum ke arahku sambil sesekali balik menyerang keusilan Mas Hanif.
"Mas Hanif sudah makan?" tanyaku.
"Udah, sayang. Tadi gofood sama anak-anak poli sambil nunggu temenku yang gantiin jaga," jawabnya sambil tak henti menebar senyum yang mampu membuat gigiku mendadak ngilu saking manisnya.
"Sekarang kita ke mana? Jadi ke butiknya Bulek Ningrum, Ma?" tanya Mas Hanif melanjutkan.
"Nggak jadi udah hampir jam sembilan ini lihaten ta. Di sana paling nggak kita nggak bisa sebentar. Ngukurin kalian juga. Besok Minggu ae gimana, Rind?"
Aku mengangguk mengiyakan. "Boleh, Ma. Setidaknya kalau Minggu waktunya bisa panjang dan leluasa."
"Oke girls, kalau gitu saatnya kita pulang." Mas Hanif bergegas terlebih dahulu. Sedikit merapikan meja, aku kemudian menyusul Mas Hanif dan Mama Ratih yang sudah berjalan keluar resto.
"Ma, kita nganterin Rindu ke kos dulu nggak papa kan?"
"Ya nggak papa lah, Nif. Kalau kamu mulangin mama dulu malah yang ada bolak-balik. Emang kalian mau cari kesempatan berduaan aja?"
"Astagfirullah, nggak, Ma."
Aku tersenyum melihat romantisme ibu dan anak di depanku saat ini. Menjadi maklum apabila Mama Ratih benar-benar menginginkan calon istri yang sempurna untuk mendampingi sang putra. Setidaknya dia yang bisa menggantikan peran beliau dalam merawat dan menyediakan diri sepenuh hati untuk anaknya kelak.
Lalu aku? Apakah aku sudah termasuk kriteria calon menantu idaman versi beliau?
Ah, sudahlah.
Meninggalkan pusat perbelanjaan yang masih ramai walau malam semakin larut, Mas Hanif mengantarku pulang ke kosan. Aku duduk di belakang sementara Mama Ratih duduk di depan bersama Mas Hanif.
Tidak ada obrolan yang serius. Hanya candaan kecil dengan tetap Mas Hanif sebagainya pelakunya. Setidaknya untuk mengusir sepi di dalam mobil, maka aku justru berterima kasih dengan Mas Hanif.
"Ma, mama cerita apa aja sama Rindu tentang Hanif?"
"Ya rahasia sih. Iya nggak, Rind?" balas Mama. Sementara aku turut menimpali.
Seperti itu. Sesederhana yang kutahu bahwa ketegangan di antaraku dan Mama Ratih setidaknya sudah mereda.
Sampai kami tiba di depan kosku. Aku pamit kepada Mama Ratih, menyalimi beliau kemudian turun.
Mas Hanif ikut turun dan mengantarku sampai depan gerbang. "Makasih, Mas udah dianterin. Hati-hati ya pulangnya."
"Sudah seharusnya aku nganterin kamu, Rind. Justru salah kalau aku ngebiarin kamu pulang sendiri malam-malam gini," ucapnya.
"Ngobrol apa aja tadi sama Mama? Apa ada obrolan serius yang aku nggak tahu?" Aku nggak pernah menyangka jika pertanyaan tersebut bisa keluar dari mulut Mas Hanif.
Maksudku, apakah dia merasakan ada yang berbeda di antara aku dengan Mamanya?
"Nggak ada, Mas. Kamu kok kepo sih. Udah pulang sana. Kasihan mama nunggu sendiri di mobil tuh. Pulang, istirahat."
Mas Hanif kembali tersenyum. "86, sayang. Kamu juga istirahat ya. Besok pagi aku jemput."
Mas Hanif kembali ke dalam mobilnya. Sambil menekan klakson, kaca jendela ia turunkan, menampilkan dirinya dan sang mama di samping kursi kemudi.
"Duluan ya, sayang, Assalamualaikum," pamit Mama Ratih membuat hatiku gemeretak sekali lagi.
Begitu sayangnya beliau terhadapku ya Rabb. Namun aku justru mencurigai beliau dengan segala egoku yang masih kupertahankan ini.
Sambil menyaksikan fortuner putih itu berlalu, maka biarlah aku melalui sisa malam ini dengan segala dilema perihal perbincanganku dengan Mama Ratih sesore tadi.
Aku masih harus belajar banyak ke depan.
Terkhusus, bagaimana menjalani peran sebagai istri yang memuliakan seuaminya kelak.
______selamat merindu kembali______
Lav laav
😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top