17. Rindu Bahagia
Tekan ⭐ dulu yuk biar semangat
🍇
🍋
🍇
🍋
🍇
🍋
Mas Hanif tidak pernah main-main dengan ucapannya. Tepat hari Minggu, genap sepekan sejak dia melamarku di resto petang kala itu, Mas Hanif datang bersama keluarga intinya ke Aloha.
Aku sudah memberitahukan kabar ini pada Ayah dan Bunda, mereka begitu antusias menyambut seseorang yang mereka sebut calon menantu itu. Nggak tanggung-tanggung, Bunda bahkan mengundang keluarga lain, seperti keluarga Zira dan Vanya yang notabenenya adalah saudara Bunda. Sementara untuk keluarga dari pihak Ayah memang sengaja hanya dikabari melalui grup whatsapp saja mengingat domisili mereka yang berada di luar kota.
Sebenarnya persiapannya nggak begitu banyak. Toh dari keluarga Mas Hanif hanya membawa keluarga inti.
Aku juga sudah mewanti-wanti untuk nggak terlalu berlebihan menyambut mereka karena Mas Hanif sendiri yang berpesan padaku kemarin. Jadi, Ibunya Zira dan Vanya, Budhe dan Tanteku, mereka hanya menyiapkan hidangan untuk kami makan bersama usai acara nanti. Acara juga dibuat sederhana, hanya perkenalan kedua keluarga, kemudian pihak Mas Hanif menyampaikan maksud dan tujuannya, lalu aku akan memberikan jawaban. Dan yaa, sudah, setelah itu dilanjut makan-makan. Rencananya begitu.
"MasyaAllah sekali ya, Rind. Siapa yang nyangka kamu beneran nyusul aku. Begitulah Allah dengan segala kuasa-Nya, Rind. Sudah kubilang, nggak ada yang nggak mungkin jika Allah sudah berkehendak," ucap Zira saat membantuku berias di kamarku. Ada Vanya dan Zia juga yang turut menyulapku agar enak dipandang dikit katanya.
Begitulah mereka, walaupun aku gregetan karena sempat-sempatnya mengataiku, tapi itulah bukti sayang mereka kepadaku. Benar sih, toh sehari-hari aku nggak pernah berias yang begitu all out hanya untuk sekadar berangkat ngantor. Dan mereka bertiga ini yang begitu semangat sejak tadi pagi dengan beragam alat make up di depanku saat ini.
"Iyo ii, doain aku juga ya, Rind. Biar nyusul kalian. Ah, tinggal aku tok dong kalau gini," sahut Vanya yang sedang menyapukan highlighter, blush on dan tetek bengeknya. Kubiarkan saja, nyatanya sebagai perempuan aku bahkan kadang masih suka salah nyebut alat-alat tersebut.
"Mbak Vanya anggap aku apa??? Masih ada aku kali, Mbak. Udah, nungguin aku aja." Zia ikutan nimbrung, adikku yang sudah rapi tersebut dari tadi senang sekali menggodaku dan membuatku salah tingkah sendiri. Dasar!
"Yee, itu mah beda urusan, anak kecil. Kuliah dulu yang bener baru mikiran nikah." Vanya menimpali Zia.
Melihat mereka saling guyon, aku hanya tersenyum memendam segala perasaan gugup nggak karuan yang saling bertubruk jadi satu.
"Bismillah ya, Rind. Selalu libatkan Allah dalam setiap keputusanmu." Zira kembali menenangkanku. Aku mengangguk mengiyakan.
Aku membuka grup chat Geng Esempe. Rahay yang memang dari keluarga Mas Hanif tentunya sudah tahu lebih dulu tanpa aku memberi tahu. Bahkan anak-anak juga dikasih tahu Rahay. Sampai-sampai mereka kemarin sempat nggondok kepadaku karena mereka tahunya mepet sehingga nggak bisa hadir di sini. Padahal aku sudah bilang untuk nggak perlu hadir. Toh, sampai detik ini aku belum mengambil keputusan.
Hft.
Arini
Semangat Rin. Ojok lali, Bismillah. Kuterima kau dengan Bismillah, Mas.
Diva
Gausah gupuh, Rind. Ojok sampe kepuyuh-puyuh lho nahan deg-degan.
Fita
Kon gak waras kabeh, Heb. Rindu malah tegang lho. Woles yo, Rind. Lancar tok, wes!
Rahay
Aku mau ikut gaoleh Budhe Ratih 😭 Bismillah yo Rind. Wujudkan keinginanku untuk jadi saudaramu. Pokoke kon kudu jawab IYO Rind. Awas sampe kon nolak Masku!
Aku tersenyum membacanya. Nyatanya pesan-pesan mereka mampu meredakan sedikit ketegangnku sedari tadi.
Kusimpan lagi ponselku di atas nakas, kemudian fokus pada Vanya dan Zira yang sedang merapikan riasan dan jilbabku.
Nggak lama setelah itu, Aufar, adikku yang cowok, masuk ke kamar dan memberi tahu bahwa tamunya sudah datang.
Vanya dan Zira justru yang gugup karena riasan mereka belum selesai, tapi rasanya kurang dikit sih. Aku meminta mereka untuk nggak terlalu tebal dalam menyapukan make up ke wajahku. Sederhana saja tapi bisa terlihat natural dan segar, itu aku lebih suka.
Detik ini, gemuruh di dadaku makin nggak terkendali. Telapak tanganku mendadak dingin. Deguban di jantung bahkan begitu nyaring sampai bisa kudengar.
Laa haula walla quwwata illa billah.
Segala lantunan dzikir, istighfar, dan Asmaul Husna terus kulafadzkan sembari keluar kamar menuju ruang tamu.
Bismillah.
Tepat begitu sampai di ruang tamu, tentu saja orang yang langsung kulihat adalah Mas Hanif. Dan dia juga sedang memandangku, persis tatapan kami bertemu.
Dia tersenyum sekilas, begitu manis sampai bisa memporak-porandakan deguban jantungku yang sedari tadi berusaha kutahan mati-matian. Aku kemudian langsung menundukkan pandangan, nggak mau lebih lama terjerat dalam senyum manis Mas Hanif yang bisa saja membuatku khilaf. Astagfirullah, Rindu.
Dari pihak Mas Hanif, ada kedua orang tuanya tentu saja, Tante Ratih dan Om Ruslan, kemudian kakaknya yang pernah kukira istrinya, Mbak Tiqa, Mas Danar suami Mbak Tiqa, Kina, dan si kecil Keisha kesayanganku. Aku menyalami mereka, kecuali Om Ruslan dan Mas Danar, itu juga karena Zira yang begitu perhatian kepadaku termasuk hal-hal kecil yang masih luput kuperhatikan. Katanya, mereka belum mahram, cukup katupkan kedua tangan di depan dada, InsyaAllah mereka mengerti. Aku benar-benar berterima kasih kepada Zira untuk tidak lelah mengingatkan dan membimbingku belajar lebih lagi.
"Sayang, kamu cantik sekali, Nak. Sini duduk dekat Mama, Nak," kata Tante Ratih.
Aku beringsut mengambil duduk di samping beliau dengan di sebelahnya ada Mbak Tiqa yang mengapitku. Sementara Kina sudah berhaha-hihi dengan Zira sambil ngemong Keisha. Kedua keluarga berhadap-hadapan, kecuali aku yang justru sudah diakuisisi oleh keluarga Mas Hanif.
Seperti paham perasaanku saat ini bagaimana, Mbak Tiqa dengan lembut menggenggam tanganku yang sudah dingin hampir membeku saking gugupnya.
"Yang tenang, Rind. Hirup dan embuskan napas pelan-pelan. Kamu kayak mau diapain aja. Rileks, ya," bisik Mbak Tiqa di saat Ayah dan Om Ruslan mulai berbicara.
Ya acara sudah dimulai, perkenalan dua keluarga tengah berlangsung. Dari pihakku, Ayah dibantu Pak Dhe memperkenalkan keluarga besar kami termasuk hal-hal yang sekiranya perlu mereka mengerti. Ayah yang seorang pegawai pemerintah Kota Sidoarjo, dengan Bunda yang seorang ibu rumah tangga. Sementara Papa Mas Hanif adalah seorang dokter spesialis jantung dan Mama Mas Hanif sama dengan Bunda, istri penuh waktu.
Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara, sedangkan Mas Hanif adalah anak kedua dari tiga bersaudara, hal-hal dasar seperti itu yang kemudian dibeberkan agar tahu nasab keluarga masing-masing.
Dengan selingan candaan di antaranya, kurasa Ayah begitu cocok dengan Om Ruslan. Pembahasan apa saja rasanya langsung nyambung meskipun beliau berdua berasal dari background pekerjaan yang berbeda.
Rasanya menyaksikan pemandangan seperti itu begitu adem dan menenangkan. Benar bahwa keputusan besar ini adalah untuk penyatuan dua keluarga, dan saat ini kami sedang berproses dalam hal itu. InsyaAllah.
Setelah beberapa lama berkelakar, tibalah saatnya pada acara inti. Penyampaian maksud kedatangan dari keluarga Mas Hanif.
"Untuk satu itu, saya langsung nyerahkan saja ke Hanif, Pak. Biar dia yang ngomong sendiri." Begitu ucap Om Ruslan sambil meminta Mas Hanif yang duduk tegap di sampingnya.
Ah, lelaki itu, lelaki yang kuperhatikan sedari tadi nggak banyak bicara. Hanya sedikit menanggapi guyonan dan percakapan antara Ayahku dan Papanya tadi. Sepertinya dia pun sedang menahanan buncahan rasa dalam dadanya.
It's your time, Mas. Semangat!
"Nggeh, Om, Tante, dan semuanya yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk menjamu kedatangan kami, saya pribadi mengucapkan terima kasih. Saya kemari ingin menyampaikan maksud dan InsyaAllah niatan baik," ucap Mas Hanif dengan suara yang begitu tenang dan kalimat yang sepertinya sudah disusun sedemikian rupa. Rapi dan tertata.
"Saya Hanif Zarchasi, sebelumnya memang telah meminta izin kepada Om Imron dan Tante Rita untuk berkenalan lebih jauh dengan putri jenengan," ucap Mas Hanif kepada Ayah dan Bunda.
"Awalnya saya kenal Rindu memang dari pertemuan nggak sengaja saat kami di kereta dalam perjalanan ke Cirebon. Kemudian saya bertemu lagi di acara pernikahan sepupu saya, Om, yang kebetulan teman SMP Rindu, namanya Rahayu, dari situ kami kenalan sekilas. Qodarullah kami bertemu lagi secara nggak sengaja, untuk yang ketiga, keempat atau bahkan kelima saya lupa, saat itu kami kembali menempuh perjalanan ke Cirebon dalam waktu yang bersamaan. Dari situ saya lebih ingin mengenal putri jenengan," jelasnya begitu panjang.
Sementara aku hanya mampu menunduk, sambil sesekali memperhatikannya. Sedangkan yang lain ber-oh ria mendengar bagaimana awal perkenalanan kami.
"Karena saya dari awal memang nggak pengin pacar-pacaran seperti yang lain, mengingat usia kami juga bukanlah usia pacaran. Untuk itu saya pengin berkenalan dan meyakinkan Rindu untuk ke tahapan yang lebih serius."
"Hari ini, detik ini, dan saat ini, di depan Papa, Mama, keluarga saya, dan keluarga jenengan, Om, Tante, saya Hanif Zarchasi, ingin meminta Rindu Amaya Kinasti, putrinya jenengan untuk menjadi istri saya."
Blarrr!!!
Rasanya seperti tersengat petir, dada ini sudah bukan lagi bergemuruh. Air mata yang nggak kuundang nyatanya turut hadir ingin menyaksikan momen haru ini. Aku benar-benar terenyuh mendengar Mas Hanif memintaku melalui Ayah. Rasanya kenapa sakit tapi begitu bahagia?
Aku bahkan nggak bisa mendeskripsikan apa yang tengah kurasakan saat ini. Mungkin untuk kalian yang pernah ada di posisiku, selamat kalian adalah perempuan terkuat yang bisa menahan dentuman rasa yang datang menggebu-gebu tanpa jeda sama sekali. Aku masih berusaha untuk tetap tampak tenang meskipun di dalam sana debaran itu nggak kunjung reda.
"Kalau saya Nak Hanif, semua itu saya kembalikan ke Ananda Rindu. Bagaimana pun nantinya yang akan menjalani semua ini adalah kalian. Saya dan Bundanya Rindu, InsyaAllah senantiasa mendukung apapun keputusan Rindu. Apapun. Selagi keputusan tersebut dilandasi alasan syari."
Ya, benar, Ayah dan Bunda sudah menyerahkan kepadaku. Bahkan mereka sudah mempersiapkan diri jika keputusanku tidak sesuai keinginan mereka dan mungkin akan menyakiti banyak pihak. Yang pasti, tetap berikan alasan syari, apapun keputusanmu, pesan Ayah ketika kemarin sekali lagi aku meminta pertimbangannya.
"Rindu, seperti yang sudah saya sampaikan minggu lalu kepada kamu di resto saat kita makan malam. Hari ini, sekali lagi saya ingin mengucapkan di depan seluruh keluargaku dan tentunya keluargamu." Kali ini Mas Hanif memandangku dengan muka yang selalu ia tunjukkan ketika memang benar-benar sedang serius.
Aku mengangguk, sementara dia kembali melanjutkan. "Bismillahirrahmanirrahim, Rindu Amaya Kinasti dengan ini saya mengkhitbahmu. Bersediakah kamu mendampingi saya untuk menyempurnakan separuh ibadah, meraih ridho-Nya dan bersama-sama kita berjalan beriringan menuju jannah-Nya? Bersediakah kamu menjadi istri saya, membersamai saya dalam segala hal, dan menggenapi kekurangan saya sehingga bisa menjadi suatu kelebihan? Bersediakah kamu menerima khitbah dari saya, Rindu Amaya Kinasti?" tanya Mas Hanif dengan tatapan tiga detik tepat yang menancap mengenai hatiku. Kemudian dia kembali menunduk menunggu jawabanku.
Astagfirullahhaladzim ... Laa haula walla quwwata illa billah ..
"Rindu, dijawab, Nak," Bunda di sebelah Ayah memintaku untuk segera memberi jawaban.
"Bismillahirohmannirohhim, Tante, sebelumnya saya diberi kotak ini oleh Mas Hanif. Mas Hanif bilang saya boleh melakukan apapun kepada kotak ini hanya jika hari ini tiba dengan disaksikan oleh semua keluarga," ucapku mengeluarkan kotak yang sedari tadi kumasukkan ke dalam kantong hijabku.
"Dan kali ini, saya akan menjawabnya, Mas," ku menghirup udara sekitaran dengan panjang sebelum melanjutkan. "Saya kembalikan kotak ini kepada Tante," ucapku sambil menyerahkan kotak tersebut kepada Tante Ratih.
Sontak semua mata langsung mengarah kepadaku. Ruangan menjadi riuh. Otomatis langsung membuat gaduh orang-orang di seluruh ruang tamu.
"Eh, tapi, nak??" kata Tante Ratih dengan tatapan penuh tanya dan wajah yang berkaca-kaca.
Apapun keputusanku, mereka berdua telah mengembalikannya kepadaku. Mereka sudah janji untuk ridho.
"Rindu, kenapa?" Kali ini Mas Hanif yang bersuara dengan sedikit menaikkan nadanya. Kulihat Om Ruslan berusaha menenangkan Mas Hanif.
Sementara Tante Ratih masih menggenggam tanganku sambil memandangaku penuh mohon.
"Rindu, apa kamu nggak mau jadi menantu Mama?" tanya beliau pelan membuatku semakin tak karuan.
Nggak pengin suasana terus-terusan mencekam, aku harus segera menyelesaikan hal ini. "Mohon maaf, saya menyerahkan kotak ini kepada Tante, meminta tolong Tante untuk memasangkan cincin di dalamnya untuk saya. InsyaAllah, atas izin Allah, saya bersedia menerima khitbah dari Mas Hanif," ucapku langsung disambut riuh ucapan penuh syukur sepenjuru ruangan.
Suasana yang tadinya tegang mendadak meluapkan kegembiraan penuh suka cita.
"MasyaAllah Tabarakallah. Alhamdulillahhi Robbi. Makasih sayang," Tante Ratih memelukku dengan penuh haru.
Sementara Mas Hanif tampak begitu lega. Wajah pucat pasinya kini kembali berseri dengan rona merah yang begitu memancar.
Mas, aku pun bahagia.
"Kamu pinter akting juga, Rind. Untung aja kita semua nggak ada riwayat penyakit jantung," canda Mas Danar mencarikan suasananya.
"Kalaupun ada yang kena serangan jantung karenaku, InsyaAllah ada Om yang siap membantu," balasku tak ingin kalah, membuat semua terbahak karena nggak menyangka bahwa aku memiliki sisi keusilan yang sama sekali nggak terduga.
"Sekarang belajar manggil Papa dan Mama, Rind. Jangan Om dan Tante lagi," kata Mbak Tiqa.
"Heheh, iya Mbak," jawabku sambil terkekeh.
"Ya sudah, sesuai permintaan Rindu. Mama akan memasangkan cincin ini sebagai bentuk pengikat antara kamu dan Mas Hanif." Tante Ratih meraih tangan, kemudian mengambil jari manisku dan memasangkan.
Sebuah momen yang nggak pernah kulupa. Oh, begini to rasanya lamaran?
Ya Rabb terima kasih telah memberiku kesempatan untuk mencicipi satu lagi syukurmu yang begitu tak terhingga ini.
"Sudah terpasang, Selamat ya sayang. Terima kasih telah menerima Mas Hanif." Sekali lagi Tante Ratih merengkuhku dalam pelukannya. Rasanya benar-benar senyaman pelukan Bunda. Oh beginikah rasanya punya dua ibu?
"Terima kasih juga, mmm... Mama. Mohon bimbingannya," ucapku masih dalam pelukan Mama Ratih.
Mama, Insyaallah.
"Makasih, Rind," lirih Mas Hanif yang mampu kudengar ketika kembali pandangan kami saling bertemu.
Sama-sama, Mas. Terima kasih juga telah memilihku. Semoga kita memang dijodohkan oleh Allah, sampai ikrar suci itu benar-benar terucap.
💐💕💐💕💐💕
Acara langsung dilanjutkan tentang penentuan tanggal pernikahan. Jujur, lagi-lagi aku merasa terlalu cepat. Tidak bisakah kita hanya menunggu, kemudian membiarkan alur mengalir begitu saja?
Kata Zira, nggak bisa. Bahwa menyegerakan pernikahan adalah sunnah, justru menjadi tidak baik apabila menunda-nunda selagi kedua belah pihak telah siap. Menimbang juga acara pernikahan Zira yang telah dekat, akhirnya setelah melalui perundingan alot, kedua keluarga telah memutuskan. Acara pernikahanku dan Mas Hanif akan dilaksanakan tiga bulan terhitung dari hari ini, tepat seminggu setelah Idul Adha, di bulan baik Dzulhijjah. InsyaAllah. Kata orang sini, besaran. Harapannya semoga dibesarkan segala berkah dan rahmad dari Allah. Aamiin, ya Robbal alamin.
Usai bergelung dengan hitungan angka-angka, juga obrolan ringan tentang rencana pernikahan, kami semua kemudian menikmati santap siang kelewat ini. Karena kami baru usai diskusi pukul dua siang dari yang mulainya pukul sepuluh, dijeda waktu salat dhuzur, kemudian baik Ayah maupun Om Ruslan kekeh melanjutkan sampai mendapatkan tanggal baru setelah itu baru makan katanya. Sehingga barulah sekarang kami semua bisa istirahat, bersantai, bercengkerama bersama sambil menikmati makan siang.
Kami semua duduk dan makan bareng di bawah. Ruang tamu dan ruang keluarga yang tak tersekat memang dijadikan satu dengan sofa yang dikeluarkan, kemudian lantai diberi gelaran karpet tebal. Itu hasil tatanan dua adik gantengku, Ical dan Aufar. Terima kasih telah membantu terselenggaranya acara hari ini dengan baik sehingga seluruh keluarga bisa nyaman di rumah kita.
Aku memperhatikan satu per satu keluargaku.
Bunda dan Mama yang masih asyik ngobrol, mungkin nentuin konsep acara nanti.
Kulihat Kina dan Zia yang terlihat begitu akrab saling ngobrol, mungkin juga ngegosip boyband idola mereka, berfangirl ria istilahnya karena yang kutahu Zia itu kpopers mania. Ah, punya dua adik perempuan sepertinya memang menyenangkan.
Dan si kecil Keisha yang baru saja disuapi oleh Amahnya. "Udah yaa Keisha main dulu, gantian Amah mau makan," kata Mbak Tiqa. Kemudian aku inisiatif untuk mengambil alih kesayanganku itu.
"Sini sama Tante Rindu,Kei. Tak bawa ya, Mbak," izinku pada Mbak Tiqa.
"Loh kamu udah makan ta, Rind?"
"Udah kok, Mbak. Biarin Keisha sama aku aja."
Aku sudah menggendong gadis mungil nan menggemaskan ini.
"Anteee, mammm?"
"Tante sudah maem sayang. Keisha juga udah kan?"
"Eyssh klim, leh??" katanya sambil menunjuk es krim yang dipegang oleh Aufar.
"Keisha mau es krim? Sini om kasih." Dan Aufar malah mengimingi-iminginya yang membuat gadisku ini makin kepengin.
Awas kon, Faarrr!!!
Aku gregetan.
"Aaaa, eysh klim nteee." Gawat, Keisha mulai rewel. Sementara aku berusaha menenangkan. Nggak pengin Mbak Tiqa yang sedang makan terganggu, kubawa saja Keisha ke beranda belakaang sambil melihat ikan di kolam.
"Keisha kenapa, Rind?"
Eh??
Aku sedikit terkejut dengan kedatangan Mas Hanif yang tiba-tiba, kulihat dia tadi masih asyik ngobrol sama Ayah, Papa, dan Ical. Sekarang sudah di sini saja.
"Pengen es krim gara-gara Aufar tuh."
"Kasih aja," katanya datar.
"Nggak papa? Kalau batuk gimana? Ntar dimarahin Mbak Tiqa aku, nggak mau ah."
"Nggak, ada Ompa yang bakal tanggung jawab. Ya, Kei, Ya?" Mas Hanif malah menggoda Keisha padahal wajah Keisha sudah muram tinggal meweknya.
Tunggu, apa katanya tadi?
"Ompa apaan, Mas?"
"Om papa lah. Kan kubilang, Keisha itu anakku juga. Kamu sih nggak percaya." Dia malah bercanda garing.
"Nggak lucu, Mas," cengirku sambil terus berusaha mengalihkan perhatian Keisha soal es krim.
"Rind?" Mas Hanif kembali memanggilku.
"Yaa?"
Lalu dia kembali diam.
Begini ini. Paling nggak suka sama orang yang mau ngomong ditahan-tahan terus ujung-ujungnya nggak jadi. Kayak kesel saja sudah nunggu, tapi malah diurungkan.
"Makasih, ya?"
Deg!
Lagi-lagi deguban yang sudah reda tadi kembali menyergapku. Jantung! Tolong baik-baik!
"Makasih, sudah memilihku. Setelah ini, tolong ingatkan aku jika ada lalai. Jangan sungkan untuk menegurku jika aku salah. Dan jangan sungkan lagi berbagi rasa denganku, Rind. Ceritakanlah jika itu senang, sedih, marah, kecewa, termasuk saat kamu merasa sakit."
Aku masih menahan napas sambil terus mengatur agar deg-degan ini nggak sampai terdengar oleh lawan bicaraku saat ini.
"Aku emang nggak janji selalu membawamu dalam kondisi yang bahagia. Tapi aku janji, InsyaAllah aku akan selalu ada di sampingmu dalam kondisi apapun," lanjutnya masih dengan tatapan yang tak pernah ia lepaskan dari pandanganku.
"InsyaAllah, Mas. Bimbing aku juga," cicitku yang aku sendiri nggak yakin bagaimana rupa wajahku saat ini.
"Nteee pipinya meyaaah."
Eh???
"Mukamu merah banget, Rind? Di sini panas, ya? Masuk rumah aja, yuk?" katanya.
Allahu Keisha, naaaaak, jangan biarkan Ompa tahu bahwa Tanma sedang tersipu malu oleh semua kata-kata yang diucapkan oleh Ompamu.
"Enggak, Mas."
"Terus?" Dia mengernyit sekilas. "Oh, jadi ini wajah calon istriku kalau lagi tersipu malu? Mulai kesemsem sama kangmas ya, Dek?"
Ya Rabb, tolong selamatkan aku.
Mas Hanif kenapa jadi begitu?
______selamat merindu kembali______
Gimana part ini?
Sebagai bonus boleh dong tekan 🌟 nya dan tebar komentar sesuka kalian.
Lav lav
😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top