2. Gara-Gara Rindu

Temu tanpa rencana, sebuah takdir-Nya yang begitu indah dengan kerahasiaan. Bahwa ternyata, masih banyak orang baik di sekeliling. Harapanku, semoga ada temu-temu selanjutnya.

📓📒📓📒📓

Sepagi ini, aku sudah berteman baik dengan kepulan asap kendaraan bermotor kota metropolitan meski kabut masih jumawa mendominasi. Ojek online yang kupesan setengah jam lalu kini sedang membawaku menuju sebuah tempat pisah-temu paling romantis.

Pukul tujuh lebih sepuluh menit. Kepagian. Oke, nggak papa.

Setelah memberikan satu lembar uang berwarna hijau kepada kangmas ojek yang sudah berbaik hati mengantarkan, aku segera masuk ke dalam stasiun. Ya, tempat inilah yang kusebut sebagai tempat pisah-temu paling romantis. Kalau orang-orang lebih suka airport drama, namun tidak denganku. Mungkin aku lebih menyukai train station drama? Aissh!

Masih ada lima puluh menit lagi sebelum jadwal take-off tiba. Hmm, take-off banget? Biarin, sebebasku mau mengatakan apa, dan kalian dilarang protes.

Lima puluh menit! Dan aku harus menunggu dengan bosan selama itu. Mana perut belum diisi! Kampret banget emang.

Jangan salahkan kampret, oke ini memang salahku karena tidak bisa mengestimasi waktu dengan baik kapan seharusnya aku berangkat dari kosan sehingga bisa sampai stasiun sebelum pukul delapan tidak kepagian maupun kesiangan.

Namun, bolehkah aku juga menyalahkan Pak Fikri yang dengan teganya memintaku untuk berangkat audit lagi? Tiga bulan berturut-turut belakangan ini. Lagi.

Audit! Satu hal paling memuakkan yang berusaha kuhindari mati-matian tapi ujung-ujungnya tetap nggak bisa.

Daripada aku makin bete, aku segera menuju restoran cepat saji yang berada di sebelah selatan stasiun. Cukup ramai oleh para calon penumpang yang kuperkirakan satu keberangkatan kereta denganku. Pesan yang paling praktis, rice bowl teriyaki, dan aku tinggal menunggu pramusaji mengantarkan.

Tidak butuh waktu lama, sepuluh menit kemudian pesanan datang. Aroma nasi hangat yang mengepul dengan saos teriyaki di atas chicken fillet begitu menggugah cacing-cacing yang bobok semalaman. Siap santap!

Bisimillah...

Biar sa sa cinta ...

Satu sa pinta ...

Jang terlalu mengekang rasa ....

Shit!

Astagfirullah...

Satu sendok gagal tersuap karena dering ponsel yang begitu berisik. Aku menengok ke arah sebelah, ternyata pemilik ponsel tersebut adalah seorang mas-mas. Kalau dipikir-pikir, agak aneh sih ada cowok yang mengganti nada dering ponsel dengan sebuah lagu. Meski aku nggak bisa lihat jelas bagaimana perawakan mas-mas tersebut karena posisinya yang membelakangiku, tapi aku bisa ramal bahwa dia cowok-cowok metroseksual dengan dandanan hype khas zaman sekarang.

Bodoh amat!

Nasi di depanku sampai nganggur hanya karena ngecengin mas-mas penyuka lagu Karena Su Sayang. Eits, ini bukan berarti aku merendahkan lagu tersebut ya. Soal selera mah bebas. Hanya merasa sedikit aneh aja.

Dan lima menitku berlalu cuma buat mantengin punggung mas-mas di meja seberangku.

Aku lanjut sarapan, sambil ngecek ponsel kali aja ada morning report darurat yang kudu cepat ku-follow up.

Benar saja, begitu aplikasi chattingan sejuta umat itu kubuka, satu pesan teratas dihuni oleh baginda Raja Fikri Daulat.

Chief Fikri Daulat
Rindu, km sdh di st?

Ini yang kubilang sebagai morning report dengan tingkat urgensi paling wahid. Nggak ada yang nandingin.

Sdh, Pak.

Sengaja kubalas singkat juga, salah siapa zaman gini masih musim nyingkat pesan begitu. Chatting juga pakai kuota, nggak pakai tarif per karakter kayak dulu waktu eranya SMS berjaya di mana provider berlomba-lomba menawarkan beragam paket sms murah dengan bonus yang melimpah.

Jadi, kalau anda pernah mengalami juga, bisa jadi kita seumuran.

Itu artinya?

Kita sudah tua.

Oke, jangan dilanjut.

Satu pesan menyembul lagi di screen ponselku. Sudah bisa dipastikan bahwa beliau belum puas dengan jawaban yang cuma seuprit itu.

Chief Fikri Daulat
Cb km bgi lokasi

Nah, seperti ini. Pak Fikri itu selain raja tega orangnya juga nggak percayaan sama anak buah. Tingkat selidiknya begitu dewa. Bisa tahu orang tersebut bohong atau nggak meski radius terpaut ratusan kilometer. Leluhur auditor sih ya, jadi wajar aja kalau bakat meniliknya nggak perlu diragukan lagi. Kalau belum jelas, beliau bakal mengorek sampai ke akar-akarnya.

Langsung saja ku-share location sebelum beliau menelepon karena aku kelamaan balas.

Dan, baru aja mau lanjutin makan, satu suara speaker dengan nada khasnya menggema seantero stasiun. Pemberitahuan bahwa kereta jadwal selanjutnya sebentar lagi akan tiba.

Argo Bromo Anggrek, SBI – CN, 08.00 – 14.17 WIB

Aku membuka kode booking di aplikasi tiket online lalu melirik sekilas jam di pergelangan, pukul delapan kurang sepuluh menit. Benar, itu keretaku.

Bagus, empat puluh menit baru dapat tiga suap hanya karena meladeni adegan-adegan nggak penting tadi. Tanpa menghiraukan rice bowl yang sudah kadung kupesan, aku minta bungkusin ke pramusaji biar bisa kulanjutin di kereta. Eman, cuy! Dan emang seharusnya nggak mubadzirin makanan sembarangan. Selalu ingat bahwa di luar sana banyak yang pengin makan nasi aja harus mikir dulu gimana caranya.

Nggak pakai lama lagi, aku segera lari ke pintu boarding, ngeprint boarding pass lalu ke petugas pengecekan. Dan, dalam situasi genting begitu, drama tercipta.

Aku lupa nggak nyiapin KTP, nyariin KTP di dompet nggak ketemu-ketemu entah keselip di mana. Alhasil, terciptalah antrian mengular karena ulah teledorku. Gerutuan orang yang bisik-bisik udah kedengeran. Begini nih, kalau aku digupuhi, maka ambyarlah hidupku selanjutnya.

Blank! beneran lupa taruh KTP di mana. Petugas checking memintaku untuk minggir terlebih dahulu, daripada bikin drama dan ditonton oleh orang-orang, akhirnya aku manut aja.

Melanjutkan pencarin terhadap KTP yang statusnya belum juga berubah, kubongkar isi tas ransel.

Duh, udah nggak ngerti lagi rasanya. Kacau banget, kepikiran kereta yang udah stand by, para penumpang juga udah pada masuk gerbong.

Aku mulai panik.

"Mbak, gimana? Kereta mau berangkat." Satu pertanyaan dari orang stasiun entah bagian apa, pokoknya beliau pakai seragam khas KAI, malah membuat kepanikanku memuncak.

"Duh, pak, tolong tungguin saya. KTP saya belum ketemu ini. Atau boleh nggak sih pakai tanda pengenal lain? SIM mungkin? NPWP?"

"Nggak bisa, Mbak. Nomor ID yang ada di tiket harus sesuai dengan tanda pengenal yang ditunjukkan." Makin amburadulah isi tas dan hatiku.

Ini nanti kalau aku beneran ketinggalan kereta maka riwayatku bakal selesai.

Pertama, jelas Bapak Fikri Daulat akan mencincangku habis-habisan.

Kedua, maka seluruh biaya yang hangus akibat ulah bodohku ini bakal dibebankan ke aku.

Gils! Rugi bandar dong ceritanya.

Mau ena-ena merasakan jadi lady rich tiga hari aja kagak jadi. Amsyong!

"Mbak maaf, jadwal keberangkatan udah tiba, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kondektur udah kasih peringatan untuk jalan."

Baiklah.

Aku tadi memang sempat bilang bahwa lebih suka train station drama ketimbang airport drama. Tapi ya nggak drama macam gini juga, Malih!

Drama yang nggak ada hokinya sama sekali. Siyal, siyal.

Allah, hamba tahu bahwa tidak ada hari sial, hari apes, atau apapun itu. Jadi, kata apa yang pantas menggambarkan kondisiku kali ini?

Astagfirullah. Benar, istigfar, Rin. Itu lebih baik dari dunia dan seisinya.

"Maaf, Mbaknya cari KTP?" satu suara lagi yang ngeriwuhi konsentrasiku yang masih ngubek-ubek isian tas.

"Iya, mas. Iya, saya cari KTP, tolong kasih saya waktu sebentar lagi aja. Saya mohon." Aku nyolot tanpa melihat orang yang sempat-sempatnya ngajak aku ngobrol di kondisi tergenting begini.

Udah tahu sini lagi riweh, masih aja ditanyain! Kesel!

"Rindu Amaya Kinasti?" Aku diam sedetik.

Lalu, langsung berbalik begitu menyadari bahwa namaku disebut sedemikian lengkap.

"Iya, saya?"

Lalu lelaki itu mengulurkan satu buah ...

"Astagfirullah, ini KTP saya." Aku teriak kegirangan. Sumpah, rasanya kayak habis menang undian doorprize jalan sehat.

"Tadi saya nemu di dekat Solaria. Tadinya mau saya kasih ke customer service, tapi lihat mbaknya kayak lagi bingung cari sesuatu. Saya pikir mungkin, mbaknya Rindu?"

Aku udah nggak peduliin lagi mas-mas itu bilang apa, yang penting KTP-ku ketemu. Aku langsung masukin lagi isian tasku, udah nggak ada kata rapi-rapi segala, yang penting entah gimana caranya aku bisa langsung check in dan lari ke gerbong.

"Mas, makasih banget ya. InsyaAllah, Allah yang bakal bales kebaikan, Mas. Semoga kita bisa ketemu lagi dan saya bisa bales kebaikan, Mas," kataku sambil menyerahkan KTP dan boarding pass ke petugas untuk dicek.

"Saya permisi dulu, Assalamualaikum," sapaku, udah nggak sempat lagi nengok ke mas-mas tersebut. Aku langsung ngejar gerbong kereta yang udah mulai jalan pelan.

Untung saja ada satu pintu terbuka.

Dan... Hap.

Alhamdulillah.

Dengan sisa-sisa napas yang tinggal satu dua macam ikan cupang tergelepar, oksigen sekitaran kuakuisisi jadi milikku seutuhnya. Gila! Engep banget cuma modal lari dari dalam stasiun ke dalam kereta yang jaraknya aja nggak sampai seratus meter.

Ini nih akibat nggak pernah olahraga, makan mulu yang diduluin.

Btw, aku baru sadar! Aku nggak tahu ini gerbong berapa. Tadi asal naik aja gerbong terdekat yang bisa kujangkau, nggak sempat lihat gerbong berapa yang penting selamat nggak ketinggalan, udah gitu aja. 

Jadinya begini kan, ketika aku masuk masih dengan napas yang engap-engapan, orang-orang di bangku penumpang memandangku nggak enak banget. Aku cuma bisa nunduk sambil senyum semanis mungkin. Gila, udah kayak jalan di catwalk aja dilihatin segininya.

Untung aja nggak sampai perlu tanya ke mereka, tulisan Eks.7 terpampang di dinding kereta paling ujung. Ini Eksekutif tujuh sementara gerbongku di Eksekutif dua, itu artinya aku masih kudu jalan ke depan yang--oke, ini nggak dekat. Aku jalan ke eksekutif dua sambil bawa ranselku yang segede gaban karena paska tragedi KTP tadi aku nggak mikir lagi mau nata model apa isian tasku, asal masukin  aja yang penting muat.

Eks. 2 - 8A 

Begitu yang terpampang di tiketku, namun bangku tersebut sudah berpenghuni. Ini aku nggak nyasar kan?

"Maaf, benar ini Eksekutif dua kan?" tanyaku ke mas-mas yang lagi senden madep kaca, kelihatan udah pewe banget dan siap tidur. 

Laki-laki itu menoleh.

Dan astaga, ternyata dia. 

"Loh, ternyata Mbaknya di gerbong ini juga," sapanya sementara aku melongo.

Dunia memang cuma selebar daun kelor, dari 0.0000012% peluang kemungkinan itu, Allah mempertemukanku dengannya lagi. Apa itu artinya aku harus balas kebaikan masnya sekarang juga? 

Aku mengangguk sambil senyum kecil, lalu naruh ransel ke rak atas. 

"Saya bantu?" 

"Eh?" Tiba-tiba dia berdiri dan langsung mengambil alih ranselku. 

Hemm, aku selalu menyangkal bahwa scene FTV seperti ini tidak mungkin terjadi di real life. Tapi, kali ini aku melakoni sendiri adegan sok manis ala-ala FTV pagi pukul sepuluh, pandang-pandangan seperkian detik dengan tangan yang saling memegangi ransel di rak atas. 

Astagfirullah. 

Tersadar, aku langsung memalingkan muka. 

Ini konyol, gais. 

Setelah itu aku berusaha biasa aja, meski adegan tadi bikin deg-degan nggak aturan. Aku duduk di pinggir  walaupun kalau menurut tiket posisi 8-A itu sebelah jendela. Pengin protes sih, tapi nggak enak hati, cuy.

Eits, bukannya tadi aku sendiri yamg bilang kalau misalnya aku dan dia dipertemukan lagi, maka aku bakal bales kebaikan dia yang udah nemuin KTP-ku.

Apa sekarang waktunya?  

Aku berdeham kecil, sambil melirik sekilas laki-laki yang udah kayak patung ini. Serius, aku sebenarnya juga nggak mau memulai pembicaraan dulu kalau nggak ada kepentingan. Masalahnya, sekarang aku punya kepentingan sama tuh orang. Kepentingan balas budi biar aku udah nggak punya hutang lagi.

Gila, dia imun banget! Ini nih, asal kalian tahu aja, aku udah kayak cewek-cewek sok kegenitan yang caper terang-terangan. Jangan aja sampai dia jadi risih lihat tingkahku yang absurd ini.

"Mas." Ya salam, udah macam istri yang manggil suaminya aja.

"Ya?" Dia nengok.

Lah, aku malah jiper sendiri.

"Emhh, anu. Makasih ya, tadi udah nemuin KTP-ku," kataku sedikit kikuk.

Sumpah ya, aku udah kayak orang nggak kenal public speaking. Kemampuan bicaraku mendadak lenyap, jadi gagu, cuy.

Mana balesannya dia cuma ngangguk doang.

Gils! Baru kali ini aku dibuat gugup nggak tahu diri cuma karena mas-mas penemu KTP.

Aish!

Daripada aku makin kelihatan kayak orang bego, mendingan aku ambil novel dan mengalihkan rasa canggung ini.

Entah dengan alasan apa, aku pengin banget ngobrol banyak sama mas-mas di sampingku ini. Aku pengin tahu namanya. Pengin nanya juga dia tujuannya ke mana. Misterius sih.

"Ada yang mau ditanya?" Shit! Dia memergokiku curi pandang ke arahnya.

Dan begonya lagi, aku cuma menggeleng kayak boneka bobblehead di dashboard mobil.

Dia cuma mengangguk lalu ngadep jendela lagi. Bagus!

Di saat suasana awkward tiada tara seperti ini, rasanya aku perlu berterima kasih kepada Pak Fikri yang tiba-tiba mengagetkanku dengan panggilan teleponnya.

Kali ini jelas aku sangat antusias dengan Pak Fikri, ketimbang aku mati kaku nahan suasana kikuk yang nggak udah-udah.

"Assalamualaikum, Iya, Pak?"

"Waalaikumsalam, iya, Rindu. Gimana? Udah berangkat ya keretanya?" tanya beliau di seberang sana.

Hhhh, kenapa sih aku harus punya atasan macam Bapak Fikri Daulat ini? Posesif banget, iya kalau beliau belum punya anak-bini, bisa kali masuk dalam list per-gaet-anku. Masalahnya anak udah tiga, Cuy, masih pada kecil-kecil pula. Ya kali aku bakal kesemsem sama Bapak-bapak.

"Sudah, Pak. Bapak nggak percayaan banget sih?"

"Hahah, bukan, Rindu, kali aja keretanya telat." Tawa puas terdengar di ujung sana. Asal bapak tahu aja, justru saya yang hampir telat!

"Oh ya, semua kelengkapan berkas sudah kamu bawa kan? Laporan data stok terakhir dari tim sales, sama form untuk cek FIFO juga udah kan?"

Selalu! Selain karena beberapa alasan keogahan yang udah pernah kusebutkan, alasan lain kenapa aku enggan berangkat audit adalah ya gini nih. Pak Fikri tuh cenderung meremehkan dan nggak percayaan. Kalau emang beliau nggak bisa percaya, kenapa nggak beliau aja yang berangkat? Heran.

"Sudah, Pak. Bapak tenang aja, semua bakal saya handle. Bapak fokus aja mau ketamuan orang pajak. Soal gudang biar jadi urusan saya."

"Oke, Rindu. Kamu memang selalu bikin bangga. Oh satu lagi..."

"Jangan lupa untuk selalu update kabar apapun, dan segera submit laporan per gudang via email kalau udah selesai. Konsultasikan label-label pakan sama Tim QC di kantor untuk tahu pakan FIFO atau tidak. Jika tidak, segera kamu ambil tindakan, kasih peringatan tegas. Begitu kan, Pak?"

"Wah, kok kamu tahu apa yang akan saya omongin?"

Sudah hapal, Pak! Sampai ngapal di otak. Padahal tanpa Pak Fikri harus ingetin juga aku udah pasti tahu kok bakal ngapain aja di sana. Please, ini bukan kali pertama atau kedua aku berangkat, udah puluhan kali dalam masa karierku selama tiga tahun ini. Beragam kasus mulai dari A-Z udah sering kutemui. Jadi, kurang apa aku untuk disebut sebagai senior auditor?

"Ya sudah, Rindu. Selamat bekerja, kabarin kalau ada apa-apa."

Aku langsung matikan telepon begitu selesai salam. Huh! Hari ini benar-benar random. Entah apa yang salah dengan hari ini ya Allah. Tapi beneran deh, kenapa kejadian demi kejadian aneh datang beruntun?

"Permisi, Mbak. Saya pindah ke sebelah aja."

Aku melongo, mas-mas di sebelahku itu lewat dan milih pindah ke sebelah yaitu bangku 8C-D yang kebetulan dua bangku tersebut tidak ada penghuninya.

Memangnya segitu kerasnya ya aku telepon tadi? Apa dia begitu terganggu sampai harus pindah kursi?

Aku melirik sekilas lagi, kini mas-mas itu udah menyumpal telinganya dengan headset. Memeluk bantal ukuran 20x30 cm yang disediakan kereta, kemudian memejam. Mungkin sedang merangkai mimpi terindah.

Astagfirullah, dosanya aku yang memandangi wajah laki-laki yang bahkan sama sekali tidak kukenal.

Allah, intinya begini, aku benar-benar bersyukur kepadamu bahwa Engkau mengutus lelaki itu untuk menyelamatkan nasibku pagi ini dengan menemukan KTP-ku. Aku perlu berterima kasih kepadanya. Tapi, sampai detik ini, aku belum juga tahu dengan cara apa aku bisa membalas kebaikan kecil yang dia lakukan untukku.

Mungkin memang hanya kebaikan kecil, tapi itu benar-benar berarti.

Jadi Allah, titip terima kasihku kepada mas-mas itu ya.

-Rindu Amaya Kinasti-

___________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top