19. Rindu dan Cemburu

Aku keluar ruangan meninggalkan anak-anak yang mulai membuatku terancam. Sedikit berlari dengan niatan mau menyusul dokternya Widya tadi. Belum begitu jauh ternyata, dari jarak sekian aku masih bisa melihat punggungnya berdiri kokoh sambil terus berjalan dengan perawat yang mendampinginya. Ugh, rasanya aku pengin menjadi mbak-mbak perawat tersebut, biar bisa ke manapun mengiringi langkah dokter ganteng itu. Lebay memang, aku pun sadar bahwa tingkahku seperti remaja puber yang sedang jatuh cinta dan menguntit gebetannya sambil mengendap-endap dari belakang. Konyol sih, tapi kalau hanya dengan begini aja aku bahagia, lantas di mana letak salahnya? Hahaha.

Sampai dia kembali masuk ke dalam salah satu ruang perawatan, praktis membuatku menghentikan langkah. Tapi, sebelum dia masuk, dia sempat menengok sekilas lalu senyum ke arahku. Oke, kepergok. Nggak perlu mengendap-endap lagi, duduklah yang manis sembari menunggu si dia menyelesaikan tugasnya.

Sampai sekitar sepuluh menit kemudian, Mas Hanif kembali menampakkan diri dari ruang rawat tepat di depan aku duduk saat ini.

Masih kuperhatikan ia sedang mengobrol dengan bahasa mereka yang jelas tak kumengerti. Yang kutangkap sih intinya Mas Hanif berpesan kepada Mbak Perawat untuk selalu ngecek kondisi pasien dan segera memberi kabar jika ada kegawatan yang perlu diperhatikan. Serah terima yang menandakan proses visit telah selesai mungkin. Kurang lebih seperti itu. Bagaimana pun, dulu, dulu banget, aku pernah merasakan kerja di rumah sakit, meskipun hanya sekadar praktik pas zaman kuliah. Jadi walaupun bahasa mereka nggak sepenuhnya kumengerti, tapi aku sedikit tahu intinya.

Mas Hanif kemudian menghampiriku setelah menyelesaikan urusan dengan perawatnya.

"Hai?" sapanya kayak orang asing yang baru pertama kenal. Jayus sekali mas-mas satu ini memang.

"Hai juga." Tapi bukan aku jika tak menimpali candaannya.

"Kamu ke sini kok nggak bilang?" tanyanya penuh selidik.

"Mas nggak tanya." Sementara aku justru pengin mengerjainya, kujawab sekadarnya biar dia sedikit kesal.

"Ya ampun, jadi harus ditanyai dulu?" Dia mulai gregetan. Setidaknya, usahaku untuk mengerjainya sedikit berhasil.

"Hahah, nggak-nggak Mas. Tadi waktu Mas bilang mau visit tuh aku mau bales eh udah kadung riweh diajakin anak-anak buat segera besuk. Yawes nggak jadi kasih tahu. Eh ternyata ketemu. Beneran jodoh kali ya?" Aku kembali menggodanya, sedikit mengerlingkan mata. Dan kupikir, tingkahku mulai konyol.

Oke, Mas Hanif yang mulai terlebih dahulu jadi jangan salahkan aku kalau bisa membalasnya lebih dari itu.

"Oh udah berani sekarang?" tantangnya lagi.

Sampai di sini kuhentikan aksi konyolku tersebut. Kini, aku hanya menyimpul senyum sambil geleng-geleng karena menyadari bahwa tingkahku makin nggak kekontrol. Astagfirullah. Jangan aneh-aneh, Rind.

Aku malu.

Sementara Mas Hanif sedang cengengesan melihat wajahku yang kuyakin terlihat merah seperti udang baru keluar dari air rebusan. Blush!

"Udah-udah, kamu mau pulang sama aku atau teman-temanmu? Aku udah selesai ini."

Aku menimbang-nimbang tawarannya. Kalau pulang sama anak-anak pasti masih lama. Mereka juga pasti masih mengobrol banyak dengan Widya. Lagipula arah pulang mereka berlawanan denganku, paling tidak pada akhirnya aku tetap harus ngojek. Tapi kalau mengiyakan ajakan pulang Mas Hanif, artinya kami akan semobil berdua lagi?

Bisa bahaya jantungku!

Kadang aku nggak habis pikir dengan diriku. Hanya sekadar menerima ajakan pulang saja aku bisa sebimbang ini. Dasar aku!

"Ayo sayang, keburu Isya ini. Btw, kamu udah Magrib belum?"

Bentar, mohon maaf tadi dia bilang apa?

"Apa kamu bilang mas?" tanyaku memastikan.

"Kamu lho, udah magrib belum?"

Menyebalkan! Bukan itu maksudku, sapaan yang dia gunakan tadi apa? Tolong, mungkin saja telingaku bermasalah. Dia memanggilku sayang? Ya Allah, sejak kapan Mas Hanif bisa seperti itu?

Masya Allah, Mas, bisa tidak, berhenti membuat jantungku semakin deg-degan tak keruan? Aku takut.

"Eh, udah kok, tadi begitu nyampe RS ke musala dulu, baru kemudian cari kamarnya Widya."

"Yawes, jadinya gimana?" Mas Hanif kembali menanyakan.

"Iya, aku pulang sama Mas. Aku ngabarin anak-anak dulu ya," jawabku pada akhirnya.

"Nah, gitu dong," ucapnya, sambil melempar senyun penuh seringaian kejahilan.

Apakah memang setelah proses khitbah alias lamaran alias tunangan itu sifat seseorang makin terlihat nyata? Apa memang aslinya seorang Hanif Zarchasi adalah seusil ini??

Mas Hanif menyebalkan!

Tidak menghiraukan ia yang kini tengah melepas jas putihnya sambil jalan di sampingku, aku kemudian mengirimkan pesan ke salah satu mereka untuk mengabari kalau memang aku pulang duluan karena ada keperluan. Ya, keperluan pulang sama Mas Calon, setidaknya aku nggak berbohong soal itu.

Tiba-tiba ponsel Mas Hanif kembali berdering, Mas Hanif memberi isyarat untuk mengangkat sebentar yang kemudian ku iyakan dengan anggukan.
"Assalamualaikum, Iya bro? MasyaAllah ane lupa, maaf-maaf, ente di mana? Untung aja ane belum cabut. Oh, oke-oke, ane ke sana sekarang."

Aku menengok ke arahnya, firasatku memburuk, batal pulang sepertinya.

"Rind, kita ke kantin dulu yuk. Aku mau nyerahin flashdisk punya temanku. Isinya kerjaan, dia lagi shift malam dan mau dipakai. Nggak papa ya? Bentar kok."

"Aku di sini aja gimana, Mas?" tawarku.

"Ikut aja yuk, tak kenalin sama teman-temanku."

"Mas???" Aku mengernyit, memastikan lagi apakah dia serius ingin mengajakku bertemu dengan teman-temannya. Takutnya, kehadiranku malah mengganggu nanti.

"Trust me, sayang."

Dan, kali ini aku mendengar kembali dengan begitu jelas dia memanggilku sayang. Jantung ..... Kondisikan!

Aku masih berusaha biasa saja berjalan beriringan dengan seseorang di sampingku yang baru saja ngelindur. Beberapa kali papasan dengan perawat dan gerombolan anak-anak berjas lab putih yang kuduga sebagai mahasiswa koas, karena memang mukanya yang terlihat masih bocah, mereka begitu santun sambil menyapa orang di sampingku ini. Oh, ternyata mas calon memang orang yang cukup famous, meski bisa dibilang dia dokter baru toh? Baru berapa bulan coba hitungannya? Mungkin karena pesona nggak pernah bisa berbohong. Kuakui memang iya. Tapi jangan sampai dia mendengar bahwa aku juga terpesona olehnya. Bisa geer dia!

Tidak begitu lama, akhirnya kami sampai di kantin yang dimaksud Mas Hanif. Meski sudah malam, tapi kantin di rumah sakit ini masih ramai. Banyak stand makanan yang masih buka. Dan uniknya, yang makan di kantin tidak hanya keluarga pasien, melainkan juga para tenaga kesehatan. Terbukti beberapa teman Mas Hanif yang kini ditemuinya, sedang menikmati santap malam di salah satu sudut kantin.

"Oiii, ente jam berapa udah pulang ini?" sambar satu di antara tiga laki-laki berjas putih sambil melambaikan tangan ke arah Mas Hanif.

"Lah, jam praktik ane udah kelar, Bro, gimana sih. Eh, ini flashdisknya. Sorry ya, beneran ane lupa."

Melihat interaksi Mas Hanif dan teman-temannya, mungkin ini juga menjadi kali pertamaku mengenal dunia lain seorang Mas Hanif. Mungkin juga benar bahwa aku perlu mengenal beberapa dari mereka. Karena bagaimana pun, nantinya aku juga harus mengenal lingkungan dan circle pergaulan Mas Hanif, bukan? Meskipun nggak perlu semuanya.

"Kon gowo sopo, Nif?" Menyadari ada orang lain, salah satu teman Mas Hanif akhirnya ada yang menganggap kehadiranku.

"Astagfirullahhaladzim, Maaf sayang," katanya kepadaku, lalu Mas Hanif memintaku mendekat.

"Kenalin, ini calonku, Bro. Doain ya. InsyaAllah secepatnya."

"MasyaAllah, kaet mau kon anggurno, Nif. Tego ancen," celetuk yang lain lagi.

"Ente bahlul emang, Nif. Gitu mau-maunya sama Hanif, Mbak," sambar lainnya.

Aku hanya tersenyum menanggapi.

"Menengo kabeh rek," kata Mas Hanif gregetan. "Rind, kenalin, mereka ini teman-temanku, dokter di sini juga. Yang jangkung ini namanya Reno, yang tengah ini namanya Furqon, tapi kita manggilnya Arab, dan yang paling kanan namanya Aswar."

"Saya Rindu." Kembali lagi-lagi aku hanya melempar senyum, kali ini disertai kedua tanganku yang kutangkupkan di depan dada. Ketiganya pun turut membalas cukup dengan senyum juga tangkupan tangan yang sama karena memang sudah paham dan saling mengerti.

Mereka bertiga, dan empat sama Mas Hanif, sepertinya memang satu pertemanan terlihat dari keakraban interaksi di antaranya. Mas Hanif memang belum pernah cerita, lalu kini ia mengenalkanku langsung pada mereka. Seperti ada kebahagiaan tersendiri rasanya ketika pasanganmu mengenalkan dirimu pada lingkungannya.

"Rindu siapa Mbak? Maaf ya, kalau mau rindu saya, saya sudah punya istri e," canda salah satu dari mereka.

Hahaha, bisa saja. Riuh tawa kemudian membahana di antara mereka. Sementara Mas Hanif yang nggak terima malah menoyor salah satu temannya itu.

Ketika kami masih saling melempar guyonan, tiba-tiba datang lagi salah satu temannya Mas Hanif. Kali ini perempuan, yang langsung ikut nimbrung dalam obrolan begitu datang.

"Loh Nif, katanya lepas visit langsung cabut?" tanya perempuan tersebut kepada Mas Hanif.

"Iya, Nes, ini nyerahin flashdisk ke si Arab, kebawa tadi."

Perempuan itu hanya mengangguk, setelah itu kembali bertanya kepada Mas Hanif. "Pulang sekarang ta? Nebeng dong, Nif."

Perempuan yang kuduga juga satu klan dengan Mas Hanif dan kawan-kawannya ini, tampaknya sedikit agresif. Sampai di sini aku masih menyimak perbincangan mereka.

"Kon ojok aneh-aneh, Nes. Onok calone Hanif itu lho, nggak sungkan ta?" Reno ikut menyahut, memberikan sinyal bahwa memang ada aku yang harus perempuan itu tahu.

"Eh apa? Calon? Yang mana? Ojok guyon, Nif." Kali ini bahkan perempuan itu menggeplak lengan Mas Hanif dengan gemasnya dan tanpa sungkan.

Astagfirullah.

Kutahu Mas Hanif sedikit risih, makanya sedikit menyingkir dan hanya melempar senyum kepada Mbak-mbak yang dipanggil Nes tadi.

"Kenalin, Nes. Ini Rindu, calon istriku."

Benar saja, Mbak-mbak itu sepertinya memang baru menyadari kehadiranku. Dia melihatku dengan saksama, menelitiku dari bawah hingga atas dengan pandangan yang sungguh nggak mengenakkan.

"Oh, ya ampun, maaf ya Mbak. Saya nggak ngeh kalau ada Mbaknya tadi. Saya Nesya, temannya Hanif, dokter di sini juga."

Aku menyalami perempuan tersebut. "Saya Rindu, Mbak."

"Mbaknya dokter juga ta? Praktik di RS mana?" tanyanya begitu retoris.

"Nggak Mbak. Saya kerja kantoran biasa," jawabku berusaha santai.

Aku sedikit geram dengan pemikiran perempuan ini. Bagiamana cara dia memandang seseorang, sangat kentara dari gestur tubuhnya yang membuatku seketika tidak nyaman. Terlihat meremehkan seolah aku tidak sepadan dan nggak pantas bersanding dengan Mas Hanif.

"Oalah, tak kira kamu tuh nyari yang dokter juga, Nif. Kamu kudu kasih pengertian ekstra Nif, harus siap ditinggal sewaktu-waktu kalau ada panggilan darurat. Atau siap nggak kencan di malam minggu karena harus jaga IGD. Hahah, iya kan, bro?" Kelakarnya dengan teman Mas Hanif yang lain.

Hah, tapi untung saja teman-teman Mas Hanif yang lain malah cenderung tak acuh dengan Nesya ini.

Sampai di sini aku paham sesuatu. Dan sepertinya aku benar-benar tidak nyaman dengan suasana saat ini. Berharap Mas Hanif mengerti dan segera membawaku pulang.

Ternyata memang benar tentang guyonan pas zaman kuliah dulu. Sebagai anak Gizi yang satu fakultas dengan anak kedokteran, nggak ayal, kami sering mendambakan pengin punya pacar anak PD (pendidikan dokter) tapi mitosnya, dokter akan selalu berpasangan dengan dokter juga. Karena mereka pasti sudah saling mengerti, cocok, dan saling memahami. Nggak ada celah profesi lain yang bisa mengisi hati para dokter selain rekan sejawat yang paham betul bagaimana profesi tersebut bekerja hingga hampir tidak memiliki waktu dengan keluarga. Katanya dulu demikian, maka wajar jika dokter selalu mencari dokter juga. Stigma yang kadung keliru dibangun hingga sekarang.

Tapi buktinya, aku bisa mematahkan statement itu kan? Dan mohon maaf untuk Mbak Nesya jika mengecewakan anda dengan jawaban saya.

"Udah-udah. Aku duluan ya. Nes, sorry ya, aku nganterin Rindu soalnya."

"It's okay, Nif. Besok-besok juga bisa kok." Aku makin gregetan dengan Nesya ini.

Kalau begini caranya, mungkin akan kupertimbangkan tawaran Mas Hanif yang mau mengantar jemputku setiap hari jika itu bisa menghindarkan Mas Hanif dari godaan makhluk-makhluk semacam Nesya tadi.

"Aku duluan, Bro. Assalamualaikum." Mas Hanif memintaku untuk mengikutinya keluar kantin. Sementara aku masih menyempatkan diri untuk senyum pamit ke teman-temannya.

Hah!

Cobaan pertama jika memang kamu ingin mengenal dunia calon suami. Rasanya setelah ini aku harus lebih sabar lagi, terlebih jika itu berkaitan dengan dunia Mas Hanif.

Tak sampai di situ saja rasa kesabaranku diuji. Ketika kami sedang berjalan di salah satu koridor rumah sakit, Mas Hanif kembali berpapasan dengan rekannya yang lain. Entah kali ini siapa dan statusnya sebagai apanya Mas Hanif.

"Eh, Nif tak cariin juga. Kotak bekalmu mana? Besok mau dimasakin apa nih?"

Perempuan lagi, kali ini dengan tampilan yang lebih menawan ketimbang dokter Nesya tadi. Siapa lagi ini ya Rabb? Bahkan terlihat mesra sekali sampai menanyakan kotak bekal. Itu berarti, perempuan ini setiap hari membawakan bekal untuk Mas Hanif? Ah, aku berhusnudzon saja, mungkin perempuan ini adalah pegawai catering rumah sakit.

"Eh, Fir. Iya kotak bekalnya di kantorku. Aku udah mau pulang ini. Besok aja ya. Seperti biasa, tukar sambil balikin," jawab Mas Hanif.

"Mesti kamu itu. Yawes besok mau bekal apa?" tanya perempuan itu lagi.

"Apa aja udah. Samain kayak yang lain."

"Okay, btw mau pulang?" Menyadari keberadaanku, perempuan di depan Mas Hanif kini melirikku sekilas.

"Iya ini mau pulang."

Namun, sepertinya perempuan ini masih penasaran denganku. Karena bisa kulihat ia mengode ke arah Mas Hanif dengan gerakan alisnya sambil mengisyaratkan tanda tanya siapa sebenarnya seseorang di samping Mas Hanif tersebut.

Hah, harusnya aku yang tanya, kamu siapanya calon suamiku, Mbak?!

"Masya Allah, sorry, Fir sampai lupa. Kenalin, ini Rindu calon istriku. Dan Rin, kenalin ini Firni ahli gizi di sini---"

Belum sampai mas Hanif menjelaskan, perempuan bernama Firni tadi menyalamiku sambil menyela, "---sekaligus ahli gizinya dokter Hanif."

"Ohh, iya, Mbak Firni," kataku sambil tersenyum pahit.

Apa katanya tadi? Ahli Gizinya Dokter Hanif, tolong digarisbawahi dan distabilo pernyataannya barusan. Bahwa Mas Hanif punya ahli gizi khusus adalah suatu hal yang baru kutahu. Dan wow, aku cukup tercengang kali ini.

"Hahaha ngaco kamu, Fir, ada-ada aja. Ya udah ya, aku duluan." Mas Hanif berusaha mengalihkan.

"Iya, Nif. Hati-hati, ya."

Mas Hanif melambaikan tangan, kemudian kembali mengajakku pergi sebelum aku sempat bertanya yang macam-macam kepada ahli gizinya tersebut. Baiklah, semoga kali ini benar-benar pulang dan nggak ada hambatan di tengah jalan lagi.

Tidak ada perbincangan di antaraku dengan Mas Hanif sampai kami tiba di parkiran. Mas Hanif memintaku langsung masuk mobil meski sebenarnya aku mendadak berubah pikiran dan pengin pulang naik ojek aja. Tiba-tiba rasanya malas satu mobil sama Mas Hanif. Dia berhasil membuat dadaku pengap akibat aksi jumpa fansnya sepanjang jalan menuju pulang tadi. Kesel, gregetan, menyebalkan pokoknya!

Beginikah rasanya cemburu menguras hati? Capek.

"Hei, kenapa? Capek ya? Bentar ya sayang. Bentar lagi sampai kok," katanya dengan tanpa rasa bersalah.

Memang sih, Mas Hanif di sini nggak ada salah apapun. Tapi lho, mbok ya peka sedikit kalau aku tuh butuh penjelasan dari semua ini. Tolong ceritakan apapun yang sekiranya aku nggak tahu. Jangan membuatku seperti orang bodoh dengan menanggung rasa kesal ini sendirian, Mas.

Setelah beberapa saat, Mas Hanif akhirnya membuka suara terlebih dahulu.

"Ada yang mau ditanyakan, Rind? Jangan dipendam. Tanyakan jika itu bikin mengganjal," katanya sambil melirikku sekilas kemudian kembali fokus mengemudi.

"Mas tahu aja," cicitku.

"Wajahmu menggambarkan isi hatimu, Rind. Aku lagi belajar mengerti perasaanmu. Kita belajar saling memahami satu sama lain. Biar ke depan jika ada hal-hal kayak gini bisa lebih enak."

Aku cuma berdehem, belum pengin menanyakan langsung.

"Kenapa?" tanyanya begitu lembut, membuat pertahananku kembali luruh.

"Tadi sebelum ketemu teman-temanku kamu masih semringah lho. Setelah itu jadi muram gini. Kenapa sih tunangan aku?" candanya membuatku malah pengin mengeplak lengan Mas Hanif tersebut. Tapi no, jangan, sama aja dong aku dengan Nesya tadi. Jangan kegenitan.

"Iiih, Mas." Aku gregetan sendiri.

"Tanyakan, apa yang membuatmu mengganjal, Rind." Kali ini dia lebih serius.

"Dokter Nesya siapa? Sepertinya dokter Nesya suka sama Mas." Pertanyaan pertama yang berhasil keluar dari mulutku setelah berusaha kutahan.

Benar, rasa penasaran memang harus segera dituntaskan, biar jatuhnya nggak salah prasangka karena terjebak asumsi sendiri.

"Nesya itu teman SMA-ku. Kuliahnya beda. Seperti yang kamu tahu, aku kuliah di Unpad. Sementara Nesya di Unair sini aja. Kami dari SMA memang sama-sama pengin ngambil kedokteran. Qodarullah, kita dipertemukan lagi dalam satu instansi yang sama setelah terpisah hampir tujuh tahun."

"Mantan?" tembakku langsung.

"Bukan sih."

"Tapi deket," jawabku sendiri.

"Iya, dulu waktu SMA kami memang dekat. Tapi karena aku dasarnya emang nggak suka pacaran, jadi ya emang nggak pacaran. Sahabatan dan dekat aja."

"Bisa jadi dokter Nesya memang menaruh hati sama kamu, Mas. Dan bisa jadi rasamu ke dia juga belum selesai," kesalku.

Kemudian yang terjadi, Mas Hanif malah tertawa terpingkal-pingkal. Itu berarti secara nggak langsung dia mengiyakan kataku, bukan? Tidak ada sanggahan setelahnya. Aaarrghh, menyebakan!

"Terus selain itu?" tanyanya lagi sambil meredakan tawanya yang membahana barusan.

"Kalau Firni tadi?"

Dia kembali mengulum senyum. "Dia dulu teman bimbel sebelum akhirnya pisah juga pas kuliah. Udah gitu aja, nggak ada yang spesial."

"Iya tapi spesial pakai telur kalau ternyata kamu minta dibekalin tiap hari sama dia," tandasku.

"Masya Allah ..." Mas Hanif kembali tertawa sambil menyeka kedua matanya. Sepertinya begitu puas sampai mengeluarkan air mata segala.

"Rind, pertama, untuk Nesya. Demi Allah aku nggak ada perasaan apapun, baik dulu maupun sekarang. Kedekatan kami murni sebagai sahabat. Jika Nesya memiliki perasaan yang lain kepadaku, aku bisa apa? Aku nggak bisa mencegah kan? Tapi setelah ini aku bakal kasih pengertian ke dia, kalau memang aku sedang menjalin hubungan yang serius dengan kamu," jelasnya. "Hehehe, terima kasih sudah cemburu, dan makasih dengan begitu kamu mengingatkanku untuk membuat batasan pergaulan dengan lawan jenis. Maaf ya, kalau bikin kamu jadi kesal," sambungnya yang diselingi candaan sambil menggodaku.

Tetep kan! Menyebalkan memang.

Aku diam belum ingin menanggapi.

"Kedua soal Firni. Firni itu staff gizi di rumah sakit. Yang dibekali nggak cuma aku, tapi yang lain juga, yang memang berkenan pesan makan siang di bagian gizi langsung. Jadi nggak perlu cari makan di luar. Aku pesan juga nggak setiap hari, aku pesan kalau poli lagi penuh dan nggak bisa ditinggal aja. Kalau jadwal visit bangsal dan kegiatan memang lagi padat banget. Daripada malas ke kantin atau harus gofood dulu, ya udah call bagian gizi nanti diantar makanannya."

"Kalau Mas bilang kan aku bisa bekalin tiap hari," lirihku, entahlah dia dengar atau nggak. Yang jelas setelah itu kami kembali tenggelam dalam sunyi.

Rasanya menyakitkan, ketika tahu bahwa harusnya aku juga bisa seperti itu, memerankan apa yang dilakoni Firni setiap hari. Menjadi ahli gizi dan bekerja di rumah sakit, mungkin satu dari sekian job desk yang kubayangkan ketika dulu mengambil jurusan ini sewaktu kuliah. Alih-alih menghindari hal-hal yang berbau rumah sakit, menjadikanku memutuskan untuk terjun ke dunia lain dan memulai semuanya dari nol. Tapi kini, hasrat untuk kembali ke duniaku yang sesungguhnya kembali muncul. Mungkin, cerita akan menjadi beda jika aku ada di posisi Firni. Membayangkan setiap hari memasakkan untuk calon suami, menakar kebutuhan gizinya, memperhatikan apa yang dikonsumsinya, bahkan sampai nanti ketika sudah menjadi suami, menyenangkan bukan? Ah. Kenapa dulu aku nekat jadi auditor sih???

"Rind, udah sampai," katanya, membuat lamunanku harus terputus.

Entahlah, sejak tadi pikiranku mengawang ke mana-mana. Kami saling terdiam sampai aku nggak sadar kalau Mas Hanif sudah menepikan mobilnya di depan indekosku.

"Jadi sampai kapan masih kesal-kesalan gini? Nggak mau di selesaikan sampai di sini aja?" tanyanya begitu aku membuka seat belt.

"Maafin aku ya mas, kalau banyak prasangka."

"Nggak apa-apa, itu artinya kamu cemburu kan?" Mas Hanif kembali menggodaku.

"Iih, Mas."

"Rind, perjalanan kita bahkan belum mulai. Aku minta kamu untuk percaya. Bahwa keputusanku untuk mengajakmu serius bukanlah keputusan yang main-main. Ke depan, kita bakal melalui hal-hal lain yang jauh lebih berat dari sekadar rasa cemburumu tadi. Pelik kehidupan pernikahan yang sesungguhnya insyaAllah akan kita lalui. Dan aku mohon, apapun itu, kita harus tetap saling bicara satu sama lain, ya?" ucapnya panjang, dengan jendela mobil terbuka membuat angin malam begitu terasa membelai kami berdua.

Benar memang, ketika kamu memutuskan untuk memulai melibatkan seseorang dalam hidupmu, maka berikanlah ia kepercayaan, dan biarkan ia membuktikan kesungguhannya. Aku sudah tidak bisa lagi egois dengan memikirkan diri sendiri. Karena kini, ada dua isi kepala yang siap beradu kapan pun. Maka jalan tengah dari keduanya bukan lagi ego masing-masing. Tapi komunikasi. Bahkan perahumu belum juga melepaskan jangkarnya, lantas, persiapanku sejauh mana untuk mengarungi lautan lepas di depan sana bersama nahkoda yang sudah kupilih?

Ya Allah, mampukan aku untuk belajar lebih lagi.

Insya Allah, Mas. Bismillah, dan bantu aku mulai dari hari ini.

"Ya udah, masuk gih," pintanya mengakhiri obrolan malam kami.

Aku turun dari mobilnya, melirik sekilas jam di pergelangan tanganku. Sudah pukul sembilan, nggak terasa memang.

Mas Hanif kembali menyalakan mobilnya, sebelum akhirnya pamit pulang.

"Hati-hati, Mas," kataku.

Dia tersenyum manis sebagai penutup indahnya malam ini. Kemudian melenggang pergi bersama fortuner putihnya.

Malam, mari istirahat, dan mengakhirkan hari yang begitu melelahkan hati ini.

Hah! Astagfirullahhaladzim.

______selamat merindu kembali______



Terima kasih dan...

Lav lav
😘😘😘
Chaa~

25 Juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top